Tampilkan postingan dengan label Trekking Sentul. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Trekking Sentul. Tampilkan semua postingan

Trekking Santai di Sentul: Menikmati 3 Curug dan Nasi Liwet di Tepi Sawah

 

Trekking ala FBI, Plot Twist Hidup Emak-Emak

Food Blogger Indonesia (FBI), komunitas yang biasanya sibuk bikin konten masak, review resto, hunting hidden gem kuliner, motret makanan sampai nyari angle piring biar estetik, tiba-tiba memutuskan untuk plot twist

Dalam rangka Agustusan, tahun ini nggak kumpul makan-makan seperti biasanya, tapi trekking. Iya, trekking. Jalan kaki jauh, naik turun bukit, keringetan, ngos-ngosan. Kegiatan yang lebih cocok untuk atlet atau mantan atlet, bukan emak-emak yang biasanya maraton cuma di timeline Instagram.

Awalnya saya kira ini cuma ide iseng. Tapi ternyata persiapannya serius, kayak mau bikin hajatan tujuh hari tujuh malam. Dari Juli grup WhatsApp FBI Trekking sudah riuh: riset jasa trekking, tanya harga, bandingin rute, sampai debat soal mau nginep atau tidak. 

Karena jujur saja, mayoritas anggota adalah emak-emak yang kalau diminta bangun jam empat pagi untuk olahraga, itu sudah masuk level ibadah mahdhah. Jadi daripada drama kesiangan, sempat ada wacana menginap di Sentul.

Baca juga: Berwisata di Asstro Highland Ciater Subang

Dan seperti biasa, ide nginep itu awalnya terdengar manis. Bayangannya sih: sore-sore sampai lokasi, malamnya barbeque cantik, paginya tinggal jalan santai sambil gaya-gayaan. 

Tapi ya namanya hidup emak-emak, penuh plot twist. Dari rencana nginep yang terkesan fancy, akhirnya sepakat untuk pulang-pergi saja. Alasannya sederhana: males ribet. Karena buat emak-emak, packing koper untuk semalam itu levelnya bisa bikin stress nasional.

Jadi ya sudah, trekking tetap jalan, tapi konsepnya lebih hemat: PP, sehat, dan drama lebih minim.

Rencana Glamping Gagal, Logistik Emak-Emak Mengalahkan NATO

Saya nemu penginapan lucu di Instagram: @Landeuh_Village. Pilihannya bikin ngiler: camping mandiri Rp 500 ribu, glamping Rp 600–950 ribu, cabin berbagai ukuran sampai Rp 3,3 juta, bahkan ada paket trekking cuma Rp 100 ribu. Serius, ini kayak katalog surga buat emak-emak yang hobi konten Instagram tapi dompetnya masih manusiawi.

Awalnya kami naksir camping mandiri yang Rp 400 ribu. Tapi begitu lihat daftar perlengkapan yang harus dibawa, langsung sadar: ini bukan camping, ini latihan survival. Jadi pindah haluan ke glamping reguler. Harganya Rp 600 ribu buat 4 orang di weekdays, Rp 750 ribu saat weekend plus sarapan gratis. Deal banget! Apalagi tendanya di pinggir sungai. Di kepala saya sudah ada trailer sinematik: pagi-pagi bikin kopi, duduk di depan tenda, kaki nyebur, upload story dengan caption healing, pura-pura semua masalah hidup hanyut ke hulu. Besoknya? Ya balik lagi ke realita: tagihan listrik dan notifikasi grup sekolah anak yang bunyinya kayak sirine peringatan dini bencana.

Chat dengan pengelola sudah panjang, tinggal transfer. Rasanya kayak udah jadian, tinggal ganti status.

Dan lalu… datanglah drama klasik emak-emak. Ada yang mendadak dapat jadwal event, ada yang jadwalnya tabrakan sama acara keluarga, ada yang tiba-tiba dapat piket kantor, dan lainnya. Mengatur trip kayak gini itu setara dengan mencocokkan jadwal arisan, jadwal dokter gigi, sampai jadwal suami nggak dinas luar kota. Jumlah peserta pun menyusut lebih cepat dari saldo rekening pas flash sale 9.9.

Akhirnya rencana glamping bubar jalan. Bukan karena tempatnya jelek, tapi karena logistik emak-emak itu rumitnya bisa bikin NATO ngelus dada. Glamping-nya sih cakep, tapi realita jauh lebih sadis haha.

Baca juga: Melancong ke Pulau Pari Kepulauan Seribu 

Daripada Drama Kesiangan, Mending Drama PP

Masalah jadwal trekking pun nggak kalah sinetron. Pertama dijadwalkan Sabtu, 23 Agustus. Saya sudah semangat, “Yes, ini pasti rame!” Tapi hidup memang suka bercanda. Satu per satu member batal, dan jadwal pun diundur ke 30 Agustus. Optimisme saya masih tersisa, walau tipis-tipis. Sampai akhirnya jumlah peserta menyusut lebih cepat daripada es krim di freezer begitu anak-anak pulang sekolah.

Padahal awalnya list peserta kayak absen kelas penuh: Ria Andika, Novarty, Utie, Lala, Lidya Fitrian, Temmy, saya, Bayu, Amanda, Yesi, Hani, dan Dian. 

Dari semua itu, yang minat nginep cuma enam orang. Begitu jadwal diundur, satu per satu menghilang. Ada yang kena jadwal arisan, ada yang acara keluarga, ada yang harus piket di kantor. Bahkan Lala yang sudah setor uang trekking pun batal. Rasanya kayak lagi bikin grup travelling, tapi anggota grupnya malah travelling ke masalah masing-masing haha.


