Berbagi Cinta di Panti Wisma Tuna Ganda Palsigunung


 
Sabtu, 23 Maret 2013

Pagi yang cerah, alam semesta benderang oleh cahaya hangatnya. Saya dan kawan-kawan Satu Cinta, melangkah penuh semangat ke Cimanggis Depok. Awalnya saya berkendara sendiri menembus jalan tol yang lengang. Dari BSD, mampir ke Pondok Pinang, menemui Eri, Eva dan Febi yang menanti di belakang gedung Fedex Ciputat. Lalu menjemput Linda sambil mengambil dua dus  air mineral. Sementara Nadiah dan Edo, menyusul kemudian karena masih ada yang belum selesai disiapkan.

Pukul 9.00 WIB kami start dari Pondok Pinang. Alhamdulillah diberi kelancaran saat menembus tol Simatupang hingga Jagorawi, lanjut masuk tol Cijago, keluar di Cisalak. Dari sana, sekitar 3 km menuju Panti Wisma Tuna Ganda Palsigunung yang terletak di depan kampus Universitas Jayabaya. Tepatnya di Jalan Raya Bogor Km. 28,5 Cimanggis. Persis di samping SPBU.

Kedatangan kami telah ditunggu, terbukti dari security yang langsung menanyakan ketika memasuki pintu gerbang, "Dari Satu Cinta ya mbak?" Saat itu, Winda, Endang, dan Wina sudah lebih dulu tiba. Termasuk juga Kak Aryo, sang pesulap yang memang kami undang untuk menghibur anak-anak panti. Tak lama, Nia dan suaminya serta Syaqina putri mereka, juga tiba di panti. Alhamdulillah.


Pukul 10 acara belum dimulai karena masih menunggu Nadiah dan Edo. Jadi kami keliling dulu. Dari ruang ke ruang, dari anak ke anak, dari ranjang ke ranjang. Saya pribadi jujur agak takut-takut memasuki tiap ruangan, khawatir mengganggu ketenangan anak-anak panti. Oh iya, saya tak bisa lagi menyebut penghuni panti itu anak-anak sebab usia mereka ada yang sudah lebih dari 20 tahun. Memang sih, kebanyakan masih berusia 8-12 tahun, tapi sebagian lainnya ada yang sudah 13,15,16,20,26,27,30,36,37, 38, 39, bahkan 42 tahun. Penampakan wajah dan tubuh mereka memang serupa anak-anak, tapi mereka sudah berumur. Dan dengan usia setua itu, kebanyakan mereka dalam kondisi tak berdaya, hanya terbaring lemah setiap waktunya Ada juga yang bisa duduk, tapi tak bisa lama karena tulang mereka lemah. Yang sedikit lebih kuat, bisa ditaruh di atas kursi roda. Namun badan mereka diikat dengan kain supaya tidak terjatuh / terdorong ke depan.

Bu Wiwik mendampingi kami. Banyak hal yang kutanyakan padanya terkait kondisi anak panti. Menurutnya, anak-anak panti berasal dari orang tuanya sendiri yang diantarkan langsung ke panti. Kalaupun bukan orang tuanya, biasanya keluarga anak yang bersangkutan. Ada yang berasal dari Rumah Sakit, Organisasi/Instansi/Panti Sosial, dan lain-lain. Seperti Wulan misalnya, dia berasal dari dompet peduli Metro TV (menurut bu Wiwik). Menderita Hydrocephalus. Melihat kepalanya yang besar dengan badan dan kaki yang kurus dan kecil, hampir saja saya mundur ke belakang. Tapi melihat Eri, Feby, Winda dan Eva berani mendekat, saya ikut mendekat. Melihat kondisinya, saya merinding kasihan, bahkan mata saya seketika berkaca-kaca. Entah, kata-kata apa yang bisa menggambarkan perasaan saya waktu itu. Selama ini saya hanya melihat penderita HC dari TV, dan sekarang saya melihatnya langsung. Saya tak tega. Sungguh.

Wulan berusia 11 tahun. Dia sudah pernah di operasi 2x atas bantuan dompet peduli Metro TV, tetapi belum (katakanlah tidak) terlihat perubahan berarti di kepalanya. Siang tadi saya menjumpainya sedang terbaring dalam lelapnya tidur. Sedang bermimpi apa kau adik? Indah dunia ini, mungkin tak kau tahu seperti apa. Semoga kelak, keindahan sejati kau dapati saat telah kembali padaNya.


 Wulan, penderita Hydrocephalus

Di ruang yang sama, ada Freddy Manulang. Usianya 37 tahun. Penderita Microcephalus (MC). Kebalikan dari Wulan. Kepalanya lebih kecil dari badannya. Dia punya badan yang sempurna. Berisi, tinggi, tapi kepalanya kecil, termasuk wajahnya. Kedua tangannya terikat kain di ranjang. Kata bu Wiwik, ikatan itu untuk menjaganya dari tangannya yang suka menyiksa dirinya sendiri. Saat itu, Freddy sedang duduk menghadap jendela. Ia termasuk penderita disabilitas yang tak dapat berinteraksi dan berkomunikasi.

