Melihat Keindahan Klasik Bali Tempo Dulu di Desa Wisata Penglipuran

Penglipuran Bali - Berkunjung ke Desa Adat Penglipuran adalah menyaksikan kemolekan lain yang tersimpan di Pulau Dewata. Desa tradisional yang sejuk ini memiliki cerita sejarah yang menarik. Dikenal sebagai wajah kehidupan masyarakat Bali pada zaman dahulu. Tak hanya menerbitkan rasa kagum atas keteguhan masyarakatnya dalam memegang tradisi, tapi juga rasa bangga karena dinobatkan sebagai desa terbersih ketiga di dunia selain Desa Giethoorn di Belanda dan Desa Mawlynnong di India. 

Desa tradisional penglipuran
Pesona Desa Adat Penglipuran Bali

Bali di Bulan November 2017

Minggu (26/11/2017) hari terakhir kami (saya dan suami) liburan di Bali. Saat itu, erupsi Gunung Agung sedang menghantui suasana berlibur. Kondisi pariwisata di Bali memang masih aman, masih banjir wisatawan. Hanya saja jadwal penerbangan masuk dan keluar Bali beberapa kali sempat ditunda bahkan ditutup. Rasa khawatir tentu ada, karena malam itu kami mesti kembali ke Jakarta sebab Senin pagi suami ada meeting di kantor yang tidak bisa ditinggalkan. Untuk menenangkan suasana hati, kami fokus pada kegiatan hari itu yakni jalan-jalan ke beberapa tempat di Bali.

Kami tak berdua saja. Ada Celly, Bayu dan Ci Verren juga. Sengaja hari itu jalan sama mereka, biar seru main ayunan ekstrem bareng di Bali Swing. Kami dijemput di Villa Selasar / Mayaloka Villa (tempat saya dan suami menginap). Kemudian langsung meluncur bersama mereka ke Kab. Badung. Dimulai dengan seru-seruan bermain ayunan di Bali Swing, baru lanjut ke Desa Adat Penglipuran. Sorenya akan sunsetan di Tanah Lot. Sayangnya rencana ke Tanah Lot gagal karena perjalanan menuju ke sana dihadang macet panjang dan kami akhirnya sibuk mengejar waktu ke bandara.

Cerita tentang berayun di ketinggian Bali Swing dapat di baca di: Uji Nyali Berayun di Ketinggian di Bali Swing
 
Desa Tradisional Penglipuran Bali
Desa Tradisional Penglipuran Bali

Hujan Sepanjang Jalan Menuju Bangli
 

Usai makan siang di restoran Bali Swing, kami menempuh perjalanan berkendara mobil sekitar 2 jam dari Bongkasa Pertiwi, Kabupaten Badung, menuju Bangli. Hujan deras sejak separuh perjalanan hingga sampai di Bangli membuat perjalanan jadi lama. Kami pun terkantuk-kantuk. 

Waktu Zhuhur nyaris terlewat jika suami tak segera minta diantar ke masjid. Karena sudah di Bangli, Mas Sastra (driver) langsung membawa kami ke Masjid Agung Bangli. Hujan masih deras, tak ada tanda-tanda akan berhenti. Dengan satu payung dan satu mantel hujan, kami berlari-lari menuju pintu masuk masjid, segera salat. Hati jadi tenang setelah tunai segala kewajiban. Baru setelah itu mobil kembali melaju menuju Desa Penglipuran.

Desa Penglipuran berada di Kelurahan Kubu, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli. Sekitar 45 kilometer dari Kota Denpasar. Menurut Mas Sastra, desa ini sudah dekat dengan perbatasan desa-desa yang berada di sekitar Gunung Agung. Jarak dengan perbatasannya saja yang dekat. Kalau dengan gunungnya masih jauh. Jadi tak ada kondisi mengkhawatirkan. Semua masih kondusif.  


Baca juga : Nusa Penida, Kilau Indah Permata Bali 

Masjid Agung Bangli yang kami singgahi sebelum sampai di Desa Penglipuran

Tiket Masuk Penglipuran dan Sewa Payung
 

Jarak dari Masjid Agung Bangli ke Desa Penglipuran kami tempuh dalam waktu  15 menit. Pukul 15.14 WITA kami sampai di Balai Banjar yang berjarak sekitar 20 meter dari mulut desa. 

Di depan Balai Banjar terpancang papan nama bertuliskan Sapta Pesona, lengkap dengan rinciannya: Keamanan, Ketertiban, Kebersihan, Kesejukan, Keindahan, Keramahan, dan Kenangan. Nanti setelah berkeliling Desa Penglipuran, Sapta Pesona ini memang gambaran paling cocok buat dilekatkan pada Penglipuran.  

Balai Banjar Desa Penglipuran

Area parkir kendaraan berada di sebelah balai. Tidak terlalu luas. Berkapasitas kurang lebih 10-15 mobil saja. Kalau tak salah ingat, ada 5 mobil yang sedang parkir saat itu. Hujan masih deras, kami ragu untuk turun, apalagi masing-masing pada bawa kamera. Khawatir basah dan jadi rusak.

Mas Sastra keluar mobil lebih dulu, ia berlari ke loket untuk membayar tiket masuk. Untuk masuk Desa Penglipuran ini wisatawan dikenakan biaya Rp15.000,-/orang dan Rp8.000,- untuk parkir kendaraan.  

Sewa payung di desa Penglipuran

Sesaat kemudian seorang wanita (sudah nenek-nenek) mendekati mobil kami. Dia datang dari arah tenda tunggu dekat jalan masuk desa. Di tangannya tergenggam beberapa payung. Diacungkannya payung-payung itu untuk kami sewa. Kebetulan sekali. Meski punya mantel hujan sendiri, payung itu tetap saya sewa. Suami, Bayu, dan Ci Verren juga ikut menyewa. Motif payungnya seragam dan warnanya cantik-cantik. Sepertinya bagus saat dipakai berfoto di desa.

Kalau ke sini sedang hujan, jadi tak khawatir. Tinggal sewa payung buat keliling desa. Biaya sewa hanya Rp10.000,-/payung. Bisa pakai sepuasnya sampai kelar keliling desa. Asal dijaga jangan sampai rusak. Pembayarannya kalau sudah kelar, saat mau pulang.

Jalan masuk Desa Penglipuran

Keindahan Tanah Leluhur

Terletak di 700 meter di atas permukaan laut membuat Desa Penglipuran senantiasa dilingkupi udara sejuk dan segar. Kesejukan dan kesegarannya langsung terasa ketika menapaki desa. Desa ini bahkan sering basah karena hujan. Selama di sini, hujan tak jua reda sampai kami meninggalkannya.

