Tampilkan postingan dengan label muaraenim. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label muaraenim. Tampilkan semua postingan

Nikmatnya Panen Duku di Kebun Sendiri: Rezeki yang Tak Ternilai

Lebaran tahun 2024 ini membawa sukacita yang mendalam bagi saya dan keluarga. Setelah menantikan dengan sabar, momen mudik kali ini menjadi spesial karena kami akhirnya dapat menikmati buah duku segar langsung dari kebun sendiri.

Bagi saya pribadi, pengalaman ini sungguh berarti, dapat merasakan kelezatan dan kesegaran buah duku yang dipetik dari pohon yang telah dirawat dengan penuh kasih sayang. Hal ini bisa dibilang menjadi kesempatan langka yang jarang terjadi buat keluarga saya, mengingat seringnya ketidaksesuaian antara waktu mudik dan masa panen.

Video kami saat panen buah duku dapat ditonton pada Reels berikut: 

Biasanya, saat duku mulai berbuah, saya hanya bisa memberikan instruksi kepada penjaga kebun untuk langsung menjualnya tanpa menunggu kehadiran saya. 

Ya, mau gimana lagi. Waktu mudik yang terbatas dan tidak selalu bersinggungan dengan masa panen sering menjadi hambatan. Saat saya memiliki kesempatan untuk pulang kampung, pohon duku belum menghasilkan buah. Sebaliknya, saat pohon duku berbuah lebat, saya tidak dapat meluangkan waktu untuk mudik.

Karena itulah, panen buah duku kali ini benar-benar menjadi berkah yang sangat berarti. Kami sekeluarga akhirnya dapat merasakan nikmatnya memanen buah duku langsung dari pohonnya saat momen mudik. 

Baca juga: Perjalanan Kami Mudik Lebaran 2024

Ini pohon duku yang kami panen. Salah satu dari sekian pohon yang berbuah tahun ini. 
 

Puncak masa panen duku di kebun kami berlangsung dari awal Maret hingga pertengahan bulan. Saya meminta penjaga kebun untuk mencari pohon yang berbuah paling belakangan dan menyisakan satu pohon tanpa dipanen buahnya. 

Alhamdulillah, permintaan saya dikabulkan. Ketika saya tiba di kebun, buah duku dari satu pohon yang sengaja disisakan untuk saya sedang matang-matangnya, meskipun banyak yang sudah jatuh karena sudah terlalu matang.

hasil panen

hasil panen

Teknik Panen Duku yang Unik

Kami hanya memanggil satu orang (dengan upah) untuk memanjat pohon dan memanen buah duku. 

Ada dua metode yang digunakan untuk memetik buah. Pertama, buah duku dipetik langsung, kemudian dimasukkan ke dalam ember. Ember tersebut kemudian diturunkan menggunakan tali. 

Metode kedua lebih menarik: dahan pohon duku digoyang-goyang sekuat mungkin. Pemanjat meloncat-loncat di dahan sambil berpegangan, sehingga buahnya rontok dan jatuh ke atas terpal yang sudah digelar di bawah pohon supaya tidak kotor kena tanah.

Pemetik buah duku sedang bekerja

Buah duku bergelantungan di pohon. (Foto ini buram karena SS dari video)

Terpal ini untuk menadah buah duku yang runtuh karena pohonnya digoyang-goyang oleh pemanjat. Supaya buah duku tidak kotor.

Pengalaman Panen Bersama Anak-anak

Alief tidak terlihat saat proses panen berlangsung. Hanya Aisyah, tapi itu pun sebentar. Mereka lebih memilih berdiam di pondok, duduk dekat perapian untuk menghindari gigitan nyamuk kebun yang cukup mengganggu.

Alief bahkan mengalami gatal-gatal karena terkena rumput dan semak – tipikal anak kota yang tidak terbiasa dengan kehidupan pedesaan yang penuh dengan elemen alam liar. 

Alief dan Aisyah tidak terlalu menyukai duku. Maksud saya, mereka mau makan duku, tapi tidak dengan antusiasme tinggi. Paling makan sebiji dua biji, berbeda dengan saya yang bisa menghabiskan sekantong 1 hingga 2 kilo duku hehe. Memang, duku itu bikin nagih karena rasanya yang manis dan segar. Tahu-tahu sudah habis banyak karena memang seenak itu.

Video ASMR kebun duku kami, di dalamnya ada penampakan pondok kayu di tengah kebon. 

Warisan dari Generasi ke Generasi

Saya merasa sangat bersyukur karena tidak perlu lagi menanam pohon duku dan durian, berkat warisan dari orang tua dan kakek kami yang telah menanamnya sejak lama. Umur pohon-pohon duku itu ada yang lebih dari 100 tahun. Tentunya ada banyak yang lebih muda dari itu.

