Sandalwood Boutique Hotel Lembang, Rumah Kenangan di Tengah Sejuknya Lembang

Kembali ke Sandalwood

Tujuh tahun lalu saya datang ke Sandalwood Boutique Hotel saat dua anak masih dalam masa transisi antara dunia bocil dan remaja tanggung. Sekarang saya kembali, bersama versi mereka yang telah tumbuh lebih tinggi, lebih tenang, dan mulai berjalan di jalur hidup masing-masing

Waktu memang terus melaju. Tapi Sandalwood? Masih setia. Hotelnya nyaris tak berubah. Hanya kami saja yang datang dalam versi yang berbeda. Versi yang lebih dewasa, lebih banyak cerita, lengkap dengan bonus sendi-sendi yang mulai protes. 

Begitu masuk gerbang, rasanya seperti pulang ke rumah nenek. Bedanya, nenek ini punya selera interior yang lebih estetik dan kolam ikan yang isinya mungkin lebih mahal dari total isi kulkas saya.

Udara sejuk menyambut, rumah bergaya country ala film koboi menyapa, dan hati ini langsung bergumam, “Ya Allah, semoga kali ini saya bisa mandi dua kali sehari. Jangan sampai terulang kayak dulu, tiga hari nginep cuma cuci muka doang karena nggak kuat dinginnya.”

Bangunan paling depan di Sandalwood ini bergaya country. Di sinilah tamu disambut. Ada lobby, kafe, kantor, dan satu kamar di lantai bawah yang jadi tempat kami menginap. Lantai atasnya rumah owner (private).

Staycation Sembari Menyelesaikan Hal Penting

Tujuan kami ke Lembang kali ini? Campuran antara liburan keluarga dan urusan domestik yang tetap harus jalan, meskipun sedang staycation. Namanya juga hidup, kadang harus bisa multitasking antara menikmati udara sejuk dan mengurus hal-hal penting yang gak bisa ditunda.

Bandung memang selalu bisa bikin jatuh hati, meskipun kadang macetnya bikin saya mikir… mungkin saya lebih butuh kesabaran ekstra daripada itinerary healing.

Tapi jarak Bandung Jakarta yang katanya cuma dua setengah sampai tiga jam itu ya tergantung niat, doa, dan jam berangkat. Salah ambil waktu, bisa lebih lama dari hubungan yang cuma jadi HTS dan gak pernah naik level. Tapi tetep, Lembang punya magnet. Udaranya adem, warganya ramah, dan hawanya tuh... bikin saya tiba-tiba pengin beli rumah di Lembang meskipun sebelumnya gak kepikiran sama sekali. Waktu saya cerita soal niat ini ke teman yang juga adik tingkat kuliah, dia langsung nunjukin info penjualan rumah deket tempat tinggalnya sekarang. Katanya, biar jadi tetangga. Oh iya, biar bisa gantian nyiram tanaman atau saling pinjem terasi buat nyambel.

Ini bangunan kedua, terletak di bagian tengah area hotel dan posisinya menghadap langsung ke kolam renang.


Bangunan ketiga ada di ujung area, paling belakang. Posisinya menghadap taman dan pohon-pohon pinus yang bikin suasana jadi sejuk dan tenang.

Mahogany Royal Suite — Kamar Tidur Eks Owner, Tempat Mimpi Ekspektasi

Kamar kami kali ini: Mahogany Royal Suite. Dari namanya aja udah kecium aroma mewah, kayak sabun hotel yang baunya gabungan antara sandalwood dan cita-cita pensiunan pejabat. Lokasinya paling depan, mepet sama lobi dan kafe. 

Ini bukan kamar biasa. Dulu kamar owner-nya langsung, Pak Billy dan Ibu Nila. Iya, beliau berdua adalah pemilik De Ranch, tempat wisata berkuda nan kondang itu. Jadi bisa dibilang, kami tidur di tempat yang dulunya mungkin jadi saksi lahirnya keputusan bisnis besar. Setidaknya, ini bisa jadi tempat beliau rebahan sambil nonton acara televisi yang gak mau diakuin tapi semua orang nonton juga.

Dalam 1 kamar terdiri dari 3 tempat tidur. Ini kasur pertama.

Ini kasur kedua dan ketiga, masih di kamar yang sama.

Kamarnya luas. Terbagi jadi dua ruang tidur, dua dunia yang berbeda. Satu King Bed buat saya dan Aisyah, satu lagi dua single bed buat Alief dan papanya. Interior dan perabotnya bergaya klasik elegan. Banyak sentuhan kayu yang memberi kesan hangat, dipadu dengan lampu-lampu model vintage yang bikin suasana makin cozy, serta meja rias besar yang seolah mengajak untuk bersolek. Rasanya seperti sedang menginap di rumah bangsawan, tapi yang sudah update dengan kenyamanan modern khas staycation keluarga.

Fasilitasnya lengkap: TV, kulkas, pemanas air, teh, kopi, gula—semua tersedia, seperti hidup ideal dalam katalog IKEA. AC memang tidak ada, tapi di tempat ini, rasanya memang tidak butuh. Udara tetap sejuk bahkan di siang hari, membuat saya merasa cukup hanya dengan membuka jendela.