Ada sebuah angkul (gerbang) yang berada tepat di pusat jalan desa. Sirapnya (atap) terbuat dari bambu. Sangat tradisional. Di dekat angkul saya berhenti, memandang sekeliling. Saya menjumpai kontur tanah desa yang miring sehingga jalan desa ada yang menurun dan menanjak. 

Penunjuk arah buat wisatawan yang ingin mengeksplore potensi yang ada di Desa Penglipuran

Tak jauh dari angkul terdapat petunjuk arah yang membuat saya jadi tahu kalau desa ini memiliki tempat-tempat wisata potensial yang bisa dikunjungi seperti candi, Bamboo Forest (250 m), Monument, dan Karang Memadu (150m). Jarak ke tempat-tempat tersebut tak sampai 1 kilometer. Saya jadi penasaran untuk melihatnya.

Namun, keterbatasan waktu membuat kami tidak banyak ke mana-mana. Hanya di desa, melihat-lihat suasana. Itu pun tidak mengelilingi seluruh desa. Sekitaran angkul saja. Lagipula sedang hujan. Meski hujan, saya tetap bisa maksimal mengamati salah satu rumah adat, menyapa penduduk yang lewat, dan berbincang hangat dengan salah satu penghuni rumah. 


Di samping itu tentu saja saya mengambil foto. Terlalu sayang tidak mengabadikan keindahan desa lewat lensa. Karena sedang hujan, saya dan suami bekerja sama. Saya memotret, suami memegang payung. Kalau suami yang motret, gantian saya yang memayunginya. Memang jadi agak repot. Tapi itu menyenangkan 😊

Angkul di pusat jalan desa (gerbang tinggi disebelah kanan)

Di bawah gerimis, dari tempat yang agak tinggi, pemandangan desa terlihat jelita. Rumah-rumah adat berjajar dalam pagar yang rapi. Di luar pagar maupun di dalam pagar, aneka tanaman bunga warna-warni tumbuh cantik menambah keasrian. Jalannya yang sedang basah oleh air hujan,
berukuran cukup lebar (+/- 3 meter), terlihat sangat bersih.   

Suasana jalan terasa sangat tenang tanpa gangguan hilir mudik kendaraan jenis apapun. Tanpa bising suara klakson yang memekakkan telinga. Tanpa asap knalpot yang mengotori pernafasan. Hanya ada orang-orang, baik penduduk asli maupun wisatawan yang sedang berkunjung. Saya pun tak melihat ada hewan peliharaan lalu laang di jalan.

jalan desa penglipuran
Jalan desa Penglipuran. Lebar, bersih, rapi. Tak dilewati oleh kendaraan apa pun.

Permukaan jalan desa bukanlah aspal hitam mulus yang licin mengkilat, melainkan aspal berbatu. Tekstur batunya menutupi seluruh permukaan jalan. Seperti paving stone di taman-taman, tapi rapat dan padat tanpa celah. Di sisi kiri dan kanan jalan ada got. Di antara badan jalan dan got ada space kosong (semacam trotoar) dibalut rumput hijau yang tebal. 

Oh ya, di sini tentunya tidak perlu trotoar. Seluruh badan jalan bisa dilalui dengan aman oleh orang-orang. Tidak perlu minggir-minggir karena tidak ada kendaraan apapun yang lewat. Nah, penataan ini seragam, terlihat sepanjang jalan. Sangat rapi, enak dilihat, nyaman dirasa. 

Warga menanam bunga di depan rumah dan di pekarangan
Desa Penglipuran Bali

Rumah Adat dan Keunikan Desa

Nuansa tradisional Desa Penglipuran sangat kuat. Memiliki keunikan baik dari segi fisik maupun non fisik. Salah satu keunikan fisik yang langsung terlihat adalah bentuk arsitektur rumah warga yang kental bergaya tradisional Bali seperti gerbang yang disebut angkul-angkul, atap dari bambu, dan dinding penyeker.

Empat tahun lalu saya pernah menyambangi Kintamani bersama suami. Saya masih ingat bentuk rumah-rumah di sana. Nah, jika dicermati arsitektur rumah di Penglipuran ini memiliki kemiripan dengan rumah-rumah di Kintamani. 


Mengenai arsitektur rumah ternyata ada kaitannya dengan kisah di masa lalu, saat masih zaman kerajaan. Dulu, yang tinggal di desa ini adalah Raja Bangli dan para penghuni kerajaan lainnya. Namun, Raja Bangli menginginkan rakyatnya juga tinggal bersama-sama dengan raja. Salah satu alasannya adalah untuk berperang. Sebelum dipindahkan ke Penglipuran, dulu masyarakatnya tinggal di desa Bayung Gede Kintamani. Dari sinilah cerita arsitektur rumah itu bermula.  

Kebersihan desa selalu terjaga

Masing-masing rumah memiliki gapura kecil (gerbang) dengan bentuk, ukuran dan atap dari bambu yang seragam. Ukuran gapuranya hanya bisa dilalui oleh satu orang. Harus bergantian ketika melewatinya. Ada makna filosofis yang terkandung dari ukuran tersebut. 


Halaman rumah dihiasi bale sakenam, sementara tempat ibadah keluarga diletakan di sudut timur.  

Gerbang kecil di tiap rumah, bentuknya seragam

Setiap rumah memiliki pekarangan. Di masing-masing pekarangan terdapat dua rumah adat. Rumah bagian depan merupakan rumah utama, berfungsi sebagai tempat menerima tamu dan tempat tidur. Sesuai adat dan tradisi desa, hanya anak laki-laki yang berhak mewarisi rumah utama. 

Sedangkan dapur ada di bagian belakang, bangunannya terpisah. Di dalam dapur terdapat tungku (tempat memasak) dan juga tempat tidur. Di langit-langit dapur ada lumbung kecil tempat menyimpan hasil panen. Dari yang pernah saya baca, berdasarkan penelitian para ahli, meski musim berubah-ubah (panas/kemarau, dingin/hujan), suhu dapur di rumah-rumah adat ini tetap konstan. 

Dapur tradisional di bagian belakang, terpisah dari rumah utama

Mata pencarian masyarakat Penglipuran adalah bertani, buruh pertanian, perajin, dan peternak. Seperti diketahui, desa ini memiliki potensi hutan bambu. Bambu inilah yang dijadikan beragam kerajinan tangan yang kemudian disajikan sebagai souvenir dengan harga yang super menarik.

