Tampilkan postingan dengan label Wisata Palembang. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Wisata Palembang. Tampilkan semua postingan

Menengok Dua Objek Wisata Religi Khas Wong Kito

Mengunjungi Objek Wisata Religi Kota Palembang

Palembang adalah kota tua yang layak berbangga diri. Di Kota yang pernah menjadi pusat peradaban Kerajaan Sriwijaya ini terdapat banyak objek wisata bernilai tinggi. Dua di antaranya adalah Museum Alquran Raksasa dan Kampung al-Munawar. Bagi wisatawan muslim seperti saya, kunjungan ini tentu tak hanya memberikan pengalaman yang berkesan, tetapi juga membekaskan nilai spiritual.

kampung al munawa
Kampung Arab al-Munawar Palembang
Museum Alquran Raksasa 

Bayt Al Qur’an Al Akbar merupakan mahakarya asli Wong Kito berupa Alquran yang dipahat di permukaan kayu tembesu berukuran panjang 177 centimeter dengan lebar 140 centimeter dan ketebalan 2,5 centimeter. 

Museum Alquran raksasa berlokasi di Jalan M. Amin Fauzi, Soak Bujang RT. 03 RW. 01, Kelurahan Gandus, Kecamatan Gandus, Palembang. Tepatnya di Pondok Pesantren Al Ihsaniyah Gandus Palembang. Bagi wisatawan yang berasal dari luar kota, akses menuju lokasi bisa dimulai dari Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II. Selanjutnya naik transportasi umum seperti Trans Musi, turun di Halte Jembatan Musi II, kemudian dilanjut naik angkot jurusan Gandus. 

Sesi terakhir perjalanan yang saya tempuh melewati jalan desa yang tidak mulus dengan pemandangan rumah-rumah yang berdiri di atas rawa. Setelah menemukan papan nama bertuliskan Pondok Pesantren Al Ihsaniyah, mobil belok ke kanan, lalu lurus. Tak lama setelah itu, kami pun sampai. Di kawasan ponpes yang didirikan oleh DR. H.Marzukie Ali ini terdapat area parkir dan pondok-pondok tempat penjualan cinderamata. Museum berada di seberang ponpes, bersebelahan dengan rumah pemiliknya. Untuk masuk, kami membayar tiket sebesar Rp 5.000 per orang.

Bangunan museum tampak seperti rumah tinggal pada umumnya. Namun, siapa sangka di dalamnya tersimpan karya seni yang mendunia. Setelah melepas alas kaki, saya memasuki museum. Di dalam, mata langsung disambut Alquran raksasa berbentuk lembaran kayu yang dipasang seperti jendela di bangunan bertingkat lima. Rasa takjub langsung memenuhi ruang hati. Terdengar lantunan ayat suci Alquran yang diputar dari MP3, membuat suasana museum kental dengan nuansa religi. 


alquran raksasa di palembang
Museum Alquran Raksasa di Palembang

Sekilas Sejarah Pembuatan Alquran Raksasa

Menurut sejarahnya, gagasan pembuatan Alquran terbesar tercetus pada tahun 2002 setelah Ustad H.Syowatillah Mohzaib merampungkan pemasangan kaligrafi, pintu dan ornamen Masjid Agung Sultan Mahmud Badaruddin II, Palembang. Sebagai pecinta seni kaligrafi dan ukiran khas Palembang, serta demi kelestarian seni, gagasan tersebut dikerjakan dan akhirnya satu keping lembaran kaligrafi Alquran (Surat Al-Fatihah) berhasil dibuat. Tepat pada tanggal 1 Muharram 1423/15 Maret 2002, atas inisiatif H. Marzuki Alie dan pengurus Masjid Agung Palembang, satu keping Alquran raksasa yang terbuat dari kayu tembesu berukuran 177cmx140cm dengan ketebalan 2,5cm, dipajang pada acara bazar peringatan tahun baru Islam yang diketuai oleh H. Marzuki Alie sendiri.

Proses pembuatan Alquran ukir dikerjakan di kediaman Ustad H. Syofwatillah, di jalan Pangeran Sido Ing Lautan Lr Budiman, No. 1009 Kelurahan 35 Ilir Tangga Buntung Palembang. Awalnya, pembuatan Alquran raksasa diperkirakan selesai tahun 2004, tapi meleset dari target karena terkendala dana dan bahan kayu tembesu yang sudah mulai langka. 


Alquran ukir raksasa dibuat dengan tujuan utama untuk memuliakan Alquran dan mensyiarkan Islam. Supaya awet dan tahan lama, maka digunakanlah kayu tembesu. Sedangkan ornamen-ornamen ukiran khas Palembang dibuat untuk menambah keindahannya, sekaligus untuk mempromosikan budaya dan tradisi Kota Palembang dalam karya seni ukir yang sudah ada sejak zaman Kerajaan Sriwijaya dan masa Kesultanan Palembang Darussalam.

Teknik pengukiran yang rumit dan tidak bisa dikerjakan sendirian, menyebabkan lamanya proses pembuatan. Proses pembuatan mendapat pengawasan yang ketat dan melibatkan berbagai keahlian personil dalam tim. Dari sebelum diukir di atas papan, ayat-ayat Alquran terlebih dahulu ditulis di atas kertas karton, lalu tulisannya dijiplak ke kertas minyak. Sebelumnya, tulisan ayat Alquran di atas karton dikoreksi dulu oleh tim pentashih yaitu para ulama ahli Alquran dan para hafidz sehingga jika terjadi kesalahan langsung diperbaiki. 


Pembuatan Al Quran Al-Akbar rampung pada tahun 2008. Ayat Alquran dari juz 1 hingga juz ke-30 berhasil diukir dalam 630 halaman atau 315 lembar kayu. Kurang lebih ada 40 meter kubik kayu yang digunakan. Biaya pembuatan keseluruhan menghabiskan dana sekitar 2 miliar. Peluncurannya dilaksanakan pada hari Kamis tanggal 14 Mei 2009 di Masjid Agung Palembang oleh Kepala Departemen Agama Provinsi Sumatera Selatan, H.Najib Haitami. Hadir dalam peluncuran para hafizh dan hafizhah se-Sumatera selatan.

Alquran ukir raksasa dipublikasikan pertama kali oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono pada tanggal 30 Januari 2012. Peresmiannya bertepatan dengan momentum Konferensi Persatuan Negara-negara Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Kota Palembang yang dihadiri oleh sekitar 51 negara Islam di dunia. Disamping peluncuran, dilakukan juga penandatanganan prasasti Al Quran Al Akbar di hadapan peserta konferensi PUIC. Seluruh peserta yang hadir saat itu sepakat menobatkan Al Quran Al Akbar sebagai satu-satunya Alquran terbesar di dunia dari jenis ukiran kayu.

