Ketika Istana Bung Hatta tak berpenjaga




Sepi. Pagarnya terbuka. Di pos penjagaan pasti ada orang! Hiyaa…ternyata kosong. Ada topi khas, serupa helm. Nah lho. Sedang di toilet kali ya. Baiklah masuk saja. Melangkah ragu, sedikit mengendap-endap. Lagak pencuri. Eh iya beneran gaya pencuri. Mau mencuri apa? Gambar!
Ndak ada orang toh. Maunya sih ijin dulu, tapi mau minta ijin sama siapa? Satu…dua…tiga…Jreng! Aha! Berhasil masuk. Lirik kiri kanan, masih ga ada orang. Nengok kebelakang, masih sepi. Pos penjagaan tetap kosong. Okay, saatnya beraksi. Mau maling?? Ga dunk! Mau jeprat jepret! Moto taman depan, moto patung, moto Jam Gadang, moto Balai Bung Hatta, moto teras, moto bunga-bunga.
“Sedang apo uni?”
Hiyaaaaah..gubrakss!!
Kepala seseorang menyembul dari balik rumpun tanaman. Seorang perempuan tua menyapa. Ditangannya tergenggam sebuah alat kebun (apaan ya namanya? Lupa). Kaget, malu, dan ketahuan! Cepat-cepat pasang senyum manis dan menjawab singkat.
“Sedang numpang moto bu.”
“Sama siapa?”
“Sendiri.”
“Idak boleh masuk kesini. Nanti dimarah penjaga.”
Duh. Jadi ga enak. Mau ga mau mesti jujur deh.
“Saya sedang ada acara di Balai ini bu (menunjuk gedung disamping istana, persis dibalik punggung si ibu). Berhubung belum mulai, saya jalan kesini, liat jam gadang, eh sewaktu nengok pagar istana terbuka, ya saya masuk. Tadinya mau minta ijin penjaga, tapi ga ada penjaga. Akhirnya saya masuk saja. Pinginnya sih sampe ke dalam. Boleh ga ya bu?”
“idak boleh, nanti dimarah.”
“hmm…. 
Mau pergi kayaknya belum puas. Mau tanya-tanya banyak, jangan-jangan si ibu ga bisa jelasin. Lagipula pasti mengganggu beliau yang sedang bekerja.
“Baiklah saya pergi, tapi ibu mau bantu saya gak?”
“Bantu apo?”
“Tolong jepret saya sekali saja, biar ada kenang-kenangan”.
“Ibu idak biso moto.”
Saya beritahu caranya lalu dengan tiga kali jepret, didapatlah satu gambar lumayan. Lumayan ancur. Modelnya.
 




 Balai Bung Hatta, tepat disamping kiri Istana


 Bangunan sebelah kanan itu Pos Jaga. Saat itu sepi?

 Hanya sampai disini langkah kaki saya. Ga boleh masuk :D
 Jam gadang terletak di seberang istana
 Ibu perawat tanaman taman muncul dari balik tanaman ini hihihi
 Tiang bendera, bendera, dan Ramayana dept.store di depannya

Dua bendera berkibar di istana sang pahlawan proklamasi

 Hasil jepretan ibu perawat tanaman taman istana.


Keterangan:
Maaf, berhubung saya ga bisa mendapatkan informasi apapun saat itu, jadi saya pinjem keterangan berikut dari SUMBER INI
Istana Bung Hatta terkenal dengan sebutan Gedung Negara Tri Arga, terletak di pusat Kota Bukittinggi tepatnya di depan taman Jam Gadang. Pada zaman penjajahan Jepang gedung ini dijadikan tempat kediaman Panglima Pertahanan Jepang (Seiko Seikikan Kakka) dan pada zaman revolusi fisik tahun 1946 menjadi Istana Wakil Presiden RI Pertama Drs. Mohammad Hatta. Sekarang gedung ini digunakan sebagai tempat seminar, lokakarya dan pertemuan tingkat nasional dan regional yang representatif serta sebagai rumah tamu negara bila berkunjung ke Bukittinggi. Arsitektur bangunan ini berciri kolonial, dengan kamar-kamar yang luas berjumlah 8 buah tetapi sekarang ditambah 12 buah.
Yang terakhir ini foto rumah kelahiran Bung Hatta yang saya jepret dari dalam kendaraan yang tengah melaju. Beberapa kali melewati rumah bersejarah ini, tapi belum sekalipun saya singgah dan melihat-lihat dari dekat. Nyesel juga sebenernya... Tapi lumayan dapat fotonya :D