Pohon-pohon yang berumur tua ditanam pada masa orang tua dari kakek saya. Saya menyebutnya puyang. Di masa lampau, puyang saya memiliki banyak tanah yang tersebar di suatu wilayah. Pada masa itu, tanah adalah harta berharga di tingkatan tertinggi. Berbeda dengan masa kini di mana orang berharta dilihat dari jumlah rumah mewah, mobil, perusahaan, dan tabungan emas. Orang tua zaman dulu diukur kekayaannya dari jumlah tanah yang dimiliki. Tanah-tanah itu ada yang dijadikan ladang, sawah, kebun buah, tempat peternakan sapi, ayam, kambing, angsa, bebek, itik, dan domba. Kebun pun dibagi lagi menjadi kebun karet, duku, durian, manggis, kelapa, cengkeh, pisang, pepaya, dan buah-buah lokal khas Sumatera. Hasil dari itu semua yang membuat orang di masa lampau bisa membangun rumah-rumah berukuran besar, bepergian jauh, merantau menempuh pendidikan, dan pergi haji dengan kapal yang berlayar selama berbulan-bulan. 

Puyang saya memiliki sedikit anak, salah satunya adalah kakek saya. Tidak heran kakek mewarisi banyak harta puyang. Namun, kakek saya memiliki banyak anak, sehingga harta yang banyak itu terbagi-bagi di generasi ayah saya. Ayah saya hanya punya saya, satu-satunya keturunan, alias anak tunggal. Jadi, semua milik ayah menjadi milik putrinya ini 😅

Kini, kami hanya perlu menikmati dan merawatnya agar generasi selanjutnya masih bisa mencicipi buah dari pohon-pohon yang sebagian sudah berusia ratusan tahun di bumi Sumatera Selatan ini.

Tiga pohon duku dan 1 pohon durian di latar belakang. Di sisi kanan kami adalah sungai yang permukaannya menghijau diselimuti kapu-kapu air, 

Pandangan Terhadap Pewaris Harta

Mengenai harta warisan, saya pernah membaca dan mendengar komentar miring dari beberapa orang yang ditujukan kepada para pewaris harta: 

  • Pertama, kekayaan dari warisan bukan hasil dari usaha atau kerja keras pribadi. Jadi ada pandangan bahwa pewaris tidak pantas merasa bangga dengan harta yang diterima secara cuma-cuma. 
  • Kedua, warisan sering dianggap sebagai keberuntungan lahir di keluarga kaya, bukan hasil prestasi atau usaha sendiri. Di mata beberapa orang lain, hal ini bisa menimbulkan persepsi ketidakadilan, terutama ketika ada yang harus bekerja keras untuk mendapatkan hal yang sama atau bahkan lebih sedikit. 
  • Masyarakat sering menghargai nilai kerja keras dan usaha pribadi. Orang yang berhasil karena usaha sendiri biasanya lebih dihormati. Jadi di sini, dari sudut pandangnya, orang yang hanya mengandalkan warisan gak perlu dihormati dan dihargai.

Padahal, saat si pewaris lahir, dia tidak tahu apakah dia akan mendapat warisan atau tidak, dan tidak tahu seperti apa warisan yang akan dia terima. Jika memang menjadi pewaris harta itu buruk, tentu ia tidak ingin terlahir sebagai pewaris. 

Lantas, jika kita menerima warisan, apakah seharusnya kita menolak dan mengabaikannya? Tentu tidak. Menurut saya pribadi, memiliki harta warisan bukanlah hal yang salah dan tidak perlu dipandang negatif.

Pewaris harta juga memiliki tanggung jawab moral untuk menggunakan warisan dengan bijak dan berdampak positif bagi masyarakat. Jika harta warisan digunakan dengan baik, misalnya untuk investasi yang menciptakan lapangan kerja atau donasi amal, pewaris tentu saja layak dihormati dan dihargai. Dalam hal ini, yang penting bukan hanya memiliki harta, tapi juga bagaimana harta tersebut digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat. Jadi mari ubah cara pandang negatif terhadap pewaris. Karena semua hal tergantung siapa orangnya. Bukan soal warisannya.

Kebun di tepi sungai. Sungainya diselimuti kapu-kapu air. Ada banyak lintah di sungai tersebut.

Jalan setapak ini dibuat untuk memudahkan berkeliling dengan motor/sepeda. Karena di musim hujan, kebun ini becek, banyak hewat pacet, dan tidak nyaman untuk dilalui

Selain kebun duku dan durian, tanah kami juga ditanami karet, pisang, dan aneka tanaman lainnya
 

Harga Duku di BSD Serpong Bulan Maret-April 2024

Pada bulan Ramadan lalu, harga duku yang saya beli di Serpong bervariasi, mulai dari Rp10.000, Rp15.000, hingga Rp25.000 per kilogram. Harga yang cukup murah, bukan? 

Memang lebih mudah tinggal beli di pasar tanpa perlu pergi ke Sumatera Selatan. Namun, bagi saya, menikmati buah duku langsung dari kebun sendiri memberikan kepuasan yang berbeda.

Selain itu, jujur saja ada beda antara buah duku yang saya beli di Serpong dengan yang saya petik di kebun sendiri. Duku dari kebun saya buahnya lebih besar, manis, dan segar. 

Beli di Serpong dengan harga Rp10.000 gak boleh milih. Harga Rp15.000 buah kecil dicampur buah besar. Harga Rp25.000 boleh milih sendiri. Sedangkan di kebun sendiri, bebassss mau yang mana. 

