Tampilkan postingan dengan label Bukit Tinggi West Sumatera. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Bukit Tinggi West Sumatera. Tampilkan semua postingan

Benteng Fort De Kock & Jembatan Limpapeh

Tulisan berikut ini merupakan lanjutan dari cerita sebelumnya --> Rumah China, Jembatan Limpapeh dan Makan Lontong Sayur Pakis (Silahkan di klik)


Benteng Fort De Kock



Saya memasuki obyek Wisata Benteng Fort De Kock seorang diri. Membeli selembar tiket seharga Rp 8000. Dengan satu tiket masuk ini saya bisa mengunjungi dan melihat tiga obyek wisata sekaligus yakni Benteng Fort De Kock, Jembatan Limpapeh, dan Taman Marga Satwa Kinantan. Menarik bukan?

Dipintu masuk, tak ada penjaga karcis yang biasanya bertugas memeriksa tiket masuk. Saya sempat celingak celinguk. Woooh...benar-benar sendirian dan sepi. Gimana kalau ramai ya? Masa iya ga ada yang jaga? Gimana kalau ada yang masuk tanpa tiket? Saya rasa kalau pengunjungnya ramai, mungkin petugasnya baru ada. 




Saya berjalan perlahan, sendiri menapaki taman yang masih sunyi. Jalan setapak yang saya lalui agak menanjak. Di sisi kiri dan kanan jalan setapak terdapat beberapa sangkar burung yang di cat hijau. Dua burung, tiga burung, dan ternyata bukan hanya burung tapi ada beberapa hewan lainnya juga. Semua dalam sangkar. Tak jauh dari pintu masuk, di sebelah kanan jalan yang saya lalui, terdapat beberapa toko penjual souvenir, makanan dan juga minuman ringan. 

Area benteng ditanami banyak pepohonan yang tinggi dan rindang, membuat udara yang memang sejuk jadi kian sejuk. Semilir angin berhembus lembut, membelai wajah saya yang tadi sempat berpeluh kepanasan. Tak perlu berjalan hingga jauh, bangunan benteng sudah terlihat dari jarak 10meter setelah pintu masuk. Sebelum lebih dekat ke bangunan benteng, saya menjumpai sebuah tugu batu berwarna kehitaman yang bertuliskan Benteng Fort De Kock. Saya membaca keterangan yang ada. Tertulis di batu itu bahwa wisata Benteng Fort De Kock diresmikan pada 15 Maret 2003 oleh Walikota Bukittinggi, Drs.H.Djufri. Keterangan lengkap yang tertulis di tugu itu seperti ini:
"Benteng Fort De Kock ini didirikan oleh Kapten Bauer di atas bukit Jirek Negeri Bukittinggi sebagai kubu Pertahanan Pemerintah Hindia Belanda menghadapi perlawanan rakyat dalam Perang Paderi yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol. Ketika itu Baron Hendrick Markus de Kock menjadi Komandan de Roepoen dan wakil Gubernur Jenderal Pemerintah Hindia Belanda. Dari sinilah nama lokasi ini menjadi Benteng Fort De Kock."
Pssst.....saya tidak mencatat tulisan yang tertulis di tugu batu itu dengan menggunakan pulpen dan kertas lho, melainkan dengan cara difoto dari jarak dekat. Berhubung yang tertangkap kamera hanya sepotong-sepotong, jadilah saya memotret tulisan itu sampai beberapa kali. Mulai dari paling atas, sebelah kiri, sebelah kanan hingga paling bawah. Dari foto itulah keterangan lengkapnya saya dapatkan :D
 
Letak benteng Fort De Kock berada di atas bukit. Hmm...ya...memang sebuah lokasi yang strategis sebagai tempat membangun benteng. Bangunan benteng berupa bangunan bertingkat dua dengan ketingian 20m. Saya memperhatikan keramik lantainya. Nampak kusam dan berdebu. Ada sebuah spanduk bertuliskan event seni tari tradisional yang diselenggarakan di lantai dasar benteng. Oh iya, lantai dasar bangunan berupa ruang terbuka (tak berdinding), membuat penampakan benteng ini bak bangunan panggung. Empat sudut benteng dilengkapi dengan meriam dengan ukuran yang berbeda-beda. Menurut hitungan saya, terdapat tujuh meriam yang letaknya terpisah-pisah.*rajin bener ngitungin meriam hihi. Terdapat dua saung kecil untuk duduk-duduk pada salah dua meriam. Letaknya yang berada di bibir bukit membuat siapapun yang duduk bisa melihat pemandangan di bawah.






Jembatan Limpapeh

Di benteng Fort De Kock terdapat salah satu ujung jembatan Limpapeh. Jembatan terkenal ini memang menjadi penghubung antara Benteng dengan Taman Marga Satwa yang ada di seberangnya. Jadi, untuk mencapai taman marga satwa itu mesti melewati jembatan ini. Jika satu jam sebelumnya (sudah saya ceritakan di link ini <-- klik) saya berada di bawah jembatan, maka inilah waktunya saya berada di atas jembatan. Yeaay..horeee....!
 Menuruni lereng, menuju pangkal jembatan Limpapeh

Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, benteng Fort De Kock terletak di atas bukit. Jadi, untuk mencapai pangkal jembatan, saya mesti sedikit turun ke lereng bukit. Di pangkal jembatan terdapat bangunan kecil serupa tempat pembelian karcis (mirip gardu parkir saat kita hendak masuk area mall/perkantoran gitu lho). Gardu itu beratap khas bangunan Minang, ada disisi kiri dan kanan. Saya kira tadinya mesti membeli tiket segala ternyata enggak. Petugasnya juga ga ada kok :D Kosong melompong. Oh iya, jembatannya ternyata berpintu lho. Mungkin saat-saat tertentu jembatan itu tertutup ya. Dan sepertinya jembatan ini memang bukan jembatan umum, melainkan jembatan wisata yang menghubungkan dua obyek wisata bukit tinggi. Sebelumnya saya sempat mengira jembatan ini jembatan umum yang bisa dilalui dengan gratis oleh siapa saja dan untuk kemana saja. Ternyata salah kira.

