Jadi ceritanya kami sedang staycation santai di Kota Bogor. Nggak ada itinerary ambisius. Niat awal cuma satu: makan enak, rebahan panjang, dan pura-pura lupa cucian di rumah belum dijemur. Tapi seperti biasa, hidup tuh suka random. Suami tiba-tiba nyeletuk, “Ma, ke Sentul yuk.”
Ya sudah, kami gas ke Sentul. Mobil melaju tanpa GPS, cuma bermodal feeling dan harapan ketemu masakan Sunda yang bisa meluluhkan perut. Di tengah perjalanan yang masih ngawang-ngawang, muncul sebuah bangunan kalem di balik aneka tumbuhan tropis. Dari luar sih, vibe-nya kayak taman pribadi milik sosialita yang doyan yoga tapi tetap jago bikin sambel terasi.
Plangnya: Bumi Aki Signature Sentul.
Saya langsung senyum. Ini yang sempat saya sebut-sebut waktu masih di hotel, tapi niat awalnya yang di Bogor, bukan yang ini. Ternyata semesta emang hobi ngasih plot twist, dan Google Maps kadang lebih tajam dari intuisi ibu-ibu.
Dan ya, “Signature.” Di zaman sekarang, semua berlomba kelihatan premium. Bahkan gorengan kalau ditata cantik di atas piring keramik bisa naik kasta jadi Assorted Golden Crunchies. Tapi Bumi Aki Signature ini bukan sekadar gaya-gayaan. Dia hadir sebagai bukti kalau tradisi bisa tampil elegan tanpa kehilangan rasa. Ini tuh memang Bumi Aki dengan paket lengkap: suasana, pelayanan, dan rasa yang serius tapi tetap bisa diajak santai.
Bagian depan Bumi Aki Signature Sentul. Area parkirnya luas, dan ini baru kelihatan sepertiganya
Masuk ke Dalam: Estetika yang Nggak Kaku
Interiornya rapi dan manis. Jauh lebih mewah dibanding cabang-cabang Bumi Aki lain yang pernah saya datangi. Mungkin memang didesain buat jadi versi upgrade-nya. Tanaman hijau di mana-mana, kolam air kecil mengalir pelan, suasananya kayak ngajak meditasi tapi sambil ngunyah tahu goreng. Adem, teduh, dan bisa bikin lupa kalau sebenernya ini tempat makan, bukan tempat healing.
Kolam dalam vs kolam luar. Yang kiri di dalam resto, yang kanan di luar, sebelah kiri bangunan
Saat kami datang, jam masih menunjukkan pukul 11. Resto belum rame. Kami langsung naik ke lantai atas, ambil posisi di teras belakang yang semi-outdoor. Baru ada dua orang di sana.
Kami duduk di area teras belakang yang menghadap ke pondok-pondok lesehan dengan tirai putih dan bantal empuk. Tampaknya seperti hasil kawin silang antara gazebo dan ruang tamu pernikahan Sunda versi Pinterest.
Kalau nggak inget tujuan awal, bisa-bisa saya leha-leha seharian di situ sambil nungguin disuapi. Tapi ternyata duduk di pondok itu tidak disarankan oleh stafnya. Katanya, panas. Memang sih, ini hampir tengah hari, cukup terik, dan panasnya tetap terasa meski tiap pondok dilengkapi kipas angin mahal. Jadi kami memilih duduk di teras saja, di sofa empuk berkapasitas 6 sampai 8 orang. Buat kami yang cuma berempat, ini jelas lega banget.
Pondok lesehan di area belakang lantai 2
View dari tempat kami duduk. Terlihat ada 4 pondok lesehan.
Teras belakang lantai 2, tempat kami duduk makan siang. Jam 11, masih lengang.
Dihampiri dengan Gaya Hotel Bintang Lima
Rasanya, setiap belokan di resto ini ada staf. Semua tampil rapi berseragam, lengkap dengan rompi formal dan senyum default yang seolah sudah dikalibrasi sejak hari pertama pelatihan. Tiap papasan, mereka menyapa. Badan sedikit membungkuk, tangan kanan ke dada, seolah berkata, "Ibu, saya siap bahkan sebelum Ibu sadar butuh bantuan."
Di sekitar meja kami, ada tiga orang yang standby. Salah satunya langsung mendekat, penuh senyum dan sigapnya sudah level bodyguard. Dari awal sampai selesai, dia yang layani. Tidak perlu dipanggil. Tidak sempat menghilang. Dia berdiri sekitar lima meter dari meja, mengamati tanpa mengganggu, tapi langsung bergerak kalau ada yang perlu dibantu. Misalnya saat air minum habis, dia langsung datang dan isi ulang. Tanpa diminta. Tanpa drama.
Mungkin ini yang bikin versi Signature terasa beda. Bukan cuma makanannya yang niat, tapi cara mereka memperlakukan tamu juga tidak setengah-setengah. Di tempat lain, kita harus angkat tangan tinggi-tinggi dulu, seperti nelayan yang minta ditolong kapal. Di sini, pelayannya lebih peka dari sinyal Wi-Fi.
Bumi Aki lain yang pernah saya kunjungi, jujur saja, belum pernah nemu servis segini niatnya.
Drama Nasi Liwet: Satu Paket, Banyak Realita
Kami pesan Paket Nasi Liwet Signature. Namanya aja udah bikin jiper. “Signature.” Kayak ada tanda tangan chef-nya di bawah daftar harga. Isinya? Nah meski Paket 1 resminya buat dua orang tapi lauknya terbilang melimpah kalau buat berdua saja. Ini menurut saya yang makannya masih beradab lho ya 😆
Paket 1 terdiri dari dua ayam goreng, dua empal, dua tahu, dua mendoan, pencok kacang, sambal terasi, lalapan, ikan peda (yang tampilannya seperti minta validasi), kerupuk, cemilan, buah potong lima macam, dua es teh tawar, dan satu bakul nasi yang seakan bilang: “Saya cukup banyak untuk dua orang biasa atau tiga orang yang sedang insyaf.”