Saya dan teman-teman pun buka pendaftaran lagi. Masuklah nama Mbak Dwina, Isti, dan Mbak Nurul. Tapi ujung-ujungnya, yang benar-benar ikut cuma Mbak Nurul. Jadi total yang fix berangkat cuma tujuh: saya, Bayu, Yesi, Nurul, Dian, Amanda, dan Hani. Tipis banget, kayak saldo rekening di tanggal tua.

Karena weekend Agustus tinggal tanggal 30–31, tidak mungkin diundur lagi. Kalau kelewat, momen trekking tinggal wacana. Kalau ditunda lagi, takut semangat bubar seperti niat diet setelah lihat promo ayam goreng tengah malam. Jadi diputuskan: berapa pun yang ikut, trekking tetap jalan. Minimal tiga orang saja sudah cukup untuk jasa trekking. 

Wacana menginap akhirnya resmi dikubur. Pulang-pergi jauh lebih masuk akal. Hemat tenaga, hemat biaya, hemat drama. Dan jujur, saya senang karena kalau jadi nginep, packing-nya pasti ribet kayak mau KKN: skincare, baju ganti, sandal gunung, colokan kabel wkwk.


Trekking Bareng Zona Trekking Sentul

Begitu rencana menginap batal, terbitlah rencana baru. Mendadak saya jadi ingat Zona Trekking Sentul yang tahun lalu pernah menghubungi lewat WA. 

Dulu sempat mau trekking sekeluarga, tapi batal. Mas Yogi, si admin sekaligus sepertinya owner, waktu itu sudah kasih price list dan info lengkap. Nomornya masih aktif sampai sekarang, bahkan kami masih saling follow di Instagram. Feed mereka rapi, fotonya cakep-cakep, komunikasinya juga cepat, pokoknya bikin saya yakin: kali ini saya harus pakai dia.

Dan bener, pelayanannya bikin saya tersenyum. DP boleh seikhlasnya, bahkan seratus ribu pun sah. Pelunasan pun fleksibel, bisa pas ketemu di mepo atau bahkan setelah trekking. Tapi saya kan tipe kalau sudah booking pengennya langsung bayar biar plong, jadi saya transfer sebagian dulu. Sisanya bayar pas ketemu. Aman, karena ini uang peserta, dan hati tenang karena sudah “ngecap” jadwal.

Awalnya kami pilih rute Leuwih Asih, tiga kilometer pulang-pergi. Tapi setelah diskusi, pindah haluan ke Leuwih Hejo yang jaraknya empat sampai lima kilometer. Bedanya? Leuwih Asih cuma satu curug, Leuwih Hejo dapat empat curug sekaligus dengan harga yang sama. 

Biaya trekking seratus lima puluh ribu per orang, sudah termasuk tiket masuk, parkir, guide lokal, dokumentasi foto, tongkat trekking, P3K standar, jas hujan, dan air mineral. Destinasi yang kami kunjungi lengkap: Curug Leuwi Hejo, Curug Leuwi Benjol, Curug Leuwi Cepet, Curug Leuwi Liek, ditambah bonus jalan menyusuri sungai, perkebunan warga, dan persawahan yang bikin hati adem. Meeting point di Taman Budaya Sentul, gampang dicari. Yang belum termasuk cuma makan siang, transportasi, perlengkapan pribadi, dan tip guide.

Kami disarankan bawa baju ganti, sepatu olahraga, topi, tas kecil, dan obat pribadi. Kalau mau mudah, bisa pesan paket nasi liwet supaya setelah capek trekking langsung makan rame-rame. Bahkan ada paket video drone seharga dua setengah juta buat yang pengen feed Instagram-nya kayak travel vlogger profesional. Kalau nggak ada kendaraan, bisa sewa mobil bak terbuka, patungan delapan sampai sepuluh orang.

Dan ini bukan endorse. Serius. Cuma review jujur dari pelanggan yang senang. Karena ternyata setelah setahun rencana cuma wacana, akhirnya kejadian juga dan pilihan kami nggak salah.

Baca juga: Lembang Asri Resort Tempat Staycation Keluarga di Bandung


Mepo Taman Budaya Sentul, Tepatnya di Weekend.ers Backyard

Kami janjian ketemu jam tujuh pagi di Taman Budaya Sentul. Jam tujuh ya, bukan tujuh lewat lima belas apalagi tujuh lewat kehidupan. Tapi kita kan manusia, bukan jam digital, jadi kalau molor sedikit juga tidak ada yang sidak. 

Saya berangkat dari BSD bersama Yesi dan Mbak Bayu, diantar suami yang mendadak lowong karena rencana keluar kotanya batal.  Suami saya bilang nanti di Sentul dia mau lari dulu lalu menunggu saya sambil kerja di kafe. Produktivitas level bapak-bapak: istri trekking, suami mengejar mileage Strava.

Kami lewat tol Cinere dan sampai Sentul tepat jam tujuh, on time seperti orang-orang sukses di motivational quotes. Sementara Dian, Amanda, dan Mbak Nurul baru berangkat dari Cilebut. Mereka naik KRL tapi sempat ada urusan mendadak di stasiun. Entah apa itu urusannya, mungkin drama top up e-money, mungkin negosiasi batin untuk ikut trekking. Hani datang dengan mobil bawa keluarga sekalian, seperti agenda arisan yang naik level jadi family trip.

Titik kumpul ternyata bukan di Taman Budaya melainkan bergeser sedikit ke Weekenders Backyard. Nama tempatnya saja sudah vibes Jakarta Selatan. Lokasinya hanya sekitar seratus meter dari Taman Budaya tetapi parkirannya aman dan berbayar sehingga tidak perlu khawatir mobil dijaga juru parkir misterius. Di situ ada pick up yang siap antar jemput para pejuang trekking, ada Indomaret untuk jajan, ngopi, sarapan, atau sekadar numpang ke toilet sambil merenungkan pilihan hidup. 

