Ada dua waktu yang saya sukai di setiap harinya. Waktu pagi dan waktu petang. Pagi, saat siang datang berlari menjauhi kelam. Petang, saat malam bergegas meninggalkan terang. Dua waktu yang paling romantis menurut saya. Romantisme yang mengantar pada kemesraan dengan alam raya, juga dengan Tuhan yang menciptakan alam semesta.
Saya suka berdiri di balik jendela kamar pada dini hari hingga saat menjelang terang. Menyingkap tirai, menatap angkasa. Mencari apapun yang bisa saya lihat. Atau, menuju balkon di belakang, dekat tempat jemuran, berdiri di balik teralis besi. Menghadap ke langit timur, dan seringkali menemukan 3 titik bercahaya nun jauh di langit tinggi sana. Dua titik yang merupakan planet terdekat. Katanya, itu Mars dan Venus. Letaknya yang berada di sebelah timur, memang hanya bisa terlihat di kala pagi. Antara waktu sebelum subuh hingga 1 jam setelah waktu subuh. Jika memakai waktu saya (waktu Indonesia bagian barat), antara jam 4.00 hingga 5.30. Satu titik terang lainnya adalah pesawat. Sebab titik bercahaya itu bergerak, berkedip.
Saat matahari mulai naik, langit memerah. Tak lama, bulatan terang bercahaya, muncul dari balik daun-daun randu yang menjulang melebihi tinggi atap rumah tetangga. Matahari pagi telah tiba. Bermacam warna rasa, berpendar dalam jiwa. Saat itulah seolah saya menjadi penyair terhebat semaya pada, mendadak bisa merangkai barisan kata dengan puitis sepuitis-puitisnya. Walau hanya terangkai dalam hati, tak menguak dalam lisan, tak terekam menjadi goresan tangan, tapi sungguh nyata ungkap segala rasa. Betapa indah pagi.
Pagi melambangkan semangat, hidup baru, cerita baru, dan sebuah kenikmatan baru. Anugerah sang Illahi. Lain halnya dengan petang, meski memiliki sensasi yang sama, tetapi saya memaknainya dengan berbeda. Petang seperti sebuah kepergian. Seperti sesuatu yang akan hilang, usai, selesai. Bernuansa kesedihan. Betul. Namun bukan kesedihan yang menyakitkan, melainkan kebahagiaan.
Senja, seperti batas antara siang dan malam. Batas antara terang benderang dengan kelam pekat dan gulita. Seperti batas antara semangat dan putus asa. Ya, barangkali seperti itu. Tetapi tidak sebatas itu.
Kenapa saya menyebutnya batas hari? Kenapa hari ada batasnya? Bagi saya, barangkali Tuhan ingin agar saya memaknainya dengan lebih spesifik. Hari berbatas? Agar setiap hari itu berharga. Kenapa harus ada langit malam? Agar saya menghargai siang. Kenapa ada gelap? Agar saya menghargai terang. Kenapa ada saat hidup menjadi kelam? Agar saya bersyukur saat hidup saya bersinar.
Senja. Saat langit dipenuhi untaian benang merah saga. Saat para bidadari pergi meninggalkan bumi. Saat... Ah! Yang saya tahu, bahwa senja mengantar pada malam, pada kegelapan. Pada kesendirian. Terkadang pada ketakutan. Ketakutan yang tak membunuh. Kecuali bagi mereka yang termakan oleh rasa takut itu sendiri.
Senja. Seperti mengantar saya untuk bersiap siaga, berperang, dan berjuang, melewati sesuatu yang tak menyenangkan. Sesuatu bernama malam.
Senja. Seperti mengantar saya untuk bersiap siaga, berperang, dan berjuang, melewati sesuatu yang tak menyenangkan. Sesuatu bernama malam.
Tetapi katanya, tak perlu menyesali malam. Tak perlu membenci malam. Tak perlu menolak malam. Sebab, dibalik semua cerita 'seram'nya, malam adalah saat yang paling tepat untuk berada paling dekat denganNya. Pada waktu-waktu tertentu. Malam adalah saat yang tepat untuk bermuhasabah. Saat yang tepat untuk mengistirahatkan jiwa raga yang lelah. Dan, bukankah selain dari itu semua, malam adalah waktu yang paling indah untuk menikmati terang bulan dan kerlip bintang gemintang.
Siang dan malam. Saya menyukai berada pada batas di antara keduanya ^_^
======
Senja di Pantai Anyer, Banten. Di pantai berpasir tak putih sepanjang Hotel Sol Elite Marbela, Pondok Layung, hingga Resort Nuansa Bali. Makin sore, air laut makin naik. Ujung hempasan ombak kian dekat dengan pagar belakang hotel. Posisi batas aman. Ombak bergemuruh. Ngebut. Hempasan airnya kian keras. Tetapi, sebagian orang-orang dewasa justru menyukainya. Mereka bermain papan luncur di bawah langit yang kian memerah.
Dua jam menanti matahari tenggelam dalam laut, terasa lama sekali.
Penjual busana pantai telah memindahkan dagangannya. Yang tadinya berjejer di atas pasir, di tepi pantai, kini mengambil tempat di bagian belakang hotel. Dalam pagar. Diijinkan. Bapak pedagang menawarkan dagangannya pada saya. Ibu pedagang lainnya juga demikian. Saya menggeleng. Belum perlu. Mungkin nanti, esok, atau lusa. Keduanya menanti dalam sepi sebab para pengunjung lebih banyak turun ke air, bukan ke barang dagangan yang di pajang.
Pria wanita, tua muda, dan sebagian remaja, mulai sibuk memasang kamera. Bersiap dengan sunset yang merangkak turun seperti keong. Dan akhirnya semua kecewa, awan hitam berbentuk panjang kurus, seperti ditiup oleh raksasa, bergerak menghalangi si bulat merah. Gagal melihat matahari nyebur laut!
Pantai Anyer, Banten - INDONESIA
Share this
Give us your opinion