Untuk melihat lebih banyak lagi lembaran kayu, kami masuk ruang galeri. Di balik lembaran kayu yang paling depan terdapat banyak lembaran kayu lainnya di bagian belakang. Beberapa pengunjung tampak berpindah dari lembar kayu yang satu ke lembar lainnya. Saat itu, pengunjung hanya bisa melihat-lihat galeri di lantai dasar. Tangga menuju lantai 2 dan 3 sedang ditutup, sepertinya terkait faktor keamanan.

Kemegahan dan keindahan Al Quran Al Akbar mengundang decak kagum bagi setiap pengunjung yang melihatnya. Tak heran bila Alquran raksasa ini menjadi terkenal di seluruh penjuru Tanah Air. Tak hanya Museum Rekor MURI saja yang memberi pengakuan, bahkan dunia internasional pun mengakuinya sebagai Alquran Ukir terbesar di dunia yang pernah ada saat ini. 


Kampung Arab al-Munawar

Kampung al-Munawar tak hanya memesona dari segi bangunan lawasnya, tapi juga dari rekam sejarah dan budaya. Komunitas Arab yang tinggal di kampung ini adalah bagian dari kekayaan sejarah, budaya, dan intelektualitas kota Palembang. Mereka telah memberi banyak andil dalam perkembangan kota Palembang.

Kampung Arab al- Munawar merupakan salah satu kampung Arab paling termasyhur di Indonesia. Terletak di Kelurahan 13 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu II, Kota Palembang, atau di sisi bagian Ulu (Selatan) Palembang. Kampung ini tepat berada di pesisir Sungai Musi, tak jauh dari Jembatan Ampera. Untuk mencapai lokasi kampung Arab bisa melalui dua jalur. Jalur pertama lewat darat, jalur kedua lewat sungai dengan menggunakan perahu.

Saya berangkat menggunakan perahu sewa dari Dermaga 16 Ilir Palembang dengan waktu tempuh sekitar 10 menit. Kampung al-Munawar mudah ditemukan karena bagian tepinya yang menghadap ke sungai terpampang tulisan ‘al Munawar’ dan logo ‘Pesona Indonesia’. Ada pijakan kayu untuk mendaratkan kaki, semacam jembatan penghubung menuju daratan. Pagar hitam dan bangku-bangku kayu bercat oranye kecoklatan di jembatan bersanding dengan pot-pot bunga berbentuk kubus, menjadi bagian yang langsung menarik perhatian. 

Kampung Arab alMunawar

Ada rasa nyaman kala melihat bagian tepi sungai al-munawar yang tertata rapi. Nuansa tradisional dibalut dengan sentuhan modern membuat tempat ini menarik untuk dipandangi. Pada sebuah belokan, sebelum kaki menyentuh daratan, ada sebuah Musala yang lokasinya menjorok langsung ke permukaan sungai. Beribadah di sini tentu punya sensasi yang sangat berbeda. Sesampainya di daratan, kami melewati jalan tidak lebar menuju sebuah lapangan, pusat Kampung Al Munawar. Di sini, nuansa tradisional dan kota tua mulai terasa kental.

Di sekitar lapangan yang menjadi pusat kampung Arab terdapat rumah-rumah panggung berusia ratusan tahun yang memiliki keunikan berbeda antara satu dan lainnya. Salah satunya milik Pak Muhammad al-Munawar, Ketua RT yang juga merupakan generasi keenam keturunan langsung leluhur kampung: Habib Hasan al-Munawar. Cicitnya cicit Habib Hasan. Beliau adalah orang pertama yang saya jumpai di sini dan darinya saya memperoleh banyak cerita. 




Dinamakan Kampung Arab karena di sinilah awal para pedagang-pedagang arab bermukim. Sedangkan nama Al-Munawar diambil dari seorang tokoh yang dihormati warga setempat yakni Habib Abdurrahman Al Munawar. Ia adalah salah satu tokoh yang menyebarkan agama Islam di masa awal masuknya Islam ke Palembang. Bagi orang Palembang, nama al-Munawar sudah sangat familiar sejak dulu, tapi baru belakangan mulai ramai dikunjungi wisatawan. Tak hanya weekend, tapi juga weekdays.

Sebagai sebuah kawasan yang cukup tua di Palembang, Kampung Arab memiliki delapan rumah tua berusia hingga lebih dari 250 tahun. Terdapat rumah panggung tradisional bergaya limas, ada pula rumah dengan arsitektur yang kental dengan nuansa Timur Tengah dan Eropa. Rumah-rumah tersebut masih kokoh berdiri hingga kini. Rahasianya ada pada kayu yang dipakai sebagai material bangunan yaitu kayu Ulin. Nuansa vintage dan eksotis dari Kampung Arab membuat saya bagai tersedot ke masa lalu.



Sebagian besar rumah-rumah tua telah dihuni secara turun-temurun, sehingga lumrah bila dalam satu rumah dihuni oleh beberapa kepala keluarga. Pak Muhammad al-Munawar mengajak kami melongok ke dalam rumah Ibu Lathifah al-Kaab, yang masih satu garis keturunan dengan Pak Muhammad. Ibunya Bu Lathifah bermarga al-Munawar. Namun karena menikah dengan pria bermarga al-Kaab, Bu Lathifah dan seluruh saudaranya menyandang nama keluarga al-Kaab.

Rumah Bu Lathifah merupakan salah satu dari delapan rumah asli Kampung al-Munawar yang dibangun di era Habib Hasan. Rumah-rumah tersebut dibangun untuk anak-anak Habib Hasan, dan kemudian menjadi cikal-bakal kampung. Meski berusia nyaris 300 tahun, bangunan lawas dan eksotik ini masih tampak kokoh dan gagah. Nuansa Eropa terlihat dari pintu-pintu dan jendela yang berukuran besar dan tinggi. Bahkan, lantai rumahnya bukan marmer biasa, melainkan granit yang didatangkan langsung dari Italia. 

Salah satu rumah tua di Kampung al-Munawar



Terdapat Madrasah Ibtidaiyah (MI) Al-Kautsar, tempat belajar anak-anak Kampung Arab Al Munawar dan sekitarnya. Sebagaimana kampung tua, bangunan madrasah tersebut juga mempunyai bentuk bangunan yang vintage dan eksentrik. Di Kampung ini, Jumat adalah hari libur, termasuk untuk kegiatan sekolah. Uniknya, di hari Minggu justru sekolah tetap berlangsung. Didekat madrasah juga terdapat sebuah klinik yang dikelola langsung oleh warga setempat.

Ada sekitar 30 kepala keluarga yang mendiami Kampung Al Munawar. Mereka semua mempunyai tali darah persaudaraan karena aturan yang tidak membolehkan mereka untuk menikah dengan orang di luar kampung. Namun aturan itu hanya berlaku untuk para perempuan saja. Para pria tetap boleh menikahi perempuan di luar kampung namun tetap saja darah Arabnya masih kental dari garis keturunan Ayah. Penduduk kampung Arab umumnya berprofesi sebagai pedagang.