Total lauk sembilan. Sedangkan kami berempat. Secara matematika dan spiritual, ini sah. Satu orang dapat dua lauk, sisanya si ikan peda bisa dimakan rame-rame. Simbol kebersamaan dalam bentuk lauk asin.
Kami sengaja nggak pesan paket empat orang. Soalnya dari deskripsinya aja udah kayak pesta panen. Mas Arif dan Alief sih makannya banyak, tapi nggak berarti tiap orang sampai butuh lima lauk juga kali. Kami masih punya logika dan batas kolesterol.
Tambahan kami? Aisyah pesan jus alpukat. Alief, demi tampil edgy dan tetap halal, pilih beer pletok sparkling. Katanya ini cara aman menikmati sensasi minuman bir tanpa risiko penuh penyesalan. Sebuah usaha mencari sensasi dalam batas halal. Kita doakan istiqamah.
Waktu makanan datang, nggak ada rebutan lauk, nggak ada air mata karena tahu terakhir, dan yang paling penting: nggak ada yang merasa kurang. Sebuah pencapaian keluarga yang layak didaftarkan ke UNESCO sebagai warisan budaya makan cukup.
Suami saya, seperti biasa, punya prinsip hidup yang mulia: tidak membiarkan makanan tersisa. Bukan karena hemat, tapi karena dia yakin dosa membuang makanan lebih besar dari telat bayar listrik. Tapi karena porsinya pas, nggak ada yang dikorbankan demi kesalehan sosial hari itu.
Video makan siang di Bumi Aki di IG saya @travelerien :
Paket nasi liwetnya sendiri hanya Rp 450 ribu. Sisanya tagihan untuk tambahan 2 nasi liwet Rp40.120, 2 nasi putih Rp31.000, 2 minuman di luar paket yakni Beer Pletok Sparkling Rp65.000 dan Avocado Juice Rp40.535, Ice Tea TW Rp37.000. Service charge tax nya 7% Rp46.456 dan ada PBI 10% Rp71.011.
Bagi seseorang, harga per item dan totalnya mungkin tergolong masih wajar, mungkin juga terasa agak mahal bagi yang lain.
Dua-duanya nggak salah. Namanya juga perspektif.
Murah atau mahal, semua itu bagian dari pengalaman. Pengalaman makan enak, duduk nyaman, dan ngerasain momen bareng keluarga di Bumi Aki Signature.
Nggak semua tagihan harus ditangisi... atau diketawai dengan santai. Kadang cukup dikenang sambil senyum. Terutama karena... ya rasanya enak, porsinya mantep, dan perut pulang dalam keadaan damai sentosa.
Suami saya? Beliau sungguh sumringah. Keinginannya makan di Sentul tercapai tanpa hambatan dan drama😀
Mas pelayannya nawarin motret kami, oke siapa nolak 😁
Sedikit Observasi dan Saran Moral
Kami datang di jam yang pas. Suasana masih adem, belum terlalu ramai. Tapi itu ternyata cuma teaser sebelum… ya bukan badai sih, lebih tepatnya keramaian yang tetap tertib. Nggak ada yang saling sikut, tapi ritme gerak mulai berubah. Yang tadinya bisa duduk sambil pilih-pilih spot kece, sekarang harus sedikit lebih lincah.
Lantai dasar dan atas sudah penuh. Sisanya tinggal pondokan di samping, yang posisinya dekat dengan kolam-kolam biru. Dari jauh tampak seperti kolam renang. Tapi bukan, dan tidak perlu ditanya bedanya. Pokoknya bukan tempat buat nyebur-nyebur.
Pondokan ini dikelilingi tanaman dan elemen air. Secara teori, harusnya bikin suasana adem. Tapi siang bolong adalah musuh alami teori kenyamanan. Matahari sedang semangat, pantulan dari air dan keramik ikut berkontribusi. Suasananya jadi mirip oven yang dikasih sentuhan alam.
Elemen air dan tanaman di area luar emang bikin adem di mata, tapi nggak cukup ngelawan panasnya matahari siang. Untung pelayan-pelayannya pengertian banget. Daripada nyuruh tamu duduk di luar, mereka minta nunggu saja sampai ada meja kosong di dalam.
Buat yang perfeksionis urusan tempat duduk dan pemandangan, sebaiknya ambil jalan aman. Rencana. Jangan sok-sokan mengandalkan spontanitas. Hidup boleh penuh kejutan, tapi berebut meja saat perut sudah berisik itu bukan kejutan, itu bagian dari ujian spiritual.
Apalagi datang dalam rombongan. Jalan sambil celingukan, berharap ada meja kosong, sambil menahan emosi tiap kali lihat orang mulai berdiri dari kursi. Itu bukan momen kulineran. Itu semacam kompetisi tersembunyi. Siapa cepat, dia kenyang. Siapa kurang cepat, dia jadi penonton.
Intinya, kalau bisa disusun dengan rapi, kenapa harus pilih jalur drama. Reservasi!
Area favorit buat foto. Siang itu gak ada yang makan di area ini karena masih panas.
Penutup yang Bukan Basa-Basi
Bumi Aki Signature ini bukan cuma soal branding. Ia tempat yang berhasil meramu suasana tradisional dan kenyamanan modern tanpa kehilangan jati diri. Dari makanan, pelayanan, sampai suasananya, semuanya punya kualitas yang bikin pulang bawa rasa puas.
Awalnya kami cuma pengin makan di Sentul. Udah gitu aja. Tapi ternyata malah pulang bawa cerita gak sengaja ketemu Bumi Aki versi Signature. Jujur aja, saya masih pengin balik lagi ke sini, buat cobain menu-menu lainnya tanpa drama pilihan menu paket. Haha.
