Menengok Dua Objek Wisata Religi Khas Wong Kito

Mengunjungi Objek Wisata Religi Kota Palembang

Palembang adalah kota tua yang layak berbangga diri. Di Kota yang pernah menjadi pusat peradaban Kerajaan Sriwijaya ini terdapat banyak objek wisata bernilai tinggi. Dua di antaranya adalah Museum Alquran Raksasa dan Kampung al-Munawar. Bagi wisatawan muslim seperti saya, kunjungan ini tentu tak hanya memberikan pengalaman yang berkesan, tetapi juga membekaskan nilai spiritual.

kampung al munawa
Kampung Arab al-Munawar Palembang
Museum Alquran Raksasa 

Bayt Al Qur’an Al Akbar merupakan mahakarya asli Wong Kito berupa Alquran yang dipahat di permukaan kayu tembesu berukuran panjang 177 centimeter dengan lebar 140 centimeter dan ketebalan 2,5 centimeter. 

Museum Alquran raksasa berlokasi di Jalan M. Amin Fauzi, Soak Bujang RT. 03 RW. 01, Kelurahan Gandus, Kecamatan Gandus, Palembang. Tepatnya di Pondok Pesantren Al Ihsaniyah Gandus Palembang. Bagi wisatawan yang berasal dari luar kota, akses menuju lokasi bisa dimulai dari Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II. Selanjutnya naik transportasi umum seperti Trans Musi, turun di Halte Jembatan Musi II, kemudian dilanjut naik angkot jurusan Gandus. 

Sesi terakhir perjalanan yang saya tempuh melewati jalan desa yang tidak mulus dengan pemandangan rumah-rumah yang berdiri di atas rawa. Setelah menemukan papan nama bertuliskan Pondok Pesantren Al Ihsaniyah, mobil belok ke kanan, lalu lurus. Tak lama setelah itu, kami pun sampai. Di kawasan ponpes yang didirikan oleh DR. H.Marzukie Ali ini terdapat area parkir dan pondok-pondok tempat penjualan cinderamata. Museum berada di seberang ponpes, bersebelahan dengan rumah pemiliknya. Untuk masuk, kami membayar tiket sebesar Rp 5.000 per orang.

Bangunan museum tampak seperti rumah tinggal pada umumnya. Namun, siapa sangka di dalamnya tersimpan karya seni yang mendunia. Setelah melepas alas kaki, saya memasuki museum. Di dalam, mata langsung disambut Alquran raksasa berbentuk lembaran kayu yang dipasang seperti jendela di bangunan bertingkat lima. Rasa takjub langsung memenuhi ruang hati. Terdengar lantunan ayat suci Alquran yang diputar dari MP3, membuat suasana museum kental dengan nuansa religi. 


alquran raksasa di palembang
Museum Alquran Raksasa di Palembang

Sekilas Sejarah Pembuatan Alquran Raksasa

Menurut sejarahnya, gagasan pembuatan Alquran terbesar tercetus pada tahun 2002 setelah Ustad H.Syowatillah Mohzaib merampungkan pemasangan kaligrafi, pintu dan ornamen Masjid Agung Sultan Mahmud Badaruddin II, Palembang. Sebagai pecinta seni kaligrafi dan ukiran khas Palembang, serta demi kelestarian seni, gagasan tersebut dikerjakan dan akhirnya satu keping lembaran kaligrafi Alquran (Surat Al-Fatihah) berhasil dibuat. Tepat pada tanggal 1 Muharram 1423/15 Maret 2002, atas inisiatif H. Marzuki Alie dan pengurus Masjid Agung Palembang, satu keping Alquran raksasa yang terbuat dari kayu tembesu berukuran 177cmx140cm dengan ketebalan 2,5cm, dipajang pada acara bazar peringatan tahun baru Islam yang diketuai oleh H. Marzuki Alie sendiri.

Proses pembuatan Alquran ukir dikerjakan di kediaman Ustad H. Syofwatillah, di jalan Pangeran Sido Ing Lautan Lr Budiman, No. 1009 Kelurahan 35 Ilir Tangga Buntung Palembang. Awalnya, pembuatan Alquran raksasa diperkirakan selesai tahun 2004, tapi meleset dari target karena terkendala dana dan bahan kayu tembesu yang sudah mulai langka. 


Alquran ukir raksasa dibuat dengan tujuan utama untuk memuliakan Alquran dan mensyiarkan Islam. Supaya awet dan tahan lama, maka digunakanlah kayu tembesu. Sedangkan ornamen-ornamen ukiran khas Palembang dibuat untuk menambah keindahannya, sekaligus untuk mempromosikan budaya dan tradisi Kota Palembang dalam karya seni ukir yang sudah ada sejak zaman Kerajaan Sriwijaya dan masa Kesultanan Palembang Darussalam.