Perjalanan Duku dari Kebun ke Pasar

Duku dari kebun kami biasanya dikemas dalam kotak kayu dan diangkut oleh beberapa truk ke pasar induk Kramatjati. Jadi, jika kamu pernah membeli duku dari pasar tersebut, mungkin saja duku tersebut berasal dari kebun kami di Sumatera Selatan.

Ukuran buah duku di kebun kami lebih besar dari buah duku yang pernah saya beli. Buah kecil dari pohon memang ada, tapi sebagian besar ukurannya besar-besar

Buah duku membusuk di tanah, rontok karena sudah terlalu matang.

Liburan di kebon sendiri, memperkenalkan anak-anak bahwa kelak mereka yang akan dapat giliran untuk merawat kebun dan seisinya ini

Semoga tahun depan bisa mudik lebaran lagi saat buah duku dan durian berbuah.

Menikmati hasil panen dari kebun sendiri adalah kebahagiaan yang tak ternilai. Meski tantangan dan rintangan sering kali datang, kepuasan yang dirasakan saat bisa merasakan langsung hasil jerih payah kebun sangatlah besar. Semoga keberkahan ini terus mengalir dan dapat dinikmati oleh generasi-generasi mendatang, sebagaimana kami menikmatinya sekarang. 

Satu hal yang selalu saya doakan berulang kali adalah agar generasi saya berikutnya tidak mengikuti jejak orang lain yang menjual tanah-tanah warisan mereka ke perusahaan besar yang akan mengubahnya menjadi kebun tanaman penghasil minyak goreng.

Jika ingin melihat proses panen kami yang unik, silakan tonton video di atas dan rasakan kebahagiaan yang kami alami! Terima kasih telah membaca 💕

ROG Phone 2 yang Hilang Ditemukan di Masjid Nurul Iman Tanjung Terang

 
"Lebih Baik kehilangan HP Daripada kehilangan Salat" [Alief @onedoxx ]

-------- 

Sabtu, 21 Mei 2022, hari ke-2 di Kota Prabumulih

Hari itu, selepas mengunjungi tante (adik ibu) yang dirawat di Rumah Sakit Pertamina Prabumulih, kami melanjutkan perjalanan menuju kediaman saudara di Kabupaten Muaraenim. 

Sesaat setelah keluar dari gerbang kawasan Komplek Pertamina Prabumulih, suami mengaktifkan aplikasi Maps untuk memudahkan perjalanan. Kami diarahkan belok kanan, berlawanan dari arah kami datang sebelumnya. Sebetulnya saya sudah merasa ada yang keliru, tapi berhubung ada info dari sodara bahwa saat itu sedang ada penutupan akses jalan di titik tertentu bagi pengendara yang melintasi Prabumulih dari arah Palembang menuju Muaraenim maupun sebaliknya, saya lalu memaklumi arahan Maps. Mungkin kami akan diarahkan ke jalan lain yang aksesnya terbuka dan lebih mudah.

Setelah 10 menit berlalu, kami tak menemukan jalan lintas Prabumulih-Muaraenim. Aplikasi Maps membawa kami ke pinggiran kota yang sunyi, jalannya tidak lebar dan mulus, di kiri kanan banyak kebun warga, bahkan kemudian hutan. Meski demikian, tetap terlihat mobil-mobil melaju dari arah berlawanan maupun searah. Antara yakin dan tidak, dengan mengucap Bismillah suami tetap memacu kendaraan, mengikuti arahan Maps.

Kami melewati beberapa desa, kebun, hutan, dan sungai. Berkali-kali seperti itu. Hingga akhirnya sadar, kami mendekati kecamatan Pali. Apa kami akan dibawa pulang ke Komplek Pertamina Pendopo, tempat saya pernah tinggal lama semasa kecil?

Saya berkali-kali menatap layar HP, memastikan Maps menunjukkan lokasi dengan benar. Ada desa Tanah Abang, Teluk Lubuk, dan lainnya yang namanya terasa asing bagi saya. Rasanya, aplikasi Maps telah membawa kami menjauh dari tujuan. Saya matikan aplikasi, lalu dihidupkan lagi, saya ketik ulang tujuan, hasilnya masih sama. Kami tetap diarahkan lewat jalan yang menurut saya belum pernah saya lewati. Akhirnya, aplikasi saya matikan, dan selanjutnya kami mengandalkan informasi dari penduduk setempat yang kami jumpai di jalan. Ternyata, cara itu lebih membantu, dan akhirnya kami keluar dari rumitnya jalan tembus menuju jalan utama lintas Prabumulih-Muaraenim.

Keresahan terbesar sepanjang nyasar-nyasar itu adalah salat Ashar yang belum kami kerjakan. Saat sibuk mencari jalan, serta tak dijumpainya masjid untuk singgah, sempat terpikir mau tayamum saja, lalu salat di dalam mobil. Setelah kembali ke jalan yang benar, yakni jalan lintas Prabumulih-Muaraenim, kami baru menemukan masjid di Tanjung Terang dan bersegera salat. Alhamdulillah tunai kewajiban.

