Melancong ke Pulau Harapan


Langit di atas Jakarta pagi itu kelabu. Namun ribuan wisatawan terlihat memadati pelabuhan Muara Angke. Semua bergerak cepat mendekati kapal-kapal yang rapat bersandar di pelabuhan. Hanya ada satu alasan kenapa berkejaran dengan waktu, tak lain agar tak ketinggalan kapal. Kapal-kapal di Muara Angke biasanya berlayar tepat waktu. Telat sedikit bisa ditinggal.

Pelabuhan Muara Angke merupakan gerbang menuju Kepulauan Seribu. Tempat ini sering dijadikan meeting point para wisatawan yang akan menyeberang bersama kawan seperjalanan. Meski harus melewati pasar dengan aroma amis ikan segar, jalan becek, dan got yang tidak pernah kering oleh air berbau tak sedap, wisatawan tetap melangkah, seolah tak peduli. Pagi itu, saya salah satunya.
 
Dermaga Pulau Harapan

Menjejak Pulau Harapan
 
Cuaca sedang bersahabat. Langit cerah, matahari bersinar terang, gelombang pun tidak tinggi. Kapal berlayar lancar, melintasi pulau kecil-kecil yang tak berpenghuni. Meskipun disebut Kepulauan Seribu, namun jumlah pulau yang ada terbilang 342 saja. 60 pulau diantaranya adalah milik pribadi.

Setelah tiga jam berlayar, dari kejauhan tampak sebuah pulau yang air lautnya terlihat berwarna-warni karena biasan cahaya matahari yang mengenai karang di sekitarnya. Pulau Harapan namanya, salah satu pulau berpenduduk yang akan menjadi tempat saya menginap selama hoping island dari Pulau Bira, Pulau Putri, Pulau Bulat, hingga Pulau Perak.

Pulau Harapan memiliki dermaga yang panjangnya sekitar 30 meter. Di sepanjang jembatan itu berderet perahu motor yang biasa disewakan kepada wisatawan untuk aktifitas jelajah pulau. Yang menarik, dermaga ini memiliki Taman Terpadu yang di dalamnya tedapat wahana bermain untuk anak yang dilengkapi dengan saung dan bangku-bangku untuk duduk bersantai.
 
Selamat datang di Pulau Harapan

Ucapan “Selamat Datang di Pulau Harapan” menyambut kehadiran kami –saya dan teman-teman- sesampainya di pintu gerbang Pulau Harapan. Di sekitarnya ramai pedagang menjajakan aneka jajanan seperti siomay ikan, bakso ikan, batagor ikan, es krim, es kelapa, dan masih banyak lagi olahan ikan lainnya yang memang sudah menjadi ciri khas kuliner pulau setempat. Saya membeli beberapa makanan untuk mengganjal lapar. Rasanya lumayan enak.

Di dekat gerbang selamat datang terdapat sejumlah bangunan, seperti kantor kelurahan, rumah pegawai kantor kelurahan, puskemas, serta rumah-rumah penduduk. Suasana juga terlihat ramai. Umumnya para pelancong. Mungkin karena akhir pekan, banyak pengunjung yang datang.

Pulau Harapan memiliki banyak penginapan untuk wisatawan. Bukan hotel, apalagi cottage, melainkan kamar-kamar di rumah penduduk. Harganya bervariasi, mulai dari 250 ribu hingga Rp 350 ribu per malam. Harga tersebut sudah termasuk makan 3x, dengan fasilitas kamar mandi dalam, TV, dan AC. Walau tidak mewah, tapi cukup memadai.
 
Jarak rumah penduduk dan laut sangat dekat

Nyaman dilewati

Pulau yang mempunyai luas 6,7 hektre ini dihuni oleh penduduk yang berjumlah sekitar 600 jiwa. Orang-orang pulau terdiri dari berbagai suku. Mereka membaur dan mendiami pulau sudah sejak lama. Menikah, punya anak, dan bahkan cucu.

Kondisi pinggiran Pulau Harapan tampak rapi. Ada setapak lebar dan bersih tempat untuk berjalan kaki yang juga bisa dilalui kendaraan roda dua, serta pagar dan beton tinggi sebagai pembatas antara pulau dan laut, sehingga air laut yang dibawa ombak tidak masuk pemukiman.

