Kopi Aroma Bandung - Ke Bandung Mesti Ke Faberik Koffie Aroma


Assalamu'alaikum Wr Wb,

Sabtu siang terik. Kota Bandung padat dan macet. Banyak jalur one way, bikin kami beberapa kali berputar-putar di tempat yang sama. Tujuan hampir di depan mata, tapi terasa berkilo-kilo jauhnya. Tanya sana sini, berkali-kali, akhirnya mendekati. Seorang tukang parkir di Mesjid Raya Bandung berkata, "Patokannya kantor pos Braga itu ya, bu. Belok kanan, lalu lurus saja, nah disitu jalan Banceuy. Tinggal cari saja no 51."

Kawasan di jalan Banceuy padat. Ruko berderet-deret dengan berbagai nama tempat usaha. Mobil, motor, sepeda, pedagang makanan dalam gerobak, bahkan orang-orang, seperti berserakan di jalanan. Tapi itu indah, sebab yang berserakan bukan sampah. Percayalah, sepadat apapun tempat, bila tanpa sampah seperti ini, maka semua jadi indah. Yang terasa bukan gerah apalagi marah, justru gembira. Bandung kini nampak bersih, setidaknya itu yang saya lihat di kawasan Braga. Kabarnya, sejak Pak Ridwan Kamil jadi walikota Bandung, Bandung jadi rapi dan tertata. Besih pula. Wah mantap *kasih jempol*

Jalan Banceuy

Susah payah, lelah juga, tapi berakhir jua. Berakhir? Ya! Spontan terasa berakhir kala hidung ini mencium aroma kopi. Begitu tajam, begitu harum, padahal saya masih berada di dalam mobil. Ketika angka 51 tertangkap lensa mata, saya yakin itu tempatnya. Terlebih, tulisan di atas bangunan yang terbuat dari pualam buatan tahun 1930-an (berdasarkan keterangan Pak Widyatama, pemilik pabrik kopi Aroma) meyakinkan saya: AROMA Faberik Kopi. Saatnya menghentikan laju mobil tapi tak bisa. Tak ada parkir kosong. Jadi mesti melaju lagi hingga beberapa meter ke depan, sampai ada parkir kosong. Akhirnya dapat tempat parkir, tapi dari parkiran mesti jalan kaki sekitar 15 meter ke arah pabrik. Ah, bukan apa-apa.

Suasana jalan di depan pabrik kopi Aroma

Di sudut jalan, di sebuah pertigaan, pabrik kopi sudah kelihatan. Jika tak kelihatan, tanya saja pada siapapun di sekitar lokasi, pasti tahu letaknya. Tapi anehnya, meski sudah di depan pabrik, saya masih diselimuti ragu. Inikah pabriknya? Kecil. Mirip sebuah toko pada umumnya pun tidak. Saya tidak tahu mesti masuk lewat mana. Cuma bisa mondar mandir sambil menatap dinding kaca, mencari sesuatu. Tapi malah bertemu pajangan velg mobil, ban motor dan juga kemudi mobil. Ini toko onderdil? Mana pabriknya?

Sementara bertanya-tanya, aroma kopi kian tercium kuat dan wangi. Seorang bapak tua berkata, "Di sebelah sana bu pintunya." Saya putar badan lagi, menuju pintu yang di maksud. Tepat di bagian sisi bangunan yang menghadap pertigaan jalan. "Yang banyak orang antri itu," lanjut bapak tua itu. Saya mengangguk. Namun, di depan pintu saya kembali ragu, hampir termangu. Tak ada antrian! 

Dapat juga tempat parkir

Celingak celinguk di ruang depan toko sambil menatap rak pajang kaca yang kosong (saya kira ada kopi dalam rak pajang itu). Lalu mata saya tertumbuk ke sudut ruang, ke atas sebuah meja. Ada sertifikat dan piagam penghargaan berbingkai kaca tertata di atasnya. Sementara di dinding, tergantung satu pigura lainnya bergambar teko berisi kopi. Tak terbaca tulisannya, jadi saya mendekat. Tapi sebelum saya membaca, seseorang muncul dari dalam. "Mau pesan kopi, bu?" 