Di sebelah ranjang Freddy, terbaring Dwi Sono. Usianya 27tahun. Senang bertemu dengannya. Wajahnya riang dan gemar tertawa. Di ujung kakinya ada beberapa helai kaos kaki berwarna warni. Dwi suka dengan kaos kaki. Saat itu, dia mengulurkan kaos kaki ke arah Eva. Kata bu Wiwik, dia minta dipasangkan. Nah!
Dwi Nono, suka dengan kaos kaki
Kami dibawa ke ruangan lainnya, melewati lorong yang bersih. Kiri kanan ada taman yang terawat dan rapi. Senang melihatnya. Menandakan para pekerja panti menjaga kebersihan panti ini. Seseorang terlihat sedang duduk di pinggir lorong, menghadap tiang jemuran. Namanya Markus Manulang. Dia saudara kandung Freddy Manulang. Bu Wiwik bercerita, Freddy dan Markus itu lahir dari ibu bapak yang menikah sedarah. Maksudnya menikah dengan saudara kandung sendiri. Maka itu, anak-anak yang mereka lahirkan mengalami kelainan. Mungkin itulah maksudnya agama Islam mengatur mana yang boleh dinikahi dan mana yang tidak. Dalam Islam, saudara sekandung haram untuk dinikahi. Saya memperhatikan wajah Markus, memang ada kemiripan dengan Freddy. Dua matanya lebam, seperti habis di tonjok. Ya benar. Markus kerap memukul wajahnya sendiri. Mencakar wajahanya sendiri. Menampar pipinya sendiri. Saya tak tega meneruskan tulisan tentangnya. Sungguh.

 Freddy, penderita Microcephalus

Kami menuju ruang Fisiotherapy. Di dinding bagian luar terdapat semacam monumen bertuliskan "Fisiotherapy Hall. Lions Club Jakarta Kota". Rupanya ruang fisiotherapy itu sumbangan dari Lions Club. Diresmikan 18 Oktober 2002. Di ruang itu, anak-anak cacat di therapy belajar duduk, berdiri, dan juga berjalan. Alat-alat penunjang therapy terlihat di beberapa sudut. Di salah satu dinding, terpajang foto-foto kegiatan anak-anak selama therapy.

Ruang Fisiotherapy
Hampir di tiap ruangan ada toilet. Toilet itu di bagi dua, untuk penghuni panti dan toilet pengunjung. Bagi saya, itu terlihat teratur dan tertib.

Ruangan paling ujung terdapat kamar-kamar khusus dengan 1 orang saja di dalamnya. Kami masuk ke salah satu kamar, berjumpa Rasti. Usianya 34 tahun. Gadis itu sebenarnya normal, dia hanya memiliki kekurangan pada badan. Kecil, pendek, dan memiliki tulang-tulang yang lemah. Lebih banyak berbaring, jikapun duduk tak bisa lama sebab dia akan merasakan sakit. Bila ingin ke kamar mandi, dia akan memanggil dan minta di gendong.  Rasti seorang yang kreatif. Di panti dia mengerjakan kerajinan tangan. Membuat bross. Ada bahan dan alat-alat di sisinya, di atas ranjang. Dengan bahan dan alat-alat itu dia membuat karya tangan. Saat kami datang, dia sedang membuat sebuah bross warna pink. Dia meladeni obrolan kami sambil mengerjakan karya tangannya. Tak lama, bross itu jadi.  Eri membelinya seharga Rp 20.000. Tentu saja bukan harga sebenarnya :)

Rasti, dengan peralatan dan bahan untuk membuat karya tangan

Pukul 10.20 WIB kami mengusaikan acara berkeliling ruangan. Kembali ke ruang terbuka di belakang yang menjadi tempat kami berkumpul. Melewati banyak ruangan lainnya yang belum kami jelajahi. Ada ruang cuci, setrika, dan lain-lain. Di depan sebuah kamar mandi kami melewati seorang laki-laki duduk di atas kursi roda. Namanya Nono. Kata bu Wiwik dia senang berdiam di kamar mandi. Saya memandangnya, tentu saja wajahnya tanpa ekspresi. Yang mengejutkan, setelah saya melewatinya tiba-tiba dia meraung. Astaga! Kata bu Wiwik, dia biasa begitu.

Di ruang berkumpul, Bu Kristanti yang menjadi perwakilan panti telah tiba. Siang itu beliau berbaju warna hijau cerah, senada dengan warna kerudung yang dikenakannya Nampak begitu ramah dan menyenangkan. Eri memulai acara. Bu Kristanti memberi sambutan selamat datang. Acara sulap di mulai.

Kak Aryo pandai memberi hiburan. Anak-anak girang. Walau tak semua bisa berinteraksi, tapi saya yakin mereka bisa melihat apa yang sedang dipertunjukkan. Lena, salah satu anak panti yang cukup "normal". Dia bisa berinteraksi dengan baik, dapat mengikuti permainan sulap dengan baik. Jika menyebutkan sesuatu, suaranya kencang. Mengerti apa yang dibicarakan. Mengerti mana yang boleh dan tak boleh. Gadis kecil bernama Icha, duduk di kursi roda bersama temannya yang lebih tua (seorang laki-laki, namanya mungkin Maman)


Acara sulap cukup membuat acara berlangsung meriah. Ada badut Bunny yang gendut dan lucu,ikut menghibur anak-anak panti dengan kostumnya. Tak cuma anak panti, teman-teman SC juga dibuat tertawa deh ya. Itu Endang dan Wina haha hihi menyaksikan rangkaian sulap. Termasuk saya :D

Sulap berakhir, Nadiah dan Edo baru tiba. Kotak-kotak makanan segera dibawa ke meja besar di tempat kami berkumpul. Meja pun penuh. Ditambah pula 3 loyang kue bertabur buah, nampak segar menggoda. Satu kue bertuliskan Selamat Milad Satu Cinta. Aha! Event SC kali ini memang bertepatan dengan milad SC yang ketiga. Tepatnya 20 Maret 2013 lalu.