======= 

Bukittinggi, Sumatera Barat, Indonesia
Selasa, 04 September 2012

Jurasic Park di Lembah Harau


Selasa 04 September 2012

Waktu menunjukkan pukul dua siang. Meeting yang dilaksanakan di Novotel Hill Hotel Bukittinggi baru saja usai. Siang terus beranjak menuju sore. Saya sempat ragu apakah rencana pergi ke Lembah Harau tetap dilaksanakan atau tidak sebab nanti malam akan ada acara dinner dengan seluruh peserta meeting di Novotel Hill. Saya khawatir waktu untuk ke sana tak cukup.

Menurut driver, jarak tempuh menuju Lembah Harau sekitar satu jam. Saya menghitung waktu, dan mengira-ngira setidaknya perlu tiga jam untuk perjalanan. Dua jam untuk pulang dan pergi, satu jam lagi  untuk melihat-lihat keadaan lembah. Ternyata masih ada spare waktu satu jam untuk prepare sebelum acara dinner. Akhirnya saya putuskan untuk tetap ke Lembah harau.

Kendaraan melaju normal. Kami tak mampir kesana kemari. Berusaha menghemat waktu. Sepanjang perjalanan nampak pemandangan bukit yang hijau oleh pepohonan, hamparan sawah, dan gunung-gunung yang gagah. Kekagumanku pada Ranah Minang ini tak pernah berhenti, keelokan alamnya sungguh memukau. Tak mengherankan bila selama perjalanan saya jarang sekali mengantuk. Saya merasa selalu segar dan bugar.

Lembah Harau terletak sekitar 20Km dari Kota Payakumbuh. Jalan aspal yang kami lalui cukup baik, sehingga mudah dilalui oleh kendaraan roda dua maupun roda empat. Kami tiba di pintu gerbang pukul 03.15 (berdasarkan keterangan waktu pada data exip photo). Langit yang sedari tadi terlihat mendung, kini berubah menjadi gerimis. Ketika sampai di sebuah pertigaan, driver mengambil jalan ke arah timur. Sebenarnya jika kami ke arah barat, kami akan melewati lembah Echo. Lembah yang unik dan terbilang langka. Sesuai namanya, jika kita berteriak sekeras-kerasnya dari sebuah titik di dasar lembah Echo itu, suara akan terpantul, lalu menghasilkan gema (echo) sempurna sebanyak tujuh kali. Konon katanya, lokasi tersebut adalah satu-satunya tempat di dunia yang dapat menghasilkan gema yang sempurna. Sayang kami tak lewat sana.



Di depan saya, terbentang bukit-bukit cadas nan curam. Guratan-guratan hitam berpadu warna krem di permukaannya. Air terjun mengucur dari atas ngarai, sedangkan di bawahnya, sawah-sawah penduduk terhampar di kiri dan kanan jalan. Pesona lembah sempurna di petang itu.

Gerimis seperti tak mau berhenti tetapi saya tetap ingin keluar dan turun dari mobil. Mencoba mengambil gambar meskipun cuaca sedang tak bersahabat. Dasar lembah nampak gelap. Tebing-tebing di tempat saya berhenti bagai tembok raksasa yang menghalangi cahaya. Kamera saya tak bisa maksimal menangkap gambar. Tapi saya berusaha mengabadikan tempat ini.

Mobil telah melaju sejauh lebih kurang 3Km, lalu kami berjumpa dengan sebuah air terjun. Kalau tak keliru namanya Sarasah Aia Luluah. Sebuah air terjun yang mengalir bak tirai putih diantara hijaunya tetumbuhan yang menempel di dinding tebing yang tinggi. Saya mendekat. Beberapa anak sedang bermain dan mandi di bawah Sarasah itu. Saya mendongak, memandangi puncak tebing. Tak dapat saya lihat dengan jelas puncaknya.Titik-titik air mengenai wajah. Saya menyingkir.