Seorang  berwajah khas keturunan Tionghoa dengan senyum dan raut muka sangat ramah, muncul dan bertanya. Saya agak sedikit kaget, juga gugup. Hampir tak tahu hendak menjawab apa. Niatnya ingin masuk dan melihat pabrik, tapi dampak dari ragu-ragu ketika mau masuk tadi membuat saya seperti ingin mengurungkan niat. "Iya, pak." 

"Kalau mau masuk juga boleh. Ayo sini, ajak sekalian anaknya."

Wow! Isi hati saya seperti terbaca olehnya. Apa mungkin karena kamera, pulpen, dan ponsel android (yang lebar dan tergengam di tangan), menyiratkan saya seolah hendak meliput? Bisa jadi. Dengan sangat antusias, sayapun menjawab : "Iya Pak, saya mau masuk. Mau beli juga nantinya. Boleh masuk pak?" Sudah jelas dipersilahkan masuk masih juga saya bertanya boleh masuk atau tidak. Ah, jelas saya harus bertanya lagi, biar yakin. 

 Pabrik Kopi Aroma di sudut jalan sebuah pertigaan

Tanpa menduga apapun di awalnya bahwa bapak baik berwajah ramah selalu tersenyum itu ternyata adalah Pak Widyatama. Beliau adalah pewaris tunggal usaha Kopi Aroma yang dirintis ayahnya, Tan Houw Sian, pada 1930. Sebut saja sebagai generasi kedua sejak pabrik didirikan. Ah, saya sungguh bersyukur ternyata diterima langsung oleh sang pemilik pabrik. Tak menyangka juga justru beliaulah orang pertama yang saya jumpai di pabrik ini. Kosongnya antrian di toko yang saya temui ketika masuk tadi, rupanya 'rejeki' agar saya berjodoh dengan kesempatan ini. Saya seperti diingatkan lagi bahwa selalu ada hikmah dari setiap kejadian. Coba tadi kalo lagi rame, belum tentu Pak Widyatama langsung ngeh dengan maksud dan kedatangan saya.
Sertifikat dan piagam perhargaan Kopi Aroma

Diterima langsung oleh Pak Widyatama, apalagi ditemani oleh beliau sendiri untuk tur ke dalam pabriknya, sungguh sebuah kesempatan yang tak ingin saya sia-siakan. Yang paling membuat saya penasaran dan ingin mencari tahu adalah perihal biji kopi yang disimpan hingga 8 tahun lamanya untuk menurunkan kadar asam dalam kopi. Dan proses inilah yang bikin saya 'kesetrum' ingin melihat dan membeli, sebab saya sebagai penderita maag, selama ini tak pernah bisa minum kopi. Selalu sakit perut. Selalu mulas, mual dan bahkan muntah. Sedang kopi aroma, banyak yang menjamin tak akan bikin saya maag. Benarkah? Hal itulah yang ingin saya korek di sini. Saya ingin mengetahui rahasianya. Bukan sekedar rahasia kopi, tetapi juga rahasia langgengnya usaha kopi ini.

Bagaimana cerita saya selanjutnya selama berada di dalam pabrik Kopi Aroma? Nantikan kisah saya selanjutnya pada jurnal berikutnya. 

Tur keliling pabrik kopi bersama sang pemilik pabrik, Pak Widyatama


====

PABRIK KOPI AROMA
JALAN BANCEUY 51, BANDUNG - INDONESIA
SEJAK 1930



Seorang istri. Ibu dari dua anak remaja. Tinggal di BSD City. Gemar jalan-jalan, memotret, dan menulis.

Share this

Previous
Next Post »
Give us your opinion

Leave your message here, I will reply it soon!