Beberapa warga juga ada yang berdagang di rumah. Kebanyakan mereka menjual keperluan sehari-hari. Ada pula yang berjualan souvenir yang bisa dijadikan buah tangan oleh wisatawan seperti kain bali, aneka snack Bali, baju kaos Bali, kerajinan bambu, dan lain-lain. 


Di salah satu penjual, Celly membeli kain Bali seharga Rp 50.000,-. Sedangkan Bayu membeli ikat kepala dengan harga Rp10.000,- Kain dan ikat kepala itu kami anyari untuk berfoto dengan latar desa. 

Warga desa menjual barang kerajinan di rumah

Di sini, beberapa warga menjadikan rumahnya sebagai homestay. Bisa jadi tempat bermalam bagi wisatawan yang ingin merasakan langsung suasana kehidupan sehari-hari masyarakat Bali di Penglipuran. 

Berinteraksi dengan warga, bersantap dengan masakan desa, tentu akan menjadi pengalaman unik yang sangat berbeda dari kebiasaan sehari-hari di daerah tempat kita tinggal. 

Jika terbiasa liburan di Bali menikmati suasana pantai yang berlimpah cahaya matahari, jalan-jalan dan belanja di kawasanan Kuta yang padat, makan-makan di gemerlap kafe-kafe dan resto di  tengah Kota Denpasar, maka di sini bisa menikmati sisi lain Bali yang penuh ketenangan, kedamaian, serta kesederhanaan. 

Antar rumah warga tanpa pagar pembatas. Pagar hanya ada di bagian depan rumah.

Teguh Memegang Tradisi

Desa Penglipuran sudah ada sejak abad 13 dengan luasan desa 112 hektar. Desa tua ini disebut sebagai desa tradisional karena masih memegang kuat tradisi dan ritual-ritual adat istiadat yang dipercaya, seperti tradisi atau ritual upacara keagamaan, pernikahan, kelahiran, bahkan kematian. Dalam ritual atau upacara yang diadakan masyarakat setempat, setiap pengunjung bisa masuk dan melihat langsung setiap hal yang berlangsung dalam upacara tersebut. 


Desa Penglipuran memiliki sistem kekeluargaan yang cukup kuat. Tradisi yang kuat tersebut dapat dilihat dari kebiasaan masyarakatnya yang saling peduli, saling perhatian dalam segala hal, termasuk dalam mengadakan upacara pernikahan, adat, dan keagamaan. Sistem kekeluargaan yang kuat ini selanjutnya diperkuat dengan tidak adanya pintu penghalang atau gerbang antara pekarangan yang satu dengan yang lain. Jadi, kalau ada persoalan yang cukup penting dan genting, setiap masyarakat dapat dengan mudah serta bebas hambatan. 

Ukuran gerbang di rumah adat Desa Penglipuran seragam

Biasanya penduduk setempat melakukan upacara adat di pura, seperti upacara Piodalan. Upacara ini dihitung berdasarkan kalender Bali. Upacara ini digelar setahun sekali. Dalam upacara tersebut dapat dijumpai semacam musabe bantal atau sesajen yang berupa buah-buahan, jajanan, hasil bumi, dan berbagai jenis sesajen lainnya.

Di Desa Penglipuran juga dikenal adanya musim kawin. Pada saat yang bersamaan, dihelat banyak upacara pernikahan. Biasanya setiap bulan Oktober, di desa ini banyak dijumpai upacara pernikahan. Hal itu dilakukan karena masyarakat setempat mengakui bahwa bulan tersebut adalah bulan yang baik atau waktu yang tepat untuk melangsungkan pernikahan. 

Bale di rumah adat Bali

Keindahan Klasik Bali Tempo Dulu

Saya dan suami senang sekali dapat berkunjung ke Penglipuran. Kami menikmati eksotisnya panorama dan lingkungan desa, serta mengagumi keteguhan masyarakat Penglipuran dalam memegang adat budayanya. Orang-orangnya yang ramah, memiliki nilai spiritual yang sangat kental. Mereka menghormati sesama manusia, alam, dan Tuhan.

Datang ke sini seakan diajak flash back menikmati kehidupan masyarakat Bali zaman dulu. Jadi, bila ingin lihat wajah Bali tempo dulu maka datanglah ke Desa Penglipuran. Suasana desanya tenang, begitu damai dalam kesederhanaan. Kesejukan, kebersihan, dan keasrian yang dimilikinya menjadi penyempurna keindahan desa. Tak heran jika Penglipuran jadi salah satu desa terbersih di dunia bersama Desa Giethoorn (Belanda) dan Mawlynnong (India). 

Desa Penglipuran, desa pengeling pura.

Mengenai nama desa, Penglipuran diambil dari kata pengeling pura yang berarti “ingat pada leluhur”. Selanjutnya desa ini berubah nama menjadi Penglipuran. Sesuai dengan namanya, desa ini dapat menjadi tempat pelipur atau penghibur dikala duka.

Saya percaya, ketenangan dan kedamaian itu letaknya di hati sendiri, bukan pada tempat atau orang lain. Saya juga percaya, ketenangan yang terdapat pada suatu tempat atau pada seseorang yang lain juga dapat menular ke dalam diri. Ia menjalar ke dalam hati dan perasaan, masuk ke dalam batin, menghalau perasaan lain yang bertentangan, sehingga terciptalah kekompakan. Kompak dengan ketenangan dan kedamaian yang melingkupi dari luar.


Karena itu, sedang berduka atau tidak, ketenangan dan kedamaian yang murni dari desa ini bila benar-benar dihayati dengan hati akan memberi pengaruh pada suasana hati. Jadi senang dan kian bahagia. 

🌷 Indahnya Pesona Penglipuran 🌷

Penglipuran itu buat saya seperti ketika berada di sisi seorang kekasih yang memiliki ketenangan, kesabaran, ketulusan, dan kebersihan hati tanpa batas. Jiwa merasa damai dan tentram bersamanya. Merasa selalu dicintai, dihormati, tak pernah dikhianati sehingga selalu mendambanya jadi tempat menua menghabiskan sisa usia. Rasa bahagia yang terasa ketika bersamanya bagai dicurahi penghiburan dan penglipuran sepanjang waktu. Itulah Penglipuran. 💕



Bali, November 2017

Catatan: 
Semua foto oleh Katerina dan Arif.
Jalan-jalan Bali bersama Picniq Tour & Travel. 
Paket tour Bali dan lainnya www.yourpicniq.com  Jeffry HP: 081949555588
 

Inspirasi dari Sandalwood Boutique Hotel


Merayakan Sukacita dan Memetik Inspirasi dari Sandalwood Boutique Hotel

Inspirasi dan semangat untuk berkarya, berbagi sukacita, atau pun untuk kehidupan yang semakin baik bersama orang-orang terkasih, bisa hadir kapan saja mengisi jiwa. Kali ini saya mendapatkannya saat liburan singkat di Sandalwood Boutique Hotel pada 23-25 Februari 2018 lalu. Liburan terencana tanpa ekspektasi berlebihan, juga tanpa ada preferensi selain mengajak keluarga bersama-sama menghabiskan akhir pekan selama 3 hari 2 malam di Lembang yang berjarak kurang lebih 166 kilometer dari Jakarta.

