Songket Pande Sikek, Tentang Menghargai Sebuah Harga

Bagai menguak sebuah misteri (ah lebay :p), demikianlah yang saya dapat dari perjalanan ke desa Pande Sikek. Desa sejuk di kaki Gunung Singgalang ini namanya tertera pada selembar uang kertas 5000 Rupiah. Jika pada uang tersebut Pande Sikek digambarkan dengan sosok perempuan Minang berbusana adat yang sedang menenun, maka pagi itu salah satu wanita Pande Sikek yang sedang menenun, saya jumpai tengah mengenakan baju batik dengan rok hitam panjang dan kerudung yang juga berwarna hitam. 

Rabu 05 Sept 2012, untuk pertama kalinya saya menjejakkan kaki di desa Pande Sikek. Berangkat dari Bukittinggi pada pukul 10.18 dan tiba pada pukul 10.40 (sesuai data exip photo yang saya ambil). Nagari (desa) Pande Sikek terletak di kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Jalan menuju desa ini di apit dua gunung yaitu gunung Merapi dan gunung Singgalang. Pemandangan yang tersaji sepanjang perjalanan menuju desa ini selain dua gunung besar tadi, juga berupa sawah, kebun, lembah, juga hutan alam yang masih perawan. Asap akibat kebakaran hutan dari Jambi dan Riau yang biasanya terlihat di puncak-puncak bukit, kali ini menghilang dari pandangan dikarenakan hujan turun rintik-rintik selama perjalanan menuju Pande Sikek. 

Ada yang mau beli kain songket karya saya? :D

Pande Sikek berasal dari kata Pande yang artinya pandai, dan Sikek yang artinya sisir. Sisir yang dimaksud bukan sisir biasa yang digunakan untuk rambut, melainkan sisir halus (katanya sih sisir kutu) yang berukuran besar dan digunakan pada alat tenun. Jadi Pande Sikek itu artinya pandai menggunakan sisir (alat tenun). Pande Sikek merupakan desa wisata yang dijadikan sebagai salah satu obyek wisata terbaik di Sumbar. Para pengrajin di desa ini tak hanya menghasilkan salah satu kain tenun terbaik di Indonesia tetapi juga ukiran kayu. Ukiran kayu tersebut banyak dijadikan souvenir dan dijual sebagai kerajinan khas. Kebanyakan wisatawan lebih memilih datang dan membeli langsung di desa Pande Sikek karena harga kain songket dan barang kerajinan kayu bisa dibeli dengan harga lebih murah ketimbang harga di toko-toko, pasar, dan mal-mal di kota besar. Harganya bisa 2 kali lipat. Dan saya sudah membuktikannya.

Desa Pande Sikek hanya berjarak 1km dari jalan utama kabupaten Tanah Datar. Ada signboard bertuliskan Pusat Inovasi Tenun Pande Sikek di pintu gerbangnya. Kala memasuki desa ini, nampak Gunung Singgalang menjulang di latar belakang. Atap-atap rumah menyembul di lereng-lerengnya. Kebanyakan rumah penduduk disini terlihat modern, berupa rumah-rumah beton permanent dengan berbagai model. Kendaraan roda dua dan empat, terlihat di perkarangan beberapa rumah. Desa yang makmur, demikian kesan saya. Walau tidak begitu rapi, tapi bersih. Udara sekeliling amat sejuk. Juga segar.


Ada banyak rumah pengrajin, saya memilih salah satunya, yaitu rumah Pande Sikek Satu Karya. Seorang wanita menyambut kedatangan saya. Dan tahu kah kalian? Dia berucap dalam bahasa Inggris yang baik. Bukan hanya sekedar kata welcome, tapi juga sebaris kata sambutan yang disampaikan dengan santun. Rasanya pingin ngaca, melihat wajah, jangan-jangan saya sudah berubah jadi bule sehingga dianggap tak mengerti bahasa Indonesia hehe Saya membalas sapaan beliau dengan sama santunnya (saya yakin kalah santun dengan beliau), lalu masuk dan melirik ke pintu kaca, "Menerima Visa, Mastercard, Prima, ATM BCA, ATM berlogo Prima dan ATM bersama". Wow...mendunia! Di desa terpencil di kaki gunung gitu lho. Ah baiklah...ini kan desa wisata. Pemerintahnya hebat kalau begitu.

      "Boleh saya mencobanya bu?"
      "Silahkan, dengan senang hati"

Di ruang dalam bagian belakang saya mencoba alat tenun disudut ruangan. Berusaha mati-matian memasukan benang. Memasukan bambu. Menghitung benang. Dan saya, belum menghasilkan apa-apa dalam waktu 15menit.

