Berjalan kaki menyusuri Bukittinggi


Di Novotel Hills Bukittinggi suatu pagi 

Pukul tujuh. Masih terlalu pagi untuk permulaan sebuah acara. Saya duduk di lobby utama, berdiri, lalu berjalan mondar mandir, menunggu waktu. Melangkah ke arah toilet, sekedar bercermin, merapikan gincu, lalu mencuci tangan tak perlu. Padahal di dalam tas, ada bedak lengkap dengan cerminnya.  Kembali ke front office, melewati receptionist, menuju bagian terdepan hotel. Di waktu luang seperti ini saya baru bisa leluasa memandangi ukiran kayu yang menjadi penghias lobby utama hotel. Tajub saya dibuatnya. Terakhir, saya melemparkan pandang ke seberang jalan di depan hotel, ke arah bangunan ruko yang berjejer. Dari jarak sekitar 50 meter, saya melihat suasana di pertokoan itu masih sepi. Jalanan juga demikian, belum ramai oleh kendaraan yang melintas.

Novotel Hills Bukittinggi

Alam Bukittinggi berkabut. Langit hanya menampilkan warna putih, tiada kemerahan sebagaimana biasanya pagi dengan mentari yang bersinar terang. Sungguh pagi nampak tak bercahaya. Berselang belasan menit kemudian kabut tipis itu pergi ketika rintik hujan mulai turun dari langit. Udara dingin kian dingin. Saya mulai mencemaskan rencana yang sudah saya susun. Jika gerimis ini tak mau berhenti, keinginan saya untuk menyusuri Bukittinggi dengan berjalan kaki bakal terhalang. Sedih. Tak ingin larut, saya kembali ke dalam. Duduk di bangku. Kembali menunggui waktu. 

Pukul delapan. Saya beranjak dari lobby, keluar, menuju bangunan di sisi kanan hotel. Balai Bung Hatta. Ya, itu nama bangunannya. Tempat acara meeting akan berlangsung. Iseng saya masuk, mengintip. Oh, rupanya meja dan kursi sudah tertata rapi. Tapi Sepi. Belum ada siapapun. Baiklah, saya pergi saja kalau begitu. Beruntungnya saya, ketika keluar dari ruang meeting itu, gerimis menyudahi urusannya di bumi. Horee......saatnya menjelajahi Bukittinggi dengan kaki. Berbekal keberanian, juga keingintahuan, saya akan berpetualang sendirian. WOW! Koprol.


Lobby 
Ukiran kayu yang unik dan artistik di lobby, yang jadi perhatian saya
Ruang meetingnya masih sepi hihi


Istana Bung Hatta dan Jam Gadang

Di depan gerbang utama hotel, saya disibukkan oleh pilihan jalan. Jika ke kiri ke Jl. Yos Sudarso adalah ke arah Benteng Fort De Kock dan Taman Marga Satwa, jika ke kanan ke Jl.Jam Gadang, ke arah Jam Gadang dan Istana Bung Hatta, sedangkan jika lurus ke depan ke Jl. Ahmad Karim, kearah Jembatan Limpapeh dan Kampung China. Tertegak sendirian di depan hotel sambil tangan menunjuk-nunjuk itu keren, menarik perhatian orang yang lewat! hihi. Akhirnya saya memilih lokasi terdekat, yaitu ke Jam Gadang dan Istana Bung Hatta. Jaraknya hanya 30meteran dari hotel. Deket buanget khaan? Sebelum kaki ini memulai langkahnya, saya berpesan ke driver: "Tolong jangan kemana-mana ya pak, tunggu di parkiran saja. Kalau saya kecapaian, tolong jemput saya setelah saya hubungi terlebih dahulu." Driver mengiyakan, lalu kembali "nangkring" di bangkunya. 


Ramayana Dep.Store, berseberangan dengan Balai Bung Hatta

Saya melewati Ramayana Dept.Store, berjalan di seberangnya, tepat disisi Balai Bung Hatta. Persis di sebelah Balai Bung Hatta letak Istana Bung Hatta berada. Istana Bung Hatta berhadapan dengan Jam Gadang tapi berseberangan, terpisah jalan raya. 10 menit saya berada di Istana Bung Hatta, jeprat jepret tanpa permisi, lalu selesai. Tanpa permisi? Ya, karena pagi itu istana sedang tak berpenjaga. Ceritanya bisa di baca di tulisan saya sebelumnya: Ketika Istana Bung Hatta Tak Berpenjaga. 





