Melihat Rekam Jejak Awal Transmigran Lampung di Museum Nasional Ketransmigrasian Lampung

Museum Ketransmigrasian Lampung
Museum Ketransmigrasian Lampung
Cuaca mendung menyambut kehadiran kami di Kabupaten Pesawaran, Lampung. Langit tampak kelabu. Sementara bayang Gunung Tanggamus menjulang kehitaman di kejauhan. Hujan rintik-rintik mulai turun sesampainya kami di Museum Ketransmigrasian Lampung. Perjalanan siang jelang petang dari Bandar Lampung membuat kami datang kesorean. Beruntung saat tiba masih ada waktu satu jam lagi sebelum museum ditutup.

Museum Nasional Ketransmigrasian tergolong menarik untuk dikunjungi karena merupakan satu-satunya museum yang memberikan pembelajaran mengenai sejarah ketransmigrasian. Rekam jejak awal transmigran asal Jawa di jaman kolonial hingga koleksi benda bersejarah yang bercorak ketransmigrasian bisa dilihat di tempat ini. Selain itu, di sini juga dapat berekreasi di kawasan anjungan-anjungan yang ada di areal Museum Ketransmigrasian, sekaligus menikmati sajian beberapa seni dan budaya masyarakat transmigrasi.
 
Halaman samping

Museum Ketransmigrasian Lampung terletak di Jl. Jend. Ahmad Yani Desa Bagelen Kecamatan Gedong Tataan Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung. Dari Bandar Lampung jaraknya sekitar 20 kilometer dengan waktu tempuh sekitar 30 menit melalui akses jalan darat. Bangunan museum berupa bangunan megah berlantai dua dengan simbol Siger mengkilap di bagian atas beranda. Bagian luar gedung bercat putih kekuningan, dihiasi ornamen gajah Lampung yang dipadu ukiran khas Jawa di bagian pintu masuk.
 
Bingkai pintu berukiran khas Jawa

Ketika memasuki bagian dalam museum, terlihat dua patung sapi berukuran besar berdiri di tengah ruangan. Kedua sapi tersebut sedang menarik alat pembajak sawah tradisional yang disebut luku. Di Lampung memang masih banyak persawahan. Tak heran karena Lampung termasuk salah satu provinsi yang menyokong ketahanan dan ketersediaan pangan di Indonesia.
 
Patung sapi menyambut di pintu masuk :D

Provinsi Lampung sudah lama dikenal sebagai cikal bakal daerah penempatan transmigrasi pertama di Indonesia. Transmigrasi tersebut berlangsung pada tahun 1905 saat pemerintahan Hindia Belanda melakukan perpindahan warga dari Desa Bagelen Karasidenan Kedu Provinsi Jawa Tengah ke Provinsi Lampung tepatnya di Desa Bagelen Gedong Tataan, Karasidenan Lampung (sekarang dikenal dengan nama Kabupaten Pesawaran) sebanyak 155 KK yang lebih dikenal dengan istilah Kolonisasi. Menurut hasil penelitian Hazelman, latar belakang terjadinya transmigrasi dikarenakan pada tahun 1904-1905 terjadi peningkatan jumlah penduduk yang menyebabkan lahan pertanian di Jawa kian menyusut. Sementara di luar Jawa tersedia lahan untuk membuka perkebunan baru.
 
Sepeda ontel

Pemerintah Republik Indonesia untuk pertama kalinya melaksanakan program perpindahan penduduk pada tahun 1950, tepatnya tanggal 12 Desember 1950 sebanyak 23 KK dengan daerah asal dari Karesidenan Kedu Provinsi Jawa Tengah dengan rincian 22 KK ke Sukadana Lampung Timur dan sebanyak 21 KK ke Lubuk Linggau Sumatera Selatan. Transmigrasi tersebut telah mendorong terbentuknya 235 kecamatan baru dan 66 Kabupaten Baru di Lampung. Itu sebabnya di Lampung terdapat nama-nama tempat seperti yang ada di Jawa, di antaranya Pring Sewu, Sumber Rejo, Sidodadi, Desa Surabaya, dll.

Museum Ketransmigrasian dibangun pada tahun 2004. Penggagasnya adalah Prof. Dr. Muhajir Utomo yang merupakan keturunan langsung dari rombongan transmigran awal yang dikirim Belanda ke Lampung tahun 1905. Pembukaan museum dimulai pada tahun 2010 dan dikelola oleh Unit Pelayanan Teknis Daerah (UPTD) di bawah Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
 
Gamelan

Di lantai dasar ada sebuah ruangan yang disebut dengan ruang gamelan. Di ruangan ini berisi foto-foto yang menceritakan bentuk tempat tinggal dan kebun perintis kolonisasi di Desa Bagelan. Di sebelahnya tersedia ruang perpustakaan yang dilengkapi beberapa komputer dan buku sejarah. Ada pula ruangan yang memamerkan furnitur tempo dulu berupa meja tamu, lemari, dan juga tempat tidur terbuat dari besi.

Sedangkan benda-benda seputar ketransmigrasian dipajang di lantai dua. Sederet koleksi yang ditampilkan berupa benda antik seperti sepeda ontel, peralatan dapur, perabot rumah tangga, alat penerangan, mata uang tempo dulu, hingga alat penumbuk beras. Ada juga beberapa miniatur bangunan rumah yang pernah ditempati oleh transmigran. Ada foto-foto pejabat yang pernah memimpin departemen yang berkenaan dengan transmigrasi.
 