Kalau ada yang penasaran sama Bumi Aki Signature Sentul, silakan cek IG mereka di @bumiaki.signature. Menunya bisa kamu lihat lewat link yang ada di bio, biasanya tertulis MENU. Atau kalau link di drive Menu Bumi Aki Signature masih aktif, bisa juga kamu akses lewat sana.
Tujuh tahun lalu saya datang ke Sandalwood Boutique Hotel saat dua anak masih dalam masa transisi antara dunia bocil dan remaja tanggung. Sekarang saya kembali, bersama versi mereka yang telah tumbuh lebih tinggi, lebih tenang, dan mulai berjalan di jalur hidup masing-masing.
Waktu memang terus melaju. Tapi Sandalwood? Masih setia. Hotelnya nyaris tak berubah. Hanya kami saja yang datang dalam versi yang berbeda. Versi yang lebih dewasa, lebih banyak cerita, lengkap dengan bonus sendi-sendi yang mulai protes.
Begitu masuk gerbang, rasanya seperti pulang ke rumah nenek. Bedanya, nenek ini punya selera interior yang lebih estetik dan kolam ikan yang isinya mungkin lebih mahal dari total isi kulkas saya.
Udara sejuk menyambut, rumah bergaya country ala film koboi menyapa, dan hati ini langsung bergumam, “Ya Allah, semoga kali ini saya bisa mandi dua kali sehari. Jangan sampai terulang kayak dulu, tiga hari nginep cuma cuci muka doang karena nggak kuat dinginnya.”
Bangunan paling depan di Sandalwood ini bergaya country. Di sinilah tamu disambut. Ada lobby, kafe, kantor, dan satu kamar di lantai bawah yang jadi tempat kami menginap. Lantai atasnya rumah owner (private).
Staycation Sembari Menyelesaikan Hal Penting
Tujuan kami ke Lembang kali ini? Campuran antara liburan keluarga dan urusan domestik yang tetap harus jalan, meskipun sedang staycation. Namanya juga hidup, kadang harus bisa multitasking antara menikmati udara sejuk dan mengurus hal-hal penting yang gak bisa ditunda.
Bandung memang selalu bisa bikin jatuh hati, meskipun kadang macetnya bikin saya mikir… mungkin saya lebih butuh kesabaran ekstra daripada itinerary healing.
Tapi jarak Bandung Jakarta yang katanya cuma dua setengah sampai tiga jam itu ya tergantung niat, doa, dan jam berangkat. Salah ambil waktu, bisa lebih lama dari hubungan yang cuma jadi HTS dan gak pernah naik level. Tapi tetep, Lembang punya magnet. Udaranya adem, warganya ramah, dan hawanya tuh... bikin saya tiba-tiba pengin beli rumah di Lembang meskipun sebelumnya gak kepikiran sama sekali. Waktu saya cerita soal niat ini ke teman yang juga adik tingkat kuliah, dia langsung nunjukin info penjualan rumah deket tempat tinggalnya sekarang. Katanya, biar jadi tetangga. Oh iya, biar bisa gantian nyiram tanaman atau saling pinjem terasi buat nyambel.
Ini bangunan kedua, terletak di bagian tengah area hotel dan posisinya menghadap langsung ke kolam renang.
Bangunan ketiga ada di ujung area, paling belakang. Posisinya menghadap taman dan pohon-pohon pinus yang bikin suasana jadi sejuk dan tenang.
Mahogany Royal Suite — Kamar Tidur Eks Owner, Tempat Mimpi Ekspektasi
Kamar kami kali ini: Mahogany Royal Suite. Dari namanya aja udah kecium aroma mewah, kayak sabun hotel yang baunya gabungan antara sandalwood dan cita-cita pensiunan pejabat. Lokasinya paling depan, mepet sama lobi dan kafe.
Ini bukan kamar biasa. Dulu kamar owner-nya langsung, Pak Billy dan Ibu Nila. Iya, beliau berdua adalah pemilik De Ranch, tempat wisata berkuda nan kondang itu. Jadi bisa dibilang, kami tidur di tempat yang dulunya mungkin jadi saksi lahirnya keputusan bisnis besar. Setidaknya, ini bisa jadi tempat beliau rebahan sambil nonton acara televisi yang gak mau diakuin tapi semua orang nonton juga.
Dalam 1 kamar terdiri dari 3 tempat tidur. Ini kasur pertama.
Ini kasur kedua dan ketiga, masih di kamar yang sama.
Kamarnya luas. Terbagi jadi dua ruang tidur, dua dunia yang berbeda. Satu King Bed buat saya dan Aisyah, satu lagi dua single bed buat Alief dan papanya. Interior dan perabotnya bergaya klasik elegan. Banyak sentuhan kayu yang memberi kesan hangat, dipadu dengan lampu-lampu model vintage yang bikin suasana makin cozy, serta meja rias besar yang seolah mengajak untuk bersolek. Rasanya seperti sedang menginap di rumah bangsawan, tapi yang sudah update dengan kenyamanan modern khas staycation keluarga.
Fasilitasnya lengkap: TV, kulkas, pemanas air, teh, kopi, gula—semua tersedia, seperti hidup ideal dalam katalog IKEA. AC memang tidak ada, tapi di tempat ini, rasanya memang tidak butuh. Udara tetap sejuk bahkan di siang hari, membuat saya merasa cukup hanya dengan membuka jendela.
Perabot dan dekorasi kamar Mahogany Royal Suite
Atas: snack gratis di kamar dan minuman. Bawah: handuk untuk 4 orang
Teras depan kamar, menghadap ke kolam ikan. Kamar ini bersebelahan langsung dengan kafe hotel dan area reservasi.
