Benteng Fort De Kock & Jembatan Limpapeh

Tulisan berikut ini merupakan lanjutan dari cerita sebelumnya --> Rumah China, Jembatan Limpapeh dan Makan Lontong Sayur Pakis (Silahkan di klik)


Benteng Fort De Kock



Saya memasuki obyek Wisata Benteng Fort De Kock seorang diri. Membeli selembar tiket seharga Rp 8000. Dengan satu tiket masuk ini saya bisa mengunjungi dan melihat tiga obyek wisata sekaligus yakni Benteng Fort De Kock, Jembatan Limpapeh, dan Taman Marga Satwa Kinantan. Menarik bukan?

Dipintu masuk, tak ada penjaga karcis yang biasanya bertugas memeriksa tiket masuk. Saya sempat celingak celinguk. Woooh...benar-benar sendirian dan sepi. Gimana kalau ramai ya? Masa iya ga ada yang jaga? Gimana kalau ada yang masuk tanpa tiket? Saya rasa kalau pengunjungnya ramai, mungkin petugasnya baru ada. 




Saya berjalan perlahan, sendiri menapaki taman yang masih sunyi. Jalan setapak yang saya lalui agak menanjak. Di sisi kiri dan kanan jalan setapak terdapat beberapa sangkar burung yang di cat hijau. Dua burung, tiga burung, dan ternyata bukan hanya burung tapi ada beberapa hewan lainnya juga. Semua dalam sangkar. Tak jauh dari pintu masuk, di sebelah kanan jalan yang saya lalui, terdapat beberapa toko penjual souvenir, makanan dan juga minuman ringan. 

Area benteng ditanami banyak pepohonan yang tinggi dan rindang, membuat udara yang memang sejuk jadi kian sejuk. Semilir angin berhembus lembut, membelai wajah saya yang tadi sempat berpeluh kepanasan. Tak perlu berjalan hingga jauh, bangunan benteng sudah terlihat dari jarak 10meter setelah pintu masuk. Sebelum lebih dekat ke bangunan benteng, saya menjumpai sebuah tugu batu berwarna kehitaman yang bertuliskan Benteng Fort De Kock. Saya membaca keterangan yang ada. Tertulis di batu itu bahwa wisata Benteng Fort De Kock diresmikan pada 15 Maret 2003 oleh Walikota Bukittinggi, Drs.H.Djufri. Keterangan lengkap yang tertulis di tugu itu seperti ini:
"Benteng Fort De Kock ini didirikan oleh Kapten Bauer di atas bukit Jirek Negeri Bukittinggi sebagai kubu Pertahanan Pemerintah Hindia Belanda menghadapi perlawanan rakyat dalam Perang Paderi yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol. Ketika itu Baron Hendrick Markus de Kock menjadi Komandan de Roepoen dan wakil Gubernur Jenderal Pemerintah Hindia Belanda. Dari sinilah nama lokasi ini menjadi Benteng Fort De Kock."
Pssst.....saya tidak mencatat tulisan yang tertulis di tugu batu itu dengan menggunakan pulpen dan kertas lho, melainkan dengan cara difoto dari jarak dekat. Berhubung yang tertangkap kamera hanya sepotong-sepotong, jadilah saya memotret tulisan itu sampai beberapa kali. Mulai dari paling atas, sebelah kiri, sebelah kanan hingga paling bawah. Dari foto itulah keterangan lengkapnya saya dapatkan :D
 
Letak benteng Fort De Kock berada di atas bukit. Hmm...ya...memang sebuah lokasi yang strategis sebagai tempat membangun benteng. Bangunan benteng berupa bangunan bertingkat dua dengan ketingian 20m. Saya memperhatikan keramik lantainya. Nampak kusam dan berdebu. Ada sebuah spanduk bertuliskan event seni tari tradisional yang diselenggarakan di lantai dasar benteng. Oh iya, lantai dasar bangunan berupa ruang terbuka (tak berdinding), membuat penampakan benteng ini bak bangunan panggung. Empat sudut benteng dilengkapi dengan meriam dengan ukuran yang berbeda-beda. Menurut hitungan saya, terdapat tujuh meriam yang letaknya terpisah-pisah.*rajin bener ngitungin meriam hihi. Terdapat dua saung kecil untuk duduk-duduk pada salah dua meriam. Letaknya yang berada di bibir bukit membuat siapapun yang duduk bisa melihat pemandangan di bawah.