Di sini saya membuat titik tuju Tanjung Terang, tempat HP ROG Phone 2 Alief hilang/ketinggalan. Rute jalan warna biru adalah Jalan lintas Prabumulih-Muaraenim yang biasa dilalui pengendara. Jalan warna abu-abu, adalah jalan yang kami lalui, berkat arahan Google Maps yang bikin kami bertualang kesorean! wkwk. Jalan tersebut memang sama-sama membawa pengendara ke Jalan Lintas Prabumulih-Muaraenim, tapi kondisi jalan dan suasana jalan jelas sangat berbeda. Sangat tidak disarankan bila berkendara di malam hari karena sepi dan jalannya ga mulus. Maksud hati mencari jalan alternative dari jalan yang ditutup sewaktu di kota Prabumulih, malah nyasar kemana-mana 😅Padahal akses yang ditutup itu pendek saja lho.

Masjid Nurul Iman Tanjung Terang, Tempat ROG Phone 2  Ketinggalan

Tak ada yang pernah tahu perkara kehilangan, hingga 17 kilometer setelah meninggalkan Masjid Nurul Iman di desa Tanjung Terang, tepat saat salat Magrib tiba, Alief baru ngeh hape nya tidak ada. Saya mengetahui jarak kami saat itu dengan melihat posisi masjid dari aplikasi Maps. Tentunya bukan jarak yang dekat.

Keyakinan bahwa hape telah tertinggal di Masjid Nurul Iman Tanjung Terang berasal dari ingatan Alief sendiri. Menurutnya, saat masuk masjid itu hape masih ada di saku. Lalu saat salat hape ditarok di sajadah, di samping  tempat salat, dan kemudian tertinggal. 

Kenapa dikeluarkan dari saku? Biar gak ganggu gerakan ruku dan sujud, dan ini sudah jadi kebiasaan Alief jika sedang salat di luar rumah. Kalau di masjid sedang sepi diletakkan di samping, kalau sedang ramai hape diletakkan di depan dekat kaki, disetel mode senyap. Nah, pada saat kejadian, ternyata tidak di-silent. Karena itulah nantinya ketika ditemukan dan ditelpon, ada suaranya.

Meskipun Alief yakin hape tertinggal di masjid itu, kami tetap memeriksa seluruh isi mobil, khususnya di bangku paling depan, tempat Alief duduk. Saya dan suami juga menelpon ke nomor Alief, siapa tahu jika memang terselip dalam mobil, bisa ketahuan letaknya dari suaranya. Sayangnya, pencarian dalam mobil sia-sia. Hp itu tak ada. Nomornya masih bisa dihubungi, tapi tak diangkat, berarti masih aktif, hanya saja ada di tempat lain.

"Ayo kita magriban dulu, nanti kita coba telp lagi," kata suami. Alief dengan wajah lemasnya mengangguk, tak berkata-kata.  "Kita berdoa, siapa tahu nanti masih ketemu," tambah suami.

Usai salat magrib, suami kembali menelpon, alhamdulillah kali ini diangkat. Seorang laki-laki berbicara di ujung telp. Saya dan Alief mendekati suami, ikut menguping pembicaraan dengan perasaan nano-nano. Terharu, senang, dan lega campur aduk.

Suami mengenalkan diri lalu menjelaskan situasi dan kronologi secara detail. Sementara laki-laki diujung telpon, namanya Pak Taufik, menjelaskan bahwa hape ditemukan di lantai masjid, di atas sajadah. Sewaktu diambil, hape berbunyi, tapi beliau tidak tahu cara menerimanya. Jadi didiamkan, lalu dibawa pulang untuk bertanya pada anaknya. Itu berarti pada saat kami menelpon pertama kali, hape sudah ditemukan tapi tidak diangkat karena Pak Taufik tidak tahu caranya. Setelah sampai di rumah, persis setelah salat magrib (ini berbarengan dengan suami menelpon setelah salat magrib), baru hape diangkat. Pada saat itu Pak Taufik sudah diberitahu oleh anaknya cara menerima telpon, makanya suami bisa tersambung.

Singkat cerita, kami akan mengambil hape tersebut. Pak Taufik meminta agar yang punya hape juga datang, dalam hal ini Alief, supaya beliau bisa melihat jika hape yang terkunci itu bisa dibuka oleh Alief berarti memang benar Alief pemiliknya. Dalam hal ini, Pak Taufik  bermaksud untuk berhati-hati agar hape yang diserahkan hanya kepada pemiliknya.


Kembali ke Masjid Nurul Iman, Mencari HP yang Ketinggalan

Kami balik mundur sejauh 17 kilometer ke masjid tempat kami salat Ashar, untuk bertemu Pak Taufiq yang ternyata adalah salah seorang pengurus Masjid Nurul Iman, Tanjung Terang.  

Lokasi masjid tak jauh dari stasiun kereta Tanjung Terang. Jika datang dari arah Muarenim, letaknya ada di sebelah kiri jalan. Dalam perjalanan selepas Gunung Megang itu, ada 3 masjid serupa yang sempat membuat saya salah tunjuk. Namun Alief dan Mas Arif masih ingat, katanya tempat wudhu masjid ada di depan, dan itu dapat terlihat dari luar masjid, sehingga mudah ditemukan.

