Mercusuar Anyer, Saksi Bisu Kekejaman Belanda Pada Rakyat Indonesia


Puncak siang di jalan Anyer, sekitar 38km dari kota Serang, terik bukan main. Demi sebuah tujuan, perjalanan berkendara tetap dilanjutkan. Lalu, terhenti di Mercusuar. Di tepi Pantai Anyer Kidul. Tidak tepat di Mercusuar, melainkan sekitar 10-15 meter dari letak bangunan mercusuar.

Macet. Bukan karena ada si komo lewat, tetapi karena ada perbaikan jalan. Pengecoran. Hanya tersedia satu jalur untuk kendaraan yang lalu lalang baik dari arah Cilegon maupun dari arah Anyer. Jadi, kendaraan mesti bergantian lewat. Kata orang hotel (tempatku menginap), perbaikan jalan itu sudah lama (ga disebut berapa lamanya), dan sampe sekarang belum kelar. 

Jadi, dalam minggu-minggu ini kalo berniat jalan ke Anyer, siap-siap saja menanggung macet panjang di Mercusuar ini. Saat ini saja belum musim liburan, tapi kepadatan kendaraan pribadi maupun bus-bus wisata sudah bukan main ramainya. Terlebih pada Sabtu dan Minggu, lumayan parah tuk bikin lumanyun. 

Moga saja saat musim liburan Juni nanti, perbaikan itu sudah kelar. Aamiin. 

Wisma Krakatau

Aku bermaksud belok kiri, masuk kawasan wisata Mercusuar melalui pintu masuk utama. Tapi tak bisa, terhalang oleh tumpukan kendaraan yang antri menanti giliran lewat. Maju kena mundur kena. Sedang saat itu, kendaraanku berada tepat di depan pintu masuk Wisma Krakatau dengan posisi lurus dengan bangunan mercusuar. Dekat sekali. Jika masuk lewat pintu pengunjung masih jauh. Kenapa ga lewat wisma Krakatau ini saja? Aku menghampiri penjaga yang duduk di Pos pintu masuk Wisma, dan katanya: Tidak Boleh!

Wuoh...kecewa deh ya. 

"Kalo saya masuk sendiri untuk foto-foto, boleh lewat sini?"
"Boleh, tapi mobilnya ga boleh masuk ya."

Alhamdulillah.

Anakku sedang tidur, jadi aku turun sendirian. Mobil menunggu di tepi jalan, di antara kemacetan yang luar biasa. Beruntung ada space di luar jalan, jadi tak mengganggu kendaraan lain yang mau lewat. 

Bapak Penjaga Menara (bertopi)

Aku masuk kawasan Wisma Krakatau. Tempatnya bagus juga. Persis di tepi pantai. Penginapannya serupa Villa, atau lebih tepatnya seperti rumah-rumah panggung di Palembang. Berjejer megah dari tepi jalan raya hingga tepi pantai. Full. Kendaraan tamu terparkir di depan masing-masing Villa. Kelebihan wisma ini, selain dekat dengan pantai, juga sangat dekat dengan mercusuar. Lha iya, bangunan mercusuarnya berdiri tepat di depan wisma kok. Kalo aku menginap di sana, bisa tiap saat kali ya naik turun mercusuar. Memandang kemanapun aku suka. Asal kuat kaki saja. Maklum, mercusuar ini tingginya 75,5meter dengan jumlah lantainya 18 tingkat. Wuiih!

Selama ini, sudah 4 kali aku berwisata ke Banten, tapi baru 2 kali melihat Mercusuar Anyer dari dekat. Pertama kali pada Juni 2009, empat tahun yang lalu. Dulu masuknya lewat gerbang utama. Parkir di lapangan berumput. Tempatnya tak menarik. Pemandangannya pun tak elok.  Seperti tak dikelola dengan baik. Kotor. Sampah sisa makanan dan minuman berserakan. Kumuh. Pantainya berkarang. Padahal, mercusuar ini bukan hanya sebagai icon wisata melainkan juga merupakan saksi bisu kekejaman Belanda terhadap ribuan rakyat Banten pada jaman penjajahan.

Pantai di depan Mercusuar

Kini, kondisinya telah sedikit lebih baik. Lumayan. Di sekitar Mercusuar sudah ada penambahan fasilitas, berupa saung untuk duduk-duduk. Menghadap pantai. Jalan setapak di depan pintu menara hingga tepi laut sudah bagus. Dan yang paling baru, kini ada semacam jembatan yang berdiri di atas laut. Tempat orang-orang berjalan dan melihat laut. Belum kelar sepertinya, tapi sudah bisa dilewati.

Menurut banyak sumber online yang aku baca, Mercusuar Anyer ini diyakini sebagai titik nol kilometer jalan Anyer (Banten) - Panarukan (Jatim). Sebab, dari sinilah awal mula Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda waktu itu, memulai proyek raksasanya pada tahun 1825. Daendels membuat jalan ekonomi Anyer-Panarukan sepanjang sekitar 1.000 km. Proyek yang menelan korban ribuan jiwa rakyat Indonesia itu menghubungkan Cilegon, Serang, Tangerang, Jakarta (dulunya bernama Sunda Kelapa, kemudian Batavia), Cirebon, Semarang, Surabaya sampai ke Pasuruan.
Jembatan di atas laut

Sedih rasa hati saat mengetahui kisah di balik jalan Anyer yang telah bolak balik aku titi. Membayangkan penduduk Banten dipaksa bekerja tanpa dibayar, bukan main geramnya. Tapi aku tak tahu mesti berbuat apa selain berdoa semoga tiap tetes keringat dan darah rakyat Indonesia yang pernah membangun jalan ini, mendapat balasan terbaik dari Allah. Atas jerih payah dan penderitaan mereka yang membuat sebuah akses jalan yang bisa digunakan oleh orang-orang hingga masa kini, tentulah sebuah penghargaan yang tak terbilang angka yang layak tersemat di pundak mereka. Bagiku, mereka the real hero di masanya, pun masa kini. 