Perabot dan dekorasi kamar Mahogany Royal Suite

Atas: snack gratis di kamar dan minuman. Bawah: handuk untuk 4 orang

Teras depan kamar, menghadap ke kolam ikan. Kamar ini bersebelahan langsung dengan kafe hotel dan area reservasi.

Kolam depan kamar berisi ikan-ikan mahal :D
 
Yang membuat saya merasa istimewa bukan hanya kasurnya yang empuk, tapi juga karena setiap kali melangkah ke teras, saya berada di posisi yang secara harfiah lebih tinggi dari kolam ikan mahal di bawah sana. Bukan sekadar kolam hias biasa. Isinya bukan koi yang bisa diberi sisa nasi, melainkan jenis ikan yang terlihat begitu berkelas, seolah kalau dikasih biskuit sembarangan, bisa-bisa langsung menuntut secara hukum perikanan. 

Staycation Rasa Cuti Premium

Apa yang saya suka dari kamar Mahogany Royal Suite? Tenang. Padahal letaknya mepet banget dengan lobi dan kafe, tapi sama sekali tidak terdengar berisik. Bahkan saya bisa memesan makanan dan minta diantar ke teras. Rasanya seperti… oh, begini ya hidup kalau tidak harus mikirin Google Calendar dan grup WhatsApp kerjaan.

Tapi tetap saja, saat duduk santai sambil makan, kadang pikiran merayap ke kenyataan: bahwa liburan seperti ini tidak bisa saya lakukan setiap minggu. Tapi ya sudahlah. Sesekali tidak apa-apa. Hidup ini kan bukan cuma soal hitung-hitungan untung rugi.

Keseluruhan isi kamar dapat dilihat pada video berikut ini:

Dulu saya pernah menginap di kamar lain, yang posisinya persis di samping kolam renang. Desainnya lebih modern, tanpa sekat, dan cocok untuk keluarga besar yang tidak terlalu memikirkan privasi. Tapi kali ini, kamar Royal Mahogany terasa seperti hadiah kecil dari semesta. 

Tarif Mahogany Royal Suite saat itu (bulan Mei 2025) Rp 2.788.000 per malam sudah termasuk sarapan untuk empat orang.  Bukan masuk kategori hemat, tapi masih jauh untuk sampai taraf sultan. Tapi ya memang sepadan. Pengalaman menginap yang bikin rileks dan berasa istimewa.

Karena dalam hidup ini, kadang kita butuh sesuatu yang terasa seperti pencapaian. Walau cuma duduk di sofa teras, sambil melihat ikan yang hidupnya tampak lebih tenang daripada isi kepala manusia dewasa.

  

Malam Dingin dan Perapian di Kafe

Kami tiba di Sandalwood selepas magrib, dengan kondisi cuaca yang cocok banget buat syuting iklan minyak kayu putih. Hujan turun deras, hawa dingin nempel sampai ke tulang kering, dan jalanan Lembang terasa lembap maksimal. Tapi gerbang hotel terbuka lebar, seolah berkata, “Masuk aja, Bu, dunia luar udah cukup kejam.”

Di parkiran, seorang staf hotel datang nyamperin kami sambil bawa payung. Ramahnya ngalahin satpam perumahan yang sudah saya kenal dari zaman anak masih bocil. Saya duluan turun buat check-in, sementara suami dan Alief sibuk membongkar muatan dari mobil, kegiatan romantis versi keluarga urban: ngangkat tas berisi baju yang kemungkinan besar nggak bakal dipakai semua.

Kamar kami sebelahan banget sama kafe, jadi enak kalau mau makan tinggal selangkah saja.

Check-in nya cepat. Yang agak lama cuma bagian struk pembayaran, tiba-tiba loading lama. Tapi aman. Mungkin sinyalnya ngambek. Maklum, hujan. Siapa tahu sinyal juga punya perasaan. 

Di sini, yang bikin nostalgia mulai merasuk: kuncinya masih manual, bukan kartu digital. Rasanya bagai pulang ke rumah orang tua, yang pintunya masih pakai kunci gembok segede harapan ibu-ibu arisan. Begitu masuk kamar, saya langsung pesan makanan ke kafe yang literally ada di sebelah kamar. Dekat banget, kayak tetangga yang hobi numpang hidup.

Malam itu kami order nasi goreng, sop iga, fish and chips, dan mie tek tek. Aisyah makan di kamar sambil scrolling layar HP. Saya, suami, dan Alief makan di teras, menikmati dinginnya malam sambil memandangi ikan-ikan yang berenang pelan di kolam bawah teras. Remang-remang, tapi masih kelihatan, dan tetep kelihatan mahal. 