Jembatan Limpapeh

Di benteng Fort De Kock terdapat salah satu ujung jembatan Limpapeh. Jembatan terkenal ini memang menjadi penghubung antara Benteng dengan Taman Marga Satwa yang ada di seberangnya. Jadi, untuk mencapai taman marga satwa itu mesti melewati jembatan ini. Jika satu jam sebelumnya (sudah saya ceritakan di link ini <-- klik) saya berada di bawah jembatan, maka inilah waktunya saya berada di atas jembatan. Yeaay..horeee....!
 Menuruni lereng, menuju pangkal jembatan Limpapeh

Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, benteng Fort De Kock terletak di atas bukit. Jadi, untuk mencapai pangkal jembatan, saya mesti sedikit turun ke lereng bukit. Di pangkal jembatan terdapat bangunan kecil serupa tempat pembelian karcis (mirip gardu parkir saat kita hendak masuk area mall/perkantoran gitu lho). Gardu itu beratap khas bangunan Minang, ada disisi kiri dan kanan. Saya kira tadinya mesti membeli tiket segala ternyata enggak. Petugasnya juga ga ada kok :D Kosong melompong. Oh iya, jembatannya ternyata berpintu lho. Mungkin saat-saat tertentu jembatan itu tertutup ya. Dan sepertinya jembatan ini memang bukan jembatan umum, melainkan jembatan wisata yang menghubungkan dua obyek wisata bukit tinggi. Sebelumnya saya sempat mengira jembatan ini jembatan umum yang bisa dilalui dengan gratis oleh siapa saja dan untuk kemana saja. Ternyata salah kira.

Saya jeprat jepret. Pingin moto diri sendiri, tapi mau minta tolong siapa? Kebetulan ada dua perempuan lewat, tapi melihat langkah mereka terburu-buru gitu, ga jadi. Tak berapa lama ada pula sepasang keluarga dengan satu anaknya, namun saya kembali urung minta tolong karena melihat sepasang suami istri itu sedang serius mengobrol. Takut mengganggu. Saya celingak celinguk mencari korban berikutnya yang bersedia menjadi fotograper. Aneh kali ya, tegak sendirian, liat sana sini, ga beranjak dari pangkal jembatan, jangan-jangan dikira mau nyari mangsa. Copet? hihi. Ga la yaw.

Gerbang untuk masuk dan melintas di atas jembatan Limpapeh

Tak berapa lama kemudian terlihat seorang bapak dengan anak laki-lakinya datang dari arah seberang jembatan. Bermain-main sambil bercanda. Wah, kayaknya bisa nih. Dan....hore...berhasil juga minta tolong bapak itu untuk moto saya. Lumayaaaaan....sukses jadi Si Manis Jembatan  Limpapeh.

Jembatan Limpapeh ini disebut bertingkat tiga. Menurut saya sih bertingkat satu. Yang disebut orang dengan tingkat satu itu mungkin dasarnya, yaitu jalan raya di bawah jembatan. Lantai dua, mungkin tingkat kedua yang ditandai dengan pembatas di atas jalan raya itu. Tapi disini ga ada jembatan apa-apa. Trus tingkat ketiga, paling atas, yaitu bagian yang ada jembatannya, yang saya pijak saat ini. Nah, menurut saya justru tingkat yang ada jembatannya ini nih tingkat satu. Tapi ya gapapa juga sih mau disebut tingkat satu atau tiga. Ga masalah.