Di meja, seorang anak (dewasa sih) bernyanyi sambil menutup wajah. Lyricnya seperti ini (Mas Eqo yang ingat) : "Ooh tak mungkin...tak mungkin aku kembaliiii... (Koes Ploes bukan yaaaa?) Mas Eqo tuh yang tahu :D

Adzan Dzuhur berkumandang. Makan siang belum di mulai. Nadiah nampaknya memasuki ruangan-ruangan untuk melihat kondisi anak-anak. Sementar kami menuju musala yang masih berada dalam area panti. Sekelarnya, baru makan dan potong kue. Oh iya, hari ini bertepatan pula dengan ulang tahunnya Yayuk, anak panti asal Palembang yang wajahnya bagi saya terlihat sangat normal. Dia putih dan cantik. (maksud saya normal, karena biasanya wajah anak-anak di panti "agak berbeda")

Uang sumbangan dari teman-teman Satu Cinta sebesar Rp 7.500.000,- telah diserahkan ke panti. Diterima oleh bu Kristanti sebagai perwakilan panti. Satu Cinta menerima tanda bukti penerimaan. Saya memotretnya sebagai bukti buat teman-teman yang berhalangan hadir siang tadi ^_^
Sebelum pulang, kami berfoto bersama bu Kristanti di depan panti. Di sana juga kami berpisah, mengusaikan kunjungan. Namun tak berarti kasih dan peduli juga usai. Semoga akan ada lagi tangan-tangan ringan yang akan membantu anak-anak di panti ini. Sebab saya sendiri yakin betapa besar biaya yang panti perlukan untuk merawat dan memelihara anak-anak itu. Makan, pakaian, obat-obatan, serta operasional panti sehari-hari. Apalagi kabarnya, panti sudah tak lagi mendapat bantuan dari pemda. Selama ini hanya mengandalkan donasi dari para donatur.
Jika teman-teman peduli, entah darimanapun kalian berada dan berasal, kalian bisa bantu orang-orang di panti ini dengan menyumbang makanan, pakaian, barang seperti selimut, kelambu, alat2 dapur, perabot rumah tangga, peralatan kebersihan (sabun, karbol, sapu, kain pel), peralatan kantor (alat tulis kantor, elmari arsip, meja kursi), peralatan hiburan (buku bacaan, alat menjahit, alat olah raga), serta obat-obatan.

Bantuan dapat dikirim langsung ke:
WISMA TUNA GANDA
Jalan Raya bogor Km.28,5 Palsigunung Telp: 021-8710063
Yayasan Rumah Piatu Muslimin
Jl.Kramat Raya No.11 Jakpus Telp: 021-3106848, 3107901

Transfer melalui bank:
BNI 1946 Cabang Kramat No Rek: 10529077 a/n: Lembaga Rumah Piatu Muslimin
Bank Mandiri Cabang Gedung Alia No Rek: 123.006.0000033 a/n: Lembaga Rumah Piatu Muslimin


Kepada semua sahabat Satu Cinta yang telah mendukung kelancaran dan kesuksesan event kali ini, saya pribadi dan tentunya semua teman yang terlibat, mengucapkan terima kasih atas partisipasinya dalam bentuk donasi, doa, dan dukungan yang tiada henti.

Selamat berulang tahun yang ke 3 untuk Satu Cinta.
Teruslah besar dengan semangat dan rasa peduli untuk berbagi kepada sesama. 

 Bukti sumbangan

Menonton Sulap

Ibu-ibu panti di ruang cuci setrika pakaian anak panti

Nama dan foto anak-anak panti



Tulisan ini saya posting juga di blog Komunitas Satu Cinta

Kisah Masigit Kareumbi Part 3 (tamat) : Plant A Tree, Save The Planet!




Tulisan ini bagian terakhir dari Kisah Masigit Kareumbi yang saya tulis dalam 3 bagian :

Part 1 : Aksi Perdanaku Bersama Satu Cinta dan
Part 2 : Pantang Pulang Sebelum Menanam


Semoga bermanfaat untuk kita semua ^_^

==================================

MENJADI WALI POHON
17 orang jumlah rombongan kami yang mengikuti program Wali Pohon, mendapatkan penyuluhan terlebih dahulu dari Kang Feby. Didahului dengan sambutan selamat datang, perkenalan, serta informasi kegiatan apa saja yang bisa kami lakukan selama di KW. Dalam sambutannya, Kang Feby mengucap syukur karena kami bisa tiba di lokasi dengan selamat. Katanya, tidak sedikit tamu yang gagal mencapai KW karena tidak sanggup dengan medan yang berat. Banyak yang menyerah dan putus asa di perjalanan, lalu putar balik, pulang. Persis seperti yang tadi sempat kami rasakan. 

Jadi, keberanian dan kekuatan kami menempuh perjalanan penuh resiko tadi, di apresiasi tinggi oleh Kang Feby dan rekan-rekannya. Alhamdulillah, berarti kami termasuk orang-orang yang maju terus pantang mundur. Pantang pulang sebelum menanam. Yes! 

Diangkut menuju Lokasi Penanaman Pohon

Dua jeep telah disiapkan untuk mengangkut kami menuju lokasi penanaman. Efect melihat jeep garang itu sungguh luar biasa, bikin kami para perempuan sibuk bergaya, narsis tralala di depan kamera yang dijeprat-jepret berulang-ulang. Kami bersemangat lagi, bahkan melupakan makan siang yang kuharapkan sudah terhidang. Kera-kera di pohon menonton sambil terpana, pikirnya betapa para artis kota telah tiba di rumah mereka yang semula tenang.

Kami mendaki jalan berbatu dan berlubang menuju lokasi penanaman di atas bukit. Terlonjak-lonjak memandangi hamparan bukit gundul merana yang ditumbuhi ilalang. Ada keprihatinan mendalam kala menyaksikan lahan seluas 750 hektar di kawasan kini  berada dalam kondisi kritis akibat penebangan. Hutan rimba benar-benar hanya tinggal kosa kata dalam bahasa. 