Makan malam dengan menu kafe hotel: nasi goreng, sop iga, fish and chips, dan mie tek tek yang ketinggalan difoto

Abis makan, kami nggak langsung tidur. Entah kenapa, badan capek tapi mata tetap nolak diajak kompromi. Suami nonton TV, Alief cek HP, Aisyah senderan sambil scroll TikTok kayak anak sultan yang baru dibebaskan dari karantina Wi-Fi. Saya diam saja, membiarkan mereka larut dalam kebebasan digital. Toh, seharian tadi mereka udah cukup offline. Malam ini biarlah mereka reconnect ke dunia maya. Kita semua butuh pelarian, walau cuma lewat konten daily life orang asing di TikTok.

Cuaca makin menggigit. Dingin kayak sindiran halus dari orang yang nanya, “Udah punya vila di Bali dan Lombok belum?” Jaket, kupluk, dan kaus kaki udah dipakai semua, tapi tetap nggak cukup. Akhirnya suami ngajak pindah ke kafe, duduk di depan perapian. Nggak jauh sih, cuma geser tujuh langkah. Tapi vibes-nya beda. Di situ ada perapian sungguhan. Bukan video api 10 jam di YouTube, tapi beneran api yang bunyi “krek-krek” dan bikin hangat sampai ke jiwa. 

Kami duduk santai, pesan bandrek dan pisang goreng, duo menu sakral yang paling cocok dinikmati saat suhu di bawah 20 derajat dan isi kepala lagi butuh diem. Api unggun menyala tenang, suara kayunya berderak pelan, seolah bisikan semesta yang hendak mengatakan, “Tenang... semua akan baik-baik saja. Kecuali deadline konten kamu yang udah tiga hari lewat.”

Pas saya balik ke kamar sebentar buat ambil jaket, kejadianlah peristiwa kecil yang bikin saya senyum miring. Meja yang tadi kami tempati udah diisi dua bocah berwajah asing. Mereka dari Pakistan. Tahu dari mana? Dari suami saya yang emang hobi banget ngobrol sama siapa pun meski itu orang asing.

Di situ ada perempuan tinggi, cantik, posturnya kayak model katalog baju mahal, dan seorang pria dewasa. Saya kira mereka suami istri. Ternyata mereka kakak-adik. Bocah-bocah tadi anak si perempuan. Bapaknya? Masih misterius kayak password Wi-Fi tetangga. Tapi pagi harinya, pas sarapan, barulah muncul: pria dewasa, lebih tua, tampan, dan langsung ditempelin dua bocil tadi kayak magnet nempel kulkas. Dari situ saya tahu: oh, ini bapaknya. Dunia kembali waras.

Kalau kalian penasaran siapa perempuan Pakistan cantik itu, silakan cek IG nya @safdi (Sadaf Hamid). Kami saling follow di IG. Anak-anaknya cakep dan lucu.

Bandrek hangat dan pisang goreng panas. Teman duduk yang pas di depan perapian, menikmati dinginnya udara malam Lembang
 

Balik ke malam itu. Karena kursi saya udah ditempati, saya otomatis mundur pelan sambil ambil teh dan pisang goreng kayak ninja yang baru sadar spotnya direbut. Si ibu minta maaf berkali-kali, dengan ekspresi tulus khas ibu-ibu yang tahu anaknya barusan bikin onar. Saya senyum santai, “It’s okay.” 

Suami lanjut ngadep perapian. Kami duduk lagi, ngobrol ngalor-ngidul, bahas hal penting kayak kenapa bandrek lebih nikmat di gelas kaca daripada mug keramik fancy. Jam sepuluh malam akhirnya kami masuk kamar. Mata mulai berat, badan mulai lengket, dan Sandalwood terasa seperti tempat pulang yang nggak perlu banyak basa-basi.

Semua tidur lelap malam itu. Istirahat yang tenang, tanpa notifikasi, tanpa alarm, tanpa email jam sebelas malam dari bos yang katanya “urgent.” Malam sederhana, dengan perapian, bandrek, dan sedikit kesadaran bahwa kadang, nikmat hidup itu sesimpel tempat duduk yang hangat dan teh yang nggak hambar.

Video di perapian kafe bisa ditonton di sini: 


Kabut di Pagi Hari

Saya terbangun pas adzan Subuh, karena mendengar suara air mengalir dari kamar mandi. Rupanya suami sudah bangun lebih dulu. Memang biasanya kalau lagi di rumah, beliau selalu bangun lebih pagi supaya bisa berangkat subuh berjamaah ke masjid. Saya? Kadang masih tim snooze tiga kali. Tapi ini bukan soal siapa yang lebih rajin, cuma tentang ritme yang berbeda. Ada yang bisa bangun tanpa drama, ada juga yang perlu negosiasi sama alarm.

Setelah semua ritual ibadah rampung, kami keluar kamar. Bukan ke mana-mana, cuma ke teras sejengkal dari pintu, demi satu tarikan napas udara segar yang katanya bisa memperpanjang usia dan mengurangi kerutan wajah. Tapi yang menyambut justru kabut. Tebal. Memburamkan pemandangan, membuat yang jauh tak terlihat dan yang dekat pun terasa enggan didekati. Seperti suasana hati yang lagi ngambek, semuanya diselimuti emosi pasif-agresif.