Sandalwood Boutique Hotel - Lembang Bandung
Sandalwood Boutique Hotel - Lembang Bandung

Liburan Santai


Hari Jumat saya pilih sebagai waktu yang cocok untuk memulai perjalanan berkendara mobil dari BSD Tangsel menuju Lembang, Bandung. Hari di mana anak-anak pulang sekolah lebih cepat dari biasanya. Jadwalnya jam 3 sore sudah berangkat biar nggak terlalu malam sampai Bandung. Tapi suami baru balik ke rumah jam 4 sore. Mandi dan salat dulu. Jam 5 baru berangkat. Sudah kesorean tapi tak apa. Namanya juga mau liburan santai, nikmati saja tanpa panik. Toh nggak ada yang dikejar.

Kepadatan jalan tol di akhir pekan membuat perjalanan menuju Bandung jadi lebih lama. Karena sudah biasa dengan kondisi seperti itu, kami tidak kaget. Anak-anak pun bisa diajak tenang. Ada sesekali Humayra tampak tak sabar ingin lekas sampai. Saya coba memberinya penjelasan bahwa untuk mencapai tujuan nggak melulu jalannya lancar tanpa kendala. Kesayanganku ini akhirnya mau ngerti. Setelah tenang, dia mulai asik lagi sambil nyanyi-nyanyi mengikuti lagu di radio. Sesekali ia menggoda neneknya yang terkantuk-kantuk. Sedangkan Alief, abangnya, sibuk ngemil. Di sebelahku, suami tetap menyetir dengan hati-hati.

Liburan Keluarga di Sandalwood Boutique Hotel
Liburan Keluarga di Sandalwood Boutique Hotel

Hujan Sepanjang Jalan, Bawa Ceria Sampai Lembang

Hujan turun berjam-jam, jalanan macet. Sedikit rasa lapar menerbitkan keinginan untuk makan malam sesi kedua. Semua mewarnai perjalanan selama hampir 6 jam. 2 kali lipat dari waktu normal. Kami mengikuti rute menuju Lembang lewat jalan pintas yang disarankan Google. Sesekali jalannya sepi, gelap, dan sempit. Kadang naik dan turun tanjakan. Berasa nyasar, padahal tidak.

Sampai di titik lokasi tujuan kami berhenti. Hampir jam 11 malam saat itu. Tak saya lihat ada penampakan gedung hotel yang tinggi. Adanya rumah besar bertingkat dua, bergaya country. Beberapa mobil tampak terparkir di halaman depannya yang luas. Di tengah keraguan itu, tiba-tiba Humayra menunjuk ke arah pagar, sambil berkata: “Itu ada tulisan Sandalwood, Ma!” Spontan kami menoleh ke tulisan yang ditunjuknya. Dalam suasana malam yang temaram, nama hotel terbaca. Alhamdulillah tak salah alamat.

Di bawah gerimis yang menyambut basah, seorang petugas jaga menyongsong kedatangan, menjemput kami pakai payung. Diantarnya kami sampai masuk hotel, bertemu seorang bapak berjas rapi di meja resepsionis yang langsung menyapa kami dengan salam penuh keramahan. Dipersilakannya anak-anak, suami, dan ibu duduk di ruang tunggu. Kemudian baru melayani saya check-in. Beliau sempat bercerita, katanya masih ada beberapa tamu lain dari Jakarta yang masih dalam perjalanan menuju hotel. Dari situ saya jadi tahu, ternyata kami bukan satu-satunya tamu yang datang kemalaman.

Baca juga: Sandalwood Hotel dan Ingatan Rumah Cowboy di Masa Kecil


Sandalwood Boutique Hotel - Country House
Sandalwood Boutique Hotel - Country House
  
boutique hotel
Di depan pintu masuk Sandalwood Boutique Hotel

Rosewood Family Suite, Feels Like a Royalty
 

Saat pertama tiba di Sandalwood, tampak depan hotel tidak memperlihatkan adanya gedung lain di belakangnya. Ruang resepsionis tempat saya check-in berada paling depan, menyatu dengan Kafe Savannah in Woodlands. Sedangkan lantai dua menjadi tempat tinggal keluarga Om Billy Mamola, owner Sandalwood yang juga founder tempat wisata berkuda De Ranch. Nah, di belakang rumah besar inilah gedung-gedung hotel berada. Di sini ada 3 gedung dengan 30 kamar yang terdiri dari 5 tipe kamar yaitu deluxe, junior suite, family suite, royal suite, dan royal suite jasmine.

Kami diantar ke kamar yang terletak di gedung ke 2. Kamar yang kami tempati tipe royal suite, namanya Rosewood. Dalam kamar family suite seluas 60m2 ini terdapat dua king sized bed. Pas untuk kami berlima. Ibu, saya dan Humayra bisa satu bed bertiga. Sedangkan suami dan Alief berdua. Luas kamarnya bikin kagum. Meski sudah ditempati berlima, masih leluasa. Kalau tambah 3 orang lagi, plus 1 king sized bed lagi pun masih muat.
Kamar kami ini namanya Rosewood - Family Room tipe Royal Suite

Terdapat lemari penyimpanan yang banyak, TV kabel, lemari pakaian berukuran besar, standing mirror, meja konsol menghadap kolam renang, kursi baca yang empuk. Kamar mandi shower dengan peralatan mandi yang lengkap termasuk hair dryer. Handuk tersedia mulai dari ukuran besar dan kecil. Masing-masing kami dapat 2 handuk dengan 2 ukuran. Gelas, mug Sandalwood, piring, sendok, dan teko listrik untuk membuat minuman, lengkap dengan gula, teh, dan kopi. Internet gratisnya lancar. Oh ya, di dalam lemari terdapat piyama, deposite box, dan 4 pasang sandal hotel.