Beberapa foto di mepo bisa dilihat pada foto carousel dalam postingan IG @travelerien berikut:

Bangunan Weekenders estetik parah di mata saya. Foto di depannya membuat saya merasa seperti city tour di Eropa, Eropa yang ada Indomaretnya. 

Kami sempat foto sebelum berangkat saat wajah masih segar, rambut belum lepek kena keringat, dan baju belum menjadi testimoni basah kuyup. Pulangnya foto lagi dengan baju ganti yang baru keluar dari kantong plastik. Tapi wajah tetap sumringah karena siapa yang bisa sedih setelah berhasil melewati jalur trekking tanpa harus digotong.

Guide kami Sopian sudah standby sejak pagi bersama pick up yang siap berangkat. Saya sempat koordinasi dengan dia dan dia pula yang memberi ide bahwa suami saya bisa nongkrong di kafe sekitar situ. 

Ternyata benar, suami saya bahagia menjadi anggota tim penunggu: lari, ngopi, dan kerja. Produktif tanpa harus kotor kena lumpur. Rasanya ini win win solution. Istri dapat hiburan, suami dapat ketenangan, rumah tangga tetap harmonis. Mantap jiwaaa wkwk.

Tetep produktif selama nungguin istri trekking. Sarapan, lari pagi, mengerjakan pekerjaan. Makasih suamiku!


Selagi aku ngos-ngosan nanjak di curug, beliau pamer ini lewat WA hahaha

Naik Pick Up: Angin, Debu, dan Eksistensi

Setelah semua siap, kami naik pick up menuju titik start trekking. Padahal suami saya sudah siapin mobil pribadi yang cukup aman untuk jalanan nanjak, tapi saya sengaja ajak teman pilih pick up. Alasannya? Biar ada sensasi hidup di garis tipis antara seru dan nyawa melayang sekaligus ikut dukung warga lokal yang nyewakan jasa mobil. Tarifnya Rp350 ribu dibagi tujuh orang. Ini lebih murah daripada bayar membership gym yang ujung-ujungnya cuma jadi pajangan di dompet.

Barang dan baju ganti kami titip di kursi depan, sementara saya dan teman-teman duduk di bak belakang. Guide kami santai mengikuti dari belakang naik motor. 

Perjalanan yang seharusnya 30 menit jadi 47 menit karena sempat macet di jalan sempit. Kami harus menunggu mobil lain lewat, dan di momen itu seekor kucing putih duduk manis di depan rumah, menatap kami seperti juri audisi yang ingin berkata: “Manusia, ribet amat cuma mau lewat.”

Duduk di bak pick up rasanya seperti ikut reality show Survivor edisi emak-emak. Duduk menyamping, angin masuk dari segala arah menerpa wajah, rambut dan kerudung berkibar seperti efek wind machine di video klip era MTV, badan ikut goyang seirama jalanan yang berbelok. 

Udara desa segar, meski ada aroma solar yang bikin pengalaman ini makin otentik. Obrolan kami pun random: dari topik serius kayak undang-undang perampasan aset, curhat anak kuliah, sampai ada yang santai touch up make up di atas pick up. Hidup boleh berantakan, tapi wajah harus tetap on point.

Dan di situ saya sadar: naik pick up ini pengalaman yang tidak bisa dibeli di mal. Angin yang menampar wajah, debu jalanan, goyangan jalan yang bikin pegangan erat, rasanya seperti diingatkan bahwa hidup itu bukan cuma healing di kafe estetik, tapi juga belajar bertahan sambil merelakan wajah jadi kotor.

Perjalanan pulang malah lebih dramatis. Jam tiga sore kami naik pick up yang sama, bonus gerimis pula. Bagusnya pihak trip sudah menyiapkan mantel hujan buat kami sesuai jumlah peserta. Jadi meski basah-basahan, kami tetap bisa gaya seperti iklan sampo. Bedanya rambut kami lepek beneran. 

Naik pick up ternyata bukan sekadar transportasi, tapi latihan iman sekaligus meditasi eksistensial. Setiap kali mobil ngerem mendadak, saya mempertanyakan: ini akhir dari perjalanan atau awal trending topic besok pagi?

Video naik pick up bisa ditonton pada reels di @travelerien berikut : 


Tiba di Gerbang Wisata Leuwi Hejo

Jam menunjukkan 08.47 ketika kami akhirnya sampai di gerbang utama wisata Leuwi Hejo. Pick up berhenti tak jauh dari gerbang. Di sekitar kami sudah ramai: ada deretan warung, toilet, dan parkiran penuh mobil pribadi, motor, sampai pick up lain yang mengangkut rombongan. Semua orang tampak siap trekking.

Mas Sopian, guide kami, mulai membagikan tongkat trekking. Setiap orang kebagian satu. Rasanya kayak pembagian senjata sebelum perang, tapi versi emak-emak. Tongkat ini cuma pinjaman, jadi jangan kepikiran buat dibawa pulang apalagi dijual di marketplace. Di titik ini, saya merasa resmi: ini bukan lagi jalan-jalan santai, tapi ekspedisi.

Sebelum mulai, kami dibekali briefing singkat. Mas Sopian menjelaskan jarak tempuh, durasi, medan, dan hal-hal penting yang membuat kami sadar bahwa ini bukan jalan-jalan ke mal. Kami juga diminta pemanasan dulu, dipimpin oleh Amanda, yang paling muda sekaligus paling enerjik di antara kami. Gerakannya luwes, semangat, dan membuat kami sadar bahwa persendian ini ternyata sudah berumur.

Tak lupa, kami berdoa dulu. Ini momen penting: kalau pulang nanti badan remuk, minimal hati tetap ikhlas. Setelah itu, Mas Sopian menyarankan supaya satu orang saja yang pegang kamera untuk dokumentasi. 