Di masa lampau Palembang menjadi salah satu kota tujuan utama para pendatang Arab, selain Aceh dan Pontianak. Mereka adalah pendatang Arab yang benar-benar meninggalkan tanah kelahirannya dan menetap di Palembang, bukan hanya mampir di pelabuhan Palembang dan menetap sementara. Para keluarga Arab telah menetap di Palembang sejak tahun 1732. Di antaranya adalah marga Al-Habsyi, Bin Syihab, As-Saqqaf, Al-Jufri dan Al-Munawar. Sebagian besar pendatang Arab di Palembang berasal dari keluarga Sayyid, yang diyakini sebagai keturunan langsung pendiri agama Islam.

Singkat kata, pendatang Arab yang tiba di Palembang adalah orang Arab dengan garis keturunan terhormat, dari kelas ekonomi menengah, dan terdidik dengan baik. Kombinasi ketiga hal ini yang membuat komunitas Arab di Palembang berkembang pesat secara ekonomi dan membuatnya menjadi sangat penting.



Kampung Al-Munawar dapat dikunjungi setiap hari. Untuk kegiatan wisata dapat dilakukan mulai dari jam 7:30 pagi sampai 5 sore. Hari Jumat adalah hari libur di kampung ini sehingga kegiatan wisata juga tidak diizinkan. Jika dulu bebas biaya, kini Kampung Al-Munawar sudah mematok tiket sebesar Rp 2.000 untuk tiap wisatawan yang datang berkunjung.

Nilai-nilai Islam menjadi atmosfer utama di Kampung Arab. Karena itu, para warga menyediakan sarung bagi laki-laki, serta penutup aurat bagi perempuan. Hal tersebut menunjukkan norma dan budaya kesopanan yang selalu dijaga, baik oleh warga setempat maupun wisatawan yang berkunjung. Dalam moment-momen khusus seperti Tahun Baru Islam, Maulid Nabi, dan Ramadhan, warga kampung Arab menggelar berbagai acara budaya seperti kesenian gambus. Inilah yang juga menjadikan Al-Munawar sebagai salah satu lokasi wisata religi terbaik di Palembang. 




Kampung Arab Al-Munawar tetap terjaga kelestariannya meskipun sudah berusia ratusan tahun. Sejak tanggal 11 Februari 2017, Kampung Al Munawar resmi sebagai destinasi wisata budaya dan religi di Palembang. Ke depannya, sejumlah rumah tua juga akan diplot sebagai homestay demi menyambut perhelatan Asian Games 2018 dan MotoGP. Kampung bersejarah nan unik ini termasuk luar biasa karena dari hulu dan sepanjang Sungai Musi, bergulir keberagaman budaya. Indonesia tentu bangga memiliki kampung al Munawar. 

Wisata Religi Khas Wong Kito dimuat di Majalah Intisari edisi Agustus 2017


**

Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Agustus 2017
Semua foto oleh Katerina www.travelerien.com

Jangan Lewatkan 3 Destinasi Ini Saat Berwisata ke Palembang

Travelerien.com 

Liburan Asyik di Palembang - Menutup bulan April dengan jalan-jalan ke Palembang bersama keluarga. Hanya dua hari, Sabtu dan Minggu, tapi berkesan. Anak-anak pun senang. Hari Sabtu menghadiri acara diskusi “Ngeblog itu Asyik” di Stisipol Candradimuka dari siang sampai sore. Baru pada hari Minggu mulai jalan. Bersama Yayan, Deddy, Mbak Tati, kami sekeluarga berkunjung ke Bayt Al Quran Al Akbar (Al Quran ukir terbesar di dunia), Museum Balaputra Dewa dan Rumah Limas (rumah adat Palembang). 

al quran ukir raksasa
Bayt Al Quran Al Akbar

Museum Al Quran Ukir Terbesar di Dunia


“Mbak Rien wajib lihat Al Quran ukir raksasa. Bagus, mbak. Mesti ke sana pokoknya,” ujar Yayan berpromosi.

Saya memang tidak membuat rencana akan mengunjungi apa saja. Hanya ikut kemana Yayan menyarankan. Yayan sempat sebut Pulau Kemaro dan Kampung Al Munawar. Saya bilang sudah ke sana. Baru kemudian Yayan sebut Museum Al Quran raksasa. Nah, setelah mendengar kata “wajib”, saya langsung setuju. Kalau sudah disebut ‘wajib’, tentu istimewa untuk dikunjungi.

Nama Al Quran Al Akbar sudah lama santer terdengar. Rasa kagum dari cerita orang-orang yang pernah berkunjung sukses bikin saya penasaran. Seindah apa? Sebesar apa? 

Berkunjung bareng keluarga, Yayan, Deddy, dan Mbak Tati

Museum Al Quran raksasa berlokasi di Jl. M. Amin Fauzi, Soak Bujang RT. 03 RW. 01, Kelurahan Gandus, Kecamatan Gandus, Palembang. Tepatnya di Pondok Pesantren Al Ihsaniyah Gandus Palembang. Bagi wisatawan yang berasal dari luar kota, akses menuju lokasi bisa dimulai dari Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II. Selanjutnya naik transportasi umum seperti Trans Musi, turun di Halte Jembatan Musi II, kemudian dilanjut naik angkot jurusan Gandus.

Kami berangkat dari rumah Yayan di Silaberanti sekitar jam 10 menggunakan mobil. Mas Arief yang menyetir. Meski pernah lama tinggal di Palembang, Mas Arif sudah tidak begitu hafal jalan. Kami beruntung sekali ada Yayan dan Deddy yang menemani. Jam 11 kami tiba di lokasi. 


Baca juga: Menikmati Liburan Akhir Pekan di Palembang Bersama Keluarga





Sesi terakhir perjalanan kami melewati jalan yang tidak terlalu mulus. Setelah menemukan papan petunjuk bertuliskan Ponpes Al Ihsaniyah kami belok kanan, kemudian lurus terus sampai di ponpes. Ada area parkir yang tidak terlalu luas di sebelah kiri dekat gerbang ponpes. 


Terdapat beberapa pondok souvenir di sisi lainnya. Setelah memarkirkan mobil, kami jalan kaki menuju museum yang terletak di seberang jalan. Museum berada di pinggir jalan, bersebelahan dengan rumah pemiliknya. Untuk memasuki museum kami membeli tiket di loket dekat pintu masuk. Harga tiket Rp 5.000 per orang.




Usai melepas sepatu dan meletakkannya di rak yang tersedia, kami melangkah masuk. Rekaman suara orang mengaji, terdengar mengalun syahdu menyambut kehadiran setiap pengunjung museum. Seiring dengan itu pula mata disambut oleh pemandangan lembaran-lembaran kayu yang bertuliskan ukiran ayat-ayat suci. Tertata rapi mulai dari lantai dasar hingga lantai 3 paling atas. 


Ayat suci Al Quran sebanyak 30 juz terukir indah pada lembaran-lembaran kayu trembesi (kayu ulin). Berhiaskan ukiran khas Palembang yang dicat warna emas. 

