Kulineran di Sekitar Masjid Istiqlal Jakarta


Assalamu'alaikum


Seusai menghadiri acara Preview Film Ada Surga di Rumahmu di Blitz Megaplex Grand Indonesia [Kamis 19/03/2015], saya mengunjungi Masjid Istiqlal. 

Sore itu mantan terindah pacarku hendak menjemput, tapi dia sendirian, tanpa supir. Padahal ruas jalan yang akan dilalui sudah memasuki jam three in one. Kalau hanya berdua, alamat melanggar peraturan. Dan itu akan dikenai sanksi. Maka, sore itu saya naik taksi menuju Istiqlal. Kami berjanji akan bertemu di sana.

Saat three in one, terkadang ada orang yang 'nyari selamat' dengan mengajak joki. Tetapi, membayar joki bukanlah jalan keluar. Yang ada justru memberi peluang si joki ditangkap, dihukum kurungan, bahkan dikenai denda. Kalaupun sukses, berarti mengelabui petugas. Lebih baik memiliki kesadaran tertib berlalu lintas ketimbang menyelamatkan diri dengan cara mengelabui. 

Berkendara roda empat di Jakarta memang harus hafal ruas jalan mana saja yang dikenakan kebijakan three in one, dan juga harus hafal jam berapa saja kebijakan tersebut diberlakukan.  

Kurang dari 20 menit taksi sampai di tujuan, lalu berhenti di gerbang yang berada di sisi timur laut masjid, yakni yang menghadap ke arah gereja Katedral. Ada 5 gerbang di Masjid Istiqlal, tetapi hanya gerbang yang mengarah ke pintu Al-Fatah yang dibuka setiap hari. Sedang 4 gerbang lainnya dibuka pada waktu-waktu tertentu. Setiap gerbang dibedakan menurut peruntukkannya; Untuk umum, pejabat negara, tamu negara, serta presiden dan wakil presiden.

"Rp 35.100,- mbak," ucap supir taksi. 

Saya membayar ongkos taksi dengan selembar uang pecahan 100 ribu. Pak supir kekurangan 10 ribu untuk membayar kembalian saya. Ia membuka pintu taksi, lalu keluar. Katanya hendak menukar uang ke pedagang makanan yang berada di area jajan Masjid Istiqlal. Saya mencegahnya karena khawatir akan makan waktu.

"Buat bapak saja kekurangannya."  

*Di situ kadang saya merasa dermawan* :))

Bapak supir taksi yang sudah tua itu sejak dari Grand Indonesia hingga Istiqlal, menyetir sambil terbatuk-batuk. Sesekali ia mengurut tengkuknya dengan tangan kiri. Sepertinya sedang kurang sehat. Kasihan. 

"Maaf ya mbak kalau tadi kurang nyaman dengan suara batuk saya." Itulah kata-kata terakhir yang diucapkannya, sebelum akhirnya dia kembali melaju bersama taksinya. 

Saya menarik nafas panjang. 


Area khusus pedagang di sisi timur masjid
Di depan saya bangunan masjid Istiqlal menjulang megah. Keindahan arsitekturnya sejenak memaku pandang mata. Meski sudah berkunjung berkali-kali, selalu saja saya terpesona dibuatnya. Seketika rasa bangga menyeruak dalam dada. Inilah masjid terbesar di Asia Tenggara, masjid kebanggaan umat Islam di Jakarta khususnya, dan Indonesia pada umumnya.

Seusai melewati gerbang, saya langsung belok kanan menuju area parkir. Setelah menemukan mobil dan bertemu si mantan pacar, saya kembali ke arah gerbang. Bukan untuk keluar, melainkan ke area jajan. Ya, di perkarangan masjid yang sangat luas ini, ada area kuliner. Jika memasuki gerbang, letaknya di sebelah kiri. Di situ berderet pedagang makanan dan minuman. Kios buku dan souvenir juga ada.

Rapi dan bersih
Di sini, para pedagang berjualan dengan menggunakan gerobak dorong. Ada bangku-bangku plastik di letakkan di samping gerobak, tempat duduk untuk pembeli yang akan makan/minum. Mereka berderet di pinggir kiri dan kanan jalan, menyisakan tempat yang luas untuk pengunjung berjalan. Kondisinya tak hanya rapi, tetapi juga bersih dan terasa nyaman. Hal yang menarik dan membuat selera makan saya tidak berkurang sedikitpun.