Tapi ya begitulah kabut. Dia nggak ribut, nggak banyak gaya, tapi langsung ambil alih panggung. Rasanya kayak hidup sedang disuruh pelan pelan. Jalanin aja. Nggak usah buru buru. Bahkan cahaya pun dia suruh nunggu. Sumpah, kabut ini lebih disiplin dari beberapa manajer HR yang saya kenal.

Anak-anak masih rebahan di kasur masing-masing, kayak sepasang nugget yang ogah digoreng. Libur sekolah membuat Aisyah merasa punya royalti atas kasur empuk dan bantal dingin, sebuah hak istimewa yang bahkan presiden pun belum tentu dapet. Sementara Alief? Dia lagi pura-pura lupa kalau mandi pagi itu bagian dari akhlak mulia. Katanya, "Tunggu mood-nya nyala dulu." Lah, bro, itu mood apa rice cooker?

Masih pagi, kabut tipis menyelimuti. Suasananya sunyi, tapi syahdu. Bangunan ketiga ini menyimpan deretan kamar yang cantik-cantik. Setiap kamar punya nuansa berbeda, karena memang didesain dengan tema yang tak sama. Semuanya menarik, rasanya ingin mencoba satu per satu.

Pagi itu terlalu damai. Bahkan alarm pun menyerah. Suara burung pun sopan, nggak berani nyaring-nyaring. Angin hotel semilir kayak bisikan Brad Pitt yang nyesel jadiin saya mantan, bikin kasur makin lengket sama badan. Dan saya? Sedang berdiri di antara dua anak yang udah upgrade diri jadi kayak koala rebahan.

Tapi ya, begitulah… kadang staycation bukan tentang jalan-jalan, tapi tentang menunda kenyataan. Menunda mandi, menunda gosok gigi, menunda jadi manusia. Karena toh, dunia nggak akan kiamat cuma gara-gara bangun jam sepuluh saat staycation, kan? Wkwk.

Suami ngajak jalan pagi. Kami menyusuri jalan setapak menuju kolam renang, lalu ke bawah pohon pinus. Tempat ini hening. Sepi. Kalau pun ada suara, itu pasti dari dalam hati, atau dari perut yang belum sarapan. Tapi mostly dari hati. 

Kami jalan pelan-pelan, nggak ngomong banyak. Ini bukan jalan pagi biasa. Ini semacam meditasi low budget. Nggak perlu aplikasi mindfulness atau retreat mahal ke Ubud. Cukup kabut, pohon pinus, dan seseorang yang mau diajak jalan tanpa nanya “Kita mau ke mana sih?”

Tamu-tamu lain mungkin masih tidur, bersembunyi di balik selimut dan keputusan hidup yang belum selesai. Saya ngerti. Nggak semua orang bisa bangun pagi lalu sok menikmati alam, karena kadang kabut luar cuma pengalihan dari kabut batin. Tapi saya beruntung pagi itu. Punya waktu 45 menit sebelum jam sarapan. Cuma 45 menit, tapi rasanya kayak nemu celengan ayam yang isinya masih utuh. 

Cahaya yang dinanti mulai tajam menyinari

Menjelang jam tujuh, cahaya matahari mulai menyusup pelan menerobos dedaunan. Kabut pun pamit, mungkin dia juga harus kerja. Gantian terang yang datang, hangatnya pelan pelan menjilat batang pohon, tanah, rumput dan segala yang mampu digapai. Tapi momen sunyi kayak gini? Nggak datang dua kali. Kadang hidup cuma kasih satu take. Nggak ada tombol replay. Nggak ada filter.

Video kabut pagi di Sandalwood Hotel dapat ditonton pada video berikut:

Sarapan Bermandikan Cahaya

Sarapan di Pine Resto, Sandalwood Hotel. Nama restonya mengandung unsur pinus, suasananya mengandung unsur healing, dan makanannya mengandung unsur keikhlasan ibu-ibu yang masak tiap hari tapi nggak pernah libur.

Kami duduk di spot favorit tujuh tahun lalu. Sofa pojokan dekat jendela yang terang benderang tanpa penghalang, cahaya matahari tumpah ruah ke atas meja makan. Disinari hangatnya matahari pagi yang sanggup ngusir dingin Lembang, dan juga dingin yang biasa datang saat notifikasi masuk... tapi isinya tagihan, bukan transferan.

Pagi itu saya dan keluarga tidak hanya duduk untuk makan. Kami duduk untuk mengenang. Karena bangku yang sama, cahaya yang sama, ditemani orang-orang yang sama, dan perasaan yang hampir sama kadang bisa mengingatkan bahwa waktu memang jalan terus, tapi rasa bisa nangkring di tempat. 


Menu sarapan sebenarnya lengkap, pilihan makanan berat dan ringan sangat banyak. Tapi pagi itu kami sarapan dengan yang paling menarik di mata dan perut kami. 

Ada roti tawar tebal tapi empuk yang bisa dikukus kalau diminta, roti yang lebih lama jadi objek foto daripada saat dikunyah dan ditelan.

Ada pula bubur ayam, siomay, mie bakso, sereal, salad, omelet, dan sedikit menu berat buat yang percaya kalau sarapan itu cuma makan siang versi lebih santai. 