Menurut keterangan tertulis yang terbentang tinggi pada sisi kiri dinding museum, kurang lebih ada 40 meter kubik kayu yang digunakan untuk membuat Al Quran raksasa. Biaya pembuatan keseluruhan sekitar 2 miliar.  Masing-masing lembaran kayu berukuran 177x140 dengan ketebalan 2,5 cm. 


Photo taken by Yayan @omnduut

Saya jadi tahu kenapa ayat suci Al Quran diukir di atas lembaran kayu trembesu (kayu ulin). Tujuannya agar mushaf jadi awet dan tahan lama. Kayu trembesu dikenal sebagai kayu terbaik dan berkelas. Penggunaannya mempermudah dan memperindah ornamen-ornamen ukiran khas Palembang sehingga disamping untuk mensyiarkan Islam, juga untuk mempromosikan budaya dan tradisi Palembang.

Untuk melihat lebih banyak lagi lembaran kayu, kami masuk galery. Di balik lembaran kayu yang paling depan ternyata ada banyak lembaran lainnya di belakang. Humayra tampak asyik berpindah dari lembar kayu yang satu ke lembar lainnya sambil sesekali menatap kagum ukiran huruf-huruf hijaiyah yang dilihatnya. Mungkin merasa ajaib melihat ada Al Quran raksasa seindah itu. 




Pengunjung hanya bisa melihat-lihat galery di lantai dasar. Tangga menuju lantai 2 dan 3 ditutup terkait faktor keamanan. Hari itu pengunjung museum ramai. Ruang galery penuh. Jika lebih banyak orang lagi kemungkinan tidak leluasa untuk lalu lalang. Berfoto di antara lembaran-lembaran kayu pun jadi buru-buru.

Proses pembuatan Al Quran ukir raksasa memakan waktu sekitar 7 tahun. Dipublikasikan pertama kali oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono pada 30 Januari 2012. Peresmiannya dihadiri oleh seluruh delegasi parlemen OKI. Ayat-ayat Al Quran yang diukir pada kayu berwarna dasar coklat terdiri dari 630 halaman dilengkapi dengan tajwid serta doa khataman bagi pemula.

Kemegahan dan keindahan Al Quran Al Akbar sangat mengagumkan. Tak heran bila Al Quran raksasa ini menjadi terkenal di seluruh penjuru Tanah Air. Tak hanya Museum Rekor MURI saja yang memberi pengakuan, bahkan dunia internasional pun mengakuinya sebagai Al Quran Ukir terbesar di dunia yang pernah ada saat ini. 





Museum Balaputra Dewa dan Rumah Limas

Usai mengagumi keindahan Bayt Al Quran Al Akbar di Gandus, kami meluncur ke Museum Balaputera Dewa yang berlokasi di Jalan Srijaya I No.288 KM 5.5, Alang Alang Lebar, Sukaramai, Srijaya, Kota Palembang. Museum ini jadi destinasi terakhir sebelum kami kembali ke Jakarta.

Dalam perjalanan menuju museum, kami mencari tempat makan siang. Sayangnya rumah makan pindang yang dicari tidak dijumpai. Hari itu saya ingin makan gulai pindang. Memang sudah diniatkan sejak dari Jakarta agar tidak melewatkan masakan pindang jika sedang di Palembang. Berhubung belum ketemu, akhirnya pencarian ditunda. Kami teruskan perjalanan menuju museum. 




Hari itu Minggu, hari libur, tapi museum tampak sepi. Area parkir kendaraan mobil pun kosong. Yayan sudah lebih dulu masuk dan membelikan kami tiket saat kami masih di luar. Di dalam saya jumpai pengunjung lainnya, hanya tiga orang pemuda.

Bangunan museum terlihat megah dari luar, begitu pula di dalamnya. Dinding lobinya berhiaskan ukiran khas Palembang. Museum Balaputera Dewa memiliki luas lahan sekitar 23.565 m2. Di dalamnya tersimpan 10 jenis koleksi. Jumlah koleksi mencapai 3.882 item terdiri dari koleksi dari zaman pra-sejarah, zaman Kerajaan Sriwijaya, zaman Kesultanan Palembang, hingga ke zaman kolonialisme Belanda. Berbagai koleksi tersebut dipamerkan di dalam tiga ruang pamer utama. 




Karena waktu terbatas, kami tidak memasuki ruang pamer museum. Kami hanya bisa  menyaksikan berbagai koleksi arca yang ada di selasar museum saja. Berbagai replika arca tersebut berasal dari zaman megalith di Sumatera Selatan. Menurut keterangan, benda-benda pra-sejarah berupa arca yang menjadi koleksi Museum Balaputera Dewa berasal dari 22 lokasi pemukiman budaya megalith yang berada dalam rangkaian Pegunungan Bukit Barisan di sisi sebelah barat Sumatera Selatan, yakni wilayah dataran tinggi Pagaralam. 


Berbagai arca yang saat ini menjadi koleksi museum antara lain arca megalith ibu menggendong anak, arca orang menunggang kerbau, hingga arca manusia dililit ular. 




Mungkin lain waktu saat punya waktu lebih lama, saya akan kembali lagi ke museum untuk melihat-lihat koleksi yang tersimpan di ruang pamer. Sebab dari koleksi-koleksi di ruang pamer itulah pengunjung seperti saya bisa mendapatkan informasi tentang awal mula sejarah berdirinya Kerajaan Sriwijaya di Nusantara.

Museum Balaputera Dewa dibuka setiap hari kecuali Senin mulai pukul 08.30 WIB hingga 15.00 WIB. Untuk bisa menikmati kekayaan sejarah yang tersimpan di dalam museum, pengunjung cukup membayar tiket dengan harga Rp 2.000 untuk orang dewasa dan Rp 1.000 untuk anak-anak. Relatif murah, ya :) 


Baca juga: Diskusi "Ngeblog Itu Asyik" Bersama Kompasianer Palembang

Rumah tradisional Palembang
Rumah Limas - Rumah tradisional Palembang

Rumah Limas Rumah Tradisional Palembang

Pernah mengamati lembaran uang kertas Rp 10.000,-? Gambar pada lembaran uang tersebut sangat mewakili Palembang, Sumatera Selatan. Selain gambar Sultan Badaruddin, di baliknya ada gambar Rumah Limas yang bisa ditemukan di halaman belakang Museum Balaputra Dewa. 


Saya jadi teringat bulan April lalu saat berkunjung ke Tidore dan Ternate. Pemandangan Pulau Maitara dan Tidore yang saya lihat dari Ternate juga tergambar dalam lembaran uang kertas senilai Rp 1.000,- 

Bagian paling depan dekat tangga adalah beranda yang tertutup
 
Rumah Limas merupakan rumah tradisional Palembang yang seluruh bagiannya terbuat dari kayu. Dinamakan Rumah Limas karena mempunyai bentuk limasan dengan gaya panggung. Kalau belum pernah melihat langsung wujud asli Rumah Limas, bisa lihat dulu gambarnya pada lembaran uang Rp 10.000,-. Bentuknya sama persis.