Lantai 2 museum

Museum Ketransmigrasian dilengkapi dengan berbagai fasilitas pendukung, baik yang ditujukan untuk umum, pelajar maupun mahasiswa. Salah satunya adalah teater yang dapat digunakan untuk menayangkan film dokumenter yang bersifat edukasi sejarah perjalanan penyelenggaraan transmigrasi  di Indonesia. Ada areal camping untuk kegiatan perkemahan yang dilengkapi dengan tenda kemping. Bahkan terdapat sebuah Gedung Serba Guna (GSG) dengan kapasitas 250 orang yang dapat digunakan oleh instansi pemerintah, swasta dan juga umum sebagai tempat rapat, seminar, resepsi perkawinan hingga kegiatan lainnya.
 
Diorama kehidupan transmigran

Uang kuno

Penyajian koleksi benda bersejarah bercorak ketransmigrasian dan bimbingan edukasi sejarah ketransmigrasian yang ada di museum ini dapat memberi banyak informasi bagi kalangan generasi muda khususnya pelajar dan mahasiswa. Tak hanya itu, di sini juga pengunjung dapat mengenal sekaligus memainkan beberapa peralatan seni budaya tempo dulu yang masih tetap dilestarikan dan diwariskan kepada anak/cucu masyarakat Desa Bagelan dan sekitarnya.
   
Alat setrika dan penerangan
 
Perabotan dapur

Lesung penumbuk beras

Lesung alat penumbuk padi

Anjungan yang tersedia di komplek museum ini berjumlah sebelas. Terdiri dari anjungan Bali, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, DI Yogyakarta, DKI Jakarta, Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Suriname. Kesemua anjungan kecuali Suriname dan Lampung merupakan daerah asal warga transmigran.

Yang paling bersejarah adalah bola peluru besar berwarna hitam yang digunakan untuk membuka lahan. Dua bola peluru tersebut dikaitkan rantai sepanjang 40 meter lalu ditarik untuk merobohkan pohon dengan diameter 50 cm. 
  
Bersama Kepala Seksi Pelayanan Museuma Nasional Ketransmigrasian, Eko Sunu Prasetiya
Bersama Kepala Seksi Pelayanan Museuma Nasional Ketransmigrasian, Eko Sunu Prasetiya

Kawasan Museum Ketransmigrasian ini tentu dapat dijadikan alternatif liburan edukasi ataupun juga rekreasi. Jika ingin berkunjung ke museum ini, catat waktu kunjungnya, yaitu Senin-Kamis Pukul 08:00 - 14:00. Jumat Pukul 08:30 - 4:30. Sabtu dan Minggu melalui perjanjian/konfirmasi via telepon. Harga Tiket Masuk Rp 1.000 (pelajar), Rp 2.000 (umum). 
   
Blogger FTS foto bareng di depan pintu masuk gedung museum



*semua foto punya Katerina 

*Artikel ini pernah dimuat di rubrik Pariwisata harian Kedaulatan Rakyat 13/3/2016 



 


Seorang istri. Ibu dari dua anak remaja. Tinggal di BSD City. Gemar jalan-jalan, memotret, dan menulis.

Share this

Previous
Next Post »

10 komentar

  1. halo mbak salam kenal. TFS ya. Keluarga bapakku adalah salah satu transmigran ke Lampung. Jadi Jawa tulen tapi bapak dan adik2 semua lahir dan besar di Lampung, tepatnya di Gadingrejo. Ternyata ada ya museum transmigran di sana :) Eh aku penasaran sama si bola peluru loh mbak, sayang gak ada fotonya ya.

    BalasHapus
  2. Tataan jauh banget kalo dari tempatku. Harus inep dulu di Bandar Lampung sepertinya.

    BalasHapus
  3. Yang menarik bagi saya kalau soal transmigrasi adalah bagaimana budaya-budaya yang berbeda itu bertubrukan; baik antarbudaya sesama pendatang maupun dengan budaya transmigran terhadap budaya penduduk asli. Apa ada pertentangan? (agaknya ya, kita tak bisa menutup mata terhadap ini :hehe). Tapi apakah ada budaya yang sama? Bagaimana asimilasinya? Bagaimana prospek percampuran budaya itu di masa depan? Agaknya ini topik yang sangat menarik untuk diselami. Mudah-mudahan suatu hari nanti bisa ke sana :amin.

    BalasHapus
  4. Beneran baru tau ada museum ketransmigrasian... Tiket masuknya murah ya..

    BalasHapus
  5. Barang-barang jadulnya lucu-lucu yaaah mba Rien :D

    BalasHapus
  6. Pertama kali kemari tahun 2010an, sempat masuk ruang teaternya yang memutar film dokumenter tentang transmigrasi di Lampung.
    Entah masih ada atau ga ruangan itu.

    BalasHapus
  7. wah asyik ya, lain waktu mundah2an aku bisa ke sini, secara aku suka lihat museum

    BalasHapus
  8. Saya penasaran mengetahui rekam jejak ketransmigranan Lampung ini, setelah melalui daerah Sukadana, kemudian Mesuji, dalam perjalanan ke Palembang kemarin. Saya bertanya-tanya sebetulnya bagaimana sejarah awal transmigrasi di Lampung ini dan bagaimana kondisi sekarang. Eh, ternyata ada museumnya yak. Kapan2 kalau ke Lampung pengen mampir ah...

    BalasHapus
  9. Assalamualaikum mbak saya adalah anak salah satu pegawai tranmigrasi dilampung bapak saya bernama Djaidi dan dulu terkenal dengan juru ukur Lampung dirumah kami masih banyak peta yg masih diatas Kalki dan pakai tangan juga tiadolit beserta perangkat lain yg dulu digunakan untuk mengukur daerah daerah tranmigrasi juga penghargaan lainnya

    BalasHapus
  10. Aslkm... Adakah desa2 diwilayah kalianda dn sekitarnya yg terdata sebagai desa transmigrasi?

    BalasHapus

Leave your message here, I will reply it soon!