Sarapan kami

Semua tersaji dalam gaya buffet. Tinggal pilih, tinggal ambil, terus overthinking setelahnya karena tiba-tiba meja yang ditempati jadi meriah. Bukan karena lapar luar biasa, tapi karena semuanya kelihatan, “kok enak ya dicobain?” Haha. Tapi alhamdulillah semua dimakan, nggak ada yang mubazir. Senang. Kenyang.

Video kami sarapan di Pine Resto Sandalwood Hotel dapat ditonton pada video berikut:



Jumpa Pak Billy Mamola

Di luar sana, Lembang sudah mulai menggeliat. Long weekend dan macet kayak jodoh dan utang, selalu datang beriringan. Jadi kami putuskan buat nggak ke mana mana. Cukup staycation. Nikmatin hotel. Duduk. Sarapan. Nggak pakai target. Karena di dunia yang makin sibuk ini, kadang kita butuh satu hari buat ngerasa kayak manusia biasa, bukan sekadar objek algoritma dan deadline.

Yang bikin momen makin berkesan adalah kehadiran Pak Billy. Owner Sandalwood Hotel sekaligus pemilik De Ranch. Beliau datang menyapa tamu. Ramah banget. Hangat. Tipikal orang yang kalau kita lihat langsung pengen ngomong, “Pak, saya boleh nggak kerja di sini aja?”

Beliau bukan sekadar pemilik tempat, tapi penjaga atmosfer. Karena nggak semua orang kaya bisa ramah. Dan nggak semua orang yang senyum itu tulus. Tapi Pak Billy berhasil bikin kami ngerasa disambut. Nggak cuma secara layanan, tapi secara rasa.

Feels like home? Totally. Tapi ini versi rumah yang nggak perlu nyuci piring abis makan.

Dan satu hal yang bikin hati saya nyes, Pak Billy ini seusia dengan almarhum bapak saya. Pertemuan kami ini adalah yang kedua setelah tujuh tahun berlalu, dan rasanya tetap sama: hangat dan membekas. Saat beliau menyapa, mengajak kami duduk, ngobrol, bahkan memberi nasihat baik buat Alief, saya seolah sedang duduk bersama bapak sendiri. Seperti mengajak anak-anak bertemu kakeknya.

Mungkin ini halu, tapi terasa nyata. Bahkan jika boleh jujur, raut wajah Pak Billy hari ini tak jauh beda dengan bayangan saya tentang bapak jika beliau masih hidup. Saya jadi rindu bapak 😭

Nyebur Demi Eksistensi (dan Imun Tubuh)

Jam 10 pagi di Lembang. Langit biru secerah niat awal tahun yang biasanya kandas di minggu kedua. Matahari bersinar hangat, cukup untuk mengusir kabut sisa subuh, tapi belum cukup buat bikin kolam renang terasa ramah. Udara segar semriwing, tipikal Lembang yang kalau dilabelin bisa masuk kategori AC alami yang hemat listrik, tapi tetap sukses bikin menggigil.

Di tengah semua itu, kolam renang tampak tenang. Terlalu tenang, malah. Airnya jernih, diam, seperti sedang menunggu siapa yang berani mengusik. Lalu datanglah Alief yang tampaknya nggak punya rasa takut terhadap suhu. Tanpa banyak pikir, dia langsung nyebur. Byuur. Reaksi? Biasa aja. Seolah airnya cuma satu dua derajat lebih dingin dari air minum galon. Mungkin bagi dia, ini masih masuk kategori "lumayan seger". Bagi saya? Cuma dari suara cipratannya saja sudah bisa bikin bulu kuduk berdiri.


Nggak lama kemudian, suami saya nyusul. Santai banget, kayak nyebur ke jacuzzi, bukan ke kolam yang airnya bisa bikin pipi keram. Saya sendiri sedang duduk ngobrol dengan teman, dan karena terlalu seru bercerita, tiba-tiba sadar mereka sudah selesai berenang. Saya sempat bengong, merasa seperti penonton konser yang datang pas encore: telat, tapi masih berharap dapat pengalaman spiritual.

Anak dan suami saya ini memang terbiasa mandi air dingin setiap pagi. Bukan karena tidak ada akses air hangat. Justru kami punya, tapi mereka percaya mandi air dingin itu salah satu cara untuk membuat tubuh lebih kuat. Katanya ini latihan. Latihan tahan banting, latihan biar sehat, sekaligus ikut sunnah Rasul. Sementara saya, yang tiap pagi bisa saja debat sama air yang suhunya kurang anget dikit, rasanya langsung merenung soal ketahanan mental saya yang ternyata lebih cocok hidup di negara tropis.

Kolam renang hotel dilihat dari Pine Resto, tempat sarapan di Sandalwood Hotel

Konon, mandi air dingin punya banyak manfaat: melancarkan sirkulasi darah, memperkuat imunitas, menurunkan stres, menjaga vitalitas, dan yang paling penting untuk melatih kesabaran. Kesabaran menerima kenyataan bahwa pagi-pagi belum ngopi, tapi sudah harus menyatu dengan air yang seolah menyimpan dendam terhadap umat manusia.