Sebagai kapten gadungan kelompok ini, saya pun dengan sukarela menitipkan ponsel ke dia. Cukup satu ponsel untuk semua, nanti tinggal dishare di grup. Ini bukan sekadar efisiensi, tapi juga cara menjaga mental: biarlah kamera yang menangkap momen candid, sementara kami fokus bertahan hidup.

Jadi, wahai pembaca. Seluruh foto dan video trekking ini diambil oleh guide kami, Mas Sopian. Berikut video di titik start trekking, saat sesi pemanasan sebelum trekking dimulai.

Macet di Kota Sudah Biasa, Macet di Sawah Bikin Tertawa

Perjalanan dimulai dengan penuh semangat. Awalnya masih ada beberapa rumah penduduk dengan berbagai tanaman sayur, buah, dan rempah di sekitarnya yang kami lewati. Lama-lama tinggal semak belukar saja, rumah pun lenyap dari pandangan. Jalan kecil yang kami lalui terus menurun, kami jalan satu-satu, ketemu beberapa grup lain yang juga trekking seperti kami. Cukup ramai, sampai harus antri saat melintasi jembatan bambu kecil yang cuma muat satu orang. Jadi kalau mau menyeberang harus gantian. Belum pernah kan lihat macet di sawah? Biasanya macet di kota, ternyata di sawah juga ada.

Air dari gunung yang jernih mengalir lancar di sungai kecil yang lebih mirip parit. Setelah jembatan bambu itu barulah kami ketemu sawah. Tapi bukan sawah yang hijau, melainkan sawah kosong yang sudah dipanen atau belum ditanami.

Melintasi sawah tanpa padi bikin saya merasa seperti bintang iklan pupuk organik. Jalan di pematang dengan udara segar yang rasanya bikin paru-paru nangis terharu. Sesekali ada genangan air yang memaksa kami melipir sambil pura-pura gaya estetik. Saking hati-hatinya kami jalan seperti lagi fashion show di Paris tapi catwalknya becek. 

 

Di Lorong Bambu Basah Sedikit, Bahagia Banyak

Jalan sawah itu cuma sebentar. Setelah itu kami ketemu sungai lebar, tapi sebelum sampai sungai ada jalur berair yang dilewati. Disebut parit tapi rasanya seperti lorong rahasia. Guide nanya, “Mau lewat bawah yang berair atau atas yang nanjak bukit?”

Saya ragu. Baju masih kering, sepatu masih wangi, hati masih rapi. Tapi pengen juga basahin kaki. Dilema nasional ini mirip kayak mau pilih hemat atau beli boba pas tanggal tua. Akhirnya saya bilang, “atas aja…” sambil dalam hati bilang, “Serius mau nolak main air?”

Tiba-tiba ada yang nyeletuk, “bawah aja!”
Otak saya langsung putar balik, “iyaa bawah aja hayoo…”
Kalau konsistensi itu mata uang, saya udah bangkrut sejak lama.

Dan ternyata keputusan plin plan itu justru menyelamatkan hari.
Melangkah di jalur berair bikin hati adem. Airnya jernih, deras tapi ramah. Gosip tetangga pun kalah jernih. Kalau tadi saya pilih nanjak, saya pasti kehilangan momen main air, kehilangan stok video estetik, dan feed Instagram saya bakal merana.

 
Lorong bambu yang kami lewati tampak estetik. Auto no filter. Tapi sambil senyum liat videonya sekarang saya baru mikir:
“Eh bentar, kalau ada ular gimana?”
Ya Tuhan. Untung baru kepikir sekarang. Kalau kepikir di lokasi, saya pasti milih nanjak bukit dan bikin caption motivasi ala “hidup harus naik level”.

Kadang kita memang perlu sedikit basah, sedikit kotor, biar ingat kalau hidup tidak harus selalu lewat jalan kering dan aman. Jalan yang terlalu aman biasanya ramai, licin, dan bikin kita lupa kalau sesekali nyebur itu boleh. Asal jangan nyebur ke drama orang.

Di ujung lorong bambu berair kami turun ke sungai. Airnya dangkal tapi sejuk. Rasanya pengen langsung nyemplung. Tapi saya ingat ini baru awal perjalanan, jadi cukup kaki sampai dengkul yang basah.

Berikut video lewatin lorong bambu Reels @travelerien :

Drama Pacet & Lintah, Drama Kita Semua

Bukan tidak mungkin saat trekking melintasi sawah, sungai, dan bukit kita ketemu pacet atau lintah.

Banyak orang takut sama dua makhluk ini. Padahal mereka cuma cacing beruas dengan hobi menempel. Pacet nongkrong di tanah lembap dan langsung nempel begitu ada tubuh lewat. Lintah biasanya di air tawar, lebih gendut, licin, dan suka nempel diam-diam. Bedanya, pacet bikin gatal, sementara lintah pintar kasih bius, jadi kita baru sadar setelah lihat darah mengalir.

Untung trekking kali ini aman. Tidak ada pacet atau lintah yang ikut nebeng. Saya jadi ingat pengalaman di kebun duku di Sumsel. Kalau musim kering, pacet tidak ada. Begitu tanah basah, barulah mereka nongol.

Saya juga pernah dihinggapi pacet. Waktu itu tidak bawa garam, tembakau, atau jeruk nipis. Akhirnya pakai cara paling sederhana: tetesin air ludah. Ajaib, langsung lepas. Sejak itu saya tidak takut lagi. Rasanya cuma bikin risih, tidak lebih.

Kalau ketemu ular, biawak, atau kadal, nah itu baru bikin saya lari duluan.

Video jalan di tempat berair, Reels @travelerien :


Jadi intinya pacet dan lintah bukan hewan jahat. Mereka cuma bagian dari ekosistem. Kalau kita paham cara menghadapinya, tidak ada yang perlu ditakuti. Mungkin itu sebabnya selama trekking kali ini saya bisa santai.