Kolam depan kamar berisi ikan-ikan mahal :D
Yang membuat saya merasa istimewa bukan hanya kasurnya yang empuk, tapi juga karena setiap kali melangkah ke teras, saya berada di posisi yang secara harfiah lebih tinggi dari kolam ikan mahal di bawah sana. Bukan sekadar kolam hias biasa. Isinya bukan koi yang bisa diberi sisa nasi, melainkan jenis ikan yang terlihat begitu berkelas, seolah kalau dikasih biskuit sembarangan, bisa-bisa langsung menuntut secara hukum perikanan.
Staycation Rasa Cuti Premium
Apa yang saya suka dari kamar Mahogany Royal Suite? Tenang. Padahal letaknya mepet banget dengan lobi dan kafe, tapi sama sekali tidak terdengar berisik. Bahkan saya bisa memesan makanan dan minta diantar ke teras. Rasanya seperti… oh, begini ya hidup kalau tidak harus mikirin Google Calendar dan grup WhatsApp kerjaan.
Tapi tetap saja, saat duduk santai sambil makan, kadang pikiran merayap ke kenyataan: bahwa liburan seperti ini tidak bisa saya lakukan setiap minggu. Tapi ya sudahlah. Sesekali tidak apa-apa. Hidup ini kan bukan cuma soal hitung-hitungan untung rugi.
Keseluruhan isi kamar dapat dilihat pada video berikut ini:
Dulu saya pernahmenginap di kamar lain, yang posisinya persis di samping kolam renang. Desainnya lebih modern, tanpa sekat, dan cocok untuk keluarga besar yang tidak terlalu memikirkan privasi. Tapi kali ini, kamar Royal Mahogany terasa seperti hadiah kecil dari semesta.
Tarif Mahogany Royal Suite saat itu (bulan Mei 2025) Rp 2.788.000 per malam sudah termasuk sarapan untuk empat orang. Bukan masuk kategori hemat, tapi masih jauh untuk sampai taraf sultan. Tapi ya memang sepadan. Pengalaman menginap yang bikin rileks dan berasa istimewa.
Karena dalam hidup ini, kadang kita butuh sesuatu yang terasa seperti pencapaian. Walau cuma duduk di sofa teras, sambil melihat ikan yang hidupnya tampak lebih tenang daripada isi kepala manusia dewasa.
Malam Dingin dan Perapian di Kafe
Kami tiba di Sandalwood selepas magrib, dengan kondisi cuaca yang cocok banget buat syuting iklan minyak kayu putih. Hujan turun deras, hawa dingin nempel sampai ke tulang kering, dan jalanan Lembang terasa lembap maksimal. Tapi gerbang hotel terbuka lebar, seolah berkata, “Masuk aja, Bu, dunia luar udah cukup kejam.”
Di parkiran, seorang staf hotel datang nyamperin kami sambil bawa payung. Ramahnya ngalahin satpam perumahan yang sudah saya kenal dari zaman anak masih bocil. Saya duluan turun buat check-in, sementara suami dan Alief sibuk membongkar muatan dari mobil, kegiatan romantis versi keluarga urban: ngangkat tas berisi baju yang kemungkinan besar nggak bakal dipakai semua.
Kamar kami sebelahan banget sama kafe, jadi enak kalau mau makan tinggal selangkah saja.
Check-in nya cepat. Yang agak lama cuma bagian struk pembayaran, tiba-tiba loading lama. Tapi aman. Mungkin sinyalnya ngambek. Maklum, hujan. Siapa tahu sinyal juga punya perasaan.
Di sini, yang bikin nostalgia mulai merasuk: kuncinya masih manual, bukan kartu digital. Rasanya bagai pulang ke rumah orang tua, yang pintunya masih pakai kunci gembok segede harapan ibu-ibu arisan. Begitu masuk kamar, saya langsung pesan makanan ke kafe yang literally ada di sebelah kamar. Dekat banget, kayak tetangga yang hobi numpang hidup.
Malam itu kami order nasi goreng, sop iga, fish and chips, dan mie tek tek. Aisyah makan di kamar sambil scrolling layar HP. Saya, suami, dan Alief makan di teras, menikmati dinginnya malam sambil memandangi ikan-ikan yang berenang pelan di kolam bawah teras. Remang-remang, tapi masih kelihatan, dan tetep kelihatan mahal.
Makan malam dengan menu kafe hotel: nasi goreng, sop iga, fish and chips, dan mie tek tek yang ketinggalan difoto
Abis makan, kami nggak langsung tidur. Entah kenapa, badan capek tapi mata tetap nolak diajak kompromi. Suami nonton TV, Alief cek HP, Aisyah senderan sambil scroll TikTok kayak anak sultan yang baru dibebaskan dari karantina Wi-Fi. Saya diam saja, membiarkan mereka larut dalam kebebasan digital. Toh, seharian tadi mereka udah cukup offline. Malam ini biarlah mereka reconnect ke dunia maya. Kita semua butuh pelarian, walau cuma lewat konten daily life orang asing di TikTok.
Cuaca makin menggigit. Dingin kayak sindiran halus dari orang yang nanya, “Udah punya vila di Bali dan Lombok belum?” Jaket, kupluk, dan kaus kaki udah dipakai semua, tapi tetap nggak cukup. Akhirnya suami ngajak pindah ke kafe, duduk di depan perapian. Nggak jauh sih, cuma geser tujuh langkah. Tapi vibes-nya beda. Di situ ada perapian sungguhan. Bukan video api 10 jam di YouTube, tapi beneran api yang bunyi “krek-krek” dan bikin hangat sampai ke jiwa.
Kami duduk santai, pesan bandrek dan pisang goreng, duo menu sakral yang paling cocok dinikmati saat suhu di bawah 20 derajat dan isi kepala lagi butuh diem. Api unggun menyala tenang, suara kayunya berderak pelan, seolah bisikan semesta yang hendak mengatakan, “Tenang... semua akan baik-baik saja. Kecuali deadline konten kamu yang udah tiga hari lewat.”