Teknik pengukiran yang rumit dan tidak bisa dikerjakan sendirian, menyebabkan lamanya proses pembuatan. Proses pembuatan mendapat pengawasan yang ketat dan melibatkan berbagai keahlian personil dalam tim. Dari sebelum diukir di atas papan, ayat-ayat Alquran terlebih dahulu ditulis di atas kertas karton, lalu tulisannya dijiplak ke kertas minyak. Sebelumnya, tulisan ayat Alquran di atas karton dikoreksi dulu oleh tim pentashih yaitu para ulama ahli Alquran dan para hafidz sehingga jika terjadi kesalahan langsung diperbaiki. 


Pembuatan Al Quran Al-Akbar rampung pada tahun 2008. Ayat Alquran dari juz 1 hingga juz ke-30 berhasil diukir dalam 630 halaman atau 315 lembar kayu. Kurang lebih ada 40 meter kubik kayu yang digunakan. Biaya pembuatan keseluruhan menghabiskan dana sekitar 2 miliar. Peluncurannya dilaksanakan pada hari Kamis tanggal 14 Mei 2009 di Masjid Agung Palembang oleh Kepala Departemen Agama Provinsi Sumatera Selatan, H.Najib Haitami. Hadir dalam peluncuran para hafizh dan hafizhah se-Sumatera selatan.

Alquran ukir raksasa dipublikasikan pertama kali oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono pada tanggal 30 Januari 2012. Peresmiannya bertepatan dengan momentum Konferensi Persatuan Negara-negara Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Kota Palembang yang dihadiri oleh sekitar 51 negara Islam di dunia. Disamping peluncuran, dilakukan juga penandatanganan prasasti Al Quran Al Akbar di hadapan peserta konferensi PUIC. Seluruh peserta yang hadir saat itu sepakat menobatkan Al Quran Al Akbar sebagai satu-satunya Alquran terbesar di dunia dari jenis ukiran kayu.

Untuk melihat lebih banyak lagi lembaran kayu, kami masuk ruang galeri. Di balik lembaran kayu yang paling depan terdapat banyak lembaran kayu lainnya di bagian belakang. Beberapa pengunjung tampak berpindah dari lembar kayu yang satu ke lembar lainnya. Saat itu, pengunjung hanya bisa melihat-lihat galeri di lantai dasar. Tangga menuju lantai 2 dan 3 sedang ditutup, sepertinya terkait faktor keamanan.

Kemegahan dan keindahan Al Quran Al Akbar mengundang decak kagum bagi setiap pengunjung yang melihatnya. Tak heran bila Alquran raksasa ini menjadi terkenal di seluruh penjuru Tanah Air. Tak hanya Museum Rekor MURI saja yang memberi pengakuan, bahkan dunia internasional pun mengakuinya sebagai Alquran Ukir terbesar di dunia yang pernah ada saat ini. 


Kampung Arab al-Munawar

Kampung al-Munawar tak hanya memesona dari segi bangunan lawasnya, tapi juga dari rekam sejarah dan budaya. Komunitas Arab yang tinggal di kampung ini adalah bagian dari kekayaan sejarah, budaya, dan intelektualitas kota Palembang. Mereka telah memberi banyak andil dalam perkembangan kota Palembang.

Kampung Arab al- Munawar merupakan salah satu kampung Arab paling termasyhur di Indonesia. Terletak di Kelurahan 13 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu II, Kota Palembang, atau di sisi bagian Ulu (Selatan) Palembang. Kampung ini tepat berada di pesisir Sungai Musi, tak jauh dari Jembatan Ampera. Untuk mencapai lokasi kampung Arab bisa melalui dua jalur. Jalur pertama lewat darat, jalur kedua lewat sungai dengan menggunakan perahu.

Saya berangkat menggunakan perahu sewa dari Dermaga 16 Ilir Palembang dengan waktu tempuh sekitar 10 menit. Kampung al-Munawar mudah ditemukan karena bagian tepinya yang menghadap ke sungai terpampang tulisan ‘al Munawar’ dan logo ‘Pesona Indonesia’. Ada pijakan kayu untuk mendaratkan kaki, semacam jembatan penghubung menuju daratan. Pagar hitam dan bangku-bangku kayu bercat oranye kecoklatan di jembatan bersanding dengan pot-pot bunga berbentuk kubus, menjadi bagian yang langsung menarik perhatian. 