Secara kebetulan di dompet ada uang Rp 10.000 yang masih bagus dan kaku. Langsung deh dipakai buat foto. Saya dan Mas Arif bergantian memegang uang tersebut, lalu berfoto dengan latar Rumah Limas. Mungkin norak ya, tapi kami senang-senang aja :) Bangga saja rasanya ada pahlawan Palembang dan rumah adat Palembang tergambar dalam lembaran uang Indonesia.


Terdapat semacam jembatan penyambung antara dua bangunan rumah

Anak-anak juga senang. Abang Al berkomentar soal ukuran rumah Limas yang besar dan juga halamannya yang luas. Lalu saya tanya, suka rumah besar dengan halaman kecil atau rumah kecil dengan halaman luas? Al suka yang kedua. Kenapa bukan suka dengan rumah besar dan halaman luas? “Nanti kalau sudah tua kesepian, capek pula ngurusnya.” Saya tersenyum mendengar jawabannya. Sepertinya Al bercermin pada rumah eyang putrinya (ibu mertua) dan rumah buyutnya (kakek saya) :))

Setelah puas mengambil foto dari luar rumah, kami diajak Yayan masuk Rumah Limas dengan ijin khusus :D  


Oh ya, saya kira untuk masuk bisa lewat bangunan pertama yang paling depan, ternyata lewat bangunan kedua yang paling belakang. Setelah melepas alas kaki, kami menaiki tangga kayu yang berjumlah 5 anak tangga. Di ujung tangga sudah berdiri seorang penjaga sekaligus guide yang siap memberikan informasi terkait rumah Limas dan isinya. 

Ukiran khas Palembang berbentuk bunga, fauna, dan alam menghiasi perabotan dan dinding dalam rumah

Saat menaiki tangga itulah saya merasa dejavu. Sebuah kenangan masa kecil tiba-tiba muncul. Rasanya saya pernah ke rumah ini. Pernah menaiki tangganya. Pernah masuk dan melihat kamar-kamar di dalamnya. Pernah berfoto di berandanya. Pernah….Ya, saya pernah ke sini! Dulu sekali ketika masih SD, seusai mengikuti lomba cerdas cermat di TVRI Palembang. Masa ketika saya masih ingusan, menjadi siswi di Sekolah Yayasan Pertamina Pendopo. Ah, iya, saya ingat itu.

Di masa kini, Rumah Limas sebagai rumah tradisonal sudah jarang digunakan oleh masyarakat Palembang. Selain keterbatasan lahan, membangun rumah limas harus memiliki lahan yang sangat luas dan membutuhkan dana yang lebih banyak ketimbang membangun rumah pada umumnya. Oleh karena itulah, masyarakat Palembang percaya, pemilik rumah limas di zaman kesultanan Palembang adalah mereka yang memiliki kedudukan sosial dan ekonomi yang tinggi di masyarakat. 


Kursi singgasana untuk pengantin dan timbangan cinta

Rumah Limas didirikan sejak tahun 1830. Pemilik awalnya Pangeran Syarif Abdurrahman Al-Habsi dan berakhir di tangan Belanda pada awal abad ke-20. Setelah sering dipindahkan oleh pemiliknya, pada 1985, rumah ini dipindahkan ke Museum Balaputra Dewa, dan dijadikan museum tersendiri yang diberi nama Museum Rumah Bari. 

Terdapat sejumlah koleksi barang tua peninggalan masa lampau seperti meja dan kursi yang sudah ada sejak jaman Belanda. Ratu Beatrix dari Belanda bahkan pernah duduk di kursi ruang tamu ini. Di depan pintu masuk terdapat piano antik yang masih berfungsi hingga sekarang. Petugas museum memperbolehkan kami mencobanya. Humayra yang tampaknya penasaran langsung memainkan jemarinya dengan sedikit malu-malu. Di lain waktu, Yayan memintanya bermain piano lagi, lalu merekamnya. Saya jadi penasaran ingin lihat videonya :D 

Perabotan dalam salah satu kamar Rumah Limas
 
Di ruang utama terdapat sejumlah perabotan, antara lain kursi singgasana untuk pengantin, timbangan cinta, kulkas tradisional, radio dan pemutar piringan hitam dari tahun 1896.

Total ada sekitar 6 kamar di dalam Rumah Limas. Ada yang berfungsi sebagai kamar tidur pengantin, kamar tidur utama, serta ada pula kamar pembantu di bagian belakang rumah. Semuanya punya ciri khas tersendiri, beberapa kamar dilengkapi Grobok Leket, yaitu lemari penyimpanan yang menyatu dengan dinding rumah.


Pondasi rumah limas terbuat dari kayu ulen. Pemilihan kayu ini bukan tanpa sebab mengingat kayu ulen mempunyai struktur yang kuat dan tahan air. Sementara bagian rumah yang lain  seperti pintu, pagar, dan lantai terbuat dari kayu trambesi tanpa menggunakan satu pun paku.


"Jembatan" penyambung antara rumah depan dengan rumah belakang

Rumah limas dalam budaya Palembang mempunyai makna filosofis yang mendalam. Tiap ruangan diatur dengan menggunakan filosofi kekijing. Dalam kekijing terdapat lima tingkatan ruangan yang diatur berdasarkan penghuninya, yaitu usianya, jenis kelamin, bakat, pangkat, dan martabat.

Rumah Limas kini menjadi koleksi terbesar Museum Balaputra Dewa Palembang. Mata uang pecahan 10.000 rupiah yang bergambar rumah limas merupakan upaya pemerintah untuk menjaga dan melestarikan bentuk Rumah Limas Palembang yang kaya akan makna filosofis.


Jembatan Ampera di latar belakang, landmark Kota Palembang

Liburan Menyenangkan di Akhir Bulan


Rumah Limas menjadi penutup jalan-jalan kami di Palembang. Meski durasi kunjungan sekitar 1 jam saja, tapi sudah cukup untuk mengenalkan anak-anak pada bentuk asli rumah tradisional Palembang. Ini menjadi pengalaman pertama mereka dalam berwisata di Palembang, kota kelahiran mamanya. Saya juga senang melihat Mas Arif terkesan saat wisata religi mengunjungi Bayt Al Quran Al Akbar. Masih ingin balik lagi katanya, mau ajak bapak dan ibu mertua.

Usai dari Museum Balaputra Dewa, kami kembali mencari tempat untuk makan. Waktu sudah menunjukkan pukul 13.37. Humayra sudah mulai merintih lapar. Disaat seperti itu kami diberi kemudahan, rumah makan yang dicari cepat ketemu. Alhamdulillah akhirnya makan siang di French Bakery & Bistro.


Di French Bakery & Bistro

haus...

Aneka pempek, gulai pindang ikan patin, mie rebus jawa, ayam keriting, ayam keremes, kwetiaw,  jadi menu makan siang kami. Tak ketinggalan minuman-minuman segar seperti es ‘darah dingin’, coral blue, jus kedondong, jus kiliminjaro, dan jus alpukat. Senang deh, akhirnya kesampaian juga makan gulai pindang patin di Palembang.

