[Bali] Istana Tampak Siring & Pura Tirta Empul




Sore itu derai hujan mengguyur Gianyar. Cuaca yang dingin membuat saya mengantuk. Namun perjalanan dari Kintamani menuju Tampak Siring tetap dilanjutkan. Alhamdulillah tak makan waktu lama karena jaraknya tak terlalu jauh. Kantuk saya hilang ketika supir mengatakan bahwa kami telah tiba di Pura Tirta Empul, tempat yang menjadi agenda wisata terakhir di hari itu.
Desa Tampak Siring adalah sebuah desa yang terletak di kabupaten Gianyar, 36 km dari Denpasar Bali. Terdapat Pura Tirta Empul yang merupakan peninggalan Kerajaan di Bali, sekaligus merupakan salah satu dari beberapa peninggalan purbakala yang menarik untuk disaksikan dan diketahui di desa ini. Disebelah Barat Pura terdapat Istana Presiden yang dibangun pada masa pemerintahan Presiden Soekarno. Istana tersebut berada pada sebuah ketinggian.
Ketika tiba, Pura Tirta Empul masih dalam keadaan ramai oleh pengunjung. Padahal saat itu hari sudah menunjukan pukul 5 sore waktu setempat. Tiket pengunjung hanya Rp 15.000/orang dan kendaraan Rp 5000/mobil. Area parkirnya luas. Terlihat bis-bis wisata, kendaraan travel dan kendaraan pribadi memadati area parkir. Di pintu masuk terdapat anak-anak yang menyewakan payung. Seorang gadis kecil menawarkan sewa payung seharga Rp 5000 kepada saya, dan saya mengambilnya.
Gerimis yang turun cukup merepotkan karena saya mesti memegang payung, tas kamera dan tas pribadi, sehingga menyulitkan untuk mengambil gambar patung Dewa Brahma yang ada dibagian depan. Beberapa turis mancanegara tak henti-henti berpose di bawah patung tersebut, membuat saya mesti bersabar menunggu sampai benar-benar sepi. Memang tak bisa benar-benar sepi karena pengunjung terus datang dan pergi.
Tak jauh dari Patung Brahma, terdapat sebuah bangunan tempat beristirahat, semacam saung terbuka yang terletak di atas air. Lebih mirip kolam sebenarnya. Adem dan tenang rasanya duduk di situ. Tapi saya tak berlama-lama karena sejurus kemudian saya segera pindah dan melangkah menuju Pura Tirta Empul. Saya masuk lewat sebuah gapura kecil. Di sisi luar bagian kanan terdapat pohon tua yang tinggi dan rindang. Bau kemenyan menyeruak hidung. Terlihat banyak sajen di bawah pohon berusia ratusan tahun tersebut. Namun saya segera berlalu, bergegas memasuki gapura.
Kompleks Candi memiliki tiga Courtyard yaitu Jaba Pura (halaman muka), Jaba tengah (halaman tengah), dan Jeroan (bagian dalam). Pada Jabe Tengah terdapat dua buah kolam persegi empat panjang, dan kolam tersebut mempunyai 30 buah pancuran yang berderet dari timur ke barat menghadap ke selatan. Masing-masing pancuran itu menurut tradisi mempunyai nama tersendiri, diantaranya pancuran pengelukatan, pebersihan sidamala, dan pancuran cetik (racun).