Seusai mengambil gambar di istana, saya beralih ke taman Jam Gadang.  Melihat-lihat, mengamati, dan tentu saja jeprat jepret ke segala arah, juga atas bawah menara jam Gadang. Tak ketinggalan mengabadikan penampakan Gunung Merapi yang membiru dan berselimut kabut. Pasar Ateh (pasar atas) yang letaknya berhadapan dengan Taman Jam Gadang, juga menjadi perhatian saya. Saat itu aktifitas di pasar tersebut mulai ramai. Pasar Ateh merupakan salah satu pasar lereng di Bukittinggi. Pasar lainnya adalah Pasar Bawah, yang berada persis di lereng bagian bawah pasar atas. Pemandangan kota Bukittinggi yang terlihat dari taman Jam Gadang yang memang berada di ketinggian, cukup mempesona. Meninggalkan kesan tersendiri dalam hati saya :) Tulisan dan cerita tentang Jam Gadang sudah saya share sebelumnya : Jam Gadang, Penanda Pusat Kota Bukittingi.


Di dekat jam Gadang ada delman-delman yang disewakan. Pak kusir dan kuda siap mengantar siapapun yang ingin berkeliling kota Bukittinggi. Tarifnya bervariasi. Mulai dari Rp 20.000 sampai Rp 50.000. Lokasi yang dikunjungi yaitu: Jembatan Limpapeh, Goa Jepang, Kebun Binatang, Benteng Fort De Kock, Taman Panorama, dan Kampung Cina. Saya ditawari Rp 50.000,- Mulanya saya tertarik, tapi kemudian dipikir-pikir kenapa ga jalan kaki saja biar puas melihat-lihat? Dengan sopan saya menolak tawaran Bapak kusir. Tak enak sebetulnya, tapi saat itu saya memang sedang benar-benar ingin berjalan kaki saja. Sebelum berlalu, saya tanyakan padanya apakah disekitar sini (pasar) ada penjual lontong sayur pakis? Bapak itu menunjuk ke sebuah jalan, ke arah ruko-ruko. "Di sana, ada penjual lontong sayur pakis, ikuti saja jalannya. Nanti ketemu." Saya mengangguk dan mengucap terima kasih kepada beliau. Kemudian berlalu. 

Delman

Saya meninggalkan taman Jam Gada,g berjalan ke Jl.Ahmad Yani, jalan yang dimaksud oleh Bapak kusir tadi. Menemukan dua tempat makan "modern", KFC dan Pizza Hut. Masih tutup. Saya tak peduli. Saya tak mencari dua tempat makan itu. Saya terus berjalan menyusuri ruko-ruko di sepanjang Jl.Ahmad Yani.  Melewati toko material, toko sepatu, dan toko-toko lainnya. Deuh..mana warung lontong sayur pakisnya? Belum ketemu! Saya nampak lapar ya? Mungkin. Padahal sebenarnya tidak, saya sudah sarapan nasi goreng dengan telur mata sapi dan sosis bakar di restaurant hotel. Plus segelas susu dan sepotong roti kering. Masa masih lapar? Ga lah. Saya hanya sedang ingin merasakan sedapnya lontong Padang sayur Pakis yang  dibuat dan dimakan langsung di Ranah Minang. Itu saja.
KFC dan Pizza Hut

Hampir 200meter saya berjalan kaki. Lontong sayur pakis belum juga ditemui. Di pertigaan jalan antara Jl. Achmad Yani, Jl.Ahmad Karim dan Jl. Yos Sudarso, saya berhenti. Bermaksud bertanya letak Jembatan Limpapeh pada seseorang Tetapi sebelum saya mengajukan tanya, mata ini menemukan apa yang saya cari. Kira-kira 50meter dari pertigaan itu, jembatan Limpapeh nampak menjulang dalam pandangan. Bagaimana saya bisa tahu bahwa bangunan jembatan bertingkat tiga itu Jembatan Limpapeh? Saya sudah melihat gambarnya sewaktu di taman Jam Gadang tadi. Di situ ada semacam papan informasi bertutup kaca, berisi peta dan nama-nama tempat wisata Bukittinggi. Nah, itulah gunanya papan petunjuk dibuat, memberi info pada wisatawan macam saya ini. 

Pukul 09.41
Kota ini masih sepi. Ruko dan toko-toko baru sedikit yang buka. Tak banyak pejalan kaki yang melintas. Saya cukup heran karena sudah sesiang ini masih sepi-sepi saja. Jalan yang saya lalui sangat dekat dengan pasar, namun tak ada kepadatan yang terjadi. Agak sedikit berbeda ketika tadi pagi saya melintas di pasar bawah yang terlihat ramai dengan arus kendaraan agak tersendat.

Saya melanjutkan langkah, mencari jembatan Limpapeh. Untuk dilihat dan dipandang, juga di foto. 

Seorang istri. Ibu dari dua anak remaja. Tinggal di BSD City. Gemar jalan-jalan, memotret, dan menulis.

Share this

Previous
Next Post »

2 komentar

  1. mba rien, saya kesulitan baca tulisannya... kurang kontras gitu... (atau monitor/mata saya yang bermasalah jangan-jangan...) hehe:D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hi Abu Hisyam. Terima kasih telah berkunjung.
      Backgroundnya hitam, warna teksnya putih. Tidak kontras kah?

      Hapus

Leave your message here, I will reply it soon!