Sesuai watermark waktu yang terdapat pada foto jepretan hape, kami tiba di masjid kurang lebih pukul 19.20 WIB. Di dalam masjid tampak sedang berlangsung salat Isya berjamaah. Alief dan Mas Arief bergegas ke tempat wudhu, lalu bergabung salat.

Kami tidak tahu yang mana Pak Taufik, itu sebabnya ketika satu persatu jamaah salat Isya mulai meninggalkan saf, saya mencegat salah seorang dan bertanya mengenai Pak Taufik. 

"Pak Taufik yang itu na buk, paleng pinggir parak mimbar, sarung abang, kopiah krem, baju kemeja ungu itu na," ucap seorang pemuda dengan logat daerah yang kental. *(Pak Taufik yang itu bu, paling pinggir dekat mimbar, sarung merah, peci krem, baju kemeja ungu).

Alhamdulillah.

Saat kami tiba sedang berlangsung salat Isya di Masjid Nurul Iman

Mas Arif dan Alief langsung bergabung

Di sini saya mencegat salah seorang jamaah untuk mencari tahu yang mana namanya Pak Taufik 😀


Pak Taufik, duduk paling kanan. Beliau belum beranjak, tampaknya masih berdoa. 

Orang Baik Itu Masih Ada, ROG Phone 2 Kembali Dalam Genggaman

Baru sekejab lepas dari pandangan, tau-tau Mas Arif dan Pak Taufik sudah saling bertemu dan berbicara.

Ternyata, sewaktu Pak Taufik melihat Mas Arif dan Alief, beliau langsung menduga bahwa suami dan anak saya adalah orang yang tadi menelpon untuk datang mengambil hape. Mungkin karena Pak Taufik sudah hafal orang-orang yang biasa salat berjamaah di masjid itu, jadi pas ada orang lain ikut salat, muncul dugaan yang berkaitan dengan kejadian tertinggalnya hape, apalagi memang sudah punya janji bertemu di masjid pada saat jam salat Isya.

"Tadi sore jam berapa salat Ashar-nya pak?" tanya Pak Taufik. Pertanyaan ini kemudian saya sadari sebagai cara Pak Taufik mencocokkan jawaban kami dengan rekaman dari kamera CCTV.

"Jam 5 lewat dikit," jawab suami. 

"Saya menemukannya jelang salat Magrib. Berarti sudah cukup lama hape nya dalam masjid. Padahal jelang magrib itu banyak anak-anak yang siap-siap mau salat magrib berjamaah. Mereka mondar-mandir dalam masjid. Tapi tidak ada satu pun yang melihatnya," terang Pak Taufik.

Masya Allah. Penjelasan sederhana itu membuat saya terpana. Begitulah, jika Allah berkehendak, hape itu tetap aman meski di tempat terbuka, tempat di mana siapa saja bisa berada di masjid itu. Bukan hanya pengurus masjid dan jamaah anak-anak maupun dewasa, tetapi juga para musafir yang sedang melintas dan singgah salat di masjid.

"Tadi sempat saya bawa pulang karena pas ada telpon masuk tidak bisa saya angkat. Saya mau tanya anak saya bagaimana cara angkatnya. Pas di masjid itu, kalau bisa sudah saya angkat, supaya bisa langsung saya ceritakan kalau hapenya tertinggal," ujar Pak Taufik.

"Sewaktu ada telpon masuk, saya lihat namanya PAPA, kemudian ada telpon masuk lagi namanya MAMA, dari situ saya tahu yang punya hape ini kemungkinan anak dari Papa dan Mama yang menelpon itu. Persis seperti keterangan bapak saat menelpon saya," tambah Pak Taufik.

Obrolan pendek itu kemudian ditutup dengan penyerahan hape kepada Alief. Pak Taufik meminta saya menelpon terlebih dahulu, ke nomor Alief. Di layar hape Alief muncul nama MAMA. Selanjutnya Pak Taufik minta Alief membuka kunci hapenya. Dengan sekali sentuh menggunakan sidik jari, hape itu pun terbuka. Tampak raut wajah Pak Taufik lega. Setelah itu beliau menyerahkan hape kepada Alief.

Ada gunanya juga jika menyimpan nama orang tua atau keluarga dengan sebutan MAMA dan PAPA. Saya memang memberi contoh pada anak-anak menyimpan nama keluarga pakai sebutan yang sesuai. Nama adeknya pun disimpan pakai nama ADEK. Saya sendiri menyimpan nama suami pakai nama Arif Suamiku, Alief Anakku, Aisyah Anakku. Bukan berharap ada kejadian seperti ini sih, tapi biar lebih terasa intim, sekaligus membedakannya dari nama-nama orang lain yang saya simpan.

