Oleh-oleh Coklat dari Eropa


Tante T, begitu aku biasa memanggilnya. Asli orang Indonesia, menikah dengan pria Belanda, dan telah puluhan tahun menetap di Belanda. Dia sedang berkunjung ke Indonesia, menginap di rumahnya sendiri yang bersebelahan dengan rumahku. Dalam setahun Tante T tidak tentu pulang ke Indonesia, kadang 1x, kadang 2x. Selama ini, rumah megah dan halamannya yang luas dirawat seminggu sekali oleh sepasang suami istri dari kampung sebelah.

Rumah Tante T dibangun sekitar 5 tahun yang lalu. Katanya, rumah itu dipersiapkan untuk ia dan suaminya, dan mereka akan menempatinya saat pensiun nanti. Artinya, mereka akan menetap di Indonesia, menghabiskan sisa usia di Tanah Air.

Setiap kali pulang ke Indonesia, Tante T kerap membawakanku oleh-oleh. Kadang berupa makanan, pakaian, parfum dan tas wanita. Ia baik sekali. Usianya belum terlalu tua. Bahkan saat ini masih aktif bekerja di Belanda. Sedangkan suaminya sudah mendekati masa pensiun. Suaminya mualaf, dan suka ngobrol.  Beliau sangat suka bercerita tentang cucunya. Katanya, anak-anaknya semua kebule-bulean, tapi seorang cucunya malah nggak tampak bule sama sekali :D Ya, salah satu anak perempuannya memang menikah dengan pria Indonesia asli. 



Ibu perawat rumah Tante T datang ke rumahku, mengantar oleh-oleh. Ternyata oleh-olehnya coklat mesis dan coklat Belanda merk Fin Carre. Coklatnya ada 3 jenis, yaitu White Chocolate, LAIT Raisins Secs & Noisettes, dan LAIT.  Tante T baru kali ini membawakanku coklat Fin Carre. Biasanya coklat merk lain. Sebelum ini, sewaktu suami tante T sendiri yang mengantar oleh-oleh ke rumah, coklatnya merk yang berbeda.


Kemasan coklat Fin Carre amat menarik, berwarna kuning gading, biru, dan ungu. Terbayang kelezatan coklat yang ada di dalamnya. 

Suatu pagi, aku bertandang ke rumah Tante T sambil membawakannya sekantong buah duku Palembang. Buah duku yang benar-benar didatangkan dari Palembang, kiriman keluarga di Palembang. Tante T senang bukan main. Apalagi anak gadisnya. Buah langka katanya :D

Di teras rumahnya yang apik, kami mengobrol tentang banyak hal. Anak gadis Tante T ternyata hendak berlibur ke Lombok. Katanya ia kangen Lombok. Ia memang pernah tinggal di Lombok selama 3 bulan saat melakukan riset (terkait tugas kuliahnya) tentang masyarakat dan budaya Lombok. Tugas itu ia lakukan tahun 2014 lalu. Dari Lombok, obrolan kemudian meluas tentang dunia wisata Indonesia. Saat aku menceritakan tentang Kepulauan Derawan, gadis bule itu terkagum-kagum. Dan ia tertarik untuk ke sana.

Sambil ngobrol, Tante T dan anaknya asyik menikmati buah duku. Tante T bercerita, kepulangannya ke Indonesia ternyata untuk menjual sebagian tanah yang kini di tempatinya. Bukan tanah tempat rumah megahnya berdiri, tapi tanah yang selama ini dijadikan taman. Katanya, agar mengurangi biaya perawatan. Aku mencoba menaksir nilai tanahnya, menyesuaikan luas dan harga jual per meter yang berlaku saat ini, ternyata harganya sekitar Rp 1,5 miliar. 


Setelah ngobrol banyak hal, aku berpamitan. Tante T menyodorkan coklat. Coklat lagi? :D :D

“Tante, banyak betul coklatnya, kan kemarin sudah dikasih, kok sekarang dikasih lagi?” tanyaku.

“Enggak apa-apa Rien. Tante memang bawa banyak dan memang buat dibagi-bagi,” jawabnya sambil meletakkan 2 batang coklat ke tanganku.

Ya, aku paham. Belanda, selain terkenal dengan keju dan Stroopwafels, juga terkenal sebagai negara pembuat cokelat terbaik yang rasanya sangat lezat. Tak afdol pergi ke Belanda tanpa membawa pulang oleh-oleh coklat ^_^

(*)

Seorang istri. Ibu dari dua anak remaja. Tinggal di BSD City. Gemar jalan-jalan, memotret, dan menulis.

Share this

Previous
Next Post »

11 komentar

  1. Wah, tetangga kaya yang sangat baik hati ya mbak rien. Pasti karena tetangganya yang orang Palembang itu juga seorang yang baik hati :D

    BalasHapus
  2. Hehehe.. aku beberapa kali juga mengalami kejadian seperti ini, mbak.. Temen-temen kantor yang bule, kalo mudik ke kampung halamannya di Norway sana selalu bawa coklat. Yang paling aku ingat itu coklat seberat 250gram, ada 4 buah. Jadi total ada sekilo coklat.. Tapi ya gitu, gak ada label halalnya :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sangat jarang ada label halal pada coklat produksi luar, tapi mungkin bisa dicek melalui ingredientnya mbak. Kemarin abis ngobrol sama mbak Ira, kalau dalam ingredientnya itu ga ada bahan yang aneh-aneh semacam Lecithine, Insha Allah halal. Aku selama ini juga mengandalkan logo, trus gugling nyari info halal or enggaknya.

      Hapus
  3. Salam ke tante T. Sama dengan tante, pingin menua dinegeri tercinta. Kalau aku tiap bulan dapat coklat dari kakak ipar dari Eropa. kapan hari pesen merk merk yang diceritakan sama mbak Ira. hehehe. Kok aku nggak pernah tanya halal apa nggak ya? langsung lumat. Duh!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Insha Allah nanti pas aku telpon-telpon sama Tante T aku salamin ya mbak. Aamiin semoga tercapai keinginannya mbak Zulfa :)

      Alhamdulillah coklat Fin Carre ini ternyata halal mbak. Kemarin sempet fokus ke bahan lecithinnya saja, aku duga haram, plus gugling juga, makin yakin ini halal. Rupanya lecithin nabati dari bunga matahari). *setelah membahasnya sama mbak Ira*

      Wah mbak Zulfa rajin mesen coklat sama mbak Ira rupanya. Asyik makan coklat enak terus itu mbak :D

      Hapus
  4. Aku suka coklat putih sejak SMP. Di deket sekolahku dulu ada toko penjualnya coklat putih. Zaman itu balum banyak varian dan merek coklat putih. Sekarang seleranya udah pindah ke dark chocolate. hehehe

    @Zulfa: coklat sing taksebut wingi in shaa Allah halal. Kecuali sing mengandung alkohol, ya... :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sudah lama sekali mbak Ira kenal coklat putihnya :)

      Hapus
  5. wahhh baek banget beliau mbaaaa, pasti coklatnya enak banget ituuuu :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah punya tetangga baik :) Iya, enak banget coklatnya :D

      Hapus
  6. Senangnya dapat oleh2 cokelat mba :) tetangga ya baik sekali ya

    BalasHapus

Leave your message here, I will reply it soon!