Pas saya balik ke kamar sebentar buat ambil jaket, kejadianlah peristiwa kecil yang bikin saya senyum miring. Meja yang tadi kami tempati udah diisi dua bocah berwajah asing. Mereka dari Pakistan. Tahu dari mana? Dari suami saya yang emang hobi banget ngobrol sama siapa pun meski itu orang asing.
Di situ ada perempuan tinggi, cantik, posturnya kayak model katalog baju mahal, dan seorang pria dewasa. Saya kira mereka suami istri. Ternyata mereka kakak-adik. Bocah-bocah tadi anak si perempuan. Bapaknya? Masih misterius kayak password Wi-Fi tetangga. Tapi pagi harinya, pas sarapan, barulah muncul: pria dewasa, lebih tua, tampan, dan langsung ditempelin dua bocil tadi kayak magnet nempel kulkas. Dari situ saya tahu: oh, ini bapaknya. Dunia kembali waras.
Kalau kalian penasaran siapa perempuan Pakistan cantik itu, silakan cek IG nya @safdi (Sadaf Hamid). Kami saling follow di IG. Anak-anaknya cakep dan lucu.
Bandrek hangat dan pisang goreng panas. Teman duduk yang pas di depan perapian, menikmati dinginnya udara malam Lembang
Balik ke malam itu. Karena kursi saya udah ditempati, saya otomatis mundur pelan sambil ambil teh dan pisang goreng kayak ninja yang baru sadar spotnya direbut. Si ibu minta maaf berkali-kali, dengan ekspresi tulus khas ibu-ibu yang tahu anaknya barusan bikin onar. Saya senyum santai, “It’s okay.”
Suami lanjut ngadep perapian. Kami duduk lagi, ngobrol ngalor-ngidul, bahas hal penting kayak kenapa bandrek lebih nikmat di gelas kaca daripada mug keramik fancy. Jam sepuluh malam akhirnya kami masuk kamar. Mata mulai berat, badan mulai lengket, dan Sandalwood terasa seperti tempat pulang yang nggak perlu banyak basa-basi.
Semua tidur lelap malam itu. Istirahat yang tenang, tanpa notifikasi, tanpa alarm, tanpa email jam sebelas malam dari bos yang katanya “urgent.” Malam sederhana, dengan perapian, bandrek, dan sedikit kesadaran bahwa kadang, nikmat hidup itu sesimpel tempat duduk yang hangat dan teh yang nggak hambar.
Saya terbangun pas adzan Subuh, karena mendengar suara air mengalir dari kamar mandi. Rupanya suami sudah bangun lebih dulu. Memang biasanya kalau lagi di rumah, beliau selalu bangun lebih pagi supaya bisa berangkat subuh berjamaah ke masjid. Saya? Kadang masih tim snooze tiga kali. Tapi ini bukan soal siapa yang lebih rajin, cuma tentang ritme yang berbeda. Ada yang bisa bangun tanpa drama, ada juga yang perlu negosiasi sama alarm.
Setelah semua ritual ibadah rampung, kami keluar kamar. Bukan ke mana-mana, cuma ke teras sejengkal dari pintu, demi satu tarikan napas udara segar yang katanya bisa memperpanjang usia dan mengurangi kerutan wajah. Tapi yang menyambut justru kabut. Tebal. Memburamkan pemandangan, membuat yang jauh tak terlihat dan yang dekat pun terasa enggan didekati. Seperti suasana hati yang lagi ngambek, semuanya diselimuti emosi pasif-agresif.
Tapi ya begitulah kabut. Dia nggak ribut, nggak banyak gaya, tapi langsung ambil alih panggung. Rasanya kayak hidup sedang disuruh pelan pelan. Jalanin aja. Nggak usah buru buru. Bahkan cahaya pun dia suruh nunggu. Sumpah, kabut ini lebih disiplin dari beberapa manajer HR yang saya kenal.
Anak-anak masih rebahan di kasur masing-masing, kayak sepasang nugget yang ogah digoreng. Libur sekolah membuat Aisyah merasa punya royalti atas kasur empuk dan bantal dingin, sebuah hak istimewa yang bahkan presiden pun belum tentu dapet. Sementara Alief? Dia lagi pura-pura lupa kalau mandi pagi itu bagian dari akhlak mulia. Katanya, "Tunggu mood-nya nyala dulu." Lah, bro, itu mood apa rice cooker?
Masih pagi, kabut tipis menyelimuti. Suasananya sunyi, tapi syahdu. Bangunan ketiga ini menyimpan deretan kamar yang cantik-cantik. Setiap kamar punya nuansa berbeda, karena memang didesain dengan tema yang tak sama. Semuanya menarik, rasanya ingin mencoba satu per satu.
Pagi itu terlalu damai. Bahkan alarm pun menyerah. Suara burung pun sopan, nggak berani nyaring-nyaring. Angin hotel semilir kayak bisikan Brad Pitt yang nyesel jadiin saya mantan, bikin kasur makin lengket sama badan. Dan saya? Sedang berdiri di antara dua anak yang udah upgrade diri jadi kayak koala rebahan.
Tapi ya, begitulah… kadang staycation bukan tentang jalan-jalan, tapi tentang menunda kenyataan. Menunda mandi, menunda gosok gigi, menunda jadi manusia. Karena toh, dunia nggak akan kiamat cuma gara-gara bangun jam sepuluh saat staycation, kan? Wkwk.
Suami ngajak jalan pagi. Kami menyusuri jalan setapak menuju kolam renang, lalu ke bawah pohon pinus. Tempat ini hening. Sepi. Kalau pun ada suara, itu pasti dari dalam hati, atau dari perut yang belum sarapan. Tapi mostly dari hati.