Bertujuh kami makan bareng sebelum akhirnya berpisah. Mbak Tati pulang lebih dulu karena pesawatnya jam 3. Kemudian berpisah dengan Yayan di Gramedia. Sedangkan Deddy ikut kami mengantarkan mobil ke rumah kak Digno dekat YPAC. Setelah itu saya dan keluarga melanjutkan perjalanan ke bandara, Deddy pulang ke rumahnya. 


Pindang Patin idaman

Paket nasi ayam keremes

Makanan terenak di dunia :D  - Pempek Pistel, Pempek Kulit, Pempek Telok, Pempek Lenjer

Paket Perjalanan Hemat

Dua hari di Palembang terasa berkesan. Meski akhir bulan, saat duit di dompet sudah menipis, tetap bisa jalan-jalan senang dan makan-makan kenyang. Padahal lumayan lho tiket pesawat PP buat 4 orang hehe. Belum lagi hotelnya. Tapi syukurlah kemarin belanja tiketnya di Traveloka. Dapat harga hemat. Liburan akhir bulan tetap aman di kantong.

Sore itu kami tiba di bandara tepat waktu. Tidak telat, tidak pula terlalu cepat. Saat menunggu di ruang tunggu pesawat, saya teringat kembali kejadian di awal bulan April saat memesan tiket ke Palembang. Seperti biasa, saya memesan tiket pesawat lewat Traveloka


Nah, tiket ke Palembang yang sudah saya beli terpaksa di-reschedule karena saya mendapat jadwal menjadi narasumber diskusi “Ngeblog Itu Asyik” di Kampus Stisipol Palembang. Urusan resechedule ini sempat membuat saya mengira bakal ribet. Tapi itu tidak terjadi, dengan adanya fitur Easy Reschedule Traveloka ternyata urusan ubah jadwal tiket pesawat jadi mudah. Saya tidak perlu telpon maskapai. Hanya dengan beberapa klik saja langsung selesai.

Liburan asyik bawa pulang oleh-oleh dan cerita seru. Terima kasih krupuknya, Om!

Selain kemudahan reschedule, Traveloka kini juga memberikan kemudahan berlibur dalam bentuk paket tiket pesawat dan hotel. Karena yang  namanya liburan tentu tidak hanya butuh tiket tapi juga hotel. Jika biaya tiket dan hotel bisa dihemat, dana lebih bisa digunakan untuk hal lain. Misalnya untuk tambahan biaya makan-makan, beli kebutuhan saat di perjalanan, bahkan untuk tambahan beli oleh-oleh.

Selain lebih hemat, memesan paket tiket pesawat dan hotel di Traveloka juga praktis tanpa repot. Prosesnya cepat dan mudah. Tinggal melakukan beberapa klik, tiket pesawat dan hotel sudah ditangan.

Keuntungan lainnya adalah Pilihan Variatif, di mana ada ratusan tawaran ekslusif yang bisa diubah sesuka hati untuk mendapatkan kombinasi terbaik. Kita bisa tentukan sendiri paketnya sampai benar-benar sesuai dengan kebutuhan. Beragam Pilihan Pembayaran juga makin mempermudah kita dalam bertransaksi. Kita bisa bayar dengan cicilan, Transfer & ATM, dan kartu kredit. Berapapun nilainya.


Baca juga: Pengalaman Merencanakan Liburan Tanpa Ribet

Pergi liburan senang, pulang liburan tenang

Liburan nyaman dengan harga aman di kantong adalah harapan banyak orang. Merencanakan liburan tanpa ribet juga keinginan banyak orang. Nah, kalau dengan bertransaksi di Traveloka saya bisa dapatkan itu, yang lain mestinya juga bisa.

Tepat pukul 18.00 kami boarding. Anak-anak membawa tasnya masing-masing. Barang bawaan bertambah karena ada oleh-oleh yang dibawa pulang. Ada kantong besar berisi kerupuk oleh-oleh dari Yayan. Ada dus isi pempek Candy yang kami beli saat dalam perjalanan menuju bandara. Dan yang paling penting, ada oleh-oleh cerita dan pengalaman jalan-jalan yang kami bawa pulang. Semua menjadi kenangan dalam benak dan hati kami masing-masing.

Sampai jumpa lagi Palembang. Kota kelahiran dengan seribu kenangan.


Liburan berkesan bersama mereka. Terima kasih! :)


**

Palembang, 29-30 April 2017

Liburan Akhir Pekan di Palembang Bersama Keluarga

Palembang sangat berkesan bagi Mas Arif. Tempat dimana dia pernah tinggal lama untuk studi. Di kota ini dia punya banyak teman dekat, juga punya satu keluarga angkat. Semuanya masih ada dan masih berhubungan baik sampai kini. Meski masa kuliah telah lama berlalu, tapi kecintaannya pada Palembang masih kuat. Bahasa Palembang masih lancar. Semua kuliner khas Palembang pun masih jadi kesukaan.

Bulan April ini, Palembang jadi pilihan Mas Arif untuk membawa kami jalan-jalan. Ceritanya dia ultah (saya ga usah sebut tgl nya, ya), mau traktir-traktir keluarga. Bukan untuk merayakan, tapi sebagai tanda syukur dan bahagia karena masih punya usia sehingga masih bisa berkumpul bersama keluarga yang dicintai. Kalau soal traktir, tiap hari di rumah juga ditraktir berkali-kali :D 


Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang

Nah, kenapa Palembang? Katanya, kalau masih sekitaran BSD saja, atau katakanlah Jabodetabek, sudah biasa. Sesekali cari yang beda. Jauh di luar kota. Dan kota yang dipilihnya adalah kota yang pernah memberinya banyak kenangan.

Rencananya, Mas Arif mau ajak kami makan berbagai jenis makanan khas Palembang di beberapa tempat yang sudah direkomendasikan teman. Nama-nama makanan dan nama-nama tempat sudah kami catat. Terealisasi semua atau tidak, itu urusan nanti. Tidak semua harus sesuai list, kan? Mana yang mudah ketemu saja. Santai pokoknya. Karena di Palembang cuma buat makan-makan, kami tidak perlu lama-lama. Dua hari cukup. Pergi Sabtu pagi, pulang Minggu malam. 



Humayra dengan latar belakang Menara Jembatan Ampera

Ditraktir Kompasianer Palembang di Pempek Beringin

Sampai di Palembang, niat Mas Arif mau traktir-traktir, malah dia yang ditraktir orang. Kok bisa?

Hari pertama tiba di Palembang (Sabtu 29/4/) kami tidak langsung meluncur ke tempat-tempat kuliner, melainkan ke Kampus Stisipol Candradimuka dulu. Di sana saya hadir sebagai salah satu pembicara dalam acara sharing tentang blogging. Acaranya berlangsung dari jam 1 siang sampai 5 sore. Setelah makan siang sekedarnya di rumah makan masakan Padang depan kampus, Mas Arif dan anak-anak meluncur ke hotel. Sedangkan saya masuk kampus, bersiap mengisi acara.