Rosewood room sangat menyenangkan dari segi luas, juga dari segi desain dan dekorasi. Bergaya vintage dan shabby chic, menawarkan keindahan sekaligus kenyamanan. Malam itu, karena sudah larut, kami tak punya keinginan lain selain lekas bersih-bersih badan, salat, lalu tidur. Tidur dalam hangatnya kebersamaan meski Lembang memeluk erat dengan udara malamnya yang sangat dingin.
 


Rosewood - Royal Suite Sandalwood Boutique Hotel
Rosewood - Royal Suite Sandalwood Boutique Hotel

Semangat Pagi di Tengah Dinginnya Udara Lembang
Udara di kamar sejuk sepanjang waktu walau tanpa AC. Malam hingga pagi hari, suhu jadi lebih dingin. Itu di dalam kamar, di luar lebih dingin lagi. Buat yang tidak biasa seperti saya, badan jadi menggigil. Usai salat Subuh rasanya ingin meringkuk lagi di kasur. Tapi anak-anak malah semangat bangun. Humayra bolak-balik mengintip kolam renang di samping kamar. Ia mengajak keluar. Sepagi itu ia ingin bermain air. Tapi saya bilang ke dia, kalau mau berenang harus makan dulu. Biar perut aman. Semua setuju.

Kamar Rosewood kami berada di lantai dasar gedung ke-2. Sedangkan Pine Restoran yang jadi tempat makan terletak di gedung ke-3. Terpisah oleh kolam renang dan taman yang dinaungi oleh pohon-pohon pinus. Restorannya berada di lantai 3. Naiknya lewat tangga. Tidak ada lift. Di Sandalwood, semua lantai atas hanya bisa diakses pakai tangga. Lantai tertinggi hanya sampai 4. Tidak terlalu tinggi. Kalau jalan kaki naik turun tangga masih aman. Asal tidak tiap saat saja hehe. Apalagi buat ibu saya yang sudah tua.



Santai pagi di teras kamar


Kehangatan di tengah dinginnya udara Lembang

Konsep boutique hotel yang dipakai membuat Sandalwood tampil beda dari tipikal hotel pada umumnya. Perbedaan paling nyata terlihat pada desain interior dan dekorasinya. Dan menurut saya, hotel geulis yang memiliki view langsung ke Gunung Tangkuban perahu ini lebih cocok disebut rumah liburan. Suasana berliburnya dapet banget.

Tata dekorasi yang ciamik, membuat Sandalwood punya banyak sudut menarik. Bikin diri jadi ingin berpose dan berfoto di mana-mana. Contohnya bisa dilihat di sepanjang sisi tangga yang dihiasi jejeran frame berisi kata-kata bermakna tentang cinta, keluarga, dan hidup. Membacanya bikin jadi tersemangati dan terinspirasi, meski dibaca berulangkali saat bolak-balik turun naik tangga. Sederhana, tapi bikin merenung, lalu ada efek positif buat pikiran. Perasaan jadi happy. Mood jadi baik.



Dekorasi manis di tangga 😍


Love You - Love What You Do


Sarapan Kuliner Khas Bandung di Pine Restoran 
 Ada kisah yang saya dengar tentang gedung ke-3, tempat Pine Restoran berada. Dulunya, lokasi gedung ini adalah kandang kuda milik Om Billy. 26 tahun lalu, dekat kandang kuda ini pula Om Billy menanam pohon-pohon pinus. Kini pinus-pinus itu tumbuh tinggi di sisi kandang kuda yang kini sudah menjelma gedung besar yang di dalamnya terdapat restoran, kantor, ruang meeting, dan kamar hotel. Sedangkan kuda-kuda, ditempatkan di De Ranch yang berlokasi tak jauh dari Sandalwood. Kebanyakan orang mungkin sudah tahu De Ranch itu tempat wisata berkuda. Foundernya adalah Om Billy, owner Sandalwood yang pernah meraih gelar sebagai Master of Indonesian Horsemanship.

Pine Restoran juga punya cerita sendiri kenapa ditempatkan di gedung ke-3. Karena sang owner melihat lokasi inilah yang memungkinkan restoran punya pemandangan ke segala penjuru. Menyenangkan rasa ketika sebuah resto lebih dari sekedar tempat bersantap. Dari tempat ini saya bisa menikmati indahnya panorama pegunungan dan bukit-bukit berkabut, merasakan hangat mentari pagi yang cahayanya menembus jendela-jendela kaca di sisi timur, menyaksikan pemandangan desa-desa di kejauhan dengan rumah-rumah yang hanya terlihat atapnya, dan tentunya menghirup udara segar dari sisi barat resto yang terbuka menghadap ke hutan pinus kecil Sandalwood.


Baca juga: Sinar Mentari Menemani Bersantap Pagi di Pine Restoran


Pine Restoran Sandalwood Boutique Hotel


Pine Restoran - Kebersamaan 💗

Restoran menyajikan variasi menu yang faktanya disenangi oleh seluruh keluarga saya. Anak-anak, terutama si bungsu Humayra, menyukai apapun yang ia pilih untuk dimakan.


Yang membuat saya bahagia, di sini tersaji Mie Kocok Bandung kesukaan. Kalau sudah ada menu satu ini, yang lain lewat. Bahkan saat sarapan di keesokan hari, Mie Kocok Bandung tetap saya jadikan pilihan prioritas untuk sarapan.

Selain mie kocok, saya juga tidak melewatkan Serabi Bandung. Gorengan pisang, bakwan, dan combro juga jadi favorit. Satu lagi yang harus saya sebut: Jamu. Ya, bagi saya minuman tradisional ini terbaik dari segala minuman yang ada. Terlebih, menurut Tante Nila istri Om Billy yang pagi itu menyapa saya yang sedang sarapan, jamu itu dibuat sendiri dari bahan-bahan alami. Disajikan segar untuk semua tamu Sandalwood. Sehat!



Makanan di Pine Restoran
Mie Kocok Bandung kesukaan


Menu sarapan lainnya seperti lontong sayur, nasi uduk, bubur ayam, bubur kacang hijau ketan hitam, spaghetti, aneka pastry, sereal, omelet, nasi putih dengan beberapa olahan lauk, buah2an potong, pudding, dan masih banyak lagi lainnya yang tidak dapat saya ingat semuanya, bisa dipilih sendiri sesuai selera.