Saya jeprat jepret. Pingin moto diri sendiri, tapi mau minta tolong siapa? Kebetulan ada dua perempuan lewat, tapi melihat langkah mereka terburu-buru gitu, ga jadi. Tak berapa lama ada pula sepasang keluarga dengan satu anaknya, namun saya kembali urung minta tolong karena melihat sepasang suami istri itu sedang serius mengobrol. Takut mengganggu. Saya celingak celinguk mencari korban berikutnya yang bersedia menjadi fotograper. Aneh kali ya, tegak sendirian, liat sana sini, ga beranjak dari pangkal jembatan, jangan-jangan dikira mau nyari mangsa. Copet? hihi. Ga la yaw.

Gerbang untuk masuk dan melintas di atas jembatan Limpapeh

Tak berapa lama kemudian terlihat seorang bapak dengan anak laki-lakinya datang dari arah seberang jembatan. Bermain-main sambil bercanda. Wah, kayaknya bisa nih. Dan....hore...berhasil juga minta tolong bapak itu untuk moto saya. Lumayaaaaan....sukses jadi Si Manis Jembatan  Limpapeh.

Jembatan Limpapeh ini disebut bertingkat tiga. Menurut saya sih bertingkat satu. Yang disebut orang dengan tingkat satu itu mungkin dasarnya, yaitu jalan raya di bawah jembatan. Lantai dua, mungkin tingkat kedua yang ditandai dengan pembatas di atas jalan raya itu. Tapi disini ga ada jembatan apa-apa. Trus tingkat ketiga, paling atas, yaitu bagian yang ada jembatannya, yang saya pijak saat ini. Nah, menurut saya justru tingkat yang ada jembatannya ini nih tingkat satu. Tapi ya gapapa juga sih mau disebut tingkat satu atau tiga. Ga masalah.


Di atas Jembatan Limpapeh

Hmm berapa ya lebarnya? saya ga ngukur. Dikira-kira saja ya, mungkin sekitar 2,5 meter. Sisi kiri dan kanan jembatan dipasang pagar besi untuk pengaman. Bebungaan dalam pot menjadi penghias sepanjang jembatan. Jembatan terlihat cukup terawat. Tidak kotor, tapi tidak terlalu bersih. Di pangkal jembatan saya sempat melihat ada dua sampah plastik bekas snack. Di tengah jembatan, ada semacam tempat berteduh. Ga besar-besar amat sih, tapi lumayan bisa jadi tempat berlindung dari terik matahari atau hujan yang mungkin turun tak terduga saat menyeberang. Bentuk atapnya masih sama, khas atap bangunan di Minang (gonjong). Sayangnya, saya tidak betah berada di tempat itu, bau! Bukan bau sampah atau bau pipis sih ya (siapa tahu ada yang iseng numpang buang air kecil ya kan?) melainkan bau kotoran burung. Yak, disini ternyata juga menjadi persinggahan burung-burung. Kotorannya yang hitam dan bulat-bulat kecil itu ternyata ga cuma mengganggu hidung, tetapi juga mengganggu pemandangan. Oh tapi apakah ada hubungannya dengan taman marga satwa yang terletak di ujung jembatan? Mari kita cari tahu :D

 Hampir ke tengah jembatan, numpang difoto oleh pengunjung yang melintas

Sebelum mencapai ujung jembatan, saya sejenak berdiri memandang Kota Bukittinggi. Dari sebelah kanan tempat saya datang, nampak atap rumah China menyembul diantara bangunan ruko. Tepat diseberangnya, adalah ruko-ruko dengan beberapa Bank. Salah satunya bank Niaga dengan signboard berwarna merah. Yup, hampir dua jam yang lalu saya berdiri di depan bank itu saat pertama kali melihat jembatan Limpapeh dari bawah. Tempat saya bertemu satpam dan menanyakan jalan menuju Benteng Fort De Kock. Dan, oh iya, perlu diketahui bahwa jalan Achmad Yani dibawah sana merupakan kawasan padat hotel. Tiba-tiba saya merasakan sebuah kebanggaan. Apaan tuh?? Bangga karena kaki imut ini berhasil juga berjalan sejauh lebih dari 2 kilometer :D

Saya mengalihkan pandang ke sisi kiri, bagian lain dari kota Bukittinggi yang belum saya susuri dengan kaki. Kalau dengan mobil sih sudah berulang kali. Pemandangan siang bak pemandangan pagi. Redup dan berkabut. Eh bukan kabut ding, tapi asap. Itu lho, asap kiriman dari Riau yang terjadi karena kebakaran hutan. Huuuuu.....