Di sisi lain pulau, saya menjumpai pabrik pembuatan garam. Tak jauh dari pabrik, ada kapal pembersih sampah milik pemerintah daerah DKI. Fasilitas umum seperti areal perkuburan, sekolah, masjid, juga tersedia. Jika terus berjalan hingga ke ujung barat pulau, ada jembatan yang bisa dilalui untuk menuju Pulau Harapan Kecil. 
Masjid
Rumah inap pegawai kelurahan


Pabrik garam
Kapal pembersih sampah

Berlayar ke Pulau Perak
Usai menaruh semua barang di penginapan, kami kembali ke dermaga. Naik  perahu motor bermuatan 15-20 orang menuju Pulau Bira. Setelah berlayar sekitar 30 menit, dari kejauhan mulai terlihat garis pantai Pulau Bira yang berwarna putih. Semakin mendekat, terlihat warna air lautnya yang bergradasi. Mulai dari biru tua, biru muda, hijau, hingga putih.

Sebelum mencapai bibir pantai, mesin perahu dimatikan, jangkar dijatuhkan. Di sinilah tempat kami snorkeling. Saya melihat air di sisi perahu. Tampak sangat jernih, memperlihatkan terumbu karang beragam rupa.

Begitu peralatan snorkeling terpasang, kami pun berloncatan. Saya membawa serta kamera underwater. Sesekali mengapung, sesekali berenang, sesekali menyelam. Air laut terasa begitu hangat, membuat betah berlama-lama. Apalagi di dalam air, ikan-ikan cantik terlihat berenang ke sana kemari.

Dari perairan Pulau Bira, kami pindah dan melanjutkan snorkling di perairan Pulau Putri. Syukurnya jarak ke Pulau Putri tidak terlalu jauh. Ketika perahu berlabuh, kami kembali berloncatan ke laut. Berenang dan menyelam, menyaksikan keindahan terumbu karang.

Perairan Pulau Putri masih terbilang alami. Terumbu karangnya masih berwarna-warni. Ikan-ikan yang bergaris-garis seperti zebra, dengan warna garis  putih, hijau, biru, kuning, segera menyerbu begitu kami melemparkan makanan.

Pulau Putri diapit oleh pulau-pulau kecil di Kepulauan Seribu. Luasnya kurang lebih 8 hektar. Di dalam pulau terdapat resort. Sekeliling pantai pulau di beri bebatuan yang bertujuan untuk melindungi pulau dari abrasi air laut. Meski beraktifitas di perairannya, kami tidak menjejak daratannya.
 
naik kapal motor ke Pulau Perak


Wisatawan


Pantai Pulau Perak
Snorkeling

Setelah berenang dan snorkling di Pulau Puteri, kami kembali berlayar, pindah ke Pulau Perak. Saat berada di lautan, saya kembali melihat deretan pulau. Buat saya yang baru dua kali berlayar di Kepulauan Seribu, masih sangat sulit untuk mengenali pulau-pulau yang ada. Penampakannya sama, seperti gerumbul pepohonan dengan garis pantai putih, dan dermaga kayu.

Mengingat jumlah pulaunya yang banyak, membentang dari utara Jakarta hingga 120 km terus ke utara, maka hanya awak perahu saja yang hafal nama dan letak-letak pulau itu. Jack, awak perahu kami, bisa mengetahui nama pulau dari dermaganya. Ia bisa mengenali dengan baik dermaga masing-masing pulau.

Setibanya di Pulau Perak, kami kembali berloncatan, menjejak permukaan pasir putih yang terasa sangat halus di kaki. Di pulau tak berpenduduk ini, air lautnya sungguh cantik, hijau toska dan amat jernih. Dari ujung dermaga hingga ke daratan, airnya dangkal sehingga kelihatan dasarnya.

Setiap perahu yang bersandar di Pulau Perak dikenakan biaya singgah. Sedangkan wisatawan tidak. Biaya masuk tersebut tersebut digunakan untuk ongkos kebersihan pulau. Saya lihat kondisi pulau ini memang bersih, baik di daratannya maupun di perairannya. Pantainya nyaman untuk bermain dan berenang.