Di halaman depan terdapat kolam ikan yang jernih dengan suara air yang memancur seakan menjadi sambutan yang menentramkan ketika saya masuk. Di tepi kolam para turis berjejer melihat kerumunan ikan koi berukuran besar-besar yang sedang berebutan memakan makanan yang diberikan pengunjung. Di sisi kiri kolam terdapat kios-kios penjual souvenir khas Bali. Di situ pulalah saya disambut mas Wayan Remi, seorang guide di Pura Tirta Empul. Sikap dan sapanya yang ramah, membuat saya bersedia untuk di guide. Sejak pertama mas Wayan ini berbicara dalam bahasa Inggris kepada saya, dan sempat mengira saya turis dari Malaysia dan Brunei hihihi... perkiraan yang salah.
Ke arah belakang kompleks (bagian dalam) adalah sebuah kawasan dengan banyak kuil paviliun. Mas Wayan Remi meminta saya untuk mengenakan pakaian suci sebelum masuk Pura, yaitu berupa sarung dan selendang yang dililitkan di pinggang. Tak lupa dengan satu bunga kamboja yang dipetiknya langsung dari pohon. Meskipun bunga itu tak mesti, tapi saya tetap mengambilnya lalu menyelipkannya di kerudung yang saya kenakan. Tralala....mirip putri Bali yang jelita
Di bagian tengah halaman ada kolam renang yang airnya dipancurkan dari mata air suci. Oleh masyarakat Bali, air suci Tirta Empul dijadikan untuk melukat. Banyak wisatawan yang berkunjung tertarik untuk ikut melukat. Mereka yang hendak mandi biasanya membuat persembahan sebelum mandi, kemudian baru dilanjutkan dengan berdoa. Menurut keyakinan mereka bahwa air suci tersebut dapat memurnikan pikiran dan tubuh, dan dapat menyembuhkan penyakit.
Saya mendengarkan penjelasan mas Wayan dengan seksama. Bagaimanapun, semua yang dijelaskannya adalah berdasarkan kepercayaan yang dia punya. Saya tetap memberikan senyum dan berterima kasih atas apa yang disampaikannya. Tak jauh dari saya, guide-guide lain juga sedang menyampaikan hal yang sama kepada turis-turis asing yang datang. Lalu beberapa dari turis mancanegara itu pergi mandi ke air suci. Di pemandian terlihat ramai. Padahal cuaca di petang itu sangat dingin. Tawaran untuk mandi saya tolak dengan halus dan meminta untuk berkeliling saja.
Sebelum masuk Pura, sejenak saya menoleh ke sisi kiri dari bangunan Pura. Ada tangga tinggi menuju bangunan di atasnya. Itulah Istana Presiden. Sayang pintu masuknya terkunci. Menurut mas Wayan, penguncian itu dimulai sejak terjadinya Bom Bali. Hmm...apa hubungannya ya? Entahlah. Tapi saya menyempatkan berfoto di tangga tersebut.
Saya masih memandang ke istana dan melihat puncak bangunannya yang kokoh. Di sekelilingnya rumput hijau tertata begitu rapi dan bersih. Dari suatu sudut, saya berpose dengan gaya penari tarian Bali, dan moment itu diabadikan dalam sebuah foto. Oh ya pose menari itu di ajarkan secara kilat oleh mas Wayan yang ternyata mengaku bahwa dirinya adalah seorang penari. Tapi tentunya beliau hanya mengajarkan dengan memberi contoh, tanpa menyentuh. Perlu waktu 10 menit untuk mendapatkan gerak tangan yang melentik dan kaki yang menyeimbangkan badan yang merendah. Setelah pas, baru di foto...jadi juga deh.
Di pintu masuk Pura tertulis “Ngranjing” yang artinya silahkan masuk. Dari situlah mas Wayan memulai cerita tentang sejarah Pura Tirta Empul.
Secara etimologi bahwa Tirta Empul artinya air yang menyembur keluar dari tanah. Maka Tirta Empul artinya adalah air suci yang menyembur keluar dari tanah. Dari nama mata air inilah nama Tirta Empul dijadikan sebagai nama Pura. Air Tirta Empul mengalir ke sungai Pakerisan. Sepanjang aliran sungai ini terdapat beberapa peninggalan purbakala. Pendirian pura ini diperkirakan pada tahun 960 A.D. pada jaman Raja Chandra Bhayasingha dari Dinasti Warmadewa. Seperti biasa pura–pura di Bali, pura ini dibagi atas Tiga bagian yang merupakan Jaba Pura (Halaman Muka), Jaba Tengah (Halaman Tengah) dan Jeroan (Halaman Dalam). Pada Jaba Tengah terdapat 2 (dua) buah kolam persegi empat panjang dan kolam tersebut mempunyai 30 buah pancuran yang berderet dari Timur ke Barat menghadap ke Selatan. Masing–masing pancuran itu menurut tradisi mempunyai nama tersendiri diantaranya pancuran Pengelukatan, Pebersihan, Sudamala dan Pancuran Cetik (Racun).