Tak berapa jauh dari Sarasah tadi, ada tangga beton menuju lereng ngarai. Saya naik ke sana. Melihat dari dekat. Seorang anak kecil penjual batang tebu, datang menawarkan jualannya. Saya tak membeli tapi meminta tolong padanya untuk bantu memotret. Dengan senang hati anak itu melakukannya. Sejenak saya melepas pandang dari lereng ngarai, Masha Allah, panorama Lembah Harau anggun nian. Dari samping, saya mengintip air terjun yang jatuh. Saya sebut mengintip karena pandangan saya terhalang oleh banyaknya akar-akar tumbuhan yang menjuntai. Menyembul dan menjalar di dinding tebing. Dari tempat saya berdiri saat ini, udara segar begitu terasa. Suasana lembah yang dingin, air terjun, dan gerimis yang masih turun kecil-kecil, menambah kesejukan alam sekitar lembah Harau.

Di depan Sarasah, berjejer warung-warung yang menjual aneka makanan dan minuman, pernak-pernik, dan juga aneka tanaman hias. Beberapa tanaman hias yang dijual di sini antara lain: Anggrek Bulan, Anggrek Kantung, Pakis Monyet, dan Kantung Semar. Tanaman hias itu katanya merupakan tanaman asli kawasan ini. Kami masuk ke salah satu warungnya, melepas dahaga dan beristirahat sejenak sembari menikmati semangkuk mie rebus instant panas dan sebotol teh manis tak dingin.

Kera ekor panjang di dahan pohon

Anak kecil penjual tebu ternyata keponakan ibu pemilik warung. Dia tidak lagi sekolah. Ayahnya sudah tiada. Dia hanya tinggal bersama ibunya dan adiknya. Dia membantu ibunya mencari nafkah dengan berjualan tebu. Saya trenyuh mendengar ceritanya. Dia membantu melayani kami. Saya minta tolong padanya untuk mengecas batre kamera saya. Beruntung ada listrik, jadi batre kamera saya bisa di cas di sana.


Toilet, kamar mandi dan musala tersedia ditempat ini. Jadi, tak perlu khawatir jika ingin salat. Air tersedia banyak. Bersih pula. Di dekat salah satu toilet saya melihat dua ekor kera berekor panjang. Melompat-lompat girang di dahan yang terayun-ayun. Saya kaget bukan kepalang, khawatir kera itu mendekat dan melompat ke badan saya. Tapi anak kecil itu bilang tak usah khawatir, kera-kera itu tak mengganggu. Saya memandangi kera-kera itu sambil menjauh. Terdengar kikikan yang bikin saya menoleh berulang-ulang. Rupanya tempat ini menjadi surga bagi primata. Dan ternyata, tebu yang dijual anak kecil itu digunakan untuk memberi kera-kera itu. Oh, saya kira untuk di makan oleh pengunjung seperti saya. Saya salah duga.



Setelah cukup beristirahat sembari menikmati pemandangan lembah yang indah, kami beranjak meninggalkan lokasi. Sebelum mobil melaju, saya menghampiri anak kecil penjual tebu. Memberinya beberapa lembaran uang 50ribu. Tergambar kegembiraan di wajahnya yang kehitaman. Saya melambaikan tangan padanya. Sampai jumpa lagi adik kecil. Lambaian tangan anak itu menjauh, lalu hilang dari pandangan.

Gerimis baru saja usai, saya lekas berburu gambar. Bukit-bukit dengan rimbun pohon nan hijau, sawah-sawah dengan buahnya yang menguning, menjadi sajian yang sangat istimewa untuk saya potret. Di depan sana, di kawasan Aka Berayun, merupakan lokasi olah raga panjat tebing. Kemiringannya yang menantang mampu memacu adrenalin bagi penggemar olah raga ekstrem itu. Lembah Harau memang istimewa. Saya kembali terkagum-kagum.

Oh iya, jumlah air terjun yang ada di Lembah Harau ini ada 4, yakni: Sarasah Aka Berayun, Sarasah Aia Luluah, Sarasah Bunta, Sarasah Murai. Kecuali Sarasah Aka Berayun, tiga Sarasah lainnya berada di satu lokasi, tepatnya di Jorong Lubuak Limpato Nagari Tarantang, Kecamatan Harau. Salah satunya yang tadi saya lihat dari dekat.

Di sisi Timur Lembah Harau tersedia fasilitas outbond dan bumi perkemahan dan jungle trekking bagi pengunjung yang hobby menjelajah. Di sana pengunjung dapat merasakan sensasi melintasi hutan berlatarkan irama alam berupa suara air terjun, serangga tonggeret, juga kicauan burung-burung.