 Atap orange Rumah China dan bank Niaga di sisi kiri


Bukit di sisi kiri adalah letak benteng Fort De Kock

Dari atas jembatan yang melintas di atas Jalan Achmad Yani ini, saya tak hanya disuguhi pemandangan sebagian kota Bukittinggi, melainkan juga panorama gunung Merapi, gunung Singgalang dan jam Gadang. Jadi, jika berkunjung ke Taman Marga Satwa Kinantan atau Benteng Fort De Kock, cobalah untuk melintas di atas jembatan yang dibangun dengan menggunakan konstruksi baja dan berasitektur atap gonjong khas Minangkabau ini.


 Sudah di ujung jembatan, pintu masuk Taman Marga Satwa di latar belakang





*bersambuuuuuuuuuuuuung.....mau kerja duluuuu. Berikutnya cerita tentang Taman Marga Satwa Kinantan dengan keunikan rumah Gadang Baanjuangnya... 




======= 

Bukittinggi, Sumatera Barat, Indonesia
Selasa, 04 September 2012

Rumah China, Jembatan Limpapeh, Makan lontong sayur pakis

Rumah Cina dan Jembatan Limpapeh


Masih di jalan Achmad Yani Bukittinggi, saya kini berada sekitar 30 meter dari Jembatan Limpapeh. Tanpa saya duga, saya berjumpa sebuah bangunan dengan model atap yang khas, disertai warna keemasan dan kemerahan, juga tulisan berhuruf China. Klenteng.

Inikah kampung Cina yang dimaksud itu? Kampung? Bukan Rumah China? Kalau kampung kan berarti pemukiman. Tapi, orang sekitar yang saya temui mengatakan: "Inilah kampung Cina itu". Hooo...baiklah kalau begitu. Saya mengambil gambar, kemudian pergi. Melanjutkan jalan, lebih dekat ke Jembatan Limpapeh. Saat saya merasa sudah menemukan tempat untuk memotret jembatan, saya berhenti. Tepat di depan Ruko Bank Niaga. Jeprat jepret hingga puas. Lirik kanan mencari seseorang yang lewat, siapa tahu ada yang bisa dimintai tolong untuk memotret. Mata saya menemukan sosok seorang satpam, satpam Bank Niaga. Saya samperi, dan memulai cakap dengan bertanya letak Kebun Binatang. Bukan maksud basa basi, memang saya sedang butuh informasi itu. Seorang laki-laki yang menghampiri pak Satpam, ikut membantu menjelaskan dengan bahasa Indonesia yang lebih mudah untuk saya mengerti. Kenapa? Karena pak Satpam tadi berbicara dalam bahasa Minang yang cukup membuat saya roaming.

 Rumah China, di Jalan Achmad Yani Bukittinggi

Rumah China di foto dari Taman Benteng Fort De Kock

Usai bertanya ini itu bak wisatawan kesasar, saya minta tolong pak satpam untuk mengambil foto diri saya. Mesti gitu? Mesti dong hehe. Setelah 3 kali jepret, akhirnya sesi foto dengan latar belakang Jembatan Limpapeh berakhir. Apa sih bagusnya Jembatan Limpapeh sampe mesti dikunjungi segala? Bagi saya, jembatan ini unik, baik dari segi bangunannya maupun dari fungsinya yang menghubungkan obyek wisata Benteng Fort De Kock dengan Taman Marga Satwa Budaya Kinantan. Yang tak kalah menarik adalah berdiri di atas jembatannya (tingkat ke tiga), lalu mengedarkan pandang sejauh mungkin. 

"Jadi, dekat jembatan ini ga ada jalan pintas menuju Benteng Fort De Kock di atas pak?"
"Ga ada mbak, mesti muter ke sana (sambil menunjuk ke arah Jl. Sudarso))."
"Duh, jauh banget ya pak."
"iya mbak, sekitar 1 kilometer dari sini."

Waduh!!
Hampir lemes saya jadinya.

 Jembatan Limpapeh


Sepi angkot, sepi ojek, ramai hotel

Saya memunggungi jembatan Limpapeh, kembali menyusuri jalan Achmad yani, mengikuti petunjuk arah yang diberikan pak Satpam Bank Niaga. Bagaimanapun saya bertekat untuk mendatangi Benteng Fort De Kock dengan berjalan kaki. Walau saya tahu kaki ini mulai terasa pegalnya. Keringat telah menetes berkali-kali di wajah, membasahi leher, juga baju di badan. Rasanya ingin menelpon driver, minta di jemput dan di antar. Tapi niat itu saya urungkan. Saya masih ingin menguji sampai batas mana saya masih bisa bertahan.

Dalam penglihatan saya, ada begitu banyak penginapan di sepanjang Jl. Achmad Yani. Mulai dari penginapan kelas Melati hingga hotel berbintang lima. Hotel berbintang yang saya jumpai sepanjang perjalanan antara lain hotel Campago, Hotel Rocky, Hotel Pusako, dan Hotel Novotel Hills. Sedang penginapan kelas melati tak dapat saya hafal namanya, sebab cukup banyak hotel di kawasan ini.


Tepat dipertigaan antara Jl.Achmad Yani, Jl.Achmad Karim dan Yos Sudarso, rasa lelah kembali menghinggapi, saya diselimuti keraguan. Sembari mengayun langkah, saya terus berjalan sambil menimbang-nimbang pilihan. Akhirnya saya memilih jalan menuju Novotel Hills, yaitu Jl.Acmad Karim. Dari jarak 50 meter, bangunan hotel sudah nampak di mata. Saya bergegas namun sebuah warung tenda di seberang kanan jalan bertuliskan "Bubur Ayam Padang", seakan hendak menghalangi langkah saya. Pingin makan bubur. Lho? Ha, aneh.