Penebangan liar ulah orang-orang terdahulu yang sebenarnya dipercaya mengelola kawasan ini malah diam-diam menebangi pohon-pohon yang semestinya dilindungi. Pun juga dengan oknum penduduk setempat, dengan menebang pohon kayu di dapat, lahan pertanian terbuka. Yang tersisa hanya tunggul-tunggul tak berguna. Ulah nakal yang bukan sekali dua kali, bukan juga sehari dua hari, tetapi bertahun-tahun oleh puluhan kepala. Di sini, di Masigit Kareumbi, telah nampak bukti kerusakan itu. Aku melihatnya sendiri.

140 bibit pohon yang kami tanam, kami beli dengan harga Rp 50.000,- per pohon. Harga itu sudah termasuk biaya pembuatan lubang tanam, penanda pohon, pemeliharaan selama 3 tahun, penyulaman bibit yang mati, tree tag, dan sertifikat digital yang dikirimkan melalui email. Sangat tak seberapa untuk manfaat luar biasa, bukan? Pekerjaan menanam hanya berlangsung satu jam karena banyak dibantu oleh para pekerja dari MK.  

Ah, bagai simbolis saja penanaman ini. Padahal aku siap banting tulang banting hape untuk menggali lubang. Penanaman berlangsung satu jam. Ada rasa haru yang sangat dalam mengiringi doa di hati, semoga pohon-pohon kecil ini kelak dapat memberi manfaat besar bagi lingkungan sekitar. Memang masih jauh kenyataan dari harapan, tapi tak putus asa selama usaha ini ada dan berkelanjutan.  

Penanaman Pohon


Di siang yang terik, di kawasan konservasi Masigit Kareumbi, komunitas SATU CINTA menebar kasih pada bumi. Menjadi yang ke sekian setelah berbagai kelompok orang dan komunitas bergabung menjadi Wali Pohon. Sudah semestinya usaha dan niat baik orang-orang yang ada di balik Wali Pohon Masigit Kareumbi mendapat dukungan dari berbagai pihak. Mereka tak hanya sekuat tenaga melestarikan hutan alam yang tersisa tetapi juga berjuang memperbaiki kembali sisa-sisa kejahatan ulah manusia tak bertanggung jawab. 

RUMAH PARA PERI
Seusai penanaman, kami kembali ke basecamp. Di perjalanan kami bertemu dengan komunitas sepeda dari Bekasi yang berseragam orange ngejreng. Keberadaan mereka di MK juga untuk menanam pohon. Setibanya di basecamp, kami lekas membersihkan diri, salat, lalu bersantap siang bersama dengan menu ala Sunda. Rasa lelah dan lapar, tuntas di warung bambu. Amboi nikmatnya. Berasa di surga. Surga dunia.
Warung Makan di tengah "pulau"

Setelah makan kami bermain kano menyusuri aliran sungai Ci Tarik yang tepiannya ditumbuhi banyak pohon dan semak belukar. Satu kano hanya memuat tiga orang. Kami bergantian. Tak lama bermain kano, kami lanjut menjelajahi hutan alam Masigit Kareumbi. Kami tidak menuju kandang rusa, tidak juga menuju hutan yang mengarah ke perkampungan enclave Cigumentong dan Cimulu. Kami menuju Rumah Pohon. Rumah para Peri.


Menyusuri Sungai Ci Tarik

Menjelajah Hutan

Pohon-pohon besar, tinggi menjulang dan berdaun lebat, tumbuh rapat di hutan ini. Cahaya matahari pun kesulitan menerobos dedaunan. Daun-daun tua yang jatuh ke bumi, membusuk di permukaan tanah yang basah. Menutupi air sisa hujan yang turun tadi pagi. Suara-suara burung dan kera, juga angin yang berhembus, menjadi melodi alam yang sangat jarang bisa terdengar oleh telinga. Aroma alam pekat menusuk hidung. Ah, sedapnya bumiku jika begini. 


Ratusan meteran telah di jalani, rumah pohon akhirnya kami jumpai. Masha Allah, rumah para peri itu sungguh nyata. Kami menaikinya, duduk-duduk dilantai kayunya. Sebuah kasur teronggok di dalamnya, tempat tidur bagi pengunjung yang ingin menginap. Kami hanya berfoto, lalu diam tanpa banyak suara. Menikmati segalanya dengan hati, dalam hutan lebat nan sunyi. Tak ada yang bermain ponsel karena di sini tak ada sedikitpun sinyal. Tak ada listrik. Tak ada hingar bingar. Sungguh kehidupan yang damai. 




SAMPAI JUMPA LAGI MASIGIT KAREUMBI
Rencana hiking ke pedesaan terdekat yang akan ditempuh 3 jam perjalanan pulang pergi terpaksa dibatalkan. Ada 20-an kepala keluarga yang ingin kami jumpai, termasuk anak-anak mereka yang katanya setiap hari melakukan perjalanan berjam-jam untuk menuju sekolahnya. Kami sungguh ingin ke sana tetapi hari kian petang, kami tak punya waktu lagi. Kami harus bergegas kembali ke Jakarta. Hujan, longsor dan gelap, dapat membahayakan perjalanan.

Pukul empat sore kami berpamitan, meninggalkan KW dengan sepenggal kenangan dan pengalaman. Suatu hari, kami diperbolehkan kembali untuk menengok pohon yang telah ditanam. Ya, semoga kembali ke tempat ini. 