Suasana Lembah Harau tak hanya alami tetapi juga menampakkan kesan purba. Saya sesungguhnya betah berlama-lama. Andai tak terburu-buru, rasanya masih ingin tinggal dan bermalam di Lembah Harau. Bahkan di sebuah artikel yang pernah saya baca, seorang T.Bachtiar (Anggota Masyarakat Geografi Indonesia) menyebut Lembah Harau sebagai gejala alam luar biasa yang jarang ditemukan di belahan bumi lainnya. Lembah Harau bagai sebuah tempat dimana kita merasa berada dalam hutan di film Jurassic Park. Wow!

Alhamdulillah bisa menjajaki tempat ini dari dekat.
Hmm....lembah ini persis seperti lembah-lembah dalam cerpen-cerpen fiksi yang dulu pernah saya buat ^_^





======= 

Bukittinggi, Sumatera Barat, Indonesia
Selasa, 04 September 2012

Horse Riding

Relax on horseback-style "cowgirl"

To reach the foot of Mount Bromo, I can not use the vehicle. Instead, I need to rent a horse with a price of Rp 100,000, –  If I feel strong, I can choose my walk. But, I know that the walk is not that easy, because the blazing sun, a short distance away, the dust can fly to make the travel weight.

 Ride a horse by myself

I can ride a horse all by myself and drew a round in the Sea of ​​Sand.
Mount Batok in the background



Riding a horse

Yes!! I am brave and accustomed to riding a horse he he he. I feels like a Hollywood cowgirl movie star :))





********
Feb 26, 2012 @ Mt.Bromo, East Java - INDONESIA

Bus terguling di tepi Danau Singkarak


Rabu 05 September 2012
Kecelakaan tragis ini terjadi pada hari yang sama saat saya berwisata ke Danau Singkarak. Siang itu, sekitar pukul 12 siang, kami baru saja tiba. Menelusuri jalan sepanjang tepian Danau. Seakan berkeliling. Bermaksud hendak mencari rumah makan untuk memenuhi hajat perut yang mulai meronta lapar. Baru 10 menit dalam perjalanan, tiba-tiba jalan yang kami lalui mendadak ramai. Terlihat kerumunan. Saya dibuat heran karena sedari tiba di Danau ini tak ada melihat keadaan jalan yang ramai. Tidak banyak kendaraan roda empat yang lalu lalang di tempat ini. Hanya beberapa, itupun sesekali. Ada apakah?

Kendaraan yang membawa kami terus melaju, pelan. Setelah berada dekat, terjawab sudah keheranan saya. Sebuah bus berisi penuh penumpang baru saja terguling dan masuk danau! Inalillahi.

Kengerian muncul dalam diri saya sehingga tak sanggup memandang lekat-lekat. Hanya terdengar keterangan dari beberapa orang yang berada di lokasi bahwa semua penumpang terluka, dua diantaranya tewas di tempat. Bus tersebut dalam perjalanan dari Medan menuju Sumbar (bagian mananya saya tak tahu). Kemungkinan supir bus lelah dan mengantuk, juga disebutkan bahwa saat itu bus melaju dalam keadaan kencang. Musibah. Sudah kehendakNya.

Polisi mulai berdatangan. Kami meneruskan perjalanan dan berhenti di sebuah rumah makan yang tak jauh dari lokasi. Saya masih deg-degan. Dan berusaha makan, mengatasi rasa lapar yang mulai melilit, sembari melupakan pemandangan ngeri yang baru saja terlihat.

Perjalanan jauh, lelah, ngantuk, ngebut, memang memberikan kesempatan pada bahaya untuk mampir. Berhati-hatilah di jalan. Jika lelah dan ngantuk, istirahatlah. Demikianlah peringatan yang seringkali kita lihat dan dengar bagi siapapun yang hendak mengemudi, baik perjalanan dekat maupun jauh. 
Oh iya, cerita tentang kecelakaan ini sengaja saya tulis disini karena merupakan bagian dari perjalanan saya. Sebuah catatan perjalanan tidak mesti selalu menyajikan keindahan, kelancaran dan kemudahan. Apapun yang ditemui sepanjang perjalanan, bagi saya pantas untuk dijadikan tulisan, untuk kemudian mengambil pelajaran dari sana.


Masjid Islamic Center Samarinda

These photo was taken on Feb 26, 2011 using a Nikon D40








The  Mosque is  located in Teluk Lerong Ulu village, Samarinda city, East Kalimantan. It  is the grandest and the second largest mosque in Southeast Asia after Istiqlal Mosque in Jakarta and stands majestically on the banks of Mahakam river with beautiful scenery.