Awalnya saya hanya berniat mencari siomai. Namun, begitu melihat aneka jajanan yang ada, bayangan lezatnya siomai pun lenyap seketika. Ada gorengan, jadi pingin gorengan. Ada rujak buah, jadi pingin rujak. Ada soto, jadi pingin soto. Ada bakso, jadi pingin bakso. Ada pempek, jadi pingin pempek. Ada kerak telor, jadi pingin kerak telor. Aduh, lapar mata!

Saat mata saya melihat gerobak Sate Padang....jreng jreng! Saat itulah saya berhenti melihat-lihat jajanan yang lain. Ini dia nih makanan kesukaan. 

Salah satu penjual sate padang
"Satenyo duo yo, Uda," pinta saya.  

"Dibungkus atau dimakan di sini, mbak?" tanya si uda dalam bahasa Jakarta yang ga ada logat Minangnya sama sekali. 

"Dibungkus. Eh, mas bukan Uda ya? Eh, hmm...maksud saya, bukan orang Minang, ya?" tanya saya. 

"Bukan, saya orang Jakarta asli," jawabnya. Towewwww :))

Dia bukan orang Minang. Gerobak sate itu pun bukan punya dia. Tapi punya bosnya. Dia hanya menjualkan satenya saja. Katanya, selain dia ada gerobak sate padang lainnya juga yang masih satu bos dengannya. Saya menoleh ke gerobak sate yang ada di seberang jalan, jangan-jangan yang itu :D

Menurutnya, dalam sehari sate yang dijualnya kadang habis kadang tidak. Kalau tidak, semua sate akan dikembalikan ke 'dapur' bosnya. Sebagai karyawan, dia hanya menerima sekian persen saja dari setiap sate yang berhasil dijual.

Ratusan sate padang dan puluhan ketupat menanti untuk dibeli
Saya memperhatikan si mas menata 10 tusuk sate ke dalam genggaman tangannya. Sate-sate itu lalu dicelupkan ke dalam panci besar berisi bumbu sate. Setelah semua sate berlumur bumbu, lalu dibakar di atas panggangan. Sambil memanggang, si mas memotong 2 buah ketupat. Lalu disusun dalam kertas makan yang sudah dilapisi daun. Setelah proses pemanggangan, sate langsung ditaruh diatas potongan ketupat, lalu dilumuri bumbu lagi. Terakhir dibungkus. Selesai.

Sambil memperhatikan si mas membungkus sate, mata saya nemplok ke bungkusan plastik yang tergantung di gerobak. Saya amati seperti Keripik Singkong. Eh, ternyata benar. 

Sekantong Keripik Singkong Pedas tergantung di gerobak

"Ini dijual, mas?"  Pertanyaan cupu :))

"Iya, mbak. Suka ya? Pedes lho itu."

"Suka banget mas. Waktu ke Bukittinggi, saya sampe borong sekardus, lho!" terang saya. Padahal ga ditanya :p

"Wah, kalau begitu, boleh diborong semua nih mbak," si mas menoleh ke saya dengan mata berbinar.

"eh, oh...eh...." mulai salah tingkah. "Dua saja, ya mas. Lagi ga boleh banyak makan pedes soalnya." 

Akhirnya, 2 porsi sate padang seharga Rp 30.000 dan 2 bungkus keripik singkong saya bawa ke mobil. Karena sudah merasa sangat lapar, satenya langsung saya makan saat itu juga. Sate pedas, keripiknya pun pedas. Klop. Mulut terasa terbakar. Air minum di botol ternyata sudah habis. Saya keluar mobil, lari-lari nyari mencari penjual minuman sambil mulut tak henti-henti mendesis. Saat melewati plang nama masjid, saya melihat sekelompok orang tua sedang berpose. Tiba-tiba salah seorang dari mereka mencegat saya.

"Mbak...mbak...punten minta tolong foto kami bareng-bareng. Bisa?"

Seorang nenek telah berdiri di depan saya. Dia memberikan kameranya, dan saya tak bisa menolak. Dengan bibir menahan pedas, saya jepret mereka. Klik.

"Satu kali lagi ya."

Klik.

"Saya titip kamera saya ya, mbak."

Klik.

"Satu kali lagi ya."

Ampuuuuuun.....!!

Klik.

Untunglah itu permintaan terakhir. Legaaaa.

Ternyata para orang tua itu wisatawan dari daerah. Setelah menerima ucapan terima kasih, saya langsung belari ke penjual minuman. Teh botol dingin langsung saya sambar. Eeeeh...saya lupa kalau kepedasan sebaiknya tidak minum air dingin karena bakal tambah terasa pedasnya. Duh. Segera saya ganti dengan air mineral biasa. Alhamdulillah setelah habis satu botol baru hilang pedasnya. Pas balik ke mobil, air di perut terasa berguncang, seolah berkecipak. Kebanyakan minum!