Dan, kini aku mengerti mengapa kawasan hutan alam ini di sisakan, agar orang-orang tahu betapa nyaman tinggal di dalamnya. Betapa kelestariannya sangat perlu dijaga karena hutan bukan sekedar untuk kelangsungan hidup yang aman dan nyaman bagi manusia, tapi juga tempat tinggal yang lapang bagi para flora dan fauna.

Kawan, silahkan traveling ke hutan alam Masigit Kareumbi, tapi jangan lupa untuk peduli pada lingkungan dan masyarakat sekitarnya. Bantu perbaikan alam di tempat ini dengan menjadi Wali Pohon Masigit Kareumbi. Sekecil apapun aksi nyatamu, itu akan sangat berarti bagi banyak orang. 

Be a Hero. Plant a tree, save the planet!



Manajemen Pengelola Kawasan Konservasi Masigit – Kareumbi :
 
Kantor Pusat

Jl. Arumanis. 25. Bandung, Jawa Barat, 40191 Ph/fax: +62 22 2502085 Email: info@tbmk.org  CP: Darmanto +62 812 213 288. 
Kantor Lapangan
“KW” Kp. Leuwiliang, Ds. Tanjungwangi, Kec. Cicalengka, Kab. Bandung. Webblog: http://kareumbi.wordpress.com

Bukti partisipasi Satu Cinta di Masigit Kareumbi ada dalam galeri foto di weblog http://kareumbi.wordpress.com dalam album : Wali Pohon berikut: https://picasaweb.google.com/106125685406991088015/WaliPohonMasigitKareumbi



Kisah Masigit Kareumbi Part 2 - Pantang Pulang Sebelum Menanam



TAK SEINDAH BAYANGAN
Eri belum banyak bercerita padaku sehingga pengetahuanku tentang kondisi di MK (Masigit Kareumbi) saat itu sangat minim. MK itu hutan alam, itu saja informasinya. Dalam bayanganku, hutan MK tentu serupa dengan hutan rimba pada umumnya. Banyak pohon besar, tinggi dan lebat. Sebagai penghuni Jamrud Khatulistiwa, kesimpulan sementaraku tentang hutan MK adalah kondisi lingkungan yang jamak ada di Nusantara. Walaupun tak akrab dengan hutan rimba, tetapi pengalaman pernah menjajakinya langsung, membuatku bukan mengarang cerita.

Tetapi, tak kelirukah aku? Bukankah aku ke sana untuk menanam pohon? Jika kawasan itu perlu direboisasi berarti keadaannya tak seperti yang kubayangkan, bukan? Tak ada hutan rimba, lantas kenapa disebut KW (Kawasan Wisata)? Wisata apa yang bisa dinikmati ditempat gundul dan gersang? Aku sedikit bingung lalu menerka-nerka sesukaku.

Bus memasuki kota Bandung dan aku tak tertarik untuk mengedarkan pandang. Aku menggeneralisir, kota itu dimana-mana sama: ramai, padat, macet, dan berisik! Kota Bandung bukan akhir dari perjalanan. Lokasi Masigit Kareumbi masih jauh dari jangkauan, setidaknya ± 43 Km lagi untuk tiba di Tanjungwangi. Walau seluruh badan mulai terasa pegal, perjalanan tetap harus terus dilanjutkan ke arah Rancaekek, Bypass Cicalengka, Sindangwangi dan terakhir ke Tanjungwangi tempat pintu KW berada di kampung Leuwiliang.

Apakah panorama yang kulewati akan seindah bayangan? Sejauh ± 30 Km perjalanan dari Bandung ke Cicalengka, tak kulihat sesuatu yang benar-benar bisa menyegarkan mata. Memang, pemandangan gunung-gunung tentu lebih keren dibanding gedung-gedung tapi masih belum bisa membuatku terpana dan berteriak: Wow! Apalagi koprol!

Medan pegunungan yang dilalui, terjal dan berat 


PERJALANAN MENEGANGKAN
Kondisi jalan sepanjang ± 13 Km dari Cicalengka menuju Sindangwangi memang masih cukup baik tapi tak bisa dikatakan aman. Terlebih ketika di Sindangwangi, track yang kami lalui semakin menanjak, berbatu, dan sempit. Jurang yang menganga di sisi kiri atau kanan jalan sangat curam. Tergelincir sedikit saja akan berakibat fatal. Berkali-kali bus mesti melambat atau bahkan berhenti sama sekali jika berpapasan dengan sesama kendaraan roda empat. Aku super deg-degan. Seolah jika menggerakan badan ke kiri, bus ikut bergerak miring ke kiri lalu terjun bebas ke jurang. Owh, menakutkan.

Hujan tiba-tiba turun. Kondisi jalan makin berat. Supir bus mengeluh. Ancaman longsor yang kerap terjadi dikala hujan membuatnya putus asa lalu menyerah, tak bersedia melanjutkan perjalanan. Mengetahui itu, aku dan teman-teman jadi panik padahal lokasi MK masih jauh. Bahaya longsor itu terdengar mengerikan. 

Bagiku masih lebih baik berjalan kaki ketimbang jatuh berguling-guling bersama bus yang terbawa longsor. Tetapi, kami masih terdampar di Sindangwangi. Mungkin ± 8km lagi jarak kami dengan lokasi MK. Itupun hanya mengira-ngira. Betapa jauhnya jika berjalan kaki. 500m saja aku tak sanggup. Hiks.