Kampung Arab alMunawar

Ada rasa nyaman kala melihat bagian tepi sungai al-munawar yang tertata rapi. Nuansa tradisional dibalut dengan sentuhan modern membuat tempat ini menarik untuk dipandangi. Pada sebuah belokan, sebelum kaki menyentuh daratan, ada sebuah Musala yang lokasinya menjorok langsung ke permukaan sungai. Beribadah di sini tentu punya sensasi yang sangat berbeda. Sesampainya di daratan, kami melewati jalan tidak lebar menuju sebuah lapangan, pusat Kampung Al Munawar. Di sini, nuansa tradisional dan kota tua mulai terasa kental.

Di sekitar lapangan yang menjadi pusat kampung Arab terdapat rumah-rumah panggung berusia ratusan tahun yang memiliki keunikan berbeda antara satu dan lainnya. Salah satunya milik Pak Muhammad al-Munawar, Ketua RT yang juga merupakan generasi keenam keturunan langsung leluhur kampung: Habib Hasan al-Munawar. Cicitnya cicit Habib Hasan. Beliau adalah orang pertama yang saya jumpai di sini dan darinya saya memperoleh banyak cerita. 




Dinamakan Kampung Arab karena di sinilah awal para pedagang-pedagang arab bermukim. Sedangkan nama Al-Munawar diambil dari seorang tokoh yang dihormati warga setempat yakni Habib Abdurrahman Al Munawar. Ia adalah salah satu tokoh yang menyebarkan agama Islam di masa awal masuknya Islam ke Palembang. Bagi orang Palembang, nama al-Munawar sudah sangat familiar sejak dulu, tapi baru belakangan mulai ramai dikunjungi wisatawan. Tak hanya weekend, tapi juga weekdays.

Sebagai sebuah kawasan yang cukup tua di Palembang, Kampung Arab memiliki delapan rumah tua berusia hingga lebih dari 250 tahun. Terdapat rumah panggung tradisional bergaya limas, ada pula rumah dengan arsitektur yang kental dengan nuansa Timur Tengah dan Eropa. Rumah-rumah tersebut masih kokoh berdiri hingga kini. Rahasianya ada pada kayu yang dipakai sebagai material bangunan yaitu kayu Ulin. Nuansa vintage dan eksotis dari Kampung Arab membuat saya bagai tersedot ke masa lalu.



Sebagian besar rumah-rumah tua telah dihuni secara turun-temurun, sehingga lumrah bila dalam satu rumah dihuni oleh beberapa kepala keluarga. Pak Muhammad al-Munawar mengajak kami melongok ke dalam rumah Ibu Lathifah al-Kaab, yang masih satu garis keturunan dengan Pak Muhammad. Ibunya Bu Lathifah bermarga al-Munawar. Namun karena menikah dengan pria bermarga al-Kaab, Bu Lathifah dan seluruh saudaranya menyandang nama keluarga al-Kaab.

Rumah Bu Lathifah merupakan salah satu dari delapan rumah asli Kampung al-Munawar yang dibangun di era Habib Hasan. Rumah-rumah tersebut dibangun untuk anak-anak Habib Hasan, dan kemudian menjadi cikal-bakal kampung. Meski berusia nyaris 300 tahun, bangunan lawas dan eksotik ini masih tampak kokoh dan gagah. Nuansa Eropa terlihat dari pintu-pintu dan jendela yang berukuran besar dan tinggi. Bahkan, lantai rumahnya bukan marmer biasa, melainkan granit yang didatangkan langsung dari Italia. 

Salah satu rumah tua di Kampung al-Munawar



Terdapat Madrasah Ibtidaiyah (MI) Al-Kautsar, tempat belajar anak-anak Kampung Arab Al Munawar dan sekitarnya. Sebagaimana kampung tua, bangunan madrasah tersebut juga mempunyai bentuk bangunan yang vintage dan eksentrik. Di Kampung ini, Jumat adalah hari libur, termasuk untuk kegiatan sekolah. Uniknya, di hari Minggu justru sekolah tetap berlangsung. Didekat madrasah juga terdapat sebuah klinik yang dikelola langsung oleh warga setempat.

Ada sekitar 30 kepala keluarga yang mendiami Kampung Al Munawar. Mereka semua mempunyai tali darah persaudaraan karena aturan yang tidak membolehkan mereka untuk menikah dengan orang di luar kampung. Namun aturan itu hanya berlaku untuk para perempuan saja. Para pria tetap boleh menikahi perempuan di luar kampung namun tetap saja darah Arabnya masih kental dari garis keturunan Ayah. Penduduk kampung Arab umumnya berprofesi sebagai pedagang.



Di masa lampau Palembang menjadi salah satu kota tujuan utama para pendatang Arab, selain Aceh dan Pontianak. Mereka adalah pendatang Arab yang benar-benar meninggalkan tanah kelahirannya dan menetap di Palembang, bukan hanya mampir di pelabuhan Palembang dan menetap sementara. Para keluarga Arab telah menetap di Palembang sejak tahun 1732. Di antaranya adalah marga Al-Habsyi, Bin Syihab, As-Saqqaf, Al-Jufri dan Al-Munawar. Sebagian besar pendatang Arab di Palembang berasal dari keluarga Sayyid, yang diyakini sebagai keturunan langsung pendiri agama Islam.