Kami jalan pelan-pelan, nggak ngomong banyak. Ini bukan jalan pagi biasa. Ini semacam meditasi low budget. Nggak perlu aplikasi mindfulness atau retreat mahal ke Ubud. Cukup kabut, pohon pinus, dan seseorang yang mau diajak jalan tanpa nanya “Kita mau ke mana sih?”
Tamu-tamu lain mungkin masih tidur, bersembunyi di balik selimut dan keputusan hidup yang belum selesai. Saya ngerti. Nggak semua orang bisa bangun pagi lalu sok menikmati alam, karena kadang kabut luar cuma pengalihan dari kabut batin. Tapi saya beruntung pagi itu. Punya waktu 45 menit sebelum jam sarapan. Cuma 45 menit, tapi rasanya kayak nemu celengan ayam yang isinya masih utuh.
Cahaya yang dinanti mulai tajam menyinari
Menjelang jam tujuh, cahaya matahari mulai menyusup pelan menerobos dedaunan. Kabut pun pamit, mungkin dia juga harus kerja. Gantian terang yang datang, hangatnya pelan pelan menjilat batang pohon, tanah, rumput dan segala yang mampu digapai. Tapi momen sunyi kayak gini? Nggak datang dua kali. Kadang hidup cuma kasih satu take. Nggak ada tombol replay. Nggak ada filter.
Video kabut pagi di Sandalwood Hotel dapat ditonton pada video berikut:
Sarapan di Pine Resto, Sandalwood Hotel. Nama restonya mengandung unsur pinus, suasananya mengandung unsur healing, dan makanannya mengandung unsur keikhlasan ibu-ibu yang masak tiap hari tapi nggak pernah libur.
Kami duduk di spot favorit tujuh tahun lalu. Sofa pojokan dekat jendela yang terang benderang tanpa penghalang, cahaya matahari tumpah ruah ke atas meja makan. Disinari hangatnya matahari pagi yang sanggup ngusir dingin Lembang, dan juga dingin yang biasa datang saat notifikasi masuk... tapi isinya tagihan, bukan transferan.
Pagi itu saya dan keluarga tidak hanya duduk untuk makan. Kami duduk untuk mengenang. Karena bangku yang sama, cahaya yang sama, ditemani orang-orang yang sama, dan perasaan yang hampir sama kadang bisa mengingatkan bahwa waktu memang jalan terus, tapi rasa bisa nangkring di tempat.
Menu sarapan sebenarnya lengkap, pilihan makanan berat dan ringan sangat banyak. Tapi pagi itu kami sarapan dengan yang paling menarik di mata dan perut kami.
Ada roti tawar tebal tapi empuk yang bisa dikukus kalau diminta, roti yang lebih lama jadi objek foto daripada saat dikunyah dan ditelan.
Ada pula bubur ayam, siomay, mie bakso, sereal, salad, omelet, dan sedikit menu berat buat yang percaya kalau sarapan itu cuma makan siang versi lebih santai.
Sarapan kami
Semua tersaji dalam gaya buffet. Tinggal pilih, tinggal ambil, terus overthinking setelahnya karena tiba-tiba meja yang ditempati jadi meriah. Bukan karena lapar luar biasa, tapi karena semuanya kelihatan, “kok enak ya dicobain?” Haha. Tapi alhamdulillah semua dimakan, nggak ada yang mubazir. Senang. Kenyang.
Video kami sarapan di Pine Resto Sandalwood Hotel dapat ditonton pada video berikut:
Di luar sana, Lembang sudah mulai menggeliat. Long weekend dan macet kayak jodoh dan utang, selalu datang beriringan. Jadi kami putuskan buat nggak ke mana mana. Cukup staycation. Nikmatin hotel. Duduk. Sarapan. Nggak pakai target. Karena di dunia yang makin sibuk ini, kadang kita butuh satu hari buat ngerasa kayak manusia biasa, bukan sekadar objek algoritma dan deadline.
Yang bikin momen makin berkesan adalah kehadiran Pak Billy. Owner Sandalwood Hotel sekaligus pemilik De Ranch. Beliau datang menyapa tamu. Ramah banget. Hangat. Tipikal orang yang kalau kita lihat langsung pengen ngomong, “Pak, saya boleh nggak kerja di sini aja?”
Beliau bukan sekadar pemilik tempat, tapi penjaga atmosfer. Karena nggak semua orang kaya bisa ramah. Dan nggak semua orang yang senyum itu tulus. Tapi Pak Billy berhasil bikin kami ngerasa disambut. Nggak cuma secara layanan, tapi secara rasa.
Feels like home? Totally. Tapi ini versi rumah yang nggak perlu nyuci piring abis makan.
Dan satu hal yang bikin hati saya nyes, Pak Billy ini seusia dengan almarhum bapak saya. Pertemuan kami ini adalah yang kedua setelah tujuh tahun berlalu, dan rasanya tetap sama: hangat dan membekas. Saat beliau menyapa, mengajak kami duduk, ngobrol, bahkan memberi nasihat baik buat Alief, saya seolah sedang duduk bersama bapak sendiri. Seperti mengajak anak-anak bertemu kakeknya.
Mungkin ini halu, tapi terasa nyata. Bahkan jika boleh jujur, raut wajah Pak Billy hari ini tak jauh beda dengan bayangan saya tentang bapak jika beliau masih hidup. Saya jadi rindu bapak 😭
Jam 10 pagi di Lembang. Langit biru secerah niat awal tahun yang biasanya kandas di minggu kedua. Matahari bersinar hangat, cukup untuk mengusir kabut sisa subuh, tapi belum cukup buat bikin kolam renang terasa ramah. Udara segar semriwing, tipikal Lembang yang kalau dilabelin bisa masuk kategori AC alami yang hemat listrik, tapi tetap sukses bikin menggigil.