“Pak, kami beri tambahan biaya dua ratus ribu asalkan Bapak tetap mau melanjutkan perjalanan.” Kami menyuap supir? No comment! Inisiatif itu muncul saat situasi kian genting. Berhasil! Supir bersedia melanjutkan perjalanan. Mungkin dia tak tega jika perjalanan kami terhenti sampai di sini. Mungkin juga tak tega jika uang dua ratus ribu terhenti di saku kami. Kekerasan hati kami membuahkan lega tapi tak berarti kecemasan pupus dari hati. Bahaya longsor masih mengintai. Ya Allah, lindungi kami dari longsor.

Pencarian lokasi dilanjutkan, kernet turun naik bertanya ke penduduk setempat. Jawaban orang-orang: Masih jauh! Belum nampak ada signboard yang memudahkan penemuan lokasi. Tien dan Eri masih mencoba menghubungi HP Kang Feby, tim MK. Tetapi yang terjadi: Tak ada sinyal ponsel di sini! Argh! Sebegitu terpencilkah kawasan ini hingga sinyal saja tak ada? Iklan operator telpon cellular di TV itu berdusta. Huh! Rasanya aku pun mulai putus asa. 
Tiba di lokasi Masigit Kareumbi

TIBA DI KAWASAN WISATA MASIGIT KAREUMBI
Biar lambat asal selamat. Betul sekali. Biarpun bus berjalan lambat dan terasa sangat lama, kami tiba juga di desa Tanjungwangi. Di sebuah bukit yang berselimut padang rumput, kami menemukan signboard dan peta Masigit Kareumbi. Horay! 

Wajah cemas dan pucat berganti cerah. Kami mulai bersemangat, bus kembali melaju di jalan yang sempit dan berbatu. Ah, mestinya medan seperti ini dilalui dengan jeep 4WD, atau sejenis hardtop seperti di Gunung Bromo. Aku menggerutu dalam hati hingga akhirnya berhenti saat bus tiba di pintu KW. Waktu hampir menunjukkan pukul 12 siang. Perut kosongku melolong.

Suasana di KW sangat berbeda. Tak nampak lagi jurang-jurang dan lahan-lahan gundul. Pohon-pohon tumbuh tinggi, besar dan rapat. Bagaikan kanopi alam, begitu meneduhkan. Bus berhenti tepat di depan Pusat Informasi Taman Buru Masigit Kareumbi. Satu persatu kami keluar dari bus lalu berjalan menuju basecamp KW, melewati jembatan kayu di atas sungai Ci Mulu yang menjadi perbatasan antara Kabupaten Bandung dan Kabupaten Garut. 

Wiiih…keren banget bisa berdiri di perbatasan! Kamipun norak-norak bergembira. 

Perbatasan antara Kab.Bandung dan Kab.Garut

Di basecamp KW Masigit Kareumbi terdapat bangunan wisma dan aula dengan model rumah panggung, kantor, kelas, mushola, toilet dan kamar mandi. Di bagian belakangnya, air sungai Ci Tarik yang bening, mengalir dengan tenang. Empat buah kano tertambat di dermaga. Terdapat juga warung makan terbuat dari bambu yang dikelilingi oleh aliran sungai. Bagaikan berada di sebuah pulau. Ada jembatan bambu yang bisa dititi untuk mencapainya. Dulu katanya letak warung itu pernah jadi tempat pondasi kandang Beruang. Wew, sesuatu!

Sajian penganan ala pedesaan sebagai sambutan atas kedatangan kami, menerbitkan liurku. Cacing di perut seperti mengendus-endus lapar. Pisang goreng dan singkong rebus yang di masak dengan gula jawa, menjadi hidangan yang istimewa. Ditambah minuman air aren manis yang diambil langsung dari pohonnya, laksana sehangat dan semanis pengelola MK yang menerima kami. Peluh dan keluh pun luruh ke bumi bersamaan dengan tenaga yang beranjak pulih seusai rehat beberapa saat. Aku menyerbu toilet.

Bersambung ke Kisah Masigit Kareumbi Part 3 (tamat) : Plant A Tree, Save The Planet

Hidangan Selamat Datang

Menikmati welcome drink :D

Kisah Masigit Kareumbi Part 1 - Aksi Perdanaku Bersama Satu Cinta



SABTU, 12 MARET 2011
Pukul lima pagi. Sisa-sisa malam masih nampak di langit pagi yang belum benderang. Lampu-lampu jalan belum dimatikan, suasana jalan tol juga masih lengang. Lampu kendaraan sesekali menyorot terang, pertanda jalan memang masih butuh penerangan. Begitu cepat waktu berlalu. Perpindahan dari detik menjadi menit terasa begitu berharga. Aku memacu segalanya sejak satu jam yang lalu, ngebut memunggungi BSD menuju Jakarta. Argh! Begini rasanya memasuki kota berlabel padat dan macet, diriku dicekam kegelisahan dan ketergesaan.

Mesjid Al-Azhar Kebayoran Jaksel menjadi tujuanku. Disanalah teman-teman dari Komunitas Satu Cinta berkumpul. Hari ini aku akan berangkat bersama mereka untuk aksi peduli lingkungan di kawasan konservasi Masigit Kareumbi, Bandung Utara. Aku orang baru di komunitas ini. Aku belum mengenal seorang anggotapun kecuali Eri. Aku juga belum pernah terlibat aksi apapun sebelumnya.

Aku mengenal Satu Cinta lewat Eri. Dia temanku di Multiply. Aku berteman dengannya sejak tahun 2009. Eri aktivis sosial yang enggan disebut aktivis. Mungkin sekiranya di sebut artis, dia akan berfikir sepuluh kali untuk mengiyakan. Aha, tentu saja aku hanya bercanda. Eri bukan artis tetapi aktivis. Suatu perbedaan yang tak tipis. 