Singkat kata, pendatang Arab yang tiba di Palembang adalah orang Arab dengan garis keturunan terhormat, dari kelas ekonomi menengah, dan terdidik dengan baik. Kombinasi ketiga hal ini yang membuat komunitas Arab di Palembang berkembang pesat secara ekonomi dan membuatnya menjadi sangat penting.



Kampung Al-Munawar dapat dikunjungi setiap hari. Untuk kegiatan wisata dapat dilakukan mulai dari jam 7:30 pagi sampai 5 sore. Hari Jumat adalah hari libur di kampung ini sehingga kegiatan wisata juga tidak diizinkan. Jika dulu bebas biaya, kini Kampung Al-Munawar sudah mematok tiket sebesar Rp 2.000 untuk tiap wisatawan yang datang berkunjung.

Nilai-nilai Islam menjadi atmosfer utama di Kampung Arab. Karena itu, para warga menyediakan sarung bagi laki-laki, serta penutup aurat bagi perempuan. Hal tersebut menunjukkan norma dan budaya kesopanan yang selalu dijaga, baik oleh warga setempat maupun wisatawan yang berkunjung. Dalam moment-momen khusus seperti Tahun Baru Islam, Maulid Nabi, dan Ramadhan, warga kampung Arab menggelar berbagai acara budaya seperti kesenian gambus. Inilah yang juga menjadikan Al-Munawar sebagai salah satu lokasi wisata religi terbaik di Palembang. 




Kampung Arab Al-Munawar tetap terjaga kelestariannya meskipun sudah berusia ratusan tahun. Sejak tanggal 11 Februari 2017, Kampung Al Munawar resmi sebagai destinasi wisata budaya dan religi di Palembang. Ke depannya, sejumlah rumah tua juga akan diplot sebagai homestay demi menyambut perhelatan Asian Games 2018 dan MotoGP. Kampung bersejarah nan unik ini termasuk luar biasa karena dari hulu dan sepanjang Sungai Musi, bergulir keberagaman budaya. Indonesia tentu bangga memiliki kampung al Munawar. 

Wisata Religi Khas Wong Kito dimuat di Majalah Intisari edisi Agustus 2017


**

Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Agustus 2017
Semua foto oleh Katerina www.travelerien.com

Tiada Resah di Pulau Sebesi

Pesona Pulau Sebesi
 
Pulau Sebesi Lampung
Amuk Krakatau di Selat Sunda pada 27 Agustus 1883 turut menghabisi kehidupan di Pulau Sebesi. Sebuah pulau yang berjarak dua jam perjalanan dari Gunung Krakatau. Saat ini, setelah 134 tahun prahara yang mengguncang bumi tersebut, Pulau Sebesi menjelma menjadi pulau yang subur, banyak dikunjungi pelancong, dan menjadi gerbang ke cagar alam Gunung Anak Krakatau.

Hari Kamis (25/8/2017), dua hari jelang peringatan letusan dahsyat Krakatau, tujuh kapal menyeberang ke Pulau Sebesi, melakukan perjalanan selama 2 jam dari Dermaga Bom, membawa sekitar 180 peserta tur Krakatau 2017, salah satunya saya. Tur ini merupakan rangkaian kegiatan Festival Krakatau 2017 yang ke-27, event akbar yang rutin digelar tiap tahunnya. 


Bagaimana saya bisa ikut serta dalam tur ini, ceritanya dapat di baca pada tulisan sebelumnya : Ketika Genpi Banten Mengirimku ke Lampung.
Dermaga Pulau Sebesi

Selamat Datang di Pulau Sebesi

Pukul 11.45 WIB kami tiba di Pulau Sebesi. Siang sedang panas-panasnya. Di dekat gerbang masuk pulau, drum band anak-anak Pulau Sebesi menyambut kedatangan. Melodi riang dan penuh semangat terdengar nyaring, mengiringi ratusan langkah kaki yang berjalan meninggalkan dermaga, menuju Dusun Inpres. Saya tak bergegas menuju home stay seperti yang lain, sengaja memelankan langkah, mengamati suasana. Ada dermaga baru sedang dibangun, anak-anak berenang dekat pantai, dan perahu-perahu nelayan yang menepi. Saya mengikuti kawan-kawan Genpi luar Lampung, belok ke warung, tak melewati barisan drum band dan para penyambut.

