Kisah Masigit Kareumbi Part 2 - Pantang Pulang Sebelum Menanam



TAK SEINDAH BAYANGAN
Eri belum banyak bercerita padaku sehingga pengetahuanku tentang kondisi di MK (Masigit Kareumbi) saat itu sangat minim. MK itu hutan alam, itu saja informasinya. Dalam bayanganku, hutan MK tentu serupa dengan hutan rimba pada umumnya. Banyak pohon besar, tinggi dan lebat. Sebagai penghuni Jamrud Khatulistiwa, kesimpulan sementaraku tentang hutan MK adalah kondisi lingkungan yang jamak ada di Nusantara. Walaupun tak akrab dengan hutan rimba, tetapi pengalaman pernah menjajakinya langsung, membuatku bukan mengarang cerita.

Tetapi, tak kelirukah aku? Bukankah aku ke sana untuk menanam pohon? Jika kawasan itu perlu direboisasi berarti keadaannya tak seperti yang kubayangkan, bukan? Tak ada hutan rimba, lantas kenapa disebut KW (Kawasan Wisata)? Wisata apa yang bisa dinikmati ditempat gundul dan gersang? Aku sedikit bingung lalu menerka-nerka sesukaku.

Bus memasuki kota Bandung dan aku tak tertarik untuk mengedarkan pandang. Aku menggeneralisir, kota itu dimana-mana sama: ramai, padat, macet, dan berisik! Kota Bandung bukan akhir dari perjalanan. Lokasi Masigit Kareumbi masih jauh dari jangkauan, setidaknya ± 43 Km lagi untuk tiba di Tanjungwangi. Walau seluruh badan mulai terasa pegal, perjalanan tetap harus terus dilanjutkan ke arah Rancaekek, Bypass Cicalengka, Sindangwangi dan terakhir ke Tanjungwangi tempat pintu KW berada di kampung Leuwiliang.

Apakah panorama yang kulewati akan seindah bayangan? Sejauh ± 30 Km perjalanan dari Bandung ke Cicalengka, tak kulihat sesuatu yang benar-benar bisa menyegarkan mata. Memang, pemandangan gunung-gunung tentu lebih keren dibanding gedung-gedung tapi masih belum bisa membuatku terpana dan berteriak: Wow! Apalagi koprol!

Medan pegunungan yang dilalui, terjal dan berat 


PERJALANAN MENEGANGKAN
Kondisi jalan sepanjang ± 13 Km dari Cicalengka menuju Sindangwangi memang masih cukup baik tapi tak bisa dikatakan aman. Terlebih ketika di Sindangwangi, track yang kami lalui semakin menanjak, berbatu, dan sempit. Jurang yang menganga di sisi kiri atau kanan jalan sangat curam. Tergelincir sedikit saja akan berakibat fatal. Berkali-kali bus mesti melambat atau bahkan berhenti sama sekali jika berpapasan dengan sesama kendaraan roda empat. Aku super deg-degan. Seolah jika menggerakan badan ke kiri, bus ikut bergerak miring ke kiri lalu terjun bebas ke jurang. Owh, menakutkan.

Hujan tiba-tiba turun. Kondisi jalan makin berat. Supir bus mengeluh. Ancaman longsor yang kerap terjadi dikala hujan membuatnya putus asa lalu menyerah, tak bersedia melanjutkan perjalanan. Mengetahui itu, aku dan teman-teman jadi panik padahal lokasi MK masih jauh. Bahaya longsor itu terdengar mengerikan. 

Bagiku masih lebih baik berjalan kaki ketimbang jatuh berguling-guling bersama bus yang terbawa longsor. Tetapi, kami masih terdampar di Sindangwangi. Mungkin ± 8km lagi jarak kami dengan lokasi MK. Itupun hanya mengira-ngira. Betapa jauhnya jika berjalan kaki. 500m saja aku tak sanggup. Hiks.