Aku senang hati bergabung karena komunitas Satu Cinta, menjadi wadah bagiku untuk belajar berbagi dan peduli. Sekecil apapun itu yang penting nyata. Ya, aku sungguh menyukainya. Thanks, Eri!

“Ganti Gadgetmu Dengan Pohon”, itu tema go green hari ini. Event ini bukan aksi peduli pertama dari Satu Cinta, namun menjadi aksi pertamaku sejak aku bergabung. Komunitas Satu Cinta punya grup di Facebook, namanya Satu Cinta. Jika kamu ingin tahu tentang komunitas ini dan mungkin ingin ikut bergabung, silahkan kunjungi grup tersebut. Di sana kamu bisa mengenal para anggota, membaca info dan melihat foto-foto event Satu Cinta.

Event go green mengajak para anggota Satu Cinta melakukan perjalanan dengan bus dari Jakarta ke Bandung untuk menuju tempat terpencil yang kabarnya no phone signal - no electricity. Di sana kami akan hiking di pedesaan terdekat, mendaki bukit-bukit dan gunung, naik kano, masuk hutan, dan yang terpenting adalah kegiatan menanam pohon. 

Woaaah itu keren sekali! Sungguh aksi nyata yang tak sebatas wacana. Semangat dan antusiasku meninggi.

DI MESJID AL-AZHAR KEBAYORAN - JAKARTA
Semburat cahaya fajar yang berpendar indah di cakrawala, berwarna jingga dengan siluet gedung-gedung yang tinggi. Hutan beton berdinding kaca yang tak hijau, tempat orang-orang tenggelam dalam labirin kota yang terkadang menjemukan. Satu demi satu jarak dan tempat terlewati. Akhirnya, Pondok Indah, Tanah Kusir, Blok M, terlampaui dengan sempurna. Aku tiba di Mesjid Al-Azhar sebelum pukul enam.

“Dari Satu Cinta, ya?” aku pede jaya menyapa tiga perempuan yang kujumpai di belakang mesjid. Kubentangkan senyum selebar yang aku bisa, berharap tak salah orang. Ketiganya mengangguk. Perkiraanku tak meleset. Dress code bernuansa ungu yang mereka kenakan, meyakinkanku bahwa mereka dari Satu Cinta. Aku menyalami ketiganya, dan percayalah, ingatanku yang payah ini hanya menyisakan sebuah nama untuk kusebut: Neni!

Mini bus 20 seat telah nongkrong gagah sejak pukul enam tetapi pintunya masih dikunci. Kami belum bisa masuk, hanya bisa berseliweran di depan mesjid, di selasar mesjid, bahkan WC mesjid! Beberapa yang lainnya sedang sarapan. Aku juga sarapan. Sarapan sabar. Pukul tujuh mesin bus mulai dinyalakan. Teman-teman telah duduk, pintu telah ditutup, perjalanan dimulai. Aku melangitkan doa bersamaan dengan bus yang mulai melaju. Bismillah. 


PERJALANAN JAKARTA-BANDUNG
Nuansa ungu mendominasi isi bus, bak lavender di tepi bukit. Cantik di pandang kecuali enam penyamun di sarang bidadari, mereka tak mengenakan kerudung dan baju bernuansa ungu. Para lelaki. Suasana akrab mulai terasa setelah satu persatu teman-teman mengenalkan diri, menyapa, dan saling mengajak bicara. Alhamdulillah, bertambah teman, bertambah saudara. Suasana bus pun riuh oleh suara-suara mengobrol. 

Di separuh perjalanan, keriuhan mereda Sepertinya orang-orang mulai dibuai kantuk. Terpejam dalam diam, menuntaskan sisa tidur yang mungkin saja kurang tadi malam.

Aku ingin bisa ikut terpejam, terlelap hingga bus tiba di MK (Masigit Kareumbi). Berharap ketika bangun telah memiliki energi baru agar nanti kuat bekerja di alam terbuka. Nyatanya mata ini masih segar, bahkan melotot menatapi layar ponsel. Antusiasme yang tinggi telah membuat semangatku menggelegar. Aku menyibukkan diri dengan ponsel. Ngempi, pesbukan dan gugling mencari tahu tentang MK. Sayangnya, seusai ngempi dan pesbukan, sinyal ponselku timbul tenggelam. Info kondisi MK sulit kudapatkan. Uh, ponsel ini memang baiknya kumatikan saja. Ganti gadgetmu dengan pohon! Yeah.

Pelecing Kangkung, Sambal Ala Lombok Pelengkap Ayam Taliwang

Dua minggu terakhir ini saya sedang menggemari aneka makanan dan masakan pedas. Mulai dari Rujak Uleg Suroboyo hingga aneka sambal pelengkap lauk. Dalam kondisi kurang sehat ternyata selera makan tidak menurun, justru makin aneh-aneh. Ingin makan bubur kacang hijau setiap hari, makan gulai rebung, makan krecek pedas, hingga makan aneka sambal setiap harinya :D

Kebetulan di rumah punya buku Citarasa Kuliner Tradisional yang khusus berisi resep aneka sambal. Judul bukunya "Sambal Pelengkap Lauk Favorit", terbitan Gramedia Pustaka Utama, tahun 2007. Di buku itu, ada resep sambal pelengkap Ayam Taliwang, namanya Pelecing Kangkung. Sekilas penampakannya ga mirip sambal tapi lebih mirip pecel :D

Pelecing Kangkung buatan sendiri akhirnya jadi, semua bahan dan cara membuatnya sesuai resep. Tak satupun yang terlewatkan, atau beda takaran. Ketika Pelecing Kangkung terhidang, siraman bumbu halusnya merah menggoda. Rasanyapun sangat enak di lidah. Saya langsung berani berkesimpulan, Pelecing Kangkung lebih enak daripada Pecel!