Para pemain drum band bubar setelah rombongan terakhir lewat. Yudi (Genpi Jateng) meminta mereka berkumpul untuk difoto. Ide bagus, saya jadi bisa ikut memotret anak-anak itu dalam kondisi tidak sibuk. Setelah itu, kami kembali ke warung, memesan minuman. Secangkir teh panas meluruh pahit di mulut, sisa muntah saat mabok kapal. Lima bulan sebelumnya saya pernah berada di warung ini, bersama suami, membeli minuman. Ah iya, ini kedua kalinya saya menjejak Pulau Sebesi.


Drum band anak-anak menyambut kedatangan peserta tur Krakatau

Terima kasih adik-adik :)

Pulau Sebesi Dulu, Gunung Anak Krakatau Kemudian

Beberapa tahun lalu, pertama kali saya mendengar nama Pulau Sebesi dari Nurul Noe (travel blogger). Ternyata, bersama Nurul pula pertama kali saya melancong ke Pulau Sebesi. Dan itu telah terlaksana pada bulan Maret 2017, lima bulan yang lalu. Sekarang saya kembali dalam acara dan dengan rombongan yang berbeda. Bagaimana dengan rasa? Agak beda, karena saya berangkat bersama orang-orang yang baru saya kenal. Tapi ini menarik, saya mendapat pengalaman baru.

Tur Krakatau di Festival Krakatau tahun ini memang beda dari gelaran tahun-tahun sebelumnya. Peserta diajak menginap di Pulau Sebesi terlebih dahulu, baru mendaki Gunung Anak Krakatau pada keesokan hari.

Pulau Sebesi terletak di wilayah Desa Tejang, Kecamatan Rajabasa, Kabupaten Lampung Selatan. Luas pulau ini 2.620 hektare dengan daratan tertinggi 884 meter di atas permukaan laut. Panjang garis pantainya 19,55 kilometer. Di sekitar Pulau Sebesi terdapat pulau-pulau kecil, di antaranya Pulau Sebuku, Serdang, Legundi, dan Laut Gugusan Krakatau. Menurut informasi yang saya baca, penduduk Sebesi berasal dari Jawa (Jawa Tengah dan Banten). 32,2 persen berasal dari Lampung, dan sisanya berasal dari Batak, Betawi, Padang, Palembang, dan Bima. Secara otomatis budaya Jawa Serang (Banten) dan Lampung menjadi budaya yang dipakai di Pulau Sebesi.


Mewakili Genpi Banten bersama Genpi Jateng, Genpi Sumbar, Genpi Sumsel

Villa Pemda di Tepi Pantai

Selama di Pulau Sebesi, peserta tur Krakatau diinapkan di villa milik Pemda dan rumah milik warga yang disulap menjadi homestay. Kami para wanita ditempatkan di villa Pemda. Di sini ada 6 villa. Tiga villa disediakan untuk wanita, 3 villa lain campur (cewek cowok). Masing-masing villa bisa ditempati sekitar 8-10 orang. Berhubung kami (saya, Ayu, Eca) tiba belakangan, masing-masing villa untuk wanita hanya tersisa untuk 1 orang saja. Otomatis kami bertiga tidak bisa bersama dalam 1 villa. Tapi rejeki itu datang ketika seseorang memanggil dari kamar yang menghadap pantai, yang isinya campur. Katanya, kamar mereka masih bisa muat untuk 3 orang lagi. Alhamdulilah akhirnya bisa bertiga dalam 1 villa.

Villa yang kami tempati memang lebih besar. Ada 8 tempat tidur. Kasur-kasurnya tebal dan hangat. Kami satu villa dengan sepasang orang tua (suami istri) yang datang bersama anak bujangnya. Yang lainnya dari media, TV, dan netizen Lampung. Total ada 3 laki-laki dan 6 perempuan. Ayu dan Eca satu kasur, saya sendiri. Ada 6 kipas angin terpasang di dinding, semua berfungsi dengan baik. Jendela dan pintu kaca villa menghadap ke laut, menyuguhkan pemandangan keluar yang menyegarkan. Kamar mandinya hanya satu, menggunakan kloset duduk. Air bersihnya banyak. Halaman villa bersih hingga ke pantai, dilengkapi bangku-bangku untuk duduk. Cukup nyaman.


1 villa 8 tempat tidur

Cottage No. 3

Pantai depan villa

Acara Bebas

Makan siang terhidang, menunya masakan rumahan ala penduduk Pulau Sebesi. Sederhana, tapi nikmat. Soal rasa, ada yang bilang rasanya biasa banget, ada yang bilang cukup, ada yang bilang jumlahnya kurang banyak. Hmm…saya tak bisa komentar banyak, hanya berucap Alhamdulillah disediakan makan. Dalam keadaan lapar dan tak ada pilihan, citarasa tak lagi saya pedulikan. Terima kasih buat warga desa yang sudah masak untuk kami.