The Samarinda  Islamic Center Mosque  has a very beautiful architecture. It has seven towers, with a 99 meter-high main tower each according to the number of Asma ul Husna or the nick names of Allah. In addition to the main tower, the building also has six towers on the sides of the mosque. The Six towers are  also significant as they simbolize the 6 pillars of faith in Islam.

The building, constructed at a cost of more than 500 billion rupiahs was  inaugurated by the President of the Republic of Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono on June 16, 2008. The mosque stands on an area of approximately 12 acres with a total building area covering 50 thousand square meters.

The mosque has a main dome with very beautiful golden ornaments . The Source of inspiration for the design of this huge mosque derived from the Prophet's Mosque in Medina combined with the artistic Great Mosque in Turkey. The Prophet's Mosque in Madinah is known to have lots of amazing ornaments and calligraphy. In addition, this historic building has a strong physical endurance because although it can be considered as  already old enough, it still shows elegance. Another specialty of this mosque is the use of granite in the main tower.

Atraksi injak-injak piring pada Tari Piring



Malam itu 04 Sept 2012, saya mengikuti acara dinner di hotel Novotel Hills Bukit tinggi. Selain acara ramah tamah dan silaturahmi dengan peserta meeting GMC, acara juga diisi dengan pertunjukan beberapa tarian daerah khas Melayu, diantaranya Tari Saman Aceh dan Tari Piring Minangkabau. Tidak ada panggung. Para penari menari lincah di lantai restoran hotel yang berwarna merah bata. Saya yang mulanya hanya duduk, bahkan menyaksikan Tari Saman hanya dari ujung meja, beringsut dan mendekat. Berdiri dikejauhan tetap membuat saya tak bisa melihat apa-apa. Maklum kecil mungil bak anak SMP.

Terpukau? Jelas terpukau.
Tarian ini membentuk sebuah gerakan yang menyerupai gerakan petani saat penanaman, hingga menuai dan sebagainya. Tarian ini juga melambangkan rasa sukacita dan terima kasih atas hasil tanaman yang mereka dapatkan. Para penari memegang piring di telapak tangan mereka, diiringi oleh lagu-lagu yang dimainkan dengan talempong dan saluang.

Kadang-kadang, piring akan dilemparkan ke udara atau bahkan hancur ke lantai and penarinya menginjak-injak pecahan piring tersebut. Untuk menambah unsur estetika, sihir dan kejutan dalam tarian ini, penari, pria dan wanita akan menginjak-injak piring pecah tanpa rasa takut atau cedera.

Tak satupun ada kulit penari itu yang terluka. Jangankan berdarah, tergorespun tidak. Tepuk tangan benar-benar membahana. Dua kata: Luar biasa! Apa rahasianya? Latihan puluhan kali, kelincahan dan kecepatan gerak, serta sugesti. Itu saja? Itu saja yang saya dengar. Tak lebih tak kurang.

Saya ingin memperlihatkan videonya yang saya rekam dari camera saya tapi sayang saya tidak tahu cara mempostingnya disini. Hanya bisa berbagi lewat  foto-foto sederhana berikut ini:






Jam Gadang Penanda Pusat Kota Bukittinggi



Selama ini jika ditanya hal apa yang paling diingat tentang Padang, jawaban yang paling cepat keluar dari mulut saya adalah Jam Gadang. Padahal sebenarnya menara jam itu tidak terletak di Padang, melainkan di Bukit Tinggi, sebuah kota berhawa sejuk yang berjarak tempuh sekitar 4 jam atau sekitar 116km (Bandara-Padang= 25km, Padang-Bukittinggi =91km) dari Bandara International Minangkabau (BIM). Walau saya mencatat sendiri waktu perjalanannya tapi saya tidak mencatat jumlah kilometer perjalanan yang saya tempuh. Jadi saya mencari tahu lewat beberapa sumber, salah satunya dari SINI.
Jam Gadang dalam bahasa Minangkabau berarti Jam Besar. Menara jam ini merupakan penanda pusat kota Bukittinggi. Menurut Wikipedia, Jam Gadang dibangun pada tahun 1926 sebagai hadiah dari Ratu Belanda kepada Rook Maker, sekretaris atau controleur Fort de Kock (sekarang kota Bukittinggi) pada masa pemerintahan Hindia-Belanda. Arsitektur menara jam ini dirancang oleh Yazin Sutan Gigi Ameh, sedangkan peletakan batu pertama dilakukan oleh putra pertama Rook Maker yang pada saat itu masih berusia 6 tahun.