Berenang di sini seolah ajang pembuktian siapa paling tahan air dingin. Kalau menurut suami saya, ini justru momen yang pas: udara segar, waktu luang, fasilitas oke, kenapa nggak dimanfaatkan buat memperkuat fisik? Saya mengangguk, sambil menyembunyikan diri di balik jaket tebal, dan mengiyakan dari jauh.

Mungkin memang dunia ini dibagi dua: antara mereka yang bisa nyebur ke air dingin tanpa keraguan, dan mereka yang butuh sepuluh menit untuk berdiri di pinggir kolam sambil mikir, “Ini air atau tantangan hidup?” Saya jelas golongan kedua. Tapi bukan berarti kalah. Karena justru di titik itu, saya sadar bahwa keberanian nggak selalu soal aksi dramatis. Kadang, cukup dengan mau duduk diam, memperhatikan, lalu menuliskannya dengan jujur. Itu juga bentuk keberanian. Wkwk.

Cahaya menari lewat celah-celah daun, menempel di punggung Alief seperti lukisan alam yang diam-diam hadir.

Hari itu di Sandalwood, kolam renang bukan cuma tempat buat berenang. Tapi jadi pengingat: bahwa tubuh punya batas, dan pilihan kita untuk menghormati batas itu juga penting. Anak saya berenang dengan semangat, suami saya ikut menikmati, dan saya? Duduk manis, mengamati, lalu mengabadikannya dalam cerita. Semua orang punya cara menikmati liburan. Ada yang nyebur, ada yang nyeruput teh sambil menghindari angin.

Saya, sudah sangat bahagia dengan peran saya hari itu. Karena meski tidak nyemplung, saya tetap ikut basah oleh rasa syukur.

Video saat berenang dapat ditonton di sini: 


Mie Tek-Tek yang Wajib Dicoba

Sebelum sampai ke Sandalwood, seorang teman sudah menitipkan satu pesan penting, dengan semangat yang nyaris menyerupai misi hidup: “Pokoknya cobain mie tek-teknya, ya. Sekali cicip... beuuuuh, nagih banget!”

Saya tidak langsung terbawa suasana. Tapi dalam hati sempat bertanya, dari sekian banyak menu hotel, kenapa mie tek-tek yang jadi andalannya? Apakah ini semacam simbol kejayaan kuliner lokal? Atau hanya karena ia punya kenangan manis dengan semangkuk mie hangat di tengah udara Lembang yang dingin? Entahlah. Tapi semangatnya cukup membuat saya penasaran.

Pertama kali mencicipi mie tek-tek ini adalah saat kami baru tiba di hotel. Malam sudah larut, badan lelah, perut keroncongan. Tanpa banyak pertimbangan, saya langsung memesan satu porsi mie tek-tek. Anak-anak dan suami, seperti yang sudah saya ceritakan di awal, memilih menu masing-masing. Tidak ada ekspektasi muluk. Saya membayangkan semangkuk mie goreng basah ala abang-abang gerobak, tapi versi hotel bintang tiga.

Ternyata saya keliru. Mie tek-tek ini bukan mie biasa. Rasanya seperti pertemuan manis antara kecap yang lembut, kaldu yang gurih dan penuh rasa, serta aroma bawang putih yang tajam tapi menyenangkan. Kuahnya hangat dan ringan, tapi punya kepribadian yang kuat. Bukan sekadar air rebusan bumbu instan. Mienya kenyal, tidak lembek, dan menyerap bumbu dengan sempurna. Seperti generasi muda yang tahu cara belajar sungguhan tanpa bergantung sepenuhnya pada konten lima belas detik.

 

Anak-anak yang awalnya menikmati pesanan mereka masing-masing, mulai melirik mie tek-tek saya. Mereka minta sedikit, lalu keesokan harinya tanpa perlu dibujuk, semua kompak memesan mie tek-tek. Satu porsi untuk satu orang. Tidak ada yang mau berbagi. Demokrasi kuliner pun tercapai dengan tenang dan damai.

Tapi kejutan terbesar datang dari suami dan Alief. Mereka makan mie tek-tek itu dengan nasi. Katanya, “Biar afdol.” Saya sempat bengong. Mie itu sudah karbohidrat. Kenapa masih harus disandingkan dengan nasi putih? Tapi inilah realita. Di negeri ini, makan mie tanpa nasi bisa dianggap sebagai keputusan yang kurang bertanggung jawab secara emosional. Filsafat “belum makan kalau belum ketemu nasi” memang nyata adanya. Ia diturunkan dari generasi ke generasi, lebih kuat dari hukum logika nutrisi, dan lebih kokoh dari niat diet.

Saya jadi berpikir. Di Indonesia, makanan bukan hanya soal rasa, tapi juga keyakinan. Ada yang merasa bersalah makan bakso tanpa lontong, ada yang panik kalau menyantap sate tanpa nasi atau lontong. Bahkan salad pun bisa dijadikan lauk, asal disandingkan dengan nasi hangat. Semua sah, selama ada nasi di piring.