Tapi lagi-lagi saya ragu, teringat lontong sayur pakis yang belum juga saya jumpai. Andaikata saya membeli bubur itu, dipastikan akan kekenyangan. Jika nanti berjumpa lontong sayur pakis, saya tak mampu lagi memakannya. Akhirnya ga jadi berhenti. Saya melanjutkan jalan. Anehnya, keinginan untuk kembali ke hotel jadi pupus. Tepat ketika sudah berada didepan hotel, saya tak jadi menyeberang melainkan berbelok ke kanan, ke Jalan Yos Sudarso. 

Ada banyak penginapan kecil di sekitar Jl. Achmad Yani dan Achmad Karim

 
Akhirnya makan lontong sayur pakis

Dari Jl. Achmad Karim, saya belok kanan,  melintasi Novotel Hills, memasuki jalan Yos Sudarso. Setelah berjalan sekitar 10 meter saya kembali ragu-ragu. Terus atau enggak. Terus atau balik lagi ke hotel. terus atau menelpon driver. Hadeuuuuuh....gimana sih ini??? Haha....ga tau deh, rasanya saya mulai pesimis. Pikir saya lontong sayur pakis itu pasti tak kan dapat saya temui. Apalagi jam di tangan sudah menunjukan pukul 10 siang. Mana ada lagi penjual lontong sayur sesiang ini. Setahu saya lontong sayur itu kan makanan pagi hari, bukan siang hari (bener ga sih? hihi). Ya sudahlah memang belum berjodoh kali. Tapi tadi kenapa pak kusir delman itu bilangnya ada. Katanya dekat. Udah dicari sampe jauh ga ada juga hiks. Ingin sekali rasanya putar balik kebelakang, balik ke hotel. Tapi aneh banget, rasa dihati ingin balik ke hotel tapi dua kaki ini terus saja berjalan ke depan. Haha...ga sinkron banget :p

Saya terus berjalan. Sampai di depan kantor dinas kebersihan kota Bukittinggi, tanpa sengaja saya melihat ada warung kecil. Letaknya persis di depan kantor tersebut, tapi di seberang jalan. Saya menyeberang dan menghampiri warung itu,  dan ternyataaaaa.....menjual lontong sayur pakis. Wuaaaaaah, akhirnyaaaaa!! Berbinar mata ini. Bagai Ayu Ting Ting yang menemukan alamat. Tanpa ragu saya melangkah masuk. Mengambil tempat duduk disamping seorang ibu berpakaian dinas yang sedang menikmati sepiring lontong sayur pakis. Air liur saya bagai hendak menetes. Untungnya bisa ditahan. Saya berucap pada Ibu penjual lontong yang tersenyum memandang saya, "Lontongnya ya bu, satu." Ya iyalah satu, emangnya ada berapa orang yang bersama saya.

Saya menyapa ibu berpakaian dinas, dan dibalas dengan ramah. Sebelum saya melanjutkan kata, sepiring lontong sayur pakis tiba dihadapan. Wiiiiiiiiih.....betapa aliran air liur di mulut bersiap tumpah ruah laksana air terjun. hihi...lebay.

Saya menikmati sayur lontong pakis sesuap demi suap. Lontongnya samalah kayak lontong dimana-mana, yang membedakannya ya sayur pakisnya itu. 

Sembari makan, saya mengajak ibu berpakaian dinas ngobrol (sok kenal). Menanyakan arah jalan menuju Kebun Binatang dan Benteng Fort De Kock. Eh ditanggapi dengan antusias. Lalu tanpa diduga dari mulutnya mengalir banyak informasi yang saya butuhkan. Terpancar kegembiraan diwajahnya, betapa ia senang ada pengunjung luar daerah seperti saya yang tertarik dengan wisata Bukittinggi. Oh tentu saja bu, Bukittinggi kan gudangnya obyek wisata. Beliau meneruskan informasi bernada promosi, mulai dari aneka obyek wisata, hotel, rental kendaraan, hingga info wisata kuliner dan tempat oleh-oleh khas Bukittinggi. Walaupun sebelumnya sudah saya ketahui dari internet, tapi informasi beliau menjadi pelengkap informasi yang sudah saya miliki. Yang membuat saya terkejut adalah harga sewa kendaraan, ternyata saya menyewa kendaraan dengan harga yang kelewat mahal. Selisih 100.000 dari harga normal. Owh. Grrr…… Ingin rasanya protes pada pemilik rental kendaraan yang saya sewa.


Sebelum saya mengusaikan makan lontong sayur pakis, seorang pria asal Bandung datang dengan sepedanya. Ibu penjual lontong dan ibu berpakaian dinas nampak mengenalnya. Mereka terlibat pembicaraan seputar dagangan sepatu produksi Cibaduyut. Selembar brosur bergambar aneka sepatu, jadi rebutan. Ibu-ibu penggemar belanja. Yeah..! Saya memilih lekas membayar lontong, dan mengambil dua cup air mineral kemasan. Bermaksud membalas jasa, saya mentraktir si ibu berpakaian dinas. Eh ditolak. Saya memaksa. Akhirnya beliau bersedia dan sebagai ganti sudah ditraktir, si ibu bersedia mengantarkan saya ke Benteng Fort De Kock. Lho, ga habis-habis dong nanti kalau berbalas kebaikan terus. Sebelum meninggalkan warung, saya menyempatkan berfoto bersama mereka. Dan semua bersedia. Lumayan, ada bukti cerita.