Di tengah semua itu, kolam renang tampak tenang. Terlalu tenang, malah. Airnya jernih, diam, seperti sedang menunggu siapa yang berani mengusik. Lalu datanglah Alief yang tampaknya nggak punya rasa takut terhadap suhu. Tanpa banyak pikir, dia langsung nyebur. Byuur. Reaksi? Biasa aja. Seolah airnya cuma satu dua derajat lebih dingin dari air minum galon. Mungkin bagi dia, ini masih masuk kategori "lumayan seger". Bagi saya? Cuma dari suara cipratannya saja sudah bisa bikin bulu kuduk berdiri.
Nggak lama kemudian, suami saya nyusul. Santai banget, kayak nyebur ke jacuzzi, bukan ke kolam yang airnya bisa bikin pipi keram. Saya sendiri sedang duduk ngobrol dengan teman, dan karena terlalu seru bercerita, tiba-tiba sadar mereka sudah selesai berenang. Saya sempat bengong, merasa seperti penonton konser yang datang pas encore: telat, tapi masih berharap dapat pengalaman spiritual.
Anak dan suami saya ini memang terbiasa mandi air dingin setiap pagi. Bukan karena tidak ada akses air hangat. Justru kami punya, tapi mereka percaya mandi air dingin itu salah satu cara untuk membuat tubuh lebih kuat. Katanya ini latihan. Latihan tahan banting, latihan biar sehat, sekaligus ikut sunnah Rasul. Sementara saya, yang tiap pagi bisa saja debat sama air yang suhunya kurang anget dikit, rasanya langsung merenung soal ketahanan mental saya yang ternyata lebih cocok hidup di negara tropis.
Kolam renang hotel dilihat dari Pine Resto, tempat sarapan di Sandalwood Hotel
Konon, mandi air dingin punya banyak manfaat: melancarkan sirkulasi darah, memperkuat imunitas, menurunkan stres, menjaga vitalitas, dan yang paling penting untuk melatih kesabaran. Kesabaran menerima kenyataan bahwa pagi-pagi belum ngopi, tapi sudah harus menyatu dengan air yang seolah menyimpan dendam terhadap umat manusia.
Berenang di sini seolah ajang pembuktian siapa paling tahan air dingin. Kalau menurut suami saya, ini justru momen yang pas: udara segar, waktu luang, fasilitas oke, kenapa nggak dimanfaatkan buat memperkuat fisik? Saya mengangguk, sambil menyembunyikan diri di balik jaket tebal, dan mengiyakan dari jauh.
Mungkin memang dunia ini dibagi dua: antara mereka yang bisa nyebur ke air dingin tanpa keraguan, dan mereka yang butuh sepuluh menit untuk berdiri di pinggir kolam sambil mikir, “Ini air atau tantangan hidup?” Saya jelas golongan kedua. Tapi bukan berarti kalah. Karena justru di titik itu, saya sadar bahwa keberanian nggak selalu soal aksi dramatis. Kadang, cukup dengan mau duduk diam, memperhatikan, lalu menuliskannya dengan jujur. Itu juga bentuk keberanian. Wkwk.
Cahaya menari lewat celah-celah daun, menempel di punggung Alief seperti lukisan alam yang diam-diam hadir.
Hari itu di Sandalwood, kolam renang bukan cuma tempat buat berenang. Tapi jadi pengingat: bahwa tubuh punya batas, dan pilihan kita untuk menghormati batas itu juga penting. Anak saya berenang dengan semangat, suami saya ikut menikmati, dan saya? Duduk manis, mengamati, lalu mengabadikannya dalam cerita. Semua orang punya cara menikmati liburan. Ada yang nyebur, ada yang nyeruput teh sambil menghindari angin.
Saya, sudah sangat bahagia dengan peran saya hari itu. Karena meski tidak nyemplung, saya tetap ikut basah oleh rasa syukur.
Sebelum sampai ke Sandalwood, seorang teman sudah menitipkan satu pesan penting, dengan semangat yang nyaris menyerupai misi hidup: “Pokoknya cobain mie tek-teknya, ya. Sekali cicip... beuuuuh, nagih banget!”
Saya tidak langsung terbawa suasana. Tapi dalam hati sempat bertanya, dari sekian banyak menu hotel, kenapa mie tek-tek yang jadi andalannya? Apakah ini semacam simbol kejayaan kuliner lokal? Atau hanya karena ia punya kenangan manis dengan semangkuk mie hangat di tengah udara Lembang yang dingin? Entahlah. Tapi semangatnya cukup membuat saya penasaran.
Pertama kali mencicipi mie tek-tek ini adalah saat kami baru tiba di hotel. Malam sudah larut, badan lelah, perut keroncongan. Tanpa banyak pertimbangan, saya langsung memesan satu porsi mie tek-tek. Anak-anak dan suami, seperti yang sudah saya ceritakan di awal, memilih menu masing-masing. Tidak ada ekspektasi muluk. Saya membayangkan semangkuk mie goreng basah ala abang-abang gerobak, tapi versi hotel bintang tiga.
Ternyata saya keliru. Mie tek-tek ini bukan mie biasa. Rasanya seperti pertemuan manis antara kecap yang lembut, kaldu yang gurih dan penuh rasa, serta aroma bawang putih yang tajam tapi menyenangkan. Kuahnya hangat dan ringan, tapi punya kepribadian yang kuat. Bukan sekadar air rebusan bumbu instan. Mienya kenyal, tidak lembek, dan menyerap bumbu dengan sempurna. Seperti generasi muda yang tahu cara belajar sungguhan tanpa bergantung sepenuhnya pada konten lima belas detik.
Anak-anak yang awalnya menikmati pesanan mereka masing-masing, mulai melirik mie tek-tek saya. Mereka minta sedikit, lalu keesokan harinya tanpa perlu dibujuk, semua kompak memesan mie tek-tek. Satu porsi untuk satu orang. Tidak ada yang mau berbagi. Demokrasi kuliner pun tercapai dengan tenang dan damai.