"Tolong agak ke sini dikit, biar kelihatan di kamera CCTV itu," ucap Pak Taufik sambil menunjuk CCTV di dinding. Permintaan ini ternyata beralasan, sebagai bukti bahwa hape telah diserahkan kepada pemiliknya. Cara ini menurut saya sangat rapi. Sebagai pengurus masjid beliau sudah dilatih untuk melakukan pekerjaannya sesuai prosedur. Saya kagum. Meski berada di desa, tapi mereka sudah menggunakan teknologi canggih untuk keamanan dan dokumentasi.

Saya tidak ingin melewatkan momen penyerahan hape itu. Maka, selagi Pak Taufik dan Alief serah terima, saya langsung memotretnya. Buat kenang-kenangan tentang betapa manisnya kejujuran. 

Alhamdulillah. Terima kasih Pak Taufik.

Terharu dan bahagia berada pada situasi ini

Orang baik itu masih ada. Dan, Allah Maha Penjaga.

Jika saya ingat lagi, kejadian ini terjadi pada 3 waktu salat. 

  • Ketinggalan hape saat usai mengerjakan salat Ashar
  • Ditemukan sesaat usai salat Magrib
  • Kembali ke genggaman sesaat setelah mengerjakan salat Isya 

Masha Allah.

Ditegakannya salat di mana pun berada dan kemudahan menemukan kembali hape yang hilang adalah sebuah hubungan tak kasat mata yang sangat indah, diatur dengan sempurna oleh Sang Maha Sempurna.

Tak hanya terharu pada kejujuran dan baik hatinya Pak Taufik, tapi juga pada prinsip yang dipegang teguh oleh Alief, anak muda yang belum banyak belajar, yang orang tuanya pun masih harus banyak belajar.

"Hape hilang bisa diganti, kalau salat hilang, gantinya pakai apa?"

Menetes air mata mamakmu ini, nak.

Isi hape itu memang berharga, hape nya pun bersejarah, hape pertama yang ia dapatkan dengan cara berlomba melalui karya video, tapi ada yang lebih berharga, dan itu tak tergantikan.

ROG Phone 2 yang hampir hilang itu adalah "hape bersejarah" bagi Alief. Hape pertama yang ia dapatkan dengan cara berlomba melalui karya video yang ia bikin sendiri. *(ss dari IG Alief)
 

Suami dan anak saya menjabat tangan pak Taufik sembari mengucapkan banyak terima kasih. 

Saya ikut mendekat, meletakan sesuatu di tangan laki-laki itu, sebagai tanda terima kasih.

"Sampai jumpa lagi, Pak Taufik. Semoga bapak sehat selalu, panjang umur, lancar rejeki, dan lancar segala urusan. Allah memberkahi. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam wr wb."

Masjid Nurul Iman, Tanjung Terang, Kab. Muaraenim.


Libur Tahun Baru 2021 Blusukan di Kebun Buah di Muara Enim Sumsel

Libur tahun baru
Libur Tahun Baru 2021 


Berkendara mobil dari BSD Serpong - Lampung - Palembang - Prabumulih hingga ke Muaraenim SUMSEL di ujung tahun 2020 bukanlah sebuah rencana yang kubuat sejak jauh hari. Kami bahkan sudah membayangkan di rumah saja saat pergantian tahun, tetapi Tuhan seperti menunjukkan jalan dan kemudahan sehingga aku dan keluarga bisa berangkat bersama menuju kampung halaman hanya dengan persiapan 3 hari saja sejak kesempatan untuk pergi itu ada. 

Tujuan dari roadtrip ini sudah kuceritakan pada tulisan yang aku posting sebelumnya berjudul Naik Kapal Ferry Express Merak - Bakauheni (klik). Aku pulang untuk mengurus surat-surat kebun buah, tanah, dan rumah peninggalan orang tua. 

Mengunjungi Kebun Buah Duku dan Durian, Menengok Kebun Karet

Berangkat di musim libur bersiaplah untuk dilabeli bepergian untuk berlibur, meskipun kenyataannya ada urusan keluarga yang mendesak untuk diurus di kampung halaman. 

Sebagai anak tunggal dari bapak ibuku, aku pewaris satu-satunya harta dari kakek yang diwariskan ke bapak. Ya, selagi saudara kandung bapak masih hidup, meski telah tua tapi masih bisa bersaksi atas apa-apa yang menjadi hakku.

Berurusan dengan kebun, otomatis kami pergi ke tempat yang jauh dari keramaian. Pergi ke mana lagi kalau bukan ke kebun itu sendiri. 

Kebunku berdampingan dengan kebun-kebunnya saudara bapak. Ada kebun duku, durian, dan ada karet. Sayangnya tahun ini duku dan durian tidak berbuah, padahal saat aku tidak pulang, tanaman-tanaman itu berbuat lebat dan berpeti-peti dikirim ke pasar induk di Kramatjati pakai truk besar melintasi Selat Sunda.

Mungkin bakal buah pada sembunyi takut corona? he he. Entahlah.

Aku punya bapak sudah lama tiada, meninggal sejak aku masih berusia 15 bulan. Tak ada yang bisa kuingat dari almarhum.

Kakek, orangtuanya bapak, serta puyang orang tuanya kakek adalah orang dengan banyak harta berupa tanah di mana-mana. Kebun-kebunnya menghasilkan, dari dulu, makanya zaman mereka berangkat haji, biayanya ya dari kebun-kebun itu. 