Diantar ke Benteng Fort De Kock

Saya dan ibu berpakaian dinas berjalan bersisian di trotoar, sembari ngobrol. Beliau menanyakan saya dalam rangka apa ke Bukittinggi. Saya jawab, dalam rangka jalan-jalan sambil kerja (rada ngasal hihi). Kami melewati hotel berbintang sekelas Novotel Hill, yaitu Hotel Rocky. Sekitar 50m dari hotel Rocky, Benteng Fort De Kock mulai terlihat. Si ibu mengantar saya hanya sampai di pertigaan jalan. Saya mengucap terima kasih padanya. Untuk kenang-kenangan, saya memotretnya. Lho, mestinya diberi souvenir Jakarte dong. Ga ada, ga bawa tau :p

Inginnya sih berfoto berdua, tapi tak ada siapapun saat itu. Eh tiba-tiba dari rumah kosong di pertigaan itu, muncul seorang pria sedang bersih-bersih sampah. Saya mau minta tolong dia, eh tapi tangannya sedang kotor banget :D Ga jadi deh. Bukan jijik, tapi kayaknya sedang ga memungkinkan kalo dia mesti memegang kamera dengan tangan berlumur kotoran gitu. Ya sudah akhirnya aku moto sendiri (moto si ibu tanpa saya). Usai berfoto, kami saling berpamitan. Saya menyalaminya sambil menanyakan namanya, ternyata beliau bernama Si'ir. Dan di sini, saya abadikan gambarnya.
Ibu Si'ir dengan latar belakang Hotel Rocky

Ibu Si'ir balik badan, kembali ke kantornya. Saya memandanginya dan melambaikan tangan pada wanita baik hati itu. Lalu saya pun memutar badan, berjalan ke arah Benteng Fort De Kock yang berjarak sekitar 15 meter dari tempat saya berpisah dengan bu Si'ir. Di sebelah kiri, di seberang jalan, ada hotel di lereng bukit, namanya Hotel Campago. Ini adalah hotel yang tidak jadi saya tempati. Jadi begini, sebelum tiba di Sumbar, saya telah mengecek beberapa hotel di Bukittinggi dan salah satunya hotel Campago. Menurut keterangan, hotel ini berbintang tiga dan terbilang kecil dibanding hotel yang saya tempati. Sebenernya bukan soal kecilnya tapi tempat meetingnya kan di Novotel Hills, jadi cukup jauh kalo nginepnya di Campago. Lokasi Hotel Campago ternyata strategis. Letaknya di lereng, dekat Benteng, dan memiliki view yang cukup indah. Panorama bukit dan gunung dikejauhan, juga kota Bukittingi tampak atas.

Hotel Campago



Saya meneruskan langkah. Bersiap memasuki 3 obyek wisata sekaligus.


Ceritanya saya lanjutkan pada tulisan berikutnya : Benteng Fort De Kock, Di atas Jembatan Limpapeh, dan Taman Marga Satwa Kinantan





======= 

Bukittinggi, Sumatera Barat, Indonesia
Selasa, 04 September 2012

Taman Marga Satwa Kinantan dan Rumah Gadang Ba'anjuang




Jembatan Limpapeh yang saya titi sebelumnya, menghubungkan benteng Fort De Kock dengan Taman Marga Satwa Budaya Kinantan (kebun  binatang) yang terletak di atas Bukit Cubadak Bungkuak, tepat berada di samping pasar Atas Bukittinggi, kota Bukittinggi, Sumatera Barat.

Ujung jembatan Limpapeh yang saya lintasi mempertemukan saya dengan pintu masuk kebun binatang tersebut. Tak ada karcis masuk yang perlu dibeli lagi sebab tiket masuk seharga Rp 8000 ketika masuk benteng Fort De Kock sudah merupakan tiket terusan hingga kebun binatang.
Menurut cerita, Kebun Binatang ini dibangun pada pada masa penjajahan Belanda pada tahun 1900 dengan nama Stormpark di atas Bukit Cubadak Bungkuak. Pembangunan tersebut dirancang oleh Conteleur Gravenzande yang  bertugas di Bukittinggi. Pada awal pembangunannya, taman tersebut belum mempunyai koleksi binatang. Baru pada tahun 1929 dijadikan kebun binatang dengan memasukkan beberapa koleksi hewan ke dalam taman tersebut. 


Kabarnya, Taman Marga Satwa Budaya Kinantan merupakan kebun  binatang tertua di Indonesia  dan merupakan kebun binatang yang mempunyai koleksi binatang terlengkap di Sumatera. Hmm...tapi maaf, menurut saya kebun binatang ini justru tidak selengkap yang diberitakan. Atau, apa karena saya tidak berkeliling dan melihatnya secara utuh? Kalau mau sedikit membandingkan, mungkin kebun binatang Ragunan Jakarta lebih lengkap. Apalagi jika dibandingkan dengan Taman Safari Indonesia yang d Cisarua, wah....jauh. 
Mengenai asal mula nama kebun binatang ini, pada awalnya bernama Kebun Bungo. Kemudian menjadi Taman Puti Bungsu. Dan akhirnya menjadi Taman Marga Satwa dan Budaya Kinantan pada tahun 1995 melalui peraturan daerah (perda) No. 2 tahun 1995.