Di atas Jembatan Limpapeh

Hmm berapa ya lebarnya? saya ga ngukur. Dikira-kira saja ya, mungkin sekitar 2,5 meter. Sisi kiri dan kanan jembatan dipasang pagar besi untuk pengaman. Bebungaan dalam pot menjadi penghias sepanjang jembatan. Jembatan terlihat cukup terawat. Tidak kotor, tapi tidak terlalu bersih. Di pangkal jembatan saya sempat melihat ada dua sampah plastik bekas snack. Di tengah jembatan, ada semacam tempat berteduh. Ga besar-besar amat sih, tapi lumayan bisa jadi tempat berlindung dari terik matahari atau hujan yang mungkin turun tak terduga saat menyeberang. Bentuk atapnya masih sama, khas atap bangunan di Minang (gonjong). Sayangnya, saya tidak betah berada di tempat itu, bau! Bukan bau sampah atau bau pipis sih ya (siapa tahu ada yang iseng numpang buang air kecil ya kan?) melainkan bau kotoran burung. Yak, disini ternyata juga menjadi persinggahan burung-burung. Kotorannya yang hitam dan bulat-bulat kecil itu ternyata ga cuma mengganggu hidung, tetapi juga mengganggu pemandangan. Oh tapi apakah ada hubungannya dengan taman marga satwa yang terletak di ujung jembatan? Mari kita cari tahu :D

 Hampir ke tengah jembatan, numpang difoto oleh pengunjung yang melintas

Sebelum mencapai ujung jembatan, saya sejenak berdiri memandang Kota Bukittinggi. Dari sebelah kanan tempat saya datang, nampak atap rumah China menyembul diantara bangunan ruko. Tepat diseberangnya, adalah ruko-ruko dengan beberapa Bank. Salah satunya bank Niaga dengan signboard berwarna merah. Yup, hampir dua jam yang lalu saya berdiri di depan bank itu saat pertama kali melihat jembatan Limpapeh dari bawah. Tempat saya bertemu satpam dan menanyakan jalan menuju Benteng Fort De Kock. Dan, oh iya, perlu diketahui bahwa jalan Achmad Yani dibawah sana merupakan kawasan padat hotel. Tiba-tiba saya merasakan sebuah kebanggaan. Apaan tuh?? Bangga karena kaki imut ini berhasil juga berjalan sejauh lebih dari 2 kilometer :D

Saya mengalihkan pandang ke sisi kiri, bagian lain dari kota Bukittinggi yang belum saya susuri dengan kaki. Kalau dengan mobil sih sudah berulang kali. Pemandangan siang bak pemandangan pagi. Redup dan berkabut. Eh bukan kabut ding, tapi asap. Itu lho, asap kiriman dari Riau yang terjadi karena kebakaran hutan. Huuuuu.....


 Atap orange Rumah China dan bank Niaga di sisi kiri


Bukit di sisi kiri adalah letak benteng Fort De Kock

Dari atas jembatan yang melintas di atas Jalan Achmad Yani ini, saya tak hanya disuguhi pemandangan sebagian kota Bukittinggi, melainkan juga panorama gunung Merapi, gunung Singgalang dan jam Gadang. Jadi, jika berkunjung ke Taman Marga Satwa Kinantan atau Benteng Fort De Kock, cobalah untuk melintas di atas jembatan yang dibangun dengan menggunakan konstruksi baja dan berasitektur atap gonjong khas Minangkabau ini.


 Sudah di ujung jembatan, pintu masuk Taman Marga Satwa di latar belakang





*bersambuuuuuuuuuuuuung.....mau kerja duluuuu. Berikutnya cerita tentang Taman Marga Satwa Kinantan dengan keunikan rumah Gadang Baanjuangnya... 




======= 

Bukittinggi, Sumatera Barat, Indonesia
Selasa, 04 September 2012

Seorang istri. Ibu dari dua anak remaja. Tinggal di BSD City. Gemar jalan-jalan, memotret, dan menulis.

Share this

Previous
Next Post »

2 komentar

  1. memang sepi...kliatan tuh dari poto nya..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya teh, mungkin karena masih pagi dan bukan hari libur ya :)

      Hapus

Leave your message here, I will reply it soon!