Sorenya, setelah acara di Stisipol kelar, yuk Elly Suryani (Kompasianer Palembang) mengajak saya dan beberapa kawan blogger lainnya makan di Pempek Beringin dekat PTC Mall. Bukan sekedar diajak, tapi ditraktir. 


Baca juga : Diskusi "Ngeblog itu Asyik" Bersama Kompasianer Palembang
 

"Ngeblog itu Asyik" bersama Kompasianer Palembang

Mas Arif dan anak-anak saat itu sedang otw ke Stisipol, mau jemput saya. Saya bilang ke Mas Arif agar menyusul ke Pempek Beringin saja, biar sekalian makan bareng. Anggap saja RM Pempek Beringin itu sebagai tempat pertama untuk memulai kulineran di Palembang. Kebetulan
di Pempek Beringin tersedia beberapa makanan yang memang sudah jadi incaran kami sejak dari Jakarta.  Cocok deh. Mas Arif setuju. Kami pun kulineran. Ai makan tekwan, Al makan pempek, dan Mas Arif makan Lenggang kesukaannya. Es Kacang merah idaman pun tak lewat dari pesanan. 

Saya bisa lihat Mas Arif dan anak-anak begitu menikmati makanan yang mereka pesan. Tampak senang dan puas. Mungkin memang beda kali ya rasanya kalau makan makanan Palembang di tempat asalnya. Lebih enak. Lebih terasa taste-nya. Lebih dapat feel-nya. 

Kecil-kecil makannya banyak ya :D

Makanan terenak di dunia!

Di RM Pempek Beringin Mas Arif berjumpa kedua kalinya dengan Yayan dan Dedi. Terakhir ketemu waktu jalan bareng ke Krui, Pesisir Barat Lampung. Pertama kali pula bagi Mas Arif ketemu dengan Maman, teman jalanku saat trip Festival Krakatau 2016 lalu. Mereka sudah saling follow di IG sejak sebelum bertemu. Bersama kami ada mbak Ira Hairida (blogger Palembang). Nah, mbak Ira ini ternyata adik tingkatnya Mas Arif waktu di Unsri.

Setelah makan-makan, ngobrol-ngobrol, dan satu persatu mulai pulang, saatnya bayar. Tapi kasirnya bilang, semua sudah dibayar oleh Yuk Elly, termasuk pesanan anak-anak dan Mas Arif. Padahal tadinya bagian suami dan anak-anak mau saya bayar sendiri, karena mereka kan bukan dari bagian acara Kompasiana :D 

Alhamdulillah kalau begitu. Rejeki. Terima kasih buat Yuk Elly dan Kompasiana Palembang. Lain kali gantian kami yang traktir ya :)

Mas Arif ketemu kakak-kakaknya :D

Kompal yang Kompak!

Menginap di Airy PIM Letkol Iskandar 1

Dari Pempek Beringin PTC Mall, kami sekeluarga meluncur ke Benteng Kuto Besak (BKB).  Suasana malam minggu di sana ternyata ramai. Sayangnya, belum ada 5 menit jalan-jalan di sekitar BKB, Ai minta pulang. Katanya ngantuk. Seharian sejak berangkat pagi dari Jakarta dia memang belum tidur. Tidak lama setelah bilang ngantuk, matanya beneran terpejam. Tampaknya benar-benar sudah tidak tahan lagi. Ai digendong oleh Mas Arif, dibawa ke mobil. Kami pun pulang, tidak jadi menikmati suasana di pelataran depan BKB lebih lama lagi.

Malam itu kami menginap di Airy PIM Letkol Iskandar 1 yang terletak di Komplek Ilir Barat Permai. Dengan menggunakan mobil pinjaman dari Kak Andi (teman akrab mas Arif), kami meluncur ke hotel. Mudah bagi Mas Arif untuk mencapai Airy PIM, karena lokasinya masih di kota. Cukup dekat dari kawasan Benteng Kuto Besak. 

Airy PIM Letkol Iskandar 1 Palembang

Kamar Airy saya pesan sekitar 3 minggu sebelum keberangkatan. Sengaja jauh-jauh hari agar pilihan kamarnya masih banyak. Ada 2 tipe kamar di Airy PIM yaitu Superior Twin dan Superior Double. Saya pilih yang double. Harga yang saya dapat Rp 290.700,- nett, tidak termasuk sarapan.

Ini bukan pertama kali saya memesan kamar Airy Rooms. Sebelumnya juga pernah memilih kamar Airy saat traveling ke Lampung. Alhamdulillah selalu cocok dengan kamarnya. Makanya di Palembang pun saya pesan Airy lagi sebagai tempat menginap. 


Baca juga: Menginap di Hotel Airy Tugu Adipura Lampung

Tipe Superior Double

Cara pesan kamar di Airy Rooms bisa lewat situs resminya di www.airyrooms.com, bisa juga lewat aplikasi ponsel.

Saya pesan Airy PIM Letkol Iskandar 1 lewat aplikasi Airy Rooms di Android. Saat ini pun sudah ada juga aplikasinya di App Store. Tak sampai 5 menit, pesanan diterima dan dikonfirmasi. Setelah melakukan pembayaran melalui ATM, Kode Pemesanan saya terima lewat email. Sangat mudah, bukan? Mengenai cara pembayaran, selain transfer bank (ATM), bisa juga dengan credit card.  

Airy Sunrise Meal

*Photo by Airy Rooms*

Airy PIM Letkol Iskandar 1 punya banyak kamar. Hotelnya besar. Dekat dengan pusat perbelanjaan Ramayana. Kedai makan juga banyak di sekitarnya. Tinggal jalan kaki sebentar kita bisa sampai di toko, rumah makan, bahkan mall. Jembatan Ampera, Masjid Agung, Monpera, Benteng Kuto Besak, semuanya dekat dari hotel. Jalan di depan hotel dilalui oleh angkutan umum seperti angkot dan bus. Ojek dan becak juga banyak lalu lalang.

Kami bermalam di Airy tanpa keluhan. Staff ramah dan layanan pun prima. Fasilitas di kamar seperti TV dan AC, kamar mandi dengan shower air panas, semua berfungsi dengan baik. Colokan listriknya juga banyak. Internet WIFI lancar. Tersedia pemanas air untuk membuat minuman. Yang tidak ketinggalan dari Airy adalah Airy Sunrise Meal berupa snack yang disukai oleh anak-anak.

Meski berada di Kota, suasana di dalam maupun di luar hotel tenang. Kami bisa beristirahat dengan nyaman dan tidur dengan nyenyak. Untuk akomodasi murah yang nyaman di Palembang, hotel Airy adalah pilihan yang tepat.