Rumah Adat Ba'anjuang



Walau namanya Kebun Binatang, dan saya tahu ini adalah tempat melihat hewan-hewan, namun sebenarnya saya tak begitu menaruh minat besar untuk melihat dan memotret hewan-hewan. Bukan karena saya sudah pernah terpuaskan dengan berkunjung ke kebun binatang seperti Taman Safari Indonesia di Cisarua dan Ragunan Jakarta, tapi kali ini saya ingin melihat hal lain yang lebih menarik, yaitu budaya Kinantan yang tercermin dari rumah adat Ba'anjuang yang penampakannya begitu menarik perhatian saya.


Jujur, saya sedikit heran kenapa rumah adat dan budaya Kinantan itu mesti terletak di area kebun binatang. Kenapa tidak terpisah? Sewaktu keluar dari ujung jembatan Limpapeh, saya disambut oleh pemandangan dua ekor gajah di sisi kanan. Pada tahu kan yang namanya kebun binatang itu pasti ada bau ga sedap? Ya begitulah yang saya rasakan. Di sebelah kiri, terlihat hewan Tapir, aneka burung, dan tak jauh dari gajah-gajah tadi, ada onta yang menurut saya badannya kurus :D

Setapak yang menanjak, tanah yang berkontur, pepohonan yang tinggi dan rindang, suara-suara hewan, demikian kebun binatang ini dalam penglihatan dan pendengaran saya. Tepat di ujung tanjakan, sebuah bangunan dengan atap gonjong, dengan ukiran dan warna khas rumah Minang, menjadi objek yang menarik untuk dinikmati mata. Inikah rumah gadang itu? Hoooooo....ternyata bukan. 

Keberadaan bangunan kayu yang unik itu membuat saya melupakan keunikan hewan-hewan yang ada. Saya lebih tertarik untuk melihat bangunan berikutnya yang ternyata merupakan rumah adat Ba'anjuang. Yeah....ini dia yang memikat hati saya untuk lebih dekat dan mencari tahu.

Dimulai dengan Rankiang (lumbung padi) dengan patung para wanita yang tengah menumbuk padi. Kemudian baru saya mendekati rumah adat Ba'anjuang. Naik, dan tentunya masuk. Mesti. Sandal/sepatu harus dilepas dan wajib membayar tiket masuk pengunjung seharga Rp 1000 (seribu lho, murah) Dua perempuan berkerudung yang bertugas menerima uang tiket masuk menjelaskan singkat kepada saya: "Boleh masuk dan foto-foto tapi dilarang menyentuh barang koleksi."

ntar sambung lagi aaaaah ceritanya...mau istirahat dulu :D
sementara saya sajikan fotonya dulu yaaa....




 




======= 

Bukittinggi, Sumatera Barat, Indonesia
Selasa, 04 September 2012

Berjalan kaki menyusuri Bukittinggi


Di Novotel Hills Bukittinggi suatu pagi 

Pukul tujuh. Masih terlalu pagi untuk permulaan sebuah acara. Saya duduk di lobby utama, berdiri, lalu berjalan mondar mandir, menunggu waktu. Melangkah ke arah toilet, sekedar bercermin, merapikan gincu, lalu mencuci tangan tak perlu. Padahal di dalam tas, ada bedak lengkap dengan cerminnya.  Kembali ke front office, melewati receptionist, menuju bagian terdepan hotel. Di waktu luang seperti ini saya baru bisa leluasa memandangi ukiran kayu yang menjadi penghias lobby utama hotel. Tajub saya dibuatnya. Terakhir, saya melemparkan pandang ke seberang jalan di depan hotel, ke arah bangunan ruko yang berjejer. Dari jarak sekitar 50 meter, saya melihat suasana di pertokoan itu masih sepi. Jalanan juga demikian, belum ramai oleh kendaraan yang melintas.

Novotel Hills Bukittinggi

Alam Bukittinggi berkabut. Langit hanya menampilkan warna putih, tiada kemerahan sebagaimana biasanya pagi dengan mentari yang bersinar terang. Sungguh pagi nampak tak bercahaya. Berselang belasan menit kemudian kabut tipis itu pergi ketika rintik hujan mulai turun dari langit. Udara dingin kian dingin. Saya mulai mencemaskan rencana yang sudah saya susun. Jika gerimis ini tak mau berhenti, keinginan saya untuk menyusuri Bukittinggi dengan berjalan kaki bakal terhalang. Sedih. Tak ingin larut, saya kembali ke dalam. Duduk di bangku. Kembali menunggui waktu. 

Pukul delapan. Saya beranjak dari lobby, keluar, menuju bangunan di sisi kanan hotel. Balai Bung Hatta. Ya, itu nama bangunannya. Tempat acara meeting akan berlangsung. Iseng saya masuk, mengintip. Oh, rupanya meja dan kursi sudah tertata rapi. Tapi Sepi. Belum ada siapapun. Baiklah, saya pergi saja kalau begitu. Beruntungnya saya, ketika keluar dari ruang meeting itu, gerimis menyudahi urusannya di bumi. Horee......saatnya menjelajahi Bukittinggi dengan kaki. Berbekal keberanian, juga keingintahuan, saya akan berpetualang sendirian. WOW! Koprol.