“Pak, kami beri tambahan biaya dua ratus ribu asalkan Bapak tetap mau melanjutkan perjalanan.” Kami menyuap supir? No comment! Inisiatif itu muncul saat situasi kian genting. Berhasil! Supir bersedia melanjutkan perjalanan. Mungkin dia tak tega jika perjalanan kami terhenti sampai di sini. Mungkin juga tak tega jika uang dua ratus ribu terhenti di saku kami. Kekerasan hati kami membuahkan lega tapi tak berarti kecemasan pupus dari hati. Bahaya longsor masih mengintai. Ya Allah, lindungi kami dari longsor.

Pencarian lokasi dilanjutkan, kernet turun naik bertanya ke penduduk setempat. Jawaban orang-orang: Masih jauh! Belum nampak ada signboard yang memudahkan penemuan lokasi. Tien dan Eri masih mencoba menghubungi HP Kang Feby, tim MK. Tetapi yang terjadi: Tak ada sinyal ponsel di sini! Argh! Sebegitu terpencilkah kawasan ini hingga sinyal saja tak ada? Iklan operator telpon cellular di TV itu berdusta. Huh! Rasanya aku pun mulai putus asa. 
Tiba di lokasi Masigit Kareumbi

TIBA DI KAWASAN WISATA MASIGIT KAREUMBI
Biar lambat asal selamat. Betul sekali. Biarpun bus berjalan lambat dan terasa sangat lama, kami tiba juga di desa Tanjungwangi. Di sebuah bukit yang berselimut padang rumput, kami menemukan signboard dan peta Masigit Kareumbi. Horay! 

Wajah cemas dan pucat berganti cerah. Kami mulai bersemangat, bus kembali melaju di jalan yang sempit dan berbatu. Ah, mestinya medan seperti ini dilalui dengan jeep 4WD, atau sejenis hardtop seperti di Gunung Bromo. Aku menggerutu dalam hati hingga akhirnya berhenti saat bus tiba di pintu KW. Waktu hampir menunjukkan pukul 12 siang. Perut kosongku melolong.

Suasana di KW sangat berbeda. Tak nampak lagi jurang-jurang dan lahan-lahan gundul. Pohon-pohon tumbuh tinggi, besar dan rapat. Bagaikan kanopi alam, begitu meneduhkan. Bus berhenti tepat di depan Pusat Informasi Taman Buru Masigit Kareumbi. Satu persatu kami keluar dari bus lalu berjalan menuju basecamp KW, melewati jembatan kayu di atas sungai Ci Mulu yang menjadi perbatasan antara Kabupaten Bandung dan Kabupaten Garut. 

Wiiih…keren banget bisa berdiri di perbatasan! Kamipun norak-norak bergembira. 

Perbatasan antara Kab.Bandung dan Kab.Garut

Di basecamp KW Masigit Kareumbi terdapat bangunan wisma dan aula dengan model rumah panggung, kantor, kelas, mushola, toilet dan kamar mandi. Di bagian belakangnya, air sungai Ci Tarik yang bening, mengalir dengan tenang. Empat buah kano tertambat di dermaga. Terdapat juga warung makan terbuat dari bambu yang dikelilingi oleh aliran sungai. Bagaikan berada di sebuah pulau. Ada jembatan bambu yang bisa dititi untuk mencapainya. Dulu katanya letak warung itu pernah jadi tempat pondasi kandang Beruang. Wew, sesuatu!

Sajian penganan ala pedesaan sebagai sambutan atas kedatangan kami, menerbitkan liurku. Cacing di perut seperti mengendus-endus lapar. Pisang goreng dan singkong rebus yang di masak dengan gula jawa, menjadi hidangan yang istimewa. Ditambah minuman air aren manis yang diambil langsung dari pohonnya, laksana sehangat dan semanis pengelola MK yang menerima kami. Peluh dan keluh pun luruh ke bumi bersamaan dengan tenaga yang beranjak pulih seusai rehat beberapa saat. Aku menyerbu toilet.

Bersambung ke Kisah Masigit Kareumbi Part 3 (tamat) : Plant A Tree, Save The Planet

Hidangan Selamat Datang

Menikmati welcome drink :D

Seorang istri. Ibu dari dua anak remaja. Tinggal di BSD City. Gemar jalan-jalan, memotret, dan menulis.

Share this

Previous
Next Post »
Give us your opinion

Leave your message here, I will reply it soon!