Baik, berikut saya salinkan resep yang saya dapat di buku itu ya.

Bahan:
  • 1 ikat kangkung
  • 25 gram Taoge
  • 2 sdm kacang tanah goreng
  • 2 buah cabai merah
  • 3 buah cabai rawit merah
  • 2 siung bawang putih
  • 2 butir kemiri
  • 1 buah tomat matang
  • 1/2 sdt terasi
  • 1 sdt gula merah
  • 1/4 sdt garam
  • 1 buah jeruk limau, ambil airnya
  • minyak goreng secukupnya

Cara membuat:
  1. Rebus/kukus Kangkung dan Taoge, tiriskan.
  2. Goreng hingga layu cabai merah, cabai rawit merah, bawang putih, kemiri dan tomat, lalu haluskan sambil tambahkan gula dan garam.
  3. Tambahkan air jeruk limau, aduk rata.
  4. Tata kangkung dan taoge di atas piring, taburi dengan kacang goreng.
  5. Siram dengan sambal. Sajikan bersama nasi hangat dan ayam taliwang.

Untuk 2 porsi.

Silahkan mencoba kawan ^_^
Dan....selamat menikmati sensasi dan keunikan rasa Pelecing Kangkung, masakan khas daerah Lombok. 

AKU CINTA MASAKAN INDONESIA!

Sleepy Hollow di Airmadidi


Film Sleepy Hollow yang dibintangi Johnny Depp, rilis pada tahun 1999. Sudah sering kali saya mendengar nama film itu disebut-sebut tetapi baru pada February 2013 lalu kesampaian untuk menontonnya. Bukan dari DVD tapi di TV HBO. Ternyata film horor. Suasana desa di film itu tergambar sangat mencekam. Siang malam digambarkan suram, sepi dan penuh ancaman. Burung-burung hitam beterbangan, suaranya keras menakutkan. Saya saat itu menonton dari pukul 11 malam hingga pukul 1 pagi. Sendirian.

Saya tiba-tiba teringat pada waktu sekitar Mei 2011 lalu, pada sebuah kabupaten yang terletak di Minahasa Utara, namanya Airmadidi. Sebuah kota kecil yang terletak di kawasan pegunungan. Jaraknya cukup jauh dari Bandara Sam Ratulangi Manado. Untuk mencapainya, diperlukan waktu kurang lebih 45 menit dengan kendaraan roda empat. Jika menuju ke sana maka akan melewati patung Yesus berukuran besar. Jubah patung Yesus seperti berkibar di tiup angin. Tangannya terbentang, terangkat ke atas. Bagaikan sedang memberkati kota Manado.

Patung Yesus
Ini bukan foto jepretan saya. Hasil gugling!

Di jalan, tak sedikit ditemukan anak-anak kecil berwajah bule tengah mengenakan seragam sekolah dasar. Katanya, itu anak-anak keturunan Portugis. Orang tua mereka yang Portugis menikah dengan penduduk asli Minahasa, membuat paras anak-anak itu cantik dan tampan-tampan.  

Bangunan gereja bisa dijumpai hampir tiap satu kilometer, maka jangan tanya di mana Mesjid, akan sulit dicari jika tak bertanya pada penduduk yang muslim. Rumah makan yang menyediakan makanan dan masakan olahan dari babi, tikus dan kelelawar, banyak di jumpai di tempat ini. Jika butuh sesuatu untuk di beli, datang saja ke toko-toko kelontongan biasa, karena di Airmadidi tak ada minimarket .

Di suatu petang, suasana di film Sleepy Hollow bagai datang dengan nuansa horornya. Langit senja memerah dengan awan hitam yang bergulung-gulung. Sekelompok burung gagak berkoak koak di atap gereja. Mereka bergerombol, lalu serentak terbang sambil memekik. Malam bagai hendak mendahului petang yang semestinya indah dengan langit senja yang biasanya jingga.
Bangunan gereja berdiri mematung dengan warna abu-abu tuanya. Lalu menghitam menyerupai bayangan. Film Sleepy Hollow bagai siap tayang di dunia nyata. 

  Pemandangan pagi Airmadidi dari balkon losmen
*Dipotret dengan kamera ponsel *

Di Airmadidi ada sebuah penginapan milik orang Belanda. Losmen serupa villa tapi tak bernama. Hanya diketahui oleh penduduk setempat dan pendatang yang kerap mempunyai kepentingan di Airmadidi. Tempat menginap yang murah, hanya seharga Rp 200.000,-/malam. Bangunannya dua lantai, besar dan unik. Berarsitektur ala belanda tapi telah dimodifikasi ke bentuk tradisional dengan kamar-kamar yang berukuran cukup besar. Dari balkon dan jendelanya, mata bisa leluasa memandang Airmadidi dalam segala suasana. Panorama pegunungan yang biasanya nampak jelas pada pagi hingga petang, akan hilang dari pandangan ketika dilihat pada malam hari. Hanya kerlap kerlip cahaya lampu yang tak benderang. Atau jika beruntung, bintang-bintang di angkasa akan terlihat sangat indah menerangi langit malam di Airmadidi.

Dua hari satu malam di sana, sepi yang didapati. Sempat berkesimpulan, bagaikan kota mati. Perlu berhari-hari untuk menilai. Jadi, anggapan sesaat ini tidak akurat. Abaikan jika suatu waktu malah berbeda dari yang saya ceritakan. 

Jika Sleepy Hollow menghantui, lekas tutup pintu dan jendela rapat-rapat, lalu kunci. Tidur sampai pagi lalu bangun dan lihatlah pemandangan Airmadidi di pagi hari, indah.