Lobby 
Ukiran kayu yang unik dan artistik di lobby, yang jadi perhatian saya
Ruang meetingnya masih sepi hihi


Istana Bung Hatta dan Jam Gadang

Di depan gerbang utama hotel, saya disibukkan oleh pilihan jalan. Jika ke kiri ke Jl. Yos Sudarso adalah ke arah Benteng Fort De Kock dan Taman Marga Satwa, jika ke kanan ke Jl.Jam Gadang, ke arah Jam Gadang dan Istana Bung Hatta, sedangkan jika lurus ke depan ke Jl. Ahmad Karim, kearah Jembatan Limpapeh dan Kampung China. Tertegak sendirian di depan hotel sambil tangan menunjuk-nunjuk itu keren, menarik perhatian orang yang lewat! hihi. Akhirnya saya memilih lokasi terdekat, yaitu ke Jam Gadang dan Istana Bung Hatta. Jaraknya hanya 30meteran dari hotel. Deket buanget khaan? Sebelum kaki ini memulai langkahnya, saya berpesan ke driver: "Tolong jangan kemana-mana ya pak, tunggu di parkiran saja. Kalau saya kecapaian, tolong jemput saya setelah saya hubungi terlebih dahulu." Driver mengiyakan, lalu kembali "nangkring" di bangkunya. 


Ramayana Dep.Store, berseberangan dengan Balai Bung Hatta

Saya melewati Ramayana Dept.Store, berjalan di seberangnya, tepat disisi Balai Bung Hatta. Persis di sebelah Balai Bung Hatta letak Istana Bung Hatta berada. Istana Bung Hatta berhadapan dengan Jam Gadang tapi berseberangan, terpisah jalan raya. 10 menit saya berada di Istana Bung Hatta, jeprat jepret tanpa permisi, lalu selesai. Tanpa permisi? Ya, karena pagi itu istana sedang tak berpenjaga. Ceritanya bisa di baca di tulisan saya sebelumnya: Ketika Istana Bung Hatta Tak Berpenjaga. 





Seusai mengambil gambar di istana, saya beralih ke taman Jam Gadang.  Melihat-lihat, mengamati, dan tentu saja jeprat jepret ke segala arah, juga atas bawah menara jam Gadang. Tak ketinggalan mengabadikan penampakan Gunung Merapi yang membiru dan berselimut kabut. Pasar Ateh (pasar atas) yang letaknya berhadapan dengan Taman Jam Gadang, juga menjadi perhatian saya. Saat itu aktifitas di pasar tersebut mulai ramai. Pasar Ateh merupakan salah satu pasar lereng di Bukittinggi. Pasar lainnya adalah Pasar Bawah, yang berada persis di lereng bagian bawah pasar atas. Pemandangan kota Bukittinggi yang terlihat dari taman Jam Gadang yang memang berada di ketinggian, cukup mempesona. Meninggalkan kesan tersendiri dalam hati saya :) Tulisan dan cerita tentang Jam Gadang sudah saya share sebelumnya : Jam Gadang, Penanda Pusat Kota Bukittingi.


Di dekat jam Gadang ada delman-delman yang disewakan. Pak kusir dan kuda siap mengantar siapapun yang ingin berkeliling kota Bukittinggi. Tarifnya bervariasi. Mulai dari Rp 20.000 sampai Rp 50.000. Lokasi yang dikunjungi yaitu: Jembatan Limpapeh, Goa Jepang, Kebun Binatang, Benteng Fort De Kock, Taman Panorama, dan Kampung Cina. Saya ditawari Rp 50.000,- Mulanya saya tertarik, tapi kemudian dipikir-pikir kenapa ga jalan kaki saja biar puas melihat-lihat? Dengan sopan saya menolak tawaran Bapak kusir. Tak enak sebetulnya, tapi saat itu saya memang sedang benar-benar ingin berjalan kaki saja. Sebelum berlalu, saya tanyakan padanya apakah disekitar sini (pasar) ada penjual lontong sayur pakis? Bapak itu menunjuk ke sebuah jalan, ke arah ruko-ruko. "Di sana, ada penjual lontong sayur pakis, ikuti saja jalannya. Nanti ketemu." Saya mengangguk dan mengucap terima kasih kepada beliau. Kemudian berlalu. 

Delman

Saya meninggalkan taman Jam Gada,g berjalan ke Jl.Ahmad Yani, jalan yang dimaksud oleh Bapak kusir tadi. Menemukan dua tempat makan "modern", KFC dan Pizza Hut. Masih tutup. Saya tak peduli. Saya tak mencari dua tempat makan itu. Saya terus berjalan menyusuri ruko-ruko di sepanjang Jl.Ahmad Yani.  Melewati toko material, toko sepatu, dan toko-toko lainnya. Deuh..mana warung lontong sayur pakisnya? Belum ketemu! Saya nampak lapar ya? Mungkin. Padahal sebenarnya tidak, saya sudah sarapan nasi goreng dengan telur mata sapi dan sosis bakar di restaurant hotel. Plus segelas susu dan sepotong roti kering. Masa masih lapar? Ga lah. Saya hanya sedang ingin merasakan sedapnya lontong Padang sayur Pakis yang  dibuat dan dimakan langsung di Ranah Minang. Itu saja.
KFC dan Pizza Hut

Hampir 200meter saya berjalan kaki. Lontong sayur pakis belum juga ditemui. Di pertigaan jalan antara Jl. Achmad Yani, Jl.Ahmad Karim dan Jl. Yos Sudarso, saya berhenti. Bermaksud bertanya letak Jembatan Limpapeh pada seseorang Tetapi sebelum saya mengajukan tanya, mata ini menemukan apa yang saya cari. Kira-kira 50meter dari pertigaan itu, jembatan Limpapeh nampak menjulang dalam pandangan. Bagaimana saya bisa tahu bahwa bangunan jembatan bertingkat tiga itu Jembatan Limpapeh? Saya sudah melihat gambarnya sewaktu di taman Jam Gadang tadi. Di situ ada semacam papan informasi bertutup kaca, berisi peta dan nama-nama tempat wisata Bukittinggi. Nah, itulah gunanya papan petunjuk dibuat, memberi info pada wisatawan macam saya ini. 