Favorit suami lontong sayur, Humayra doyan bubur ayamnya, spaghetti nggak absen dari menu pilihan Alief, kalau ibu tidak memfavoritkan 1 macam makanan karena baginya semua makanan adalah enak selama dinikmati dengan suasana hati yang senang. Ibu memang top 😃



Jamu dan cemilan-cemilan khas


Kebersamaan 💗

Sabtu Santai Beraktivitas Suka-suka 
 

Mungkin kami terlalu santai selama sarapan. Terlena dengan suasana, sampai tidak sadar sudah jam 10-an. Sebenarnya, karena saya sangat suka berlama-lama duduk di sisi timur resto. Kami makan di sana saat cahaya matahari pagi menembus jendela kaca. Sinarnya jatuh mengenai kami, makanan di meja, dan apapun yang dilewati tanpa penghalang. 


Usai makan kami pindah duduk ke sisi barat yang terbuka, menghadap taman hotel yang sejuk oleh pohon-pohon pinus. Ngobrol di sana sambil membincangkan apa saja. Foto suka-suka berlatar tulisan-tulisan dan dekorasi. Lalu, ketika obrolan mereda, pandangan sama-sama tertuju ke kolam renang, Humayra mulai teringat dengan keinginannya untuk berenang. Saat itulah acara duduk-duduk di resto bubar.

Sabtu pagi sinar matahari bersinar terang. Taman Sandalwood dan kolam renang berlimpah cahaya. Hari yang benderang buat bersenang-senang di luar kamar. Anak-anak berenang di kolam yang jaraknya sekitar 10 langkah saja dari pintu kamar. Ibu duduk-duduk santai di bangku pinggir kolam, memperhatikan Humayra yang sendirian menguasai kolam. Sedang sepi. Oh, maksud saya ramainya sudah lewat, beberapa waktu sebelumnya.



Si cantik bersantai di pinggir kolam


Santai

Saya dan suami baru saja jalan kaki di bawah pohon-pohon pinus ketika Humayra memanggil. Ternyata dia cuma mau lapor kalau renangnya udahan. Katanya dingin. Tumben. Biasanya bisa berjam-jam. Ah iya, ternyata air kolam penyebabnya. 


Siapapun tahu, Lembang itu udaranya sejuk, bahkan cenderung terlalu dingin untuk ukuran kami orang pinggiran Jakarta yang suhu udaranya terbiasa panas. Maka, air kolam renang yang menggunakan air dari sumur resapan ini tergolong sangat dingin. Pantesan Humayra tidak tahan. Dia lari masuk kamar, mandi air hangat, pakai baju hangat, minta susu, lalu tidur 😃


Sandalwood Boutique Hotel

Rumah Cowboy

Seperti yang saya ceritakan sebelumnya, Sandalwood ini kan hotel berkonsep boutique. Tipikalnya beda dari hotel pada umumnya, terutama dari segi aristektur dan desain interior. Hal ini bisa terlihat sejak pertama kali tiba. Mulai dari rumah depan yang bergaya country, kafe bak ruang galeri, kamar-kamar modern bergaya shabby chic, hingga dekorasi-dekorasi cantik yang menghiasi seluruh hotel.

Bicara rumah country, tampak ada kaitannya dengan sang pemilik. Om Billy memiliki kecintaan yang besar terhadap kuda sejak ia kecil.

Dunia kuda membuat ingatan saya terlempar ke masa lalu, pada kenangan saat kecil. Kenangan tentang film cowboy yang saya tonton di televisi hitam putih. Dalan benak saya; Kuda dan penunggang kuda identik dengan rumah bergaya country. Maka, Sandalwood itu bagi saya sempurna.

Sandalwood Boutique Hotel


Sandalwood Boutique Hotel


Di ruang resepsionis ada pojok cowboy. Demikian saya menyebutnya.

Foto Om Billy saat muda terpampang gagah sedang menunggang kuda. Di situ ada aneka topi cowboy, belt, boot, dan pelana. Properti ini boleh dipakai buat berfoto. Kami pun mencobanya.

Foto Om Billy sedang menunggang kuda juga saya jumpai di ruang tunggu, lorong-lorong hotel, kafe, dan masih banyak tempat lainnya. Selain dalam bentuk foto, juga ada dalam bentuk lukisan. Dari situ saya sudah bisa menebak siapa beliau. So, rumah country ini memang sesuai dengan identitas pemiliknya.

Oh ya, kalau mau wisata berkuda di De Ranch, sebetulnya dekat dari Sandalwood. Tapi kali ini kami tidak melakukan aktivitas di luar hotel. Semua kompak ingin leyeh-leyeh di hotel. Baiklaaaah 😃



Billy Mamola dan kudanya dalam bingkai foto


Billy Mamola dan kudanya dalam lukisan

Kamar-kamar Nyaman dan Cantik 
 

Sabtu siang saya dan keluarga mencoba kulineran di luar hotel. Kami direkomendasikan ke sebuah warung sate. Sebenarnya bisa sih jalan kaki, nggak sampai 50 meter jaraknya. Tapi karena siang itu hujan, jadinya pakai mobil. 


Usai makan kami langsung balik ke hotel. Anak-anak dan ibu ingin santai di kamar. Saya dan suami keliling hotel, mau lihat-lihat kamar. Sebab katanya, 30 kamar yang ada di Sandalwood itu isinya nggak ada yang sama. Saya penasaran.

Sepanjang siang hingga jelang sore saya dan suami melihat beberapa kamar yang ada di gedung 1 hingga 3. Kebetulan ada yang ajak, jadi bisa leluasa. Siapa dia? Sebut saja namanya Rizal *lol. Kalau secara mandiri belum tentu bisa, karena kamar hotel itu kan pribadi banget, bukan asal dikunjungi layaknya tempat wisata yang terbuka untuk umum, meskipun kita sedang jadi tamu hotel.


Untuk melihat kamar-kamar di Sandalwood Hotel, bisa buka postingan saya yang satu ini: Kamar-Kamar Cantik dan Unik di Sandalwood Boutique Hotel.


Kamar-kamar cantik yang sempat saya lihat secara langsung selama berada di hotel

Kami melihat beberapa kamar di gedung 1 hingga gedung 3.

Secara ukuran, masing-masing tipe kamar memang punya ukuran yang sama. Yang membedakan adalah isinya seperti dekorasi, warna, dan model perabotan. Tidak seragam seperti kamar-kamar hotel pada umumnya.

Misal kamar Rosewood yang saya tempati bernuansa biru lembut, sprei motif bunga, karpet bulu warna perak, gordennya hijau muda, meja konsolnya putih panjang, cerminnya berdiri, lemari bajunya warna putih gading. Nah, di kamar lain dengan tipe yang sama seperti Ebony Suite beda lagi. Di Ebony nuansanya abu-abu, lemarinya coklat, cerminnya nempel dinding, gordennya coklat muda, spreinya abu-abu motif daun, dll.