Pulau Perak hanya ditinggali oleh dua kepala keluarga. Mereka membuka warung makanan dan minuman, satu-satunya warung yang ada di pulau. Aneka minuman kemasan tersedia di sini. Selain minuman, penjual juga menyediakan aneka gorengan. Karena satu-satunya, tak ayal warung ini ramai diserbu wisatawan.

Pengunjung pulau lebih banyak berkerumun di sekitar pantai dekat dermaga. Ada yang berenang, menikmati jajanan, bermain ayunan tali, atau sekedar duduk di hamparan pasir menikmati pemandangan. Meski cuaca sangat panas, pohon-pohon pinus laut yang tumbuh di sekitar pantai mampu memberi kesejukan bagi wisatawan yang sedang berteduh.

Pulau seluas 3 hektar ini kerap dijadikan tempat berkemah. Ya, di sini para wisatawan memang diperbolehkan berkemah. Ada fasilitas kamar kecil untuk keperluan buang hajat. Letaknya agak ke tengah pulau, di antara rimbun pohon. Bagusnya lagi, pulau ini ternyata memiliki sumur air tawar yang begitu segar.

Mendirikan tenda, menyalakan api unggun sambil menikmati deburan ombak, barbeque seafood, atau sekedar berbagi cerita dengan sahabat, tentu menjadi pengalaman berlibur yang berkesan. Apalagi spot camping langsung menghadap ke pantai mungil berpasir putih.
 
Gerbang Pulau Bulat
Mengejar Sunset di Pulau Bulat 
 
Hari kian petang. Kami kembali berlayar. Ada sunset yang hendak kami kejar di sebuah pulau yang namanya tak tertera dalam peta, Pulau Bulat. Di pulau tak berpenghuni itu, suguhan sunrise dan sunset menjadi incaran para penikmat keindahan alam. Namun, jejak kejayaan masa silam sebuah keluarga yang begitu lekat dalam sejarah bangsa, menjadi daya tarik tersendiri.

Dari kejauhan, terlihat garis pantai Pulau Bulat yang berwarna putih. Semakin mendekat, terlihat pula warna air lautnya yang bergradasi. Mulai dari biru tua, biru muda, hijau, hingga putih. Airnya terlihat sangat jernih, memperlihatkan terumbu karang beragam rupa. Di permukaan pulau, pohon-pohon pinus tumbuh rindang laksana canopy. Menampakkan hijau sempurna di antara warna biru laut dan putihnya pasir di pantai.

Pulau Bulat dikelilingi tembok pemecah ombak. Di antara tembok itu ada sebuah celah diapit dua tiang serupa gerbang. Perahu melewati celah tersebut, mencari jalan untuk berlabuh. Namun laut terlalu dangkal untuk dilewati, perahu pun berhenti. Kami harus berloncatan ke air sedalam 50 cm. Ketika saya menoleh ke dermaga, perahu pengunjung amat rapat bersandar. Dermaga penuh!

Kesan pertama menjejak Pulau Bulat terasa nyaman dilihat. Tiada sampah dan kotoran yang berserakan. Hanya daun-daun pinus kering yang luruh tertiup angin, dan pengunjung yang asyik bermain, berlari, bahkan sekedar duduk saja di atas hamparan pasir. Tidak ada biaya masuk pulau yang harus dibayar. Gratis! Hanya perahu motor yang dipungut ongkos singgah, sekedar untuk biaya kebersihan pulau. Itulah mengapa pulau ini jadi bersih.

Pantai Pulau Bulat
Sisa Kejayaan Masa Silam 
 
Pesona bentang Pulau Perak terkuak seiring langkah kaki. Seperti namanya, pulau ini berbentuk bulat dan tidak terlalu luas, hanya 1,28 hektar. Cukup berjalan kaki selama 15 menit pulau ini selesai dikelilingi. Dari pulau ini terlihat deretan pulau lain yang jaraknya saling berdekatan.

Dari kabar yang beredar, Pulau Bulat merupakan pulau milik keluarga Soeharto yang pernah menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia selama 32 tahun kepemimpinannya. Namun kini seperti ditinggalkan dan tidak terawat, hanya ada penjaga pulau saja. Ada rasa takjub sekaligus sedih menyaksikan kemegahan fasilitas yang kini rapuh dan kian menua.