Dan ternyata benar, tidak ada satu pun pacet atau lintah yang ikut nebeng. Sungai dan parit yang kami jejaki airnya deras, tanah yang kami lewati kering karena sejak pagi cuaca cerah dan udara panas. Pacet pun memilih mager, ogah keluar. 


Singgah Meres Kaos Kaki, Injak Sepatu Baru

Di sungai dangkal berair jernih itu kami singgah sejenak, duduk di atas batu gaya ala iklan air mineral biar kalau difoto kelihatan bahagia dan bebas beban. Soalnya di Instagram semua orang harus bahagia. Kalau kelihatan capek, nanti engagement bisa turun. 

Setelah foto bareng dan kaki dingin, hati ikut adem. Kami pun lanjut nanjak bukit menuju Curug Leuwih Hejo. Namanya sih hijau, tapi tanjakannya bikin kepala sedikit miring. Rasanya lebih cocok disebut Leuwih Cape atau Leuwih Menyesal Kenapa Tidak Rebahan Saja di Rumah. Tapi karena kita generasi yang percaya “healing” bisa dicapai dengan ngosngosan bareng di alam, ya lanjut saja.

Di tengah tanjakan kami menemukan spot datar dan adem di bawah pohon. Langsung duduk, minum, pura pura santai padahal lagi ngatur napas biar tidak terdengar megap megap. Saya memeras kaos kaki, oleh oleh dari jalur berair tadi. Rasanya pakai kaos kaki basah itu seperti bawa spons nempel di kaki, bikin risih, bikin hidup terasa berat. Mirip baca komentar netizen pas lagi sensitif. Jadi harus diperas dulu supaya perjalanan terasa lebih ringan.

Kalau tak salah, saya dan Amanda saja yang memeras kaos kaki, yang lain enggak. Sementara Mbak Bayu ganti sepatu basahnya dengan sandal kering. Sepatu dan sandalnya masih kinclong, baru pertama kali dipakai trekking. Melihat itu saya mendadak ingat tradisi absurd: sepatu baru harus diinjak dulu biar rezeki lancar dan jalan hidup mulus. 

Entah siapa yang pertama kali bikin aturan begitu, tapi banyak orang percaya. Saya sempat bercanda mau menginjak sepatu Mbak Bayu, lalu ingat sepatu saya juga baru. Jadi kalau mau adil, sepatu saya juga harus ikut diinjak. Duh! Haha. Untung cuma bercanda, tidak sampai benar benar kejadian. Bisa repot kalau beneran diinjak pas lagi mau trekking.


 Curug Leuwi Hejo Kayak Cendol

Tepat jam 9.49 WIB kami sampai di curug pertama, Leuwi Hejo. 

Di depan sudah ada plang besi berukuran besar, tulisannya “Curug Barong Leuwi Hejo BOGOR, Sport & Tourism.” Saya langsung bingung. Kok digabung gitu? Padahal curugnya beda-beda. Ada Leuwi Hejo, ada Barong, ada Benjol. Kenapa Curug Benjolnya tidak sekalian disempilin? Biar lengkap gitu lho. Wkwk.


Dari plang itu kami turun sedikit lalu melintasi jembatan besi yang cuma muat dua badan jika papasan. Di sisi kanan jembatan itulah Curug Leuwi Hejo. Airnya bening kehijauan, agak nyempil ke dalam dan sedikit tertutup pohon. Kata guide, ini kolam paling dalam dan paling ideal untuk berenang.

Tapi jangan bayangkan curugnya tinggi seperti Tiu Kelep di Lombok. Di sini semuanya mini. Jadi buat saya yang sudah pernah lihat air terjun setinggi Putri Malu di Way Kanan Lampung, ini mah ramah jiwa. Tidak menakutkan, tidak menyeramkan, tidak ada drama film survival.

Sayangnya hari itu rame banget, cuy. Dari titik curug sampai bawah jembatan penuh manusia. Ada yang berendam, ada yang foto-foto, ada yang main air, ada yang cuma duduk di batu sambil merenungi hidup. Pokoknya rame kayak diskon tanggal kembar. Rasa pingin saya turun mendekat langsung hilang. Kayaknya tidak bakal bisa menikmati dengan tenang. Beda sama waktu kami main air di sungai sebelumnya, masih ada ruang untuk merasa hidup. Di sini rasanya seperti dari hulu sampai hilir penuh orang.

Mungkin ini spot favorit pengunjung. Atau mungkin mereka berhenti di sini karena setelah ini jalannya nanjak lagi. Dan nanjaknya itu bukan nanjak biasa, tapi nanjak yang bikin nafas ngos-ngosan, keringat membanjir, dan bikin kita mempertanyakan semua keputusan hidup. Jadi wajar kalau banyak yang stop di sini, nongkrong di pondok jajan, makan mie rebus, dan leyeh-leyeh.

Kami karena masih ada tiga curug lagi di daftar langsung say goodbye sama Leuwi Hejo. Cuma sempat foto sebentar di jembatan, bukan di curugnya. Tapi ya sudah, namanya juga perjalanan, kadang harus rela cuma numpang lewat.

Oh ya, air di sini benar-benar jernih. Kalau diibaratkan, seperti es cendol tanpa gula merah. Jernih, menggoda, bikin pengen nyemplung. Orang-orang sudah heboh mandi, main air, foto-foto, ada juga yang cuma berdiri di pinggir mungkin sambil mikir “kenapa gaji belum cair?”


Menggapai Curug Benjol, Warung di Tengah Tanjakan

Kami buru-buru meninggalkan Leuwi Hejo dan mulai menanjaki bukit dengan napas yang mulai berat. Tapi sebelum benar-benar melangkah, di ujung jembatan besi ada penjual gemblong. Kue bulat kecokelatan berlapis gula pasir itu tampak manis dan menggoda, seperti sengaja dipajang untuk mengetes iman pendaki. Saya sempat ingin membeli, tapi teman-teman tidak ada yang minat. Masa saya makan sendiri? Jadi saya hanya lewat sambil melirik, pura-pura tegar, seolah lagi diet ketat.