Sore tak ada acara dari panitia. Peserta bebas mau lakukan apa. Mau keliling pulau dengan jalan kaki atau pun motoran, menyeberang ke Pulau Umang untuk snorkeling, main-main di pantai atau kebun, bebas saja. Teman satu villa, Bang Jek (akun medsosnya kakak zack) mengajak keluar. Katanya mau lihat-lihat suasana dusun sambil hunting foto. Ikut serta Lia dan Cindar. Saya tertarik, langsung gabung. Ayu dan Eca tidak, mereka istirahat. Jadilah sore itu saya menghabiskan waktu bersama 3 orang itu. Kawan baru, yeay!

Menu makan siang: Sayur asem, ikan goreng, teri pedas, sambal, lalapan, kerupuk

Keliling Dusun Inpres

Lima bulan lalu (Maret 2017) saat berkunjung ke Pulau Sebesi, saya sama sekali tidak menjelajah daratan Sebesi. Kami banyak di laut, snorkeling, dan main di sekitaran pantai saja. Masuk villa langsung istirahat, tidak kelayapan. Dan sekarang, waktunya melihat pedalaman, menyaksikan keindahan hidup masyarakat pulau, untuk sebuah pengalaman yang ternyata tak akan pernah disesali.

Ada empat dusun di pulau ini, yaitu Dusun Inpres, Regahan Lada, Segenom, dan Bangunan. Dusun Inpres adalah dusun yang menjadi tempat kami bermalam. Kami berkeliling di Dusun Inpres, jalan kaki hingga ke areal perkebunan. Di dusun ini penduduknya ramai, banyak rumah yang sebagian besar sudah permanen, berbahan beton, tapi ada pula yang masih berbahan kayu. Tak jarang di depan rumah terhampar jemuran kakao yang sudah mengeriput dan berwarna kecoklatan. Terdapat fasilitas pendidikan, seperti TK Swadipha, SD Negeri Tejang, SMP Swadipha, dan SMA Kelautan Swadipha. Untuk fasilitas kesehatan, saya tidak melihat adanya bangunan rumah sakit. Dengan jumlah penduduknya yang ramai, serta adanya fasilitas tersebut, dusun ini cocok disebut sebagai "kotanya" Sebesi.

Anjing-anjing kerap melintas, berkeliaran dalam jumlah yang tidak sedikit. Hewan tersebut dipelihara untuk menjaga ternak dan warga. Hewan ternak lainnya seperti kerbau, kambing, dan ayam, juga banyak dijumpai. Kondisi alam di pulau ini ternyata sangat subur. Sejauh memandang, mata dijejali perkebunan penduduk. Berbagai tanaman memenuhi area perkebunan, mulai dari petai, pisang, kelapa, kakao, hingga jagung. 


Jalan-jalan keliling dusun, jumpa ibu-ibu sedang kumpul sore di pondok depan rumahnya

Rumah-rumah penduduk Pulau Sebesi kebanyakan seperti ini

Fasilitas pendidikan

Jalan dusun
Kebun kakao

Tempat Pembuatan Gula Kelapa

Kami menjumpai jalan berbatu yang mempunyai pola segilima, dan sedikit aspal. Pada bagian lain ada yang sedang dipasangi conbloc, sebagian lagi belum. Semakin jalan ke ujung, jalan hanya tanah. Kami tak tahu tujuan, ikut saja kemana arah jalan. Hingga sampai pada sebuah rumah, di perkebunan yang sepi. Di depannya terhampar kakao yang sedang dijemur.

Asap yang muncul dari balik susunan kulit kelapa mengundang perhatian. Ternyata tempat pembuatan gula kelapa. Api dari potongan-potongan kayu menyala, memasak air nira dalam 3 wajan raksasa. Seorang pria bernama Thohir, sedang sibuk mengaduk gula yang masih cair. Kami mendekatinya, berbincang, dan melihatnya bekerja. Pak Thohir mungkin hanya salah satu dari pembuat gula kelapa yang ada di Pulau Sebesi. Kami tak bertanya siapa lagi pembuat gula selain dia. Menurut Pak Thohir, gula merah buatannya dijual seharga Rp 10.000 per kg. Harga tersebut berlaku di Sebesi, jika sudah dibawa keluar pulau, tentu beda lagi harganya. Terlalu murah kah? Lia membeli 1 kilo. Kami tidak.