Kamar-kamar tipe deluxe pun demikian. Di kamar A nuansanya pink, di kamar B bernuansa biru tua, kamar C kuning, kamar D ungu, dan seterusnya. Itu baru soal warna, belum dekorasi dan perabotannya, beda lagi.


Salah satu sudut kamar tipe deluxe


Berbeda pada warna, motif, desain, dan model perabotan, namun semuanya sama-sama menampilkan keindahan. Bukan sekedar indah tapi memiliki nilai seni dan estetika. Tampak betul barang-barang yang diletakkan dalam kamar dipilih berdasarkan kualitas sehingga memberi nilai lebih kepada tamu mana pun yang menempatinya.


Dari cerita yang saya dengar, pernah ada tamu honeymoon dari Singapore memesan 7 kamar berbeda untuk dia tinggali selama 7 hari di Sandalwood. Ketertarikan dan kekaguman yang mendasari hal tersebut bisa jadi merupakan keinginan tamu-tamu lainnya yang sudah pernah menginap di Sandalwood, termasuk saya.

Kamar-kamar yang sangat manis. Tiap sudutnya cantik untuk dijadikan tempat berpose. Sayang kalau dilewatkan begitu saja. Selfie dan wefie, hingga dibantu oleh Rizal yang dengan sukarela menjadi fotografer kami. Jepret sana jepret sini sampai bosan baru pindah ke kamar lainnya 😂



Perabotan berkualitas di kamar Aquila
 
Malam Mingguan di Savannah in Woodlands


Udara Lembang yang dingin bikin mudah merasa lapar. Anak-anak berkali-kali ngemil. Untung sedia banyak snack yang dibawa dari rumah. 


Sabtu sore jadwal makan malam jadi lebih dini. Saya ajak kulineran keluar hotel, tapi mereka sudah mager, katanya makan di kamar saja. Akhirnya saya pesankan makan di Kafe Savannah in Woodlands, lewat layanan kamar. Anak-anak langsung memilih sendiri makanan yang ada di list menu. Dari deretan menu yang ada, Nasi Sunda dan Nasi Liwet jadi pilihan.

Sorenya, sebelum makan malam bareng di kamar itu, kami bersantai di Savannah. Duduk-duduk sambil ngobrol ringan tentang apa saja. Ditemani teh dan kopi serta snack-snack jadul yang tersedia gratis. Usai makan malam balik lagi ke kafe. Tapi berdua suami saja karena anak-anak mau nonton film di kamar, ditemani neneknya. Sepertinya pada ngerti kalau mama papanya butuh waktu berduaan di malam minggu.


Baca juga : Keindahan dan Kenyamanan Cafe & Coffeeshop Savannah in Woodlands


Savannah in Woodlands

Café & Coffeeshop Savannah in Woodlands itu buat saya top banget. Sarat dekorasi dari ujung ke ujung. Dari yang tegak di lantai, nempel dinding, sampai yang menggantung. Piring-piring, gelas, mangkok, mug, tempat bumbu, teko, kaleng, botol, dan bermacam perkakas lainnya dalam berbagai bentuk, warna, dan ukuran, memenuhi seisi ruangan. Berasa di ruang galeri, atau seperti di supermarket perabotan macam IKEA. Ya, mirip supermarket itu.

Semua tertata rapi pada tempatnya. Dan yang pasti, masuk kafe itu bikin pingin motret tiada henti.

Kalau datang ke sini untuk makan, bakal lebih lama foto-fotonya ketimbang makan hehe. Saya dan suami lama berdua-duaan di sini. Nyaman, betah, dan hangat. Padahal udara Lembang sedang dingin-dinginnya saat itu.

Saat kembali ke kamar anak-anak sudah tidur. Neneknya juga. Saya dan suami belum ngantuk. Kami duduk di teras yang menghadap ke hutan pinus kecil. Duduk-duduk lagi di situ sambil ngobrol. Ada saja yang dibincangkan, sampai akhirnya kantuk itu datang, baru kami tidur.



Kafe sarat dekorasi
  
Rumah Liburan Kaya Inspirasi
Inspirasi itu adalah Om Billy Mamola. Saya bertemu dengannya tanpa sengaja di resto, sebanyak 2 kali di hari yang berbeda. Dari sapa dan senyum ramahnya semua bermula. Berlanjut pada obrolan berfaedah tentang kehidupan dan kisah-kisah yang melatari kesuksesannya.

Sukses dari segi kebahagiaan hati di mana ia bisa senantiasa mencintai dan berbuat baik pada keluarga. Mencintai alam sekitar dengan menyelaraskannya dengan tempat tinggal/hotel. Memiliki energi dan perhatian besar pada kuda-kuda kesayangan yang jadi peliharaan. Bermanfaat bagi orang sekitar dengan menciptakan lapangan pekerjaan. Menyayangi anak-anak dengan mengajarkan cara menghadapi dan menyikapi masalah sejak kecil.



Billy Mamola

Tante Nila hobi mengoleksi barang-barang dekoratif dan vintage. Sandalwood yang berkonsep boutique hotel yang dibangun Om Billy menjadi ruang yang cukup sebagai tempatnya menyalurkan hobi.

Tante berparas cantik ini dulunya seorang pengusaha fashion terkenal di Bandung dengan produk sepatu bermerk Justine. Tak heran jika hotel dan café bisa tampil manis berkat jiwa fashionable yang dimilikinya.

Om Billy dan Tante Nila adalah dua pribadi yang saling melengkapi. Kekompakan mereka berbuah manis. Keindahan dan kenyamanan boutique hotel adalah buktinya.

Bersama Om Billy Mamola & Tante Nila Purnamasari

Sejak tahun 90-an Om Billy membuat 3 sumur resapan di kawasan hotel agar air hujan tidak terbuang percuma. Air tersebut digunakan untuk berbagai keperluan seperti mengisi kolam renang dan lainnya. 26 tahun silam ditanamnya pohon pinus di samping kandang kuda agar halaman belakang rumah tetap hijau dan teduh. Meski kini kandang kuda telah dipindahkan, pohon pinus tetap dibiarkan tumbuh di sisi hotel yang dibangunnya. Tata bangunan hotel tidak terlepas dari prinsip keselarasan antara rumah/hotel dengan alam sekitarnya sehingga air, sinar mentari, udara segar, dan indahnya pemandangan alam Lembang bisa bermanfaat untuk hidup dan kehidupan.