Di tengah tanjakan yang ramai oleh pendaki yang sama-sama ngos-ngosan, pikiran saya malah kembali ke gemblong itu. Heran juga, di saat kaki panas dan lutut mulai protes, yang saya ingat justru kue. Tapi ternyata itu membantu, karena saya jadi lupa sedang capek. Rupanya gemblong dan tanjakan adalah duet yang pas. Yang satu bikin lapar, yang satu bikin kita merasa hidup.

Tak lama kemudian kami melihat warung. Ya ampun, di tengah tanjakan miring begini ada warung? Warga lokal memang kreatif, sedikit saja ada tanah datar langsung jadi tempat usaha. Dan syukurlah ada yang begini, karena rasanya seperti nemu oasis di padang pasir.

Kami langsung duduk dan istirahat. Warungnya lengkap: ada gorengan, camilan, minuman dingin, sampai teh manis panas. Hani langsung pesan teh manis. Saya juga nyemil sesuatu, entah apa, yang jelas rasanya nikmat sekali. 

Minum air putih saja di sini terasa seperti minum air paling nikmat sedunia. Entah karena pemandangannya yang indah, atau karena minumnya sambil keringetan dan ngos-ngosan, pokoknya terasa istimewa.

Habis istirahat kami lanjut jalan dan akhirnya sampai di Curug Benjol. Di sini suasananya ramai tapi lebih santai. Beda dengan di Leuwi Hejo yang terasa sesak. Di kanan kiri sungai ada pondok-pondok tempat jajan dan duduk. Salut untuk para pedagang yang sanggup membawa segala perlengkapan sejauh ini demi memanjakan wisatawan. Ada juga toilet dan tempat ganti baju berbayar, jadi makin nyaman. 


Air di sini jernih kehijauan, curugnya kecil dan tenang. Tidak ada suara gemuruh yang bikin deg-degan. Malah bikin hati tenang. Kami foto-foto, duduk santai, dan menikmati suasana. Saya belum berendam karena masih ada dua curug yang belum kami datangi. Biar nanti saja di curug terakhir, biar klimaks.

Setelah puas foto bersama, kami bersiap melanjutkan perjalanan. Tapi guide memberi tahu bahwa untuk sampai ke curug terakhir kami harus mendaki lebih tinggi lagi. Hati langsung ciut. Baru dua curug saja sudah terasa mau tumbang. Kami akhirnya sepakat cukup satu curug lagi saja. Guide memberi pilihan yang paling dekat, hanya satu kali mendaki, namanya Curug Barong. Semua setuju. Leuwi Cepet dan Leuwi Liek kami coret dari daftar. Senang rasanya bisa menyesuaikan rencana sesuai kemampuan, dan yang paling penting, guidenya tidak memaksa.

Btw, saya juga penasaran kenapa curug ini namanya Benjol. Mungkin karena ada batu besar di tengah yang bentuknya seperti benjolan, nongol sendirian dan mencuri perhatian? 

Lebih banyak foto di Curug Benjol dapat dilihat pada foto carousel IG @travelerien berikut. Tinggal geser kiri saja buat liat slide nya.


Nanjak Curam ke Curug Barong, Ketemu Ojek dan Warung Kopi

Dua kali nanjak rasanya sudah cukup bikin paha panas, tapi ternyata tanjakan ketiga ini kasih plot twist. Ternyata hidup masih bisa lebih berat. Happy-happy di Curug Benjol tadi langsung amnesia. Senyum yang tadi masih bisa dipajang di Instagram mendadak lenyap, diganti wajah serius ala pendaki yang mulai mempertanyakan keputusan hidupnya.

Nyebrang sungai, otw nanjak menuju Curug Barong

Kalau tanjakan pertama dan kedua saya masih bisa ketawa-ketawa sambil ngobrol, kali ini lebih banyak diam. Fokus penuh ke kaki dan napas. Setiap beberapa langkah berhenti, pura-pura lihat pemandangan, padahal cuma mau memastikan jantung masih ada di dada. Pas mendongak, astaga masih jauh. 

Ketemu dua orang yang mau turun, saya tanya dengan penuh harapan, “Mas, masih jauh enggak?” Si cowok jawab santai, “Bentar lagi, Mbak, lima menit.” Jantung saya langsung berbunga-bunga. Eh, temannya yang cewek nyeletuk, “Lima menit apaan.” Deg. Hati yang tadinya bahagia langsung ditampar realita. Terima kasih, Mbak, kamu barusan menghapus sedikit sisa semangat yang saya punya.

Biasanya saya jarang sampai nanya-nanya jarak kalau lagi trekking, jadi begitu saya mulai tanya-tanya, itu tandanya level lelah saya sudah premium. Di tengah ngos-ngosan itu saya ingat Hani yang di Curug Benjol tadi sempat bilang mau nunggu saja di situ kalau masih jauh. Begitu tahu pulangnya tidak lewat Benjol lagi, dia mendadak kuat. Saya yakin sekarang dia juga merasakan penderitaan yang sama wkwk.

Btw, jangan ketawain saya dulu. Buat kalian yang udah biasa naik gunung mungkin jalur ini super sepele. Tapi buat pemula seperti saya, udah gak muda pula, rasanya kayak latihan fisik ala TNI. Saya sampai istigfar di tanjakan. Ajaibnya setelah itu seperti ada tenaga baru, dan tahu-tahu saya sudah sampai atas. Masya Allah, akhirnya selesai juga perjuangan ini.