Keripik singkong pedas memang enak. Tapi kalau dimakan bareng sate padang pedas, jadi luar biasa. Luar biasa kepedasan! :D

Alhamdulillah meskipun kepedasan, sate padang satu porsi habis tak bersisa. Kenyang, tapi ga bikin nambah. Meskipun penggemar sate padang, saya jarang makan sampai 2 porsi. Kalau pun masih mau nambah, dipastikan porsi kedua tidak akan habis. Jadi, satu porsi sudah pas lah. 

Penjual kopiah

Waktu magrib masih agak lama. Saya putuskan untuk pulang saja, tidak menunggu waktu magrib. Namun sebelum pulang saya mencoba memotret ornamen di dekat plang nama masjid. Di situ ada tiang dengan banyak cabang. Di tiap cabangnya ada semacam lempengan. Mungkin lampu. 

Petang kian tua.

Saya kembali ke mobil. 

Saat mobil mulai bergerak keluar dari area masjid, saya menoleh ke trotoar jalan yang menghubungkan gerbang masjid dengan pintu masuk masjid. Nampak seorang ibu sedang menata tumpukan kopiah di atas selembar terpal. Ibu itu sendirian. Sepertinya dia keliru memilih tempat memasang lapak. Sebab saya lihat sepanjang trotoar itu tidak ada satu pun pedagang lain yang berjualan. Semua pedagang terkumpul di satu tempat. Kalau ada petugas, ibu itu mungkin akan disuruh pindah.

Masjid Istiqlal Jakarta 19/03/2015

Seorang istri. Ibu dari dua anak remaja. Tinggal di BSD City. Gemar jalan-jalan, memotret, dan menulis.

Share this

Previous
Next Post »

13 komentar

  1. Ooooh.. rupanya kalo bagi mbak Rien, si sate padang ya yang bisa menahan pandangan untuk tidak lagi menoleh ke makanan lain? Aku juga suka mbak makan sate padang ama kripik singkong pedesnya itu... Tapi tetep, kalo di sekitar situ ada yang jual pempek, sepertinya aku bakal lebih milih makan pempek :)
    Foto terakhir itu cakep banget, mbak.. suka!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Enggak juga mbak. Kemarin karena perut kosong, jadi aku menghindari makanan seperti pempek. Cukonya tidak baik untuk lambungku. Kebetulan butuh nasi, di sate padang ada lontong. Cocok. Tapi ya sama juga sih, satenya pedas, eh keripik singkongnya pedas. Ga baik juga buat lambung hahaha...Kalo ga dimakan bareng, itu keripik pasti enak banget :)

      Terima kasih mbak Dee An :)

      Hapus
  2. Pingin Siomay sama sate padangnya. Dah lama nggak ke Istiqlal. Kalau ke Jakarta lewat doag. Seneng kalau tempat makannya bersih, makannya jadi lahap

    BalasHapus
    Balasan
    1. Moga lain waktu ada kesempatan mampir ya mbak. Telp aku, biar nanti aku temani makan siomai dan sate padang di Istiqlal :D
      Iya mbak, lahap maksimal pokoknya kalau tempatnya bersih. Ga ada teletong hahaha

      Hapus
    2. Teletong???? Hadew.... hmmm. hidiw.... yang itu memang "Sesuatu" :)))

      Hapus
  3. Jadi inget pas borong keripik di Christine Hakim, Padang. Rasanya varian kripiknya gak ada yang gagal! enak banget!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Setuju! Waktu di Bukittinggi, aku belanja oleh-olehnya juga di Christine Hakim. Nendang banget bumbu keripiknya ya.

      Hapus
  4. Aku belum pernah ke Istiqlal... hiks..Keripiknya kau juga suka banget. Pas mudik pasti beli sekardus. Buat dimakan sendiri ama buat oleh2. Ynag dikasih keripik ini, pasti deh langsung berbinar2 matanya. hehe. ira

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mampir mbak kalau sedang ke Jakarta. Nanti aku temani ya :)
      Keripik singkong Padang memang luar biasa enak. Sanjai namanya kalau di sana ya.
      Biar pedes tapi rasanya maknyus. Bikin ketagihan. Kalo ga abis ga berenti makan :D

      Hapus
  5. klo pas Ramadhan, sepulang kerja aq sempatkan mampir buat sholat tarawih. kebetulan searah

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah Opay bisa tarawihan di sana ya :)

      Hapus
  6. bandung punya keripik singkong yang enak dan pedes pedes :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Enaknya di Bandung, berlimpah makanan, termasuk keripik singkong :)

      Hapus

Leave your message here, I will reply it soon!