Pembangunan Jam Gadang menghabiskan biaya sekitar 3.000 Gulden, biaya yang tergolong fantastis untuk ukuran waktu itu. Sehingga sejak dibangun dan sejak diresmikannya, menara jam ini telah menjadi pusat perhatian setiap orang. Hal itu pula yang mengakibatkan Jam Gadang kemudian dijadikan sebagai penanda atau markah tanah dan juga titik nol kota Bukittinggi.

Sejak didirikan, menara jam ini telah mengalami tiga kali perubahan pada bentuk atapnya. Awal didirikan pada masa pemerintahan Hindia-Belanda, atap pada Jam Gadang berbentuk bulat dengan patung ayam jantan menghadap ke arah timur di atasnya. Kemudian pada masa pendudukan Jepang diubah menjadi bentuk klenteng. Terakhir setelah Indonesia merdeka, atap pada Jam Gadang diubah menjadi bentuk gonjong atau atap pada rumah adat Minangkabau, Rumah Gadang. 
Jam Gadang memiliki denah dasar seluas 13 x 4 meter. Bagian dalam menara jam setinggi 26 meter ini terdiri dari beberapa tingkat, dengan tingkat teratas merupakan tempat penyimpanan bandul. Bandul tersebut sempat patah hingga harus diganti akibat gempa pada tahun 2007.

Terdapat 4 jam dengan diameter masing-masing 80 cm pada Jam Gadang. Jam tersebut didatangkan langsung dari Rotterdam, Belanda melalui pelabuhan Teluk Bayur dan digerakkan secara mekanik oleh mesin yang hanya dibuat 2 unit di dunia, yaitu Jam Gadang itu sendiri dan Big Ben di London, Inggris. Mesin jam dan permukaan jam terletak pada satu tingkat di bawah tingkat paling atas. Pada bagian lonceng tertera pabrik pembuat jam yaitu Vortmann Relinghausen. Vortman adalah nama belakang pembuat jam, Benhard Vortmann, sedangkan Recklinghausen adalah nama kota di Jerman yang merupakan tempat diproduksinya mesin jam pada tahun 1892.

Jam Gadang dibangun tanpa menggunakan besi peyangga dan adukan semen. Campurannya hanya kapur, putih telur, dan pasir putih. Keunikan dari Jam Gadang sendiri adalah pada kesalahan penulisan angka Romawi empat (IV) pada masing-masing jam yang tertulis "IIII". Kesahalan penulisan tersebut juga sering terjadi di belahan dunia, seperti angka 9 yang ditulis "VIIII" (seharusnya IX) ataupun angka 28 yang ditulis "XXIIX" (seharusnya XXVIII).
*Sumber : Wikipedia

 ---ooo000ooo---

Selasa pagi, 04 Sept 2012, saya berjalan kaki dari Novotel Hill menuju Jam Gadang yang hanya berjarak sekitar 50 meter. Sangat dekat. Di samping N.Hills terdapat gedung serba guna yang disebut Balai Bung Hatta. Di sebelahnya, sebuah bangunan klasik berpenjaga dengan patung seorang tokoh proklamator, adalah Istana Bung Hatta. Nah, Jam Gadang berada di seberang istana tersebut (depan). Di sebelah kiri istana terdapat pusat perbelanjaan Ramayana, sedang di bagian depan Jam Gadang adalah pasar Ateh (pasar Atas). Di sisi kanan, ke arah bawah, adalah Pasar Bawah.

Pagi itu, cuaca nampak mendung. Langit memang tidak kehitaman tetapi putih buram pucat. Saya masih mengira itu adalah akibat asap (dari kebakaran hutan di Riau dan Jambi), bukan kabut berembun sebagaimana biasa terdapat di daerah pegunungan dan perbukitan. Pukul 9 pagi, ternyata taman di sekitar Jam Gadang masih sepi. Hanya beberapa pemuda dengan kamera DSLR di tangan mereka, sibuk mengambil gambar. Ramayana belum buka. Pasar Ateh telah buka tapi belum terlalu ramai.