Baiklah, ini penjelasan si ibu kepada saya (yang saya catat sekedarnya di handphone jadul saya):

Bahwa benang mesti 880 helai. Dibagi dua untuk atas dan bawah. Pemasangan benang untuk satu kain songket memerlukan waktu 1 minggu. Sekali lagi: 1 Minggu hanya untuk memasang benang! *ngurut kening. Untuk menghasilkan 1 buah kain songket, diperlukan waktu 3 bulan. Untuk 1 selendang songket diperlukan waktu 1 bulan. Luar biasa!

Bagaimana cara menenun? Saya tidak bisa menjelaskannya dengan kata-kata, tetapi saya bisa sarankan jika ingin tahu lebih baik melihat langsung. Keterampilan kaki dan tangan, diiringi dengan kejelian, serta sebuah "alat" yang paling penting selain benang, kayu, bambu, adalah sesuatu yang bernama KESABARAN. Menurut ibu (kenapa ya saya ga menanyakan namanya, nyesel jadinya), bahan baku kain songket adalah sutra, benang mas dan katun. Untuk katun dan sutra bisa didapat di Sumatera, sedangkan benang mas diimport dari India.


Lantas berapa harga satu kain songket Padang? Jutaan! Aha....saya tak heran, sebab sebagai putri daerah dari bumi Sriwijaya, saya sudah terbiasa dengan kain Songket Palembang (melihat, memegang dan pernah punya), dan tahu berapa harganya. Tapi, mengenai bagaimana terciptanya sebuah harga, saya tidak tahu prosesnya! Saya belum pernah datang ke tempat pengrajin songket di kec.Ilir Barat Palembang, tapi kali ini saya datang ke desa pengrajin songket Padang dan melihat langsung cara kerja membuat songket. Wiiiihh....luar biasa ya. Teringat oleh saya, seorang teman ternganga dengan harga 7juta untuk sebuah songket. Saat itu si teman sampai sedikit memaki seolah tak percaya "hanya" sebuah kain kok sampai segitunya. Baiklah, tempatkan makian pada tempatnya ya.

Rumah seni Satu Karya tak hanya mempertunjukkan cara menggunakan alat tenun dan cara menciptakan sebuah karya seni bernama songket, tapi juga menjual beragam hasil kerajinan lainnya. Ada mukena bordir Padang, busana wanita (gamis, kebaya, baju kurung), aneka kerudung, kopiah, dan barang kerajinan kayu (sandal, ukiran, souvenir dll). Saya tertarik pada mukena bordir asli buatan Pande Sikek. Halus. Rapi. Saya mencobanya, terasa nyaman dan adem. Saya mencoba mengingat-ingat dan berhasil teringat, ternyata barang yang sama dijual di Jakarta (butik2 di JKT), harganya 2kali lipat (terakhir beli Ramadhan lalu). Sewaktu balik ke JKT, saya cek dan ternyata barangnya memang sama persis. Jadi, penjual di JKT ambil barang dari sini? Kata si Ibu sih iya. Eh tapi hitung ongkos ke Sumbarnya juga kali yaaaaaaaaaa.....


Di belakang rumah, ada bangunan-bangunan lainnya yang menjadi tempat para pengrajin melakukan pekerjaan menjahit, membordir, menenun dan juga mengukir kayu. Tersedia toilet dan musalla yang digunakan untuk para pekerja dan tamu. Ada kantin kecil untuk minum teh/kopi dan makan penganan hasil kebun. Lahan belakang juga dijadikan kebun. Aneka sayur tertanam di sini, seperti tomat, cabe, kol, sawi dan sayur mayur lainnya. Empang-empang dialiri air dari gunung, tempat ikan dipelihara untuk dijual dan dimakan sendiri.

Tanpa terasa sudah 1jam 24menit saya berada di tempat ini. Bukan hanya sekedar melihat hasil karya tapi juga melihat proses karya itu diciptakan. Saya menyimpan sebuah pelajaran  berharga tentang makna sebuah kesabaran. Harga tinggi untuk sebuah proses, bukan hasil. Ketika hendak pamitan pergi, ibu pemilik Satu Karya berucap pada saya dan yang lainnya: Kalau masih ada yang single, coba cari wanita Pande Sikek ya (maksudnya karna terkenal penyabar). hehe... Baik bu...moga penyabar dalam segala hal :D
Bersama karyawan Satu Karya Pande Sikek
 Ruang tempat para pengrajin bekerja. Gunung Singgalang di latar belakang


Musala di belakang Rumah Pengrajin tenun & ukiran

 Salah satu hasil karya ukiran kayu


 Rumah Pengrajin Tenun Pande Sikek lainnya

Rumah Tenun "Satu Karya" Pande Sikek

Seorang istri. Ibu dari dua anak remaja. Tinggal di BSD City. Gemar jalan-jalan, memotret, dan menulis.

Share this

Previous
Next Post »
Give us your opinion