Pancuran Cetik dan nama Tirta Empul ada hubungannya dengan mitologi yaitu pertempuran Mayadenawa Raja Batu Anyar (Bedahulu) dengan Bhatara Indra. Dalam mitologi itu diceritakan bahwa Raja Mayadenawa bersikap sewenang – wenang dan tidak mengijinkan rakyat untuk melaksanakan upacara – upacara keagamaan untuk mohon keselamatan dari Tuhan Yang Maha Esa. Setelah perbuatan itu diketahui oleh Para Dewa, maka para dewa yang dikepalai oleh Bhatara Indra menyerang Mayadenawa. Akhirnya Mayadenawa dapat dikalahkan dan melarikan diri sampailah disebelah Utara Desa Tampak siring. Akibatnya kesaktiannya Mayadenawa menciptakan sebuah mata air Cetik (Racun) yang mengakibatkan banyaknya para laskar Bhatara Indra yang gugur akibat minum air tersebut. Melihat hal ini Bhatara Indra segera menancapkan tombaknya dan memancarkan air keluar dari tanah (Tirta Empul) dan air Suci ini dipakai memerciki para Dewa sehingga tidak beberapa lama bisa hidup lagi seperti sedia kala. *kutipan ini dari sebuah sumber, dan ada kecocokan dari apa yang diceritakan oleh Mas Wayan kepada saya selama di Tirta Empul. Karena tak dapat mengingat dengan persis, saya coba cari artikelnya di internet. Dan demikianlah ceritanya.
Di sebuah altar, beberapa umat Hindu sedang melakukan prosesi sembahyang. Bau kemenyan dari dupa yang dibakar kembali menelusup masuk ke hidung. Sajen berupa bunga-bunga dan entah apalagi, tersusun di altar. Seorang pemimpin ibadah terlihat duduk membaca doa dalam sebuah tempat terbuat dari kayu. Yang lainnya juga duduk bersimpuh, melakukan gerakan-gerakan sembahyang, memejamkan mata dan membaca doa. Kemudian seorang yang lainnya membawa semacam guci berisi air, menuangkannya ke telapak tangan mereka yang sedang bersimpuh. Lalu air itu diminum. Sebagian lainnya dipercikkan ke rambut. Kemudian ada semacam beras ditempelkan di kening, di antara dua alis. Saya merekam ritual tersebut dalam foto dan video. 
Pada saat berikutnya, ketika saya hendak mengambil gambar kuil-kuil lainnya, seorang pemuda baru datang dan bergegas mengenakan udeng, selendang dipinggang, dan sarung. Mengambil tempat di depan, lalu duduk dan menangkupkan tangan didepan dada. Tak lama seorang perempuan yang sudah berumur, menembangkan sebuah kidung dalam bahasa yang tidak saya mengerti. Menurut mas Wayan, itulah kidung doa. Tidak setiap orang bisa menembangkan kidung.
Puas berkeliling dan melihat-lihat, saya kembali ke tempat semula. Keluar dari Pura dan mengembalikan perlengkapan yang saya kenakan. Tidak ada tarif khusus atas perlengkapan yang dipinjamkan tadi, hanya saja dipersilahkan jika ingin menyumbang ke kotak khusus yang tersedia. Semacam kotak amal untuk infaq gitu deh.....
Petang kian pekat. Tak lama lagi waktu Magrib tiba. Namun Pura Tirta masih ramai. Rombongan turis dari Belanda terlihat masih asyik berkelana dalam kisah dan sejarah Pura Tirta Empul bersama guide-guide profesional. Terdengar oleh saya guide tersebut berbicara dalam bahasa Belanda. Wow...hebat ya. Selain bahasa Inggris dan Jepang, mereka juga bisa berbahasa Belanda. Tapi mas Wayan nyengir ketika saya tanya apa bisa juga berbahasa belanda? Tidak katanya. Cuma ngerti kata “Ikh hou van jou”. Wkwkwkwk
Beberapa foto hasil jepretan mas Wayan yang nyambi sebagai fotografer, saya bayari. Ga enak juga kalau tak diambil. Lagipula foto hasil jepretannya bagus-bagus. Di akhir kunjungan saya memberikan tips sepantasnya kepadanya. Wajahnya terlihat senang. Kami saling berterima kasih. Lalu saling mengucapkan salam. Saya pun melangkah keluar dari kawasan Pura. Mengembalikan payung yang saya sewa pada gadis kecil yang telah lama menunggu. Seuntai kata dan senyum darinya : “terima kasih ya tante, uangnya buat saya bayar sekolah”. Oh.....
Petang kian merayap. Pohon tua berusia ratusan tahun terlihat begitu angker. Bau kemenyan masih tercium dimana-mana. Saya menelpon supir untuk minta di jemput di depan. Akhirnya kami meninggalkan Tampak Siring dengan serangkaian kisah dalam kuntum sejarah kepercayaan umat Hindu di Bali.
Yeaah...This temple is beautiful, a lot of water, green trees and plants, and a lot of locals with rituals….
Dalam kendaraan menuju Kuta, perut yang mendadak lapar tak menemukan makanan yang sesuai selera. Tetapi Pak Ketut akhirnya membawa saya ke daerah Renon. Di sana ada rumah makan yang “aman” buat saya. Alhamdulillah... Setidaknya urusan perut selamat sebelum sampai Kuta. Ya hari itu saya ingin menginap di kawasan Kuta, karena esoknya ingin menjelajah Legian dan Kuta seharian.....

Seorang istri. Ibu dari dua anak remaja. Tinggal di BSD City. Gemar jalan-jalan, memotret, dan menulis.

Share this

Previous
Next Post »
Give us your opinion

Leave your message here, I will reply it soon!