Bagi orang kota apalah enaknya punya tanah di hutan sana, sunyi nggak ada yang bisa dilihat, padahal dari sanalah pendidikan terbiayai, makan tercukupi, rumah besar berdiri tegak, hidup sejahtera tanpa kekurangan.

Tak ada bunyi letusan kembang api, ataupun terompet berisik yang ditiup entah untuk apa. Aku hanya asyik motoran berdua suamiku di sini, menikmati aroma tanah yang diselimuti daun-daun tua yang gugur dan membusuk, suara-suara burung, daun-daun yang bergesekan ditiup angin, rumput-rumput basah, tanah becek, bahkan hewan pacet si penghisap darah.

Sebuah tempat yang telah 5 tahun tak kutengok. Pohon-pohon makin besar dan menua, seperti aku. 

01 Januari 2021 - Motoran di kebon

01 Januari 2021 - Kebun duku tua berusia satu abad

01 Januari 2021 - Kebun karet di tanah lama

Pohon Karet

Getah karet


Ziarah ke makam bapak bersama suami dan anak-anak

Waktu mudik yang singkat terasa begitu berharga, maka kugunakan untuk berziarah ke makam bapak. 

Anak-anak kuajak mengunjungi makam almarhum kakek mereka. Semoga menjadi pengingat bahwa mereka beruntung dianugerahi Tuhan memiliki kedua orang tua yang hidup dalam waktu lama, tidak seperti mamanya ini yang telah yatim sejak bayi. Dengan begitu kuharap mereka banyak bersyukur, menghargai waktu yang ada, dan memanfaatkan kebersamaan dengan sebaik-baiknya untuk kebaikan hidup.

Semoga Allah memanjangkan umurku dan suami, selalu sehat, supaya bisa lebih lama membersamai anak-anak kami, menjadikan mereka anak-anak yang taat dan bertakwa pada Allah SWT, serta kuat dan dewasa dalam mengarungi kehidupan yang keras dan amat singkat ini.

Semakin ke sini aku semakin memikirkan hidup, akan seperti apa pada akhirnya. Harapanku tentu saja, kelak bisa mati dengan baik, husnul khotimah.

Sungguh, awal tahun tidak terpikir olehku untuk hura-hura. Kalaupun terucap ingin jalan-jalan ke sana dan ke situ, tak ada yang lebih dalam dan berarti selain menyepi dengan cara seperti ini, berziarah ke makam bapak dan bersilaturahmi dengan keluarga orang tua yang masih ada.

Di sini, kerinduanku terobati.

Makam Bapak

01 Januari 2021

01 Januari 2021 - Ziarah

Pergi ke Hutan Karet, Berpapasan dengan Rotan dan Keladi

Ada banyak tempat wisata di Sumsel, tinggal pilih mana yang disukai, lalu pergi dan datangi. Tapi pandemi yang tak jua pergi, masih menjadi ancaman berat bagi kesehatan dan keselamatan hidup. 

Objek wisata populer bukanlah tempat aman, apalagi jika orang-orang berkunjung tanpa menerapkan protokol kesehatan. Orang lain santai, kitanya yang cemas. Gimana bisa bahagia kalau liburan dilanda kecemasan?

Tak kan berkurang rasa bahagia walau liburan di isi dengan blusukan ke hutan yang sunyi, tempat di mana kesenangan bisa didapat dengan menikmati udara segar tanpa polusi, sembari memanjakan mata dengan hijaunya hutan yang tak meminta bayaran kunjung.

Cerita tentang perkebunan karetku, adakah yang ingin membacanya bila kutulis di sini? Ah, lain waktu saja ya 😀

Ada hutan rotan di samping hutan karet. Rotan-rotan muda yang batangnya sering kukira bambu kurus, berwarna hijau. Tentu bukan kuning/coklat seperti yang sudah berbentuk kursi/meja di toko-toko mebel.

Kutemukan keladi seperti yang dijual di tempat tanaman hias. Kutemukan anak rotan yang kukira pohon sikas. Jika dipindah ke pot, dia akan naik kelas, kata orang-orang. Kelasnya tumbuhan ini ya di hutan, bukan di pot. 

Entahlah, saat menemukannya di hutan, aku malah tak ingin mencabutnya. Tak ingin kujadikan tanaman dalam pot. Sudahlah, mending aku beli yang sudah dijual saja. Yang di sini, biarlah tetap ditempatnya. 

Di sini kutemukan banyak buah karet. Saat kuposting fotonya di IG, orang-orang berkomentar tentang masa kecil mereka yang suka memainkan buah karet itu. Aku berusaha mengorek kenangan tentang buah karet, tapi tak kutemukan apa-apa. Apa aku tidak pernah main buah karet?

Kucari kenangan kala SD, yang ada malah ingatan tentang kebahagiaan membaca buku di perpustakaan sekolah. Iya, dulu aku bersekolah di YKPP, sekolahnya anak-anak pegawai Pertamina. Perpus SD ku sangat besar dan penuh buku bermutu. Karya-karya Enid Blyton jadi santapanku sehari-hari, kubaca di waktu istirahat. Perpus itu bagaikan taman yang indah, bunganya adalah buku-buku dan majalah. 