Sebuah bangunan penginapan cukup besar dan pendopo berukuran luas, masih berdiri kokoh di kelilingi pohon-pohon pinus. Ada jalan setapak yang menghubungkan kedua bangunan itu dengan tempat tinggal penjaga, bangunan penyimpan mesin jenset, tanki air, dermaga, serta landasan helikopter.

Deretan speedboat terpajang di tepian pulau. Ada jembatan menjorok ke laut, serta meja bilyard yang lapuk dimakan serangga. Tentu ada beribu kisah pernah tergores ketika pulau ini masih sering digunakan sebagai tempat peristirahatan keluarga Soeharto. Menyisakan sebuah kenangan yang saya sendiri tidak bisa melukiskannya seperti apa.
 
pendopo


villa

Kendati pulau ini menyediakan banyak fasilitas, tetapi banyak yang tidak berfungsi lagi. Bangunan penginapan berdebu, tampak kusam dan suram. Pendingin ruangan banyak yang rusak, listrik mati, dan talang air kering. Sulit mendapatkan air karena harus menimba dan airnya pun agak berbau. Lanskap pun tak lagi tertata. Landasan heli mulai rusak, tulisan WELCOME kehilangan huruf W. Tumbuhan liar tampak bergerilya merebut permukaan landasan. Aura ‘hidup’ sebuah pulau pribadi benar-benar tenggelam dalam kesuraman.

Minim fasilitas dan tidak direkomendasikan untuk berkemah, namun pelancong yang berminat ingin berkemah di Pulau Bulat tidak dilarang. Sensasi bermalam di pulau, berteman debur ombak, angin laut, dan milyaran bintang di angkasa, adalah pengalaman luar biasa bagi mereka yang selalu dirundung rindu menyatu dengan alam bebas. Tak peduli pada kegelapan dan kesunyian yang terkadang mencekam.  

Gita, temanku.

Pelestarian Alam di Pulau Kelapa Dua
 
Tak ada hiburan berarti yang bisa dinikmati di malam hari. Pulau Harapan menjadi sunyi. Beberapa wisatawan memang ada mencoba melawan kencangnya suara debur ombak dan angin laut yang bertiup kencang dengan berjalan di sekitar dermaga. Ada pula yang berkumpul di depan penginapan, menikmati ikan dan udang bakar yang dimakan bersama sambal kecap.

Keesokan pagi, agenda mengunjungi Pulau Kelapa Dua menjadi kegiatan berarti. Di sana terdapat pusat pelestarian penyu sisik (Eretmochelys Imbricata) dan Arboretum Mangrove milik kementrian kehutanan. Di tempat ini kami tak hanya melihat langsung penyu-penyu yang selama ini dalam pengawasan (untuk dilestarikan), tetapi juga aneka jenis mangrove yang ditanam di perairan Pulau Kelapa Dua.

Di pulau ini, himbauan untuk menjaga kelestarian alam gencar disuarakan. Ini bagus sebagai teguran buat kami para pendatang agar tak hanya datang untuk menikmati keindahan alam, tetapi juga harus tahu bahwa kami mesti ikut menjaga dan melestarikan kekayaan alam yang ada disetiap pulau yang kami kunjungi. Langkah kecil bisa dimulai dari hal sederhana, bukan? Misalnya tidak membuang sampah sembarangan selama berada di pulau. 
  
Tempat penangkaran penyu


Lokasi penanaman mangrove



Di dermaga Pulau Kelapa

Biaya Murah Untuk Pengalaman Tak Terlupakan
Terletak di sebelah utara Ibukota Jakarta, Kepulauan Seribu memang menyediakan banyak alternatif liburan yang bisa dinikmati. Dari sekedar duduk santai di pantai berpasir putih sambil menikmati es kelapa muda, ber-snorkeling atau diving diantara gugusan coral aneka warna, menikmati kuliner seafood, hingga camping di pulau tidak berpenduduk, semua tersedia.