Dan pemandangan di atas sungguh plot twist kedua: ternyata ada dataran rata, ada warung, ada kamar mandi, bahkan ada ojek. Iya, ojek. Lengkap dengan plang yang berbunyi, “Anda Capek, Kaki Pegel, Napas Engap, Ojek Solusinya.” Saya ngakak. Ini marketing jenius. Setelah susah payah nanjak, kita dikasih opsi pulang dengan cara paling modern: nebeng motor.

Saya jadi ingat Mbak Bayu yang di awal sempat bilang kalau ada ojek dia mau ikut trekking, takut enggak kuat. Kami semua bilang mana ada ojek di gunung. Eh ternyata ada. Tapi bangga juga karena Mbak Bayu tetap sanggup trekking sampai selesai tanpa naik ojek. Salut.

Kami langsung parkir diri di warung. Saya pesan kopi panas, teman-teman ada yang pesan Indomie rebus, ada yang jajan snack. Dan ya, makan di puncak tanjakan memang rasa-rasanya seperti makan di restoran bintang lima. Bahkan minum air putih pun terasa nikmat, mungkin karena diminum sambil keringetan dan ngos-ngosan.

Kami nongkrong lumayan lama, sekitar setengah jam. Rasanya warung ini sengaja diletakkan di titik paling strategis: tempat semua pendaki gadungan menyerah, supaya mereka mau duduk, jajan, lalu semangat lagi. Hasilnya memang manjur. Setelah duduk, makan, dan napas kembali normal, kami lanjut jalan.

Dan ternyata dari situ ke Curug Barong cuma sekitar sepuluh menit saja. Jalannya pun sudah mendatar, hanya sekali turun, mengikuti sisi tebing. Rasanya seperti dapat bonus setelah drama tanjakan tadi.


Curug Barong: Curug Pribadi, Udara Dingin, dan Rasa Disayang Semesta

Nama curugnya Barong. Gagah, kan? Dan memang sedikit lebih gagah dari dua curug sebelumnya. Tidak setinggi Tiu Kelep di Lombok atau segarang Putri Malu di Way Kanan, tapi suara gemuruhnya lebih terasa dan percikan airnya bikin wajah auto facial gratis.

Begitu sampai, udara di sini beda. Saya langsung disergap hawa dingin yang bikin bulu kuduk berdiri. Merinding dingin ya, bukan merinding karena merasa diikuti makhluk tak kasat mata. 

Jujur, saya hampir membatalkan niat berendam. Padahal dari dua curug sebelumnya saya sengaja tidak nyebur supaya puncak keseruan main airnya di sini saja. Eh, pas sudah sampai malah ingin menyerah. Terima kasih udara dingin, kamu hampir bikin klimaks perjalanan ini batal.

  
Untungnya, pas kami tiba, suasananya sepi. Hanya kami delapan orang plus Sopian sang guide. Orang lain yang ada di sana pun sedang bersiap pulang.

Akhirnya kami benar-benar seperti punya curug pribadi. Tidak ada teriakan anak kecil, tidak ada musik tiktok random dari speaker portable, tidak ada drama rebutan spot foto. Sunyi, hanya suara air jatuh dan sedikit suara hati yang berkata, “Ya Tuhan, dingin banget.”


Selama kami di sana, tidak ada satu pun orang datang. Baru setelah kami selesai main air, beres foto-foto, dan bersiap pergi, barulah ada pengunjung lain. Seperti semesta sedang memberi slot eksklusif, supaya kami bisa menikmati curug ini tanpa gangguan. 

Entah ini kebetulan atau memang curug ini jarang seramai yang lain. Wajar sih, jalurnya lebih jauh dan tinggi dibanding dua curug sebelumnya, mungkin banyak yang sudah menyerah di tengah jalan.

Akhirnya saya pun ikut nyebur. Basah-basahan, berendam, foto-foto. Tapi tidak lama, karena saya gampang menggigil. Beda dengan Curug Benjol yang suhunya lebih ramah, di sini rasanya seperti disiram air wudhu jam 4 subuh di masjid kampung.

Namun dari segi pemandangan, Curug Barong juara. Dari atas bisa ambil foto yang lebar tanpa bocor, tanpa background warung atau jemuran baju orang lain. Tempatnya masih asli, tidak ada pedagang, tidak ada warung, bahkan tidak ada tanda-tanda peradaban lain. Sunyi, asri, dan tenang.


Saya cuma bisa bilang, kalau kamu mau trekking ke Sentul, masukkan Curug Barong ke daftar wajib. Kamu tidak harus melewati Curug Leuwi Hejo atau Benjol dulu. Dari titik start kamu bisa langsung naik ojek sampai warung yang jadi pangkalan ojek tadi, lalu jalan kaki sekitar sepuluh menit saja. Dan voilà, kamu bisa merasakan eksklusivitas curug ini tanpa ngos-ngosan terlalu lama.

Ngeliwet di Tepi Sawah: Penutup Manis Trekking Sentul

Perjalanan menjelajah curug ditutup dengan makan siang nasi liwet. Dari Curug Barong kami kembali ke pangkalan ojek yang saya sebut sebelumnya. Dari sana tinggal jalan lurus, lalu sedikit menurun sampai ketemu jalan lebar. Di situlah rumah makan tepi sawah yang jadi tujuan kami. Jaraknya tidak terlalu jauh, jalannya juga landai meski menurun. 

Yang bikin senang, dari rumah makan itu kami akan dijemput mobil pick up yang sudah menunggu untuk membawa kami pulang ke meeting point di Weekender.backyard. Jadi memang ini benar-benar titik akhir perjalanan trekking kami. Setelah makan, kami tidak perlu jalan kaki lagi.

Kami sampai di rumah makan tepat pukul 13.14 WIB. Jam segitu bukan lagi jam makan siang, tapi jam “makan atau ambruk” he he. 