Jemuran Kakao, punya Pak Thohir, pembuat gula kelapa di Pulau Sebesi

Air nira pohon kelapa sedang dibuat menjadi gula
 
Masih berupa cairan kental
Bentuknya setelah jadi gula kelapa

Bekas Tempat Pembuatan Minyak Kelapa

Kami melanjutkan berkeliling, keluar dari jalan besar, memasuki area perkebunan. Sampai beberapa puluh meter kami menemukan pabrik tua, bekas pabrik pembuatan minyak kelapa. Ada sumur tua dan sisa bangunan-bangunan, semua tak lagi digunakan. Ada semacam tempat tinggal, tapi sudah lama tak dihuni. Ada seseorang sedang di sana, bapak tua, mengijinkan kami melihat-lihat. Di kelilingi oleh pohon-pohon, tempat ini seperti tersembunyi. Tapi, saya menyukai keheningan yang ada. Angin yang berhembus, daun-daun kering yang melayang jatuh, dan sinar matahari yang menerobos dedaunan, menciptakan magis. Menyentuh rasa. 

Bang Jek dengan modelnya: Cindar Bumi - Lokasi: Bekas pabrik minyak kelapa

Sumur tua

Semacam tempat tinggal/kantor pegawai bekas pabrik gula kelapa yang sudah tak ditempati

Di Keheningan Petang

Tak jauh dari bekas pabrik minyak, ada sebuah rumah panggung tinggi, terbuat dari kayu, sendirian dikepung pohon-pohon liar. Tampak telah tua, sendiri merenda hari dalam sepi. Saya membayangkan alangkah mudahnya inspirasi menulis muncul jika berada di tempat ini. Sekitar beberapa meter dari rumah kayu, kami menemukan pantai. Gemuruh ombak terdengar seperti melodi indah yang memanggil-manggil untuk mendekat. Lantas, tatkala mata telah teralihkan dari rumah kayu, birunya laut menyambut.

Ombak. Matahari. Angin. Rumah pohon. Semua bersekongkol mengajak bergelut dalam indahnya petang. Sungguh, kami seperti tersesat di secuil surga yang tersembunyi.

Rumah pohon, tersembunyi di antara pohon-pohon

Ada sebuah villa lagi, tak jauh dari pantai. Berbentuk rumah panggung terbuat dari kayu. Tapi tak ada siapa-siapa di sana. Kami kembali ke pantai. Tampak sebuah pulau kecil di lautan, tak begitu jauh dari Pulau Sebesi. Pulau Umang-Umang namanya. Saya ingat, pulau itu adalah pulau yang pernah saya kunjungi pada bulan Maret lalu, bersama suami. Kami pernah sunset-an di sana. Main air, bergembira. Dan ternyata, sore itu kawan-kawan Genpi (Sumsel, Sumbar, Jateng) ke sana. Mereka berenang dan snorkling. Saya tidak. Tapi saya tidak sedih, karena sudah pernah. Kalau saya ikut mereka, saya justru kehilangan kesempatan berkeliling pulau.

Bang Jek @kakak_zack, Cindar, dan Lia @Nur_lia1 di villa entah milik siapa. Kosong. Dekat pantai.

Buat pelancong yang akan berkunjung ke Pulau Sebesi, cobalah susuri pinggiran pantai mulai dari depan villa Pemda ke arah utara. Pinggiran pantainya sangat indah, masih alami. Hamparan batu karang, pohon tua, dan pasir putihnya menarik untuk dinikmati. Matahari yang terbit dan tenggelam juga menjadi pemandangan yang menawan. Jika punya bujet lebih, bisa minta nelayan setempat untuk mengantar mengelilingi pulau dengan harga sewa perahu Rp 300 ribu.


Dan percayalah, dengan banyaknya hal-hal menarik yang bisa dijumpai di pulau ini, kamu tak akan sibuk dengan hal lain selain menikmati keindahan yang ada. Keindahan hidup masyarakat pulau dan keindahan alam Pulau Sebesi. 

Sebesi terlalu indah untuk dilewatkan dengan mengurusi hal-hal tidak berfaedah.

Tour leader andalan kami nih...Bang Jek.

Di seberang itu Pulau Umang-Umang

Bahagia bisa menikmati keindahan Pulau Sebesi. Kamu juga kan? 😍
Pulau Umang-Umang (Maret 2017)

Malam Banyak Cerita 

 
Sebelum magrib kami sudah kembali ke villa. Ada rasa puas tercipta. Walau tak menjelajah sampai jauh, tetap riang bisa menemukan sebagian kecil ‘isi’ dari pulau ini. Mulai dari penduduknya yang ramah, tempat pembuatan gula kelapa, rumah-rumah kosong di tengah kebun, hingga pantai dengan air lautnya yang jernih dan berwarna biru. Lia memesan buah kelapa, dan kami menikmati kesegaran airnya di teras villa sambil ngobrol santai, menceritakan ulang temuan-temuan selama berkeliling. Petang yang menyenangkan.