Rasanya seperti sedang menyaksikan pertunjukan kebudayaan, tapi panggungnya adalah meja makan. Sepiring mie bisa memicu diskusi panjang soal identitas, kebiasaan keluarga, hingga cara kita memandang hidup. Dan kalau pertunjukan itu berlangsung di tempat sehangat dan seasyik Savannah in Woodland, resto hotel @sandalwood.hotel, pengalaman kuliner itu terasa seperti catatan antropologis yang bisa dimakan.

Mungkin memang benar, kadang menu yang direkomendasikan dengan penuh keyakinan menyimpan sesuatu yang lebih dari sekadar rasa. Ada cerita di baliknya. Ada kebiasaan, ada perasaan nyaman, dan sedikit ironi tentang bagaimana kita makan bukan hanya karena lapar, tapi juga karena tradisi, kebanggaan, dan... kepercayaan.

Video makan mie tek-tek di Sandalwood Hotel dapat ditonton berikut:

 

Sandalwood, Cinta, dan Helai Uban 

Tujuh tahun lalu, saat kami sekeluarga pertama menginap, hotel kece di Lembang ini masih terasa seperti hidden gem. Sekarang sih, lebih ke hidden memories. Tapi ya, mau gimana, nostalgia memang jarang datang dengan harga diskon.

Waktu itu kami jelas lebih muda dari sekarang. Rambut suami saya masih banyak hitamnya, belum penuh highlight alami dari alam semesta. Sekarang? Sudah dipenuhi helai-helai putih yang katanya sih tanda kebijaksanaan. Walau saya curiga, itu hasil kombinasi antara begadang, kerja keras, dan terlalu sering mikir PR anak yang kayak soal olimpiade.

Kami pun memutuskan untuk foto lagi di spot yang sama. Tempatnya masih estetik, vibes-nya tetap cozy, dan keramahan orang-orangnya tetap hangat. Tapi kali ini, bukan cuma wajah yang berubah. Dulu pakai hape tiga jutaan yang kalau malam hasil fotonya lebih cocok buat laporan paranormal. Sekarang, kameranya lebih canggih, tapi tetap... nggak bisa menyembunyikan kantung mata.

Foto kami bulan Mei 2025

Saat berfoto di tahun 2018
 
Namun, perubahan paling besar justru ada di dalam kepala. Dulu kami mikir liburan itu soal destinasi. Sekarang? Lebih soal kebersamaan. Tentang siapa yang ikut, siapa yang ngurus itinerary, dan siapa yang siap motret tanpa ngeluh tangan pegal. Karena liburan keluarga zaman now tuh kadang kayak shooting iklan: lebih banyak take foto daripada take nap.

Sandalwood tetap sebagus dulu. Tapi sekarang, dia terasa seperti panggung kecil buat refleksi hidup. Dulu datang ke sini saya bawa semangat dan aroma parfum mahal. Sekarang? Lebih ke semangat yang dicampur minyak kayu putih dan koyo aroma menthol. Soalnya, jalan nanjak satu hari, efek pegalnya bisa bertahan sampai Jumat. Itu pun kalau nggak bonus encok.

Betapa waktu melaju cepat, seperti alarm pagi yang nggak pernah ditunda, tahu-tahu saya dan suami sudah setua ini. Tapi dari semua perubahan itu, kami sepakat satu hal: yang paling penting bukan siapa yang paling romantis, tapi siapa yang mau tetap duduk bareng saat semua terasa nggak manis. 

Foto tahun 2018 di Sandalwood.


Foto kami di tahun 2025

Itulah kenapa kami kembali ke sini. Bukan untuk mengulang masa lalu, tapi untuk menghargai perjalanan. Karena cinta, kalau terus dipelihara insyaAllah tetap tumbuh. Tumbuh itu nggak harus selalu estetik seperti di Pinterest. Kadang tumbuhnya sambil ngambek, sambil diam-diam beli cemilan padahal lagi diet, atau sambil saling nyindir pakai nada manis. Tapi tetap aja... ujung-ujungnya tidur di kasur yang sama.

Akhirnya, kami berdiri lagi di titik yang sama, ambil foto dengan senyum yang lebih tulus (dan pipi yang lebih montok). Saya pun nyeletuk ke suami, "Lihat deh, dulu aku masih tirus." Dia jawab, “Dulu aku belum sebijak sekarang.” Jawaban aman, ya kan?

Sama-sama berubah, tapi masih di sini. Kadang masih saling nyebelin. Masih saling nemenin.

Beberapa foto before & after dari 2018 ke 2025 dapat dilihat pada postingan berikut: 

Sandalwood tak berkata apa-apa. Tapi saya tahu dia paham. Dia saksi, bahwa perjalanan bukan hanya tentang tempat yang dituju, tapi tentang siapa yang setia di tanjakan, meski napas tinggal separuh.

Sampai jumpa lagi, Sandalwood. Saat rambut kami semakin memutih, dan cerita kami bertambah bab baru.