Karena masa kecilku banyak bermain dan bergelut dengan buku bacaan, bukan di kebon, maka tak ada kenangan akan buah karet.

02 Januari 2021 - Kebun Karet

02 Januari 2021 - Kebun Karet

02 Januari 2021 - Hutan Rotan

02 Januari 2021 - Anak Rotan

Keladi

Buah Karet

Belanja Oleh-oleh di Pempek Candy

Tgl. 3 Januari 2021 adalah hari terakhirku di Sumsel. Beberapa urusan penting telah selesai tepat waktu, dan kami bisa kembali ke BSD dengan lega.

Tentu tak elok bila tak membawa oleh-oleh untuk keluarga di Jakarta, terutama keluarga ibu mertuaku. Jadi, mereka akan kubelikan makanan khas Palembang, pempek dan kerupuk.

Pergi ke kota tak elok pula rasanya bila tak menyapa kawan-kawan yang kukenal. Jadi, kuhubungi Deddy Huang dan Haryadi Yansyah aka Om Nduut. Kubilang aku ingin jumpa dengan mereka di tempat oleh-oleh yang ada tempat makannya.

Bukan aku tak tahu ada Pempek Candy, Pempek Pak Raden, Pempek Beringin, atau pempek lainnya. Tapi, aku ini sudah lama tak kelayapan di Palembang. Tentu sudah banyak ketinggalan info-info tempat makan yang baru dan sedang hitz.

Deddy membantuku dengan mudah, dikiriminya aku alamat Pempek Candy Ruko di Jalan Kapten A Rivai No.402, 26 Ilir D. I, Kota Palembang. Maka, ke sanalah aku menuju pada Minggu pagi tgl. 3 Januari 2020.

Pagi itu jalanan lengang, Mas Arif seperti menyetir di jalan tol, melesat dengan kecepatan cahaya. Tahu-tahu kami sudah di Palembang. Yayan sudah standby, sedangkan Deddy masih tidur. Halah 😂

Akhirnya, aku pergi mencari toko pakaian mencari sarung buat Alief. Ceritanya, si Alief ketinggalan sarung di rumah neneknya. Nah, karena dia selalu celana pendekan selama roadtrip, salatnya butuh sarung. Pas tahu ketinggalan, dia langsung bersikeras harus beli sarung. Demi salat yang dia jaga, aku pun bertekat harus menemukan sarung. Kami ke Transmart, di sana ga ada. Trus ke mall, ga ada juga. Ya udahlah akhirnya terpaksa bongkar tas yang sudah disusun rapi di bagasi, cari celana panjang yang ada. Biar tetap bisa salat.

Di Pempek Candy, aku gak cuma ketemu Yayan dan Deddy, tapi dengan Yuk Tika juga. Hore. AKu seneng! Dan semakin senang karena Yayan dan Yuk Tika membawakanku oleh-oleh kerupuk dan kemplang. Masing-masing 1 kantong! Wuaaah! Thank you!

Mas Arif janjian dengan kawan-kawan kuliahnya, tapi hanya Kak Kiki yang bisa datang. 

Di sana kami makan siang. Aku memesan beberapa menu, mulai dari Pindang Tulang Iga, Ayam Goreng Kampung, Mie Celor, Model, Lenggang, Pempek Panggang, hingga Es Kacang Merah. 

Sibuk dan asyik ngobrol sama Yayan, Deddy dan Yuk Tika, aku lupa motret semua makanan-makanan itu haha. Tapi tak apa, ngobrol lebih enak dari pada motret. Jarang ketemu mereka juga kan.

Waktu terasa begitu singkat untuk bertemu. Saat Mas Arif mengingatkanku untuk mulai melanjutkan perjalanan menuju Jakarta, kami pun berpamitan, dan berpisah di sana. Moga bisa jumpa lagi di waktu dan kesempatan yang lebih baik, dan saat itu corona sudah pergi tanpa sisa. Aamiin.

Palembang 3 Januari 2021 - Deddy, Yayan, Yuk Tika

Mas Arif dan Kak Kiki

Alief dan papanya

Mie Celor

Pempek Panggang

Es Kacang Merah


Total hanya 4 hari di Sumsel. 2 hari di perjalanan, 2 hari mengurus kebon sambil silaturahmi ke keluarga, tentunya dengan menerapkan protokol kesehatan.

Tak semua sempat kami kunjungi karena keluarga ada di beberapa tempat berbeda yang tidak semuanya bisa dijangkau dalam 2 hari yang amat padat.

Alhamdulillah. Allah perjalankan kami dengan lancar dan Allah mudahkan urusan kami di sana✨

Tanpa sadar, keinginanku tahun lalu pulang kampung halaman untuk berziarah, bertemu para tetua dan memiliki tambahan penghasilan, tercapai di awal tahun 2021. Semoga keinginan-keinginan baik lainnya juga dimudahkan😇

Allah selalu ada dalam setiap langkah ❤️