Sejak pertama kali masuk hotel saya menjumpai foto dan lukisan seorang pria sedang menunggang kuda terpajang di beberapa tempat. Dugaan saya benar bahwa itu adalah foto sang pemilik dan pemiliknya adalah seorang yang suka menunggang kuda.

Seperti yang disampaikan sendiri oleh Om Billy kepada saya, dia sudah memiliki minat belajar menunggang dan memelihara kuda sejak umur 6 tahun. Lalu ia mempelajari karakter kuda, baik secara autodidak, maupun dengan menambah pengetahuan tentang seluk-beluk peternakan kuda di beberapa negara seperti Jerman, Inggris, Australia, Swiss dan Belanda.


💜 Liburan keluarga  💜
💜 Liburan keluarga bersama buah hati 💜

Om Billy adalah putra kelahiran Bandung berdarah campuran Manado, Cina, dan ada keturunan Belanda. Tahun ini usianya 64 tahun, sama seperti usia ayah saya, jika masih hidup. Kagum dan hormat saya padanya seperti pada seorang ayah.

Perhatian dan energi yang dimilikinya dalam memelihara dan melatih kuda sangat besar. Seperti yang dituturkan kepada saya, juga kepada orang lain yang pernah bertemu dengannya, bahwa ia pernah membantu melatih polisi agar dapat menunggang kuda dengan baik.

Bahkan, lima belas ekor kudanya ditempatkan di kawasan hutan Cikole untuk membantu mendeteksi bencana alam lebih dini. Om Billy juga memimpin horseback SAR (search & rescue) dan menjadikan Sandalwood sebagai base camp sementara.



Sofa bersejarah bagi Om Billy dan Tante Nila, sofa pertama sejak awal menikah


Ada saat di mana Om Billy menyentuh pundak Alief, bagai kakek pada cucunya sendiri. Beliau bicara tentang mengenal alam dan cara menghadapi masalah lewat perjalanan-perjalanan keluar rumah. Tentang anaknya yang pernah dikirim sendirian ke negeri jauh, di Timur Tengah, agar belajar mandiri dan berani. Kemudian tentang cucu-cucunya yang masih kecil, yang sudah diajarkan cara bepergian sendiri dengan angkot.

Point penting dari cerita-ceritanya itu: “Kamu harus mengenali masalah, dan belajar cara menghadapinya dengan berani.”

Om Billy juga sosok penyayang, terlebih kepada anak-anak. Ia sangat bersemangat ketika bercerita tentang pengalamannya menjadi guru tamu di sebuah sekolah alam. Betapa itu menjadi pengalaman yang membuatnya sangat bahagia.

Kakek tampan yang pernah meraih juara I Supersemar Cup kejuaraan berkuda Indonesia ini kemudian menunjukkan ponselnya kepada kami. HP nya tampak kecil dan ‘ketinggalan’ dibanding HP Android anak saya yang merek A itu. Katanya, itu HP baru. Pengganti HP yang telah rusak karena telah dipakai sekian lama. HP itu hanya digunakannya untuk menelpon dan menerima telpon. Bukan untuk bersosial media karena ia sengaja tidak membuat akun sosmed di manapun. Om Billy juga tidak menggunakan HP untuk mencari tahu sesuatu di mesin pencari. Baginya, hidupnya ada di dunia nyata. Di sanalah tempat nyata untuk berkarya, bertemu orang-orang, menjalin relasi, dan menjadi bermanfaat untuk orang lain. Kesuksesannya saat ini adalah bukti nyata atas konsistensi kehidupan sosialnya di dunia nyata.


Ruang duduk di gedung 3

Om Billy juga bercerita tentang bagaimana ia menjalani keseharian. Tidur lebih awal, bangun lebih pagi, lalu pergi ke hutan dan ranch. Memberi makan dan memeriksa keadaan kuda-kuda. Setelah itu baru balik ke rumah (sandalwood), mandi, lalu makan pagi bersama istri. Siang hingga petang melakukan pekerjaan dari rumah. Sorenya bersantai sambil membaca buku untuk menambah wawasan.

Soal prestasi berkuda, tak ada keraguan lagi. Om Billy pernah memperoleh penghargaan kehormatan dari pemerintah Kabupaten Sumba Timur atas prestasinya menciptakan rekor Indonesia berkuda terjauh dan terlama dengan 602,2 km selama 12 hari berturut-turut.

Kini usianya memang tak lagi muda, tapi masih berjiwa muda, dan tidak pernah berhenti untuk berkarya. Saya mengagumi semangatnya, gaya hidupnya, dan caranya memandang hidup.

Selalu berbuat yang terbaik, bermanfaat untuk diri sendiri apalagi bagi orang lain. Itulah prinsip hidup Om Billy.
 


Banyak spot foto cantik

Dengan merintis dan mendirikan De’Ranch sebagai tempat berkuda sekaligus objek wisata berbasis peternakan, Om Billy mengajak masyarakat untuk melestarikan ternak kuda. Kabarnya, bulan April ini De Ranch punya fasilitas bermain baru dan seru yang bisa dicoba oleh seluruh keluarga.

Lain waktu, kalau saya liburan lagi di Sandalwood, De Ranch bakal saya jadikan tempat untuk beraktivitas selama liburan di Lembang. Semoga kembali lagi di rumah liburan penuh inspirasi ini, Sandalwood!



Rumah adalah tempat di mana hati bertahta

Kenangan dari Lembang 

Menikmati momen kebersamaan dengan keluarga pada akhirnya bukan sekedar pindah tidur untuk melihat dan merasakan suasana baru, melainkan juga mendapatkan banyak ide, hikmah hidup, pengalaman, dan dorongan kuat untuk kembali melanjutkan cita-cita besar yang pernah dibuat ketika awal berkeluarga.

Sejenak di Sandalwood Hotel adalah tentang rumah liburan yang nyaman, juga inspirasi dari pribadi penuh cinta seorang Billy Mamola, owner hotel sekaligus founder De Ranch Lembang yang darinya terpancar semangat tak pernah padam untuk berkarya dan membagi sukacita.

Liburan bahagia penuh makna 😊
  
Untuk informasi rate kamar, wedding package, meeting package, dan gathering package, bisa dibaca pada postingan saya sebelum ini, dan silakan hubungi contact berikut untuk keterangan lebih lanjut :
Sandalwood Boutique Hotel
Jl. Sesko AU no. 1, Lembang
Kabupaten Bandung, Jawa Barat 40391
Reservation: 022-2788070
Email: sandalwood_lembang@yahoo.com
www.sandalwoodlembang.com


Inspirasi Billy Mamola