Jarak dekat, biaya murah, serta beragam aktifitas pulau yang bisa dinikmati, membuat Kepulauan Seribu banyak diminati wisatawan. Tak heran bila menjadi destinasi wisata andalan Pemerintah DKI Jakarta. Dengan jarak sekitar 60 kilometer dari daratan Jakarta, tidak sulit untuk menjangkau Kepulauan Seribu karena moda transportasi laut selalu ada setiap hari, baik dari Pelabuhan Muara Angke maupun Marina Ancol.

Jika berangkat menumpang kapal feri dari Pelabuhan Muara Angke, biaya perorang Rp 45.000,- Untuk menyeberang ke Kepulauan Seribu juga bisa melalui Pelabuhan Marina Ancol. Namun di sana hanya tersedia kapal cepat (speedboat) yang berbiaya Rp 300.000,- / orang. Dengan speedboat, waktu untuk menyeberang sekitar 1 jam saja. Sedangkan kapal feri sekitar 2,5 jam. Namun, jika ombak sedang tinggi, waktu tempuh speedboat bisa menjadi 2 - 2,5 jam.  
  
Sampai jumpa lagi Pulau Harapan

Seorang istri. Ibu dari dua anak remaja. Tinggal di BSD City. Gemar jalan-jalan, memotret, dan menulis.

Share this

Previous
Next Post »

11 komentar

  1. wah sayang yah fasilitasnya banyak yang rusak

    BalasHapus
    Balasan
    1. Fasilitas di Pulau Bulat rusak karena tidak dirawat. Tapi pulaunya ada yang jaga :)

      Hapus
  2. Sudah lama ga ke pulau-pulau itu.
    Pergi rame2 bareng sepupu dan kawan2nya, berasa jalan bareng puluhan model dadakan. hahahaha....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahahaha.....nasib fotografer, disyukuri saja mas :D
      Kapan-kapan ke Kepulauan Seribu lagi mas. Ajak Yola dkk. Masih banyak pulau lainnya yang menarik untuk dikunjungi.

      Hapus
  3. Bangunan di Pulau Bulat entah kenapa memang mengingatkan saya pada masa-masa Orde Baru. Ternyata betul ya :haha. Agaknya di sana keluarga Cendana menampilkan sisi manusianya yang sejati--yang juga butuh tetirah. Ah namun sayang sekali kalau sekarang bangunan-bangunan di sana tidak terurus lagi. Padahal agak potensial juga kalau dikembangkan sebagai tujuan wisata baru.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kadang-kadang dari sisi yang berbeda, kehancuran memberi daya tarik :D

      Sebenarnya Pulau Bulat itu dijaga dan diurus. Tapi, karena bangunan yang ada tidak ditempati, tidak pula terlihat ada upaya perbaikan dan renovasi, seolah dibiarkan hancur, lalu usang dan rusak dimakan usia, makanya terkesan seperti tak terawat.

      Kalo sekarang sih memang sudah jadi tujuan wisata, tapi belum sampai tahap spesial. Mungkin perlu 'gebrakan' khusus biar ada yang mau kembangkan jadi tujuan wisata spesial :D

      Hapus
  4. Aku pernah ke pulau Harapan, sukaa bgt snorkeling di pulau macan dan pulau bintang. Lautnya bersiiih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah, aku malah belum snorkeling di P. Macan dan P.Bintang, Noe. Kemarin snorkelingnya di P.Putri dan P.Bira.

      Hapus
  5. huaaaa..aku kangen Kepulauan Seribua..kangen snorkeling dan diving hiks..di sini airnya dingin ajaa..dan Samudera Atlantik tidak secantik laut kita mbaa ..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau mudik ke Indonesia, mampir Jakarta mbak. Jalan-jalan ke Kep Seribu lagi yuk...

      Hapus
  6. Itu yang di Pulau Perak cuma dihuni dua kepala keluarga. Kalau mereka beranak pinak, apa anak2nya akan bertahan disana ataukah hijrah ya kira2? #malahnanya

    Yg di Pulau Bulat, mbayangin dulu saat jaman jayanya Soeharto bangunannya mungkin lbh sangar kali ya mbak?

    Kapan ya bisa kesana huhuhu

    BalasHapus

Leave your message here, I will reply it soon!