Minum air kelapa seusai jalan-jalan jelajah pulau

Waktu berlalu begitu cepat, magrib tiba, malam pun merapat. Esok hari, perjalanan ke Gunung Anak Krakatau akan di mulai. Setelah siang dan sorenya berpencar, malam itu semua kumpul di pendopo villa pemda. Ada acara kecil berupa penampilan seni tari dan pemberitahuan dari panitia dan pihak BKSDA terkait tur GAK keesokan hari. Setelahnya, baru makan malam bersama. Saya senang malam itu, usai makan ada waktu buat kumpul dengan teman-teman dari Lampung. Ada Aries dari Krui, Dwi Rino, dan masih banyak yang lainnya yang selama ini hanya saya kenal di IG, akhirnya bisa jumpa. Ternyata saya sudah lama saling follow2an dengan beberapa dari mereka di IG, pernah berinteraksi juga. Mereka anak-anak muda yang aktif menjelajah keindahan wisata daerahnya, dan rajin mengangkatnya lewat media sosial. Begitulah saya mengenal mereka. Hobi yang sama yang membuat kami bisa saling kenal, dan tur Krakatau membuat kami bisa kopdar. 

Suguhan sebelum makan malam

Tari-tarian

Malam itu, ada dua hal yang saya ingat sebelum naik ranjang untuk istirahat. Pertama, kepastian untuk tidak ikut ke GAK (kembali ke BDL) dari Mas Shafiq (koordinator para Genpi luar Lampung), khusus untuk kami ber-enam. Kedua, “keramaian” terkait ketidakpastian menjejak GAK bagi seluruh peserta tur. Saya fokus pada yang pertama. Yang kedua, hmm… 

Kumpul, makan bareng, ngobrol banyak hal :) (Ki-ka : Bang Jek, Dwi Rino, Lia Aries, dkk)

Sampai Jumpa Lagi Pulau Sebesi

Dusun Inpres Pulau Sebesi kembali sepi. Rombongan tur Krakatau sudah berangkat sejak jam 3 pagi. Mereka mengejar sunrise di Gunung Anak Krakatau. Tak ada kapal yang tersisa, termasuk kapal nomor 2 yang kami tumpangi saat berangkat ke Sebesi. Menurut keterangan, bagi pelancong biasa (bukan tur dalam rangka festival) yang ingin menyeberang ke Gunung Anak Krakatau, harus membayar sewa perahu sebesar Rp 2 juta dan mengeluarkan Rp 2 juta untuk mengurus surat izin masuk ke kawasan Gunung Anak Krakatau. Mahal? Tentu.

Saya berterima kasih pada panitia festival Krakatau pernah mengundang saya jadi peserta tur Krakatau tahun 2015 dan 2016, sehingga bisa mengecap naik GAK tanpa membayar. Baru pada tahun 2017 (bulan Maret) saya membayar sendiri, tapi justru menjadi momen paling berharga, karena saya berhasil menjejak GAK yang ke-3 kalinya bersama suami, orang yang paling ingin saya ajak melihat anak gunung purba yang pernah menggemparkan dunia itu. Bersama suami saya bukan hanya sukses nanjak GAK sampai batas aman, tapi juga snorkeling melihat keindahan bawah laut Pulau Rakata, ‘emak’ Krakatau yang tersisa. Tak terlupakan.

Saat mengikuti Tur Krakatau 2015 - Photo by Yopie Pangkey (In frame: Melly, Encip, Kiki)

Saat mengikuti Tur Krakatau 2016

Trip Krakatau #edukasikonservasi - Maret 2017

Jam 6 kami meninggalkan villa, kumpul di warung dekat dermaga. Warung andalan kami selama di Sebesi. Semangkuk mie goreng dan segelas teh manis, menjadi pengisi perut sebelum perahu membawa kami kembali ke Kalianda. Kami tidak harus menyewa satu kapal karena ada perahu yang berangkat tiap hari membawa penumpang dan barang ke Dermaga Canti di Kalianda. Perahu jam reguler ini biayanya Rp 20 ribu per orang. 

"Sampai jumpa lagi Pulau Sebesi" ^_^

Pagi itu, perahu berkapasitas 35 orang penuh oleh pisang, hasil bumi Pulau Sebesi yang akan dijual ke pemborong di Kalianda.
Pisang-pisang diletakkan dalam perahu, sebagian lagi di atas atap. Ruang untuk duduk di kabin jadi sempit, itu sebabnya teman-teman duduk di atas. Perahu bukan hanya bisa mengangkut penumpang dan hasil bumi, tapi juga sepeda motor. Biasanya ditaruh di atap perahu. Ditegakkan dan diikat dengan tali. 

Saya sendirian, berusaha untuk tidur. Tapi tak bisa tidur