Seorang istri. Ibu dari dua anak remaja. Tinggal di BSD City. Gemar jalan-jalan, memotret, dan menulis.

Share this

Latest
Previous
Next Post »

7 komentar

  1. Selain udaranya yang adem dan warganya yang ramah, Lembang itu selalu bikin lapar! hahaha, dan untungnya makanan-makanan di sana tuh rasanya nggak ada yang gagal. Ya ampun, ngebayangin bisa menginap di hotel secantik ini, trus duduk sore sambil makan pisgor dan bakwan dan minumnya bandrek kayak gitu (plus ditemani buku), kayaknya betah tinggal lama.

    Sepengalamanku juga, hotel dengan embel-embel "boutique" tuh gak pernah gagal kasih pengalaman yang menyenangkan, bahkan untuk penginapan sekelas hostel. Kabut paginya mengingatkanku saat dulu menginap di Kerala, wah magis banget nuansanya pagi-pagi "berselimut" kabut gitu. Dan, walaupun udaranya dingin, aku tim Alief haha, bakalan menjajal poolnya sambil foto-foto #backgenic hahaha. Akan aku tandain banget Sandalwood ini kalau nanti bisa liburan ke Lembang lagi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Haha tim Alief ya. Ayo Yan mampirin kalau nanti ke Bandung lagi, stay di sini kujamin bakal suka banget. Jangan salahin aku kalau jadi pengen balik lagi haha.

      Hapus
  2. waduh, tempatnya asik banget. Tapi kl ke Lembang ini, kita harus ada mobil sendiri ya. Saya kepingin banget sih sekali2 liburan di Lembang bareng ibu. Tapi bingung sama kendaraannya.
    Ohya, selama di sana, restorannya buka terus kah? Jadi tamu yang males kemana2 bisa makan di situ saja selagi menginap.
    Kebayang juga rasanya gimana deh, pernah menginap di situ ketika masih pake minyak wangi dan sekarang bawanya minyak angin. Hahahah... Tempat itu mungkin akan masih ada for many years to come, ketika kita tak sanggup lagi melangkah ke sana.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bisa pakai mobil sendiri, bisa sewa kalau misal datang dari jauh luar pulau gak bawa kendaraan. Tinggal minta diantar ke Lembang. Jalannya besar, ga susah dicapai, paling sesekali ketemu macet di beberapa titik, itu pun pas weekend. Kalau weekdays aman.

      Iya mbak, restonya buka terus seharian, tutupnya jam 10 malam. Jam segitu kita udah tidur kan ya, udah ga mikirin makan lagi.Tapi jika masih lapar dan mendadak ingin makan, tinggal keluar aja mbak. Dekat situ banyak tempat kuliner dan minimarket yang menyediakan makanan siap saji. Atau tunggu pagi datang, jam 7 sudah bisa sarapan.

      Semoga kalau ke Sandalwood lagi kami masih sehat dan kuat.

      Hapus
  3. Astaga!! Aku kangen lembanggggg.. Tempat honeymoon sehari setelah nikah. Hahahaha...
    Kangen dinginnya lembang plus kabutnya kalau pagi.
    Wah di Sandalwood Boutique hotel ini termasuk lengkap sekali. Ada kolam renang dan cocok buat liburan bareng keluarga. Sarapannya warmth banget... :D
    Btw, kebayang dinginnya kolamnya mbakkk.. :D

    BalasHapus
  4. Ya Allah, liat foto terakhirnya langsung berasa beraaat ini mata. Siapa yang menaruh bawang disiniii?
    Kepengen banget daku jadinya mbak, datang kembali ke satu tempat yang pernah dikunjungi dulu, dalam periode waktu yang sudah lama berlalu. Karena emang waktu tuh berjalan cepat tanpa kita sadari. Tau-tau anak udah gede, tau-tau mereka udah punya kesibukannya sendiri. Dan tau-tau kita udah tua... Perasaan kemaren-kemaren masih mudaaaa.. hahaha

    Ngeliat Sandalwood sendiri, emang vibes Lembang-nya kuat banget ya mbak. Ya hujan, ya kabut, ditambah air super dingin yang menusuk-nusuk sampai ke relung jiwa. Untungnya kalo saya sih udah kuat fisik, soanya sedari kecil tinggal di lereng gunung ciremai. Nah, kalo istri saya malah kebalikannya. Dia bekasi tulen, jadi kayaknya bakal culture shock dan cuma mandi sehari sekali deh hahahaha

    BalasHapus
  5. Sandalwood boutique hotel caakep bangettt dan bayar 2,7 jutaa untuk semalam sangat worth it. Apalagi kamarnya luas dan ada 3 tempat tidur. Fasilitas juga lengkap plus dapat free snack. Udah gak usah pasang AC soalnya Lembang kan dingin, kelihatan kabutnya.
    Mie tekteknya terlihat enak dan peralatan makannya juga bagus. Sangat artistik.

    Sukaaa dengan lukisan kuda di dinding.

    Ada perapian jadi berasa liburan di luar negeri.

    BalasHapus

Leave your message here, I will reply it soon!