Pukul 09.41
Kota ini masih sepi. Ruko dan toko-toko baru sedikit yang buka. Tak banyak pejalan kaki yang melintas. Saya cukup heran karena sudah sesiang ini masih sepi-sepi saja. Jalan yang saya lalui sangat dekat dengan pasar, namun tak ada kepadatan yang terjadi. Agak sedikit berbeda ketika tadi pagi saya melintas di pasar bawah yang terlihat ramai dengan arus kendaraan agak tersendat.

Saya melanjutkan langkah, mencari jembatan Limpapeh. Untuk dilihat dan dipandang, juga di foto. 

Ketika Istana Bung Hatta tak berpenjaga




Sepi. Pagarnya terbuka. Di pos penjagaan pasti ada orang! Hiyaa…ternyata kosong. Ada topi khas, serupa helm. Nah lho. Sedang di toilet kali ya. Baiklah masuk saja. Melangkah ragu, sedikit mengendap-endap. Lagak pencuri. Eh iya beneran gaya pencuri. Mau mencuri apa? Gambar!
Ndak ada orang toh. Maunya sih ijin dulu, tapi mau minta ijin sama siapa? Satu…dua…tiga…Jreng! Aha! Berhasil masuk. Lirik kiri kanan, masih ga ada orang. Nengok kebelakang, masih sepi. Pos penjagaan tetap kosong. Okay, saatnya beraksi. Mau maling?? Ga dunk! Mau jeprat jepret! Moto taman depan, moto patung, moto Jam Gadang, moto Balai Bung Hatta, moto teras, moto bunga-bunga.
“Sedang apo uni?”
Hiyaaaaah..gubrakss!!
Kepala seseorang menyembul dari balik rumpun tanaman. Seorang perempuan tua menyapa. Ditangannya tergenggam sebuah alat kebun (apaan ya namanya? Lupa). Kaget, malu, dan ketahuan! Cepat-cepat pasang senyum manis dan menjawab singkat.
“Sedang numpang moto bu.”
“Sama siapa?”
“Sendiri.”
“Idak boleh masuk kesini. Nanti dimarah penjaga.”
Duh. Jadi ga enak. Mau ga mau mesti jujur deh.
“Saya sedang ada acara di Balai ini bu (menunjuk gedung disamping istana, persis dibalik punggung si ibu). Berhubung belum mulai, saya jalan kesini, liat jam gadang, eh sewaktu nengok pagar istana terbuka, ya saya masuk. Tadinya mau minta ijin penjaga, tapi ga ada penjaga. Akhirnya saya masuk saja. Pinginnya sih sampe ke dalam. Boleh ga ya bu?”
“idak boleh, nanti dimarah.”
“hmm…. 
Mau pergi kayaknya belum puas. Mau tanya-tanya banyak, jangan-jangan si ibu ga bisa jelasin. Lagipula pasti mengganggu beliau yang sedang bekerja.
“Baiklah saya pergi, tapi ibu mau bantu saya gak?”
“Bantu apo?”
“Tolong jepret saya sekali saja, biar ada kenang-kenangan”.
“Ibu idak biso moto.”
Saya beritahu caranya lalu dengan tiga kali jepret, didapatlah satu gambar lumayan. Lumayan ancur. Modelnya.
 




 Balai Bung Hatta, tepat disamping kiri Istana


 Bangunan sebelah kanan itu Pos Jaga. Saat itu sepi?

 Hanya sampai disini langkah kaki saya. Ga boleh masuk :D
 Jam gadang terletak di seberang istana
 Ibu perawat tanaman taman muncul dari balik tanaman ini hihihi
 Tiang bendera, bendera, dan Ramayana dept.store di depannya

Dua bendera berkibar di istana sang pahlawan proklamasi

 Hasil jepretan ibu perawat tanaman taman istana.


Keterangan:
Maaf, berhubung saya ga bisa mendapatkan informasi apapun saat itu, jadi saya pinjem keterangan berikut dari SUMBER INI
Istana Bung Hatta terkenal dengan sebutan Gedung Negara Tri Arga, terletak di pusat Kota Bukittinggi tepatnya di depan taman Jam Gadang. Pada zaman penjajahan Jepang gedung ini dijadikan tempat kediaman Panglima Pertahanan Jepang (Seiko Seikikan Kakka) dan pada zaman revolusi fisik tahun 1946 menjadi Istana Wakil Presiden RI Pertama Drs. Mohammad Hatta. Sekarang gedung ini digunakan sebagai tempat seminar, lokakarya dan pertemuan tingkat nasional dan regional yang representatif serta sebagai rumah tamu negara bila berkunjung ke Bukittinggi. Arsitektur bangunan ini berciri kolonial, dengan kamar-kamar yang luas berjumlah 8 buah tetapi sekarang ditambah 12 buah.
Yang terakhir ini foto rumah kelahiran Bung Hatta yang saya jepret dari dalam kendaraan yang tengah melaju. Beberapa kali melewati rumah bersejarah ini, tapi belum sekalipun saya singgah dan melihat-lihat dari dekat. Nyesel juga sebenernya... Tapi lumayan dapat fotonya :D


======= 

Bukittinggi, Sumatera Barat, Indonesia
Selasa, 04 September 2012