Paket menunya bikin hati senang. Dengan 40 ribu saja sudah dapat nasi liwet lengkap dengan ayam goreng, sayur asem, tahu, tempe, lalapan, sambal, kerupuk, plus teh hangat. Kalau mau yang lebih niat ada juga paket 50 ribu dengan tambahan ikan asin dan jengkol balado. Cocok buat yang percaya aroma jengkol bisa mempererat persahabatan, karena setelah itu semua akan merasakan “keharumannya” bersama.

Perut sudah sejak tadi konser, dengan suara efek dramatis yang bahkan alam sekitar pun ikut mendengar. Untungnya kami sudah pre-order nasi liwet ke Zona Trekking Sentul. Jadi pas sampai, tinggal duduk manis dan makanan datang nggak pakai lama. Rasanya puas, karena lapar dan makanan yang cepat tersaji itu memang kombinasi paling menyenangkan.

Porsinya? Banyak. Sampai ada lauk sisa walaupun semua sudah makan dengan wajah seperti baru keluar dari dapur MasterChef. Saya pribadi menambah dua porsi pisang goreng seharga 14 ribu, isinya lima sampai enam potong per porsi. Ditambah air kelapa muda yang segarnya bikin lupa password ATM. Dan semua ini harganya masih manusiawi.

Tempat makannya berupa saung sederhana di pinggir sawah. Angin sepoi-sepoi lewat seperti iklan minuman ringan. Pandangan hijau bikin mata terasa di-refresh. Ada fasilitas mandi, ganti baju, dan shalat di saung terbuka yang menghadap sawah. Rasanya menenangkan, seolah semesta bilang, “Nah ini, hidup yang kamu cari bukan yang di layar HP itu.”


Bersama teman-teman @foodbloggeridcommunity, suasananya makin asyik. Usai makan kami foto-foto di tepi sawah, tertawa sampai lupa kalau besok harus kembali ke rutinitas. Rasanya sederhana, tapi bikin hati senang. 

Ternyata ibu-ibu juga butuh “vitamin alam + teman.” Sekali-kali ganti vitamin C (chat grup gosip) dengan vitamin O (oksigen). 


Kami berfoto di dekat padi menguning. Tidak menginjak padi tentu saja, karena petani bukan butuh likes Instagram, mereka butuh panen. Sawahnya dijaga dengan jaring setinggi batang padi, mungkin biar aman dari hama dan manusia iseng yang sok aesthetic wkwk. Jadi kami bebas bergerak tanpa merusak sawah, karena healing itu bukan berarti harus bikin orang lain suffering.

Sedikit refreshing memang rahasia kecil untuk waras. Trekking, makan liwet, ketawa sama teman, lalu pulang dengan badan lelah tapi hati lebih enteng. Hidup memang sesederhana itu kalau kita kasih kesempatan.

 

Pulang, Hujan Hujanan di Pickup, Semua Masih Happy

Dalam perjalanan pulang, langit memberi bonus: gerimis. Akhirnya mantel hujan yang sejak pagi dibawa pemandu terpakai juga. Kami mengenakannya satu per satu, seperti kru konser yang sedang bersiap, padahal cuma siap melawan air. Gerimisnya lembut, tapi tanpa mantel hujan tetap saja basah.

Ternyata hujan membuat perjalanan di atas pick up jadi terasa lebih syahdu. Angin masuk, baju agak lembap, tapi semua masih ketawa. Amanda bahkan berdiri di belakang pick up dengan gaya rapper sedang manggung. Kalau ada kamera drone, mungkin sudah jadi video klip berjudul “Back to Nature.” Aneh tapi nyata, segala nanjak nanjak tadi tidak membuat kami lemas, malah bikin jiwa seperti diisi ulang. Capeknya berubah jadi tawa, ngos ngosannya berubah jadi bahan cerita. Manusia memang makhluk unik, bisa capek bareng, tapi tetap ketawa bareng.

Syukurnya perjalanan pulang lancar, tidak ada drama macet seperti waktu berangkat. Suami saya sudah menunggu di titik pertemuan. Kami sempat foto bersama di belakang Weekender Backyard, dokumentasi wajib supaya besok tidak ada yang bilang “eh kayaknya cuma mimpi deh kita trekking kemarin.”

Karena saya tahu perjuangan mencari taksi online di Sentul sore sore bisa bikin frustasi, saya ajak Mbak Nurul, Amanda, dan Dian pulang bareng. Mereka saya turunkan di stasiun Lenteng Agung supaya perjalanan lebih cepat dan aman. Mbak Bayu dan Yesi ikut saya sampai BSD. Rasanya seperti main puzzle, semua orang harus sampai di tempatnya masing-masing dengan rute paling efisien.

Di jalan tol hujan semakin deras, menambah dramatis suasana perjalanan. Seolah alam memberi efek slow motion agar kami bisa menikmati momen pulang ini lebih lama.

Sesampainya di rumah, badan pegal tentu saja. Tapi baru terasa besok paginya saat bangun tidur, seperti ada seruan demo dari seluruh otot. Untungnya setelah saya paksa jalan ke pasar, sarapan, minum jamu, dan tidur siang, semua pegal hilang begitu saja. Ternyata resep waras itu sederhana: trekking, makan enak, ketawa sama teman, tidur cukup, dan sedikit jamu biar badan ingat kalau dia masih orang Indonesia.

Masha Allah, hari itu saya bersyukur sekali. Semua berjalan lancar, semua sehat, semua pulang selamat. Yang paling penting, semua pulang dengan hati lebih ringan daripada saat berangkat. 

Terima kasih Mbak Nurul, Hani, Dian, Mbak Bayu, Yesi, dan Amanda. Kalian bukan cuma teman trekking, tapi partner ketawa, partner ngos ngosan, dan partner yang bikin perjalanan ini layak diulang.


Sabtu, 30 Agustus 2025