Tapi kejutan terbesar datang dari suami dan Alief. Mereka makan mie tek-tek itu dengan nasi. Katanya, “Biar afdol.” Saya sempat bengong. Mie itu sudah karbohidrat. Kenapa masih harus disandingkan dengan nasi putih? Tapi inilah realita. Di negeri ini, makan mie tanpa nasi bisa dianggap sebagai keputusan yang kurang bertanggung jawab secara emosional. Filsafat “belum makan kalau belum ketemu nasi” memang nyata adanya. Ia diturunkan dari generasi ke generasi, lebih kuat dari hukum logika nutrisi, dan lebih kokoh dari niat diet.
Saya jadi berpikir. Di Indonesia, makanan bukan hanya soal rasa, tapi juga keyakinan. Ada yang merasa bersalah makan bakso tanpa lontong, ada yang panik kalau menyantap sate tanpa nasi atau lontong. Bahkan salad pun bisa dijadikan lauk, asal disandingkan dengan nasi hangat. Semua sah, selama ada nasi di piring.
Rasanya seperti sedang menyaksikan pertunjukan kebudayaan, tapi panggungnya adalah meja makan. Sepiring mie bisa memicu diskusi panjang soal identitas, kebiasaan keluarga, hingga cara kita memandang hidup. Dan kalau pertunjukan itu berlangsung di tempat sehangat dan seasyik Savannah in Woodland, resto hotel @sandalwood.hotel, pengalaman kuliner itu terasa seperti catatan antropologis yang bisa dimakan.
Mungkin memang benar, kadang menu yang direkomendasikan dengan penuh keyakinan menyimpan sesuatu yang lebih dari sekadar rasa. Ada cerita di baliknya. Ada kebiasaan, ada perasaan nyaman, dan sedikit ironi tentang bagaimana kita makan bukan hanya karena lapar, tapi juga karena tradisi, kebanggaan, dan... kepercayaan.
Video makan mie tek-tek di Sandalwood Hotel dapat ditonton berikut:
Tujuh tahun lalu, saat kami sekeluarga pertama menginap, hotel kece di Lembang ini masih terasa seperti hidden gem. Sekarang sih, lebih ke hidden memories. Tapi ya, mau gimana, nostalgia memang jarang datang dengan harga diskon.
Waktu itu kami jelas lebih muda dari sekarang. Rambut suami saya masih banyak hitamnya, belum penuh highlight alami dari alam semesta. Sekarang? Sudah dipenuhi helai-helai putih yang katanya sih tanda kebijaksanaan. Walau saya curiga, itu hasil kombinasi antara begadang, kerja keras, dan terlalu sering mikir PR anak yang kayak soal olimpiade.
Kami pun memutuskan untuk foto lagi di spot yang sama. Tempatnya masih estetik, vibes-nya tetap cozy, dan keramahan orang-orangnya tetap hangat. Tapi kali ini, bukan cuma wajah yang berubah. Dulu pakai hape tiga jutaan yang kalau malam hasil fotonya lebih cocok buat laporan paranormal. Sekarang, kameranya lebih canggih, tapi tetap... nggak bisa menyembunyikan kantung mata.
Foto kami bulan Mei 2025
Saat berfoto di tahun 2018
Namun, perubahan paling besar justru ada di dalam kepala. Dulu kami mikir liburan itu soal destinasi. Sekarang? Lebih soal kebersamaan. Tentang siapa yang ikut, siapa yang ngurus itinerary, dan siapa yang siap motret tanpa ngeluh tangan pegal. Karena liburan keluarga zaman now tuh kadang kayak shooting iklan: lebih banyak take foto daripada take nap.
Sandalwood tetap sebagus dulu. Tapi sekarang, dia terasa seperti panggung kecil buat refleksi hidup. Dulu datang ke sini saya bawa semangat dan aroma parfum mahal. Sekarang? Lebih ke semangat yang dicampur minyak kayu putih dan koyo aroma menthol. Soalnya, jalan nanjak satu hari, efek pegalnya bisa bertahan sampai Jumat. Itu pun kalau nggak bonus encok.
Betapa waktu melaju cepat, seperti alarm pagi yang nggak pernah ditunda, tahu-tahu saya dan suami sudah setua ini. Tapi dari semua perubahan itu, kami sepakat satu hal: yang paling penting bukan siapa yang paling romantis, tapi siapa yang mau tetap duduk bareng saat semua terasa nggak manis.
Foto tahun 2018 di Sandalwood.
Foto kami di tahun 2025
Itulah kenapa kami kembali ke sini. Bukan untuk mengulang masa lalu, tapi untuk menghargai perjalanan. Karena cinta, kalau terus dipelihara insyaAllah tetap tumbuh. Tumbuh itu nggak harus selalu estetik seperti di Pinterest. Kadang tumbuhnya sambil ngambek, sambil diam-diam beli cemilan padahal lagi diet, atau sambil saling nyindir pakai nada manis. Tapi tetap aja... ujung-ujungnya tidur di kasur yang sama.
Akhirnya, kami berdiri lagi di titik yang sama, ambil foto dengan senyum yang lebih tulus (dan pipi yang lebih montok). Saya pun nyeletuk ke suami, "Lihat deh, dulu aku masih tirus." Dia jawab, “Dulu aku belum sebijak sekarang.” Jawaban aman, ya kan?
Sama-sama berubah, tapi masih di sini. Kadang masih saling nyebelin. Masih saling nemenin.
Beberapa foto before & after dari 2018 ke 2025 dapat dilihat pada postingan berikut:
Sandalwood tak berkata apa-apa. Tapi saya tahu dia paham. Dia saksi, bahwa perjalanan bukan hanya tentang tempat yang dituju, tapi tentang siapa yang setia di tanjakan, meski napas tinggal separuh.
Sampai jumpa lagi, Sandalwood. Saat rambut kami semakin memutih, dan cerita kami bertambah bab baru.