Lokasi Jam Gadang ini berada di ketinggian, maka itu memungkinkan saya memandang kota Bukittinggi hingga jauh. Gunung Merapi yang berada di kejauhan, nampak membiru di latar belakang. Benar-benar sebuah pusat kota yang indah. Kendaraan tradisional berupa delman, berjejer rapi di depan Jam Gadang. Dengan tarif 30-50ribu, pak kusir siap membawa wisatawan yang ingin berkeliling sekitar kota Bukittinggi. Seperti yang ditawarkan kepada saya, rutenya adalah: Kampung Cina, Jembatan Limpapeh, Lubang Jepang, Taman Panorama, Kebun Binatang, dan Benteng Fort De Cort. Saya tak berdelman ria, melainkan berjalan kaki menyusuri rute yang dimaksud. Lebih seru, dan sukses bikin kaki imut saya pegal bukan kepalang!

Saya mengambil gambar dalam 3 waktu. Pertama pagi hari (Selasa 4/9), kedua siang hari (Selasa 4/9), dan ketiga pagi hari (Rabu 5/9). Berikut sajian foto dari kamera sederhana saya:

  
 













Menikmati lezatnya Nasi Kapau Bukittinggi

Jika berkesempatan berlibur ke Bukittinggi, jangan lewatkan untuk mencicipi lezatnya nasi Kapau. Lelehan kuah kapau di atas nasi putih dalam piring yang isinya menggunung, begitu membangkitkan selera saya untuk makan. Bukittinggi yang berhawa dingin, sangat cocok sekali dengan kulinernya yang pedas dan panas (tapi ga ganas). Ga cuma populer oleh nasi Kapaunya, Bukittinggi (dan daerah lainnya di Sumbar) memang bagai surganya kuliner para pencinta makanan.  Dari martabak Malabar, sate, soto, itiak lado ijo, hingga masakan khas Sumbar bernama Nasi Padang dan Nasi Kapau. Nah kali ini saya ingin berbagi tentang nasi Kapau.

Apa beda nasi Kapau dan Nasi Padang?
Pada dasarnya, nasi Kapau sama dengan nasi Padang pada umumnya. Yang membedakannya adalah pada sajian dan potongan. Nasi Kapau menyajikan potongan yang lebih besar untuk setiap masakannya. Kuah gulainya pun lebih kental. Nasi Kapau selalu dibubuhi menu spesial, yaitu sayur kapau berupa nangka, kol, dan sayuran lain yang diguyur kuah santan khas kapau. Menurut cerita si ibu (saya lupa nanya nama beliau) penjual nasi Kapau, bumbu nasi Kapau lebih spesifik dan diracik dengan tangan, sehingga tidak akan ditemukan pada rumah makan Padang pada umumnya.

Kapau itu apa?
Kapau adalah nama sebuah tempat yang terletak di pinggir kota Bukittinggi. Dalam struktur pemerintahan, Kapau itu setingkat kelurahan, di Sumbar namanya Nagari. Walau terletak di pinggir kota Bukittinggi tapi wilayahnya sudah masuk kabupaten Agam. Nah, kabupaten Agam terkenal dengan penduduknya yang mayoritas berdagang bahan kebutuhan untuk mengisi “kampung tengah” alias pengganjal perut yang lapar.

Dimana penjual Nasi Kapau?
Penjual Nasi Kapau terletak di Pasar Lereng Bukittinggi. Disebut lereng karena pasarnya memang berada di lereng bukit. Pasar lereng ini terbagi dua, yaitu pasar Ateh (pasar atas) dan pasar Bawah. Penjual nasi Kapau ada di dalam pasar. Orang menyebutnya Los Makan Serba ada atau Los Lambung.

Sejak hari pertama di Bukittinggi saya sudah tanya-tanya ke orang (driver & teman yg berasal dari Bukittinggi) dan mbah gugle. Berbekal info yang saya dapat itu, saya berpetualang sendirian mencari nasi Kapau. Lokasinya sangat mudah dicari. Kalau dari Jam Gadang, jalan masuknya lewat bagian depan Jam Gadang (Jam gadang dan pasar Ateh berhadap-hadapan). Turun melewati aneka jualan sandang, sekitar 70 meter saja.
Nanti, ada belokan ke kiri, masuk. Dari situ langsung terlihat Los Lambung yang dicari.
Taraaaaa!! Ketemu kan.

Hooo....saya melongo. Saya kira semacam Rumah Makan. Ga taunya ya los-los gitu. Lho iya memang los, kan namanya juga Los Lambung. Meja kursi dan tiang-tiang atap los tiap Nasi Kapau berwarna biru. Terpal orange menjadi atapnya. Di tiap los ada namanya, misal Nasi Kapau uni Lis. Nasi Kapau H.Ana. Nasi Kapau H.Mess. Dan lain-lain.