Penghormatan dan penghargaan setinggi-tingginya dariku untuk rakyat Banten pada waktu itu *mengangkat topi, menunduk hormat.

Jalan karya Daendels itu kini terkenal sebagai Jalan Daendels, atau juga dijuluki sebagai jalan Rodi. Sayangnya, tak ada monumen atau prasasti untuk mengenang sejarah yang penuh darah itu. Dan hari ini, jalan itu sedang dalam perbaikan. Sedang padat oleh kendaraan yang mengantri.
Aku dong, nampang hehehe

Bapak penjaga pintu masuk mercusuar menawarkanku untuk masuk dan naik hanya dengan karcis seharga Rp 3.000,- per orang. Sayangnya aku tak berniat masuk. Hitungan jumlah tingkatnya saja sudah membuatku kepayahan, apalagi jika benar-benar menaikinya. Uuuuuh....ku tak sangguuuuup *nyanyi. 

Aku bertanya pada bapak penjaga tentang tinggi dan jumlah lantai mercusuar. Beliau menyebut 65 meter dan 16 lantai. Ternyata saat aku cocokkan dengan informasi di berbagai sumber online, informasi pak tua berbeda. Mestinya 75.5m dan 18 tingkat. Mana yang benar? Berhubung aku tak masuk dan tak naik, jadi aku tak dapat mengkonfirmasi mana yang benar.

Katanya, jika sudah naik maka rasa lelah akan terbayar oleh pemandangan yang terlihat dari puncak. Aiiih...mohon maaf pak, dibayarpun aku tak sanggup. Sungguh. Biarlah aku memandangi mercusuar ini dari bawah saja. Dari tepi pantai. Aku rela kepanasan deh di bawah ketimbang naik. Belum lagi turunnya itu. Beuuuh.  


Pintu Masuk Menara

Aku ga masuk sama sekali. Selain karena memikirkan anak yang sedang tidur di mobil, juga karena ga tahan dengan cuaca panas yang terasa menyengat. Menurut cerita bapak penjaga, di dalam Mercusuar terdapat jendela di tiap lantainya. Di lantai teratas, lantai ke 18, terdapat lampu suar dengan penutup setengah bola yang dapat berputar 360 derajat. Sedangkan bangunan mercuar sendiri tersusun atas lempengan-lempengan baja. Informasi terakhir, disebutkan bahwa tepat di tengah menara terdapat rongga berbentuk silinder yang memanjang sampai ke atas mercusuar yang biasa digunakan sebagai jalan untuk menarik sambungan kabel dari bawah.

Camdigku kesulitan memotret keseluruhan Mercusuar dari bawah sampai atas. Aku sudah mencoba tengkurap di jalan setapak, masih tak bisa dapat gambarnya secara utuh. Kadang dapat bawahnya tapi gagal dapat puncaknya. Kadang dapat puncaknya, tapi gagal dapat bawahnya. Ya sudahlah, dapat seadanya saja. Mungkin aku mesti berdiri di atas lautan biar dapat keseluruhan gambarnya. 

Di pintu masuk mercusuar, terdapat prasasti bertuliskan nama Raja Willem III. Yak, bangunan mercusuar Anyer yang terletak di Pantai Anyer Kidul, sekitar 38 km dari kota Serang ini, memang didirikan pada masa Raja Willem III, pada 1885. 
Prasasti Raja Willem III, pendiri mercusuar

Fakta lainnya ternyata mercusuar yang ada saat ini adalah bangunan pengganti menara yang pernah ada sebelumnya yang hancur pada 1883 akibat letusan Gunung Krakatau. Sisa pondasi mercusuar lama masih terlihat di bibir pantai yang terdiri atas struktur bata. Bangunan menara pengganti ini juga pernah nyaris rata dengan tanah akibat hantaman meriam angkatan laut Jepang sekitar tahun 1942. Memang sih tak sampai runtuh, tapi lumayan sempat rusak berat. Nah, bekas hantaman meriam itu katanya bisa dilihat jika kita naik Mercusuar, berupa lubang besar yang kini sudah ditambal. Benarkah itu? Aku tak dapat memastikannya karena aku tak masuk dan tak naik ke Mercusuar. Tapi karena banyak yang bilang begitu, mungkin memang benar adanya begitu.

Menurut bapak penjaga Mercusuar, sampai kini Mercusuar Anyer ini masih berfungsi dalam memandu kapal-kapal yang lalu-lalang di malam hari. Semoga saja suatu saat ketika kembali ke Mercusuar ini, aku berkesempatan naik dan melihat sinar lampu suarnya di malam hari. Aamiin.

Sebuah icon wisata yang memiliki sejarah panjang tentang kekejaman penjajah. Semoga tak ada "penjajah" yang menenggelamkannya ke dalam maraknya wisata modern yang tumbuh dan berkembang di sekitar kawasan Pantai Anyer :)


7 Jendela Menghadap ke Laut, 11 Jendela lain menghadap ke mana? :D


=====

Anyer, Banten - INDONESIA
Mei 2013

Seorang istri. Ibu dari dua anak remaja. Tinggal di BSD City. Gemar jalan-jalan, memotret, dan menulis.

Share this

Previous
Next Post »

2 komentar

  1. Balasan
    1. Iya, pasti itu Mus hehe. Jendela-jendelanya menghadap ke 4 penjuru mata angin :)

      Hapus

Leave your message here, I will reply it soon!