Airy Rooms - FO

Airy Rooms - Lobby

Airy Rooms - Lobby

Sarapan Burgo di Rumah Yayan

Minggu pagi (30/4) saya mulai berkemas. Anak-anak bergantian mandi. Setelah itu kami langsung check-out. Rencana ketemu Yayan dan Mbak Tati di Jaka Baring tidak jadi karena urusan berkemas ternyata tidak bisa sebentar :D

Kami keluar hotel jam 8, belum sarapan. Teringat Sabtu malam Yayan bilang mau ajak sarapan bareng dekat rumahnya, makanya kami sengaja pagi itu belum makan apapun. Perut dibiarkan kosong biar bisa banyak menikmati makanan yang akan kami beli di tempat yang Yayan maksud.

Saya janjian dengan Deddy ketemu dekat Museum Sultan Mahmud Badaruddin II. Setelah itu baru pergi sama-sama ke rumah Yayan di daerah Plaju. Meski dulu waktu kuliah mas Arif pernah kos di Plaju, tidak berarti Mas Arif masih hafal dengan seluk beluk jalan di Plaju. Jadi kami memang perlu Deddy untuk jadi penunjuk arah. 

Suasana pagi dekat Jembatan Ampera

Sebelum ke Palembang, Yayan sudah minta agar kami mampir ke rumahnya. Tentu dengan senang hati kami penuhi permintaan tersebut. Setulus hati Yayan yang meminta, setulus itu pula kami kami melangkah ke rumahnya.

Ah iya, pagi itu rencana untuk jajan sarapan dekat rumah Yayan tidak jadi. Yang ada malah diajak sarapan di rumahnya (rumahnya Yayan). Berarti kami bakal numpang sarapan :D

Ketika sampai, Yayan sudah berdiri di teras samping rumahnya, menyambut kami. Sesaat sebelum masuk, saya memandangi rumahnya yang besar, juga halamannya yang tak kalah besar. Penghuni rumah Yayan pasti banyak, itu yang terlintas dalam pikiran saat itu. Prasangka yang keliru, sebab setelah masuk saya mendapati rumahnya sepi. Hanya Yayan dan ibunya, serta ayahnya yang masih di lantai atas.

Di rumah Yayan, bareng Deddy Huang dan Mbak Tati

Yayan punya 1 orang kakak perempuan dan 2 orang adik. Tapi kakaknya tinggal di rumah lain. Makanya rumahnya sepi. Padahal kamarnya banyak. Mungkin karena itu Yayan memilih bergabung di couchsurfing (mungkin lho ya), menyediakan kamar-kamar di rumahnya sebagai tempat bermalam untuk teman-temannya sesama anggota couchsurfing. Tidak hanya tamu-tamu dari luar negeri, teman-teman Yayan dalam negeri pun saya lihat (di medsos Yayan) pernah bermalam di rumahnya. Dan itu GRATIS! Hmm…gratis tapi dengan syarat dan ketentuan kali ya.

Yayan mengajak masuk, mengenalkan ibunya pada kami. Ibunya Yayan cantik. Masih kelihatan muda. Wajahnya Yayan mirip ibunya. Bedanya, ibunya putihan, anaknya...(ga tega nulisnya) :))

Ibu Yayan meminta kami untuk langsung ke meja makan. Mungkin tahu kami sudah menahan lapar belum sarapan sejak pagi. Saya malu sebenarnya. Baru datang langsung makan. Tapi apa daya, perut memang sudah minta diisi. Terpaksa rasa malu ditanggalkan dulu, ntar pas pulang dipasang lagi malunya *lol. Lalu jadi ingat kalau saya datang ke rumah Yayan dengan tangan kosong. Lupa bawa buah tangan! Iiiih…..*trus aku dijitak Mas Arif :p

Silaturahmi dengan Ayah dan ibunya Yayan

Melihat isi meja makan Yayan, saya merasa surprise! Menunya makanan khas Palembang semua. Ada burgo, kue srikaya, pempek, engkok, kemplang tunu dan satu lagi saya lupa apa namanya. Kenapa surprise? Karena saya tahu banget burgo itu makanan kesukaan Mas Arif. Setelah sekian lama tidak makan burgo, tiba-tiba di rumah Yayan sarapan burgo, senangnya pasti pake banget.

Bagi saya, burgo itu makanan istimewa. Dulu, kalau makan burgo mesti nunggu moment tertentu. Misalnya saat ada acara kawinan, lebaran, puasa, acara sunatan, ataupun moment spesial lainnya. Sekarang burgo sudah jadi makanan sehari-hari bagi masyarakat Palembang. Tidak harus menunggu acara tertentu untuk membuatnya. Meski begitu, belum tentu juga ada yang jual. Kalau mau, biasanya mesti pesan dulu. Nah, pagi itu, burgo yang dihidangkan ibunya Yayan memang beli, tapi pesan dulu. Bukan yang dijual begitu saja. 


Menu sarapan yang menggiurkan

Burgo dipotong-potong dulu sebelum dimakan

Hanya satu yang fokus ke burgo :D

Burgo merupakan salah satu makanan yang kami masukkan dalam daftar kuliner yang harus kami cicipi di Palembang. Tak disangka ternyata kami malah mendapatkannya di rumah Yayan. Alhamdulillah. Makanan yang mestinya buat jadi traktiran Mas Arif, ini malah dia yang ditraktir oleh Yayan :D

Akhir Pekan yang Berkesan

Berkunjung ke rumah Yayan, bertemu ibu dan ayahnya, merupakan kebahagiaan tersendiri bagi saya. Ditambah sarapan bareng menikmati lezatnya cita rasa makanan Palembang bersama Deddy, Mbak Tati, Mas Arif, Al, dan Ai,  membuat silaturahmi di hari Minggu pagi itu jadi sempurna. 

“Keluarga Yayan mengingatkanku pada keluarga angkatku semasa kuliah, Ma,” ucap Mas Arif saat kami dalam pesawat dari Palembang menuju Jakarta.

Silaturahmi selalu mengindahkan rasa. Mendekatkan yang jauh, mengakrabkan yang dekat. Semoga kebaikan keluarga Yayan dalam menjamu kami, mendapat balasan yang berlebih dariNya. 

Indahnya silaturahmi

Kami tidak berlama-lama di rumah Yayan karena hari itu kami akan jalan  ke beberapa tempat, mengunjungi Al Quran Ukir Terbesar di Dunia di Gandus, Museum Balaputera Dewa, dan Rumah Limas. 

Meski hanya 2 hari di Palembang, tapi sangat berkesan. Alhamdulillah anak-anak dan suami pun senang. Saya juga senang bisa menutup bulan April dengan jalan-jalan bahagia bersama keluarga. Semoga diberikan rejeki lagi agar bisa jalan-jalan ke kota lainnya juga. Aamiin

Cerita jalan-jalan di Palembang, serta pengalaman jadi pembicara di acara Kompasiana “Ngeblog itu asyik” akan saya tulis pada postingan lainnya. Masih mau baca, kan? :)


Palembang nyaman di hati. Yuk ke Palembang ^_^