Nasi Kapau terkenal
Menurut cerita teman-teman, dan hasil gugling, katanya nasi Kapau yang terkenal enak adalah Nasi Kapau Uni Lis. Ahaaaaaaa.....saya melihatnya. Tapi sumpah, saya ga memiih Nasi Kapau Uni Lis untuk makan siang itu. Kenapa? Ya ga kenapa-kenapa sih. Saya pingin nyoba yang lain. Saya pilih yang disebelahnya uni Lis. Bersebelahan persis hehe. Agak sepi, hanya ada seorang nenek dan cucunya. Sementara di uni Lis, rame :D Bakal jadi ga bebas nanya-nanya dan foto-foto kan kalo gitu.

Wartawan kuliner gadungan makan nasi Kapau
Sayang saya tak mencatat Nasi Kapau uni siapa yang saya makan saat itu. Tapi si uni (ibu-ibu), bersama putrinya yang berkerudung, begitu antusias melayani saya. Ya iyalaaaaaaaaah....orang asing gitu lho. Ketahuan kan dari bahasa saya :D Apalagi liat kamera, buku kecil, dan pulpen yang ada ditangan saya, plus HP  yang tiba-tiba diaktifkan utk merekam suara hasil tanya jawab :)) Berasa jadi wartawan kuliner gadungan jadinya.

Meja di depan saya bertingkat-tingkat. Tiap tingkat terdapat panci-panci besar yang berisi aneka lauk pauk dengan warna kemerahan yang sangat mendominasi. Santan dan cabai. Wuaaauw!!. Rendang, kikil, tambunsu, ikan, dan lain sebagainya. Aroma bumbu tercium dalam-dalam, bagai masuk ke lambung saya yang masih kosong. Si ibu mengambil piring, mengisinya dengan nasi. Ya ampuuuun porsinya guede banget bu?? @_@ Saya sempat bingung mau lauk apa, si ibu menawarkan ini dan itu, pilihan saya jatuh pada kikil. Khawatir alot, saya berubah pikiran. Eh tapi si ibu bilang, lembut kok. Ya sudah nurut. Trus abis itu, si ibu menuang sayur nangka, serundeng rendang, potongan Tambunsu sebagai bonus. Daun singkong beserta sambal cabe ijo sebagai pelengkap. Trus ada lagi sih, apa ya? saya lupa :D

Masha Allah lezat beneeeeeeeer. Enaknya tiada habis. Eh tapi apa ini karena saya sedang kelaparan ya? kan saya makan siangnya telat tuh. Ah ga mungkin. Biarpun perut lapar, toh lidah masih berfungsi normal dalam keadaan apapun. Dan, saya yang mengira bakal habis tiada bersisa, ternyata keliru! Porsi itu sejak semula memang sudah kebesaran. Akhirnya saya ga habis. Saya bilang ke ibu (laporan), ga habis bukan karena ga enak, tapi kebanyakan.

Kobokan dan air minum
Ketika piring makan ditaruh dihadapan saya, putrinya si uni juga menaruh gelas berisi air didalam mangkok berisi air. Saya tanya. Ini apa bu? Itu air minum, katanya. Bingung saya, kok air minum di dua tempat gitu. Saya angkat mangkuknya, bermaksud untuk minum. Eh si uni bilang, yang diminum yang di gelas saja, yang di mangkuk itu kobokan! halaaaaah...rupanya gelas ditaruh dalam mangkok itu biar air minumnya cepat dingin (air minumnya panas rupanya). Wuadooooooh.....gitu ya buuuuuuk.

Segitu dulu ya ceritanya. Jangan lupa jelajahi kuliner di Bukittinggi. Dijamin gagal diet bagi yang diet :D
Ada Itiak lado ijo di sekitar Ngarai Sianok. Ada Sate Mak Syukur. Ada Martabak Malabar di RM Hayuda. Ada Soto dan sate Padang dimana-mana. Ada Nasi Kapau jugaaaaaaa.... Lama Bana!


 Los di Pasar Ateh Bukittinggi, jalan menuju los Nasi Kapau
 Los Lambung Pasar Lereng Bukittinggi

 Beragam lauk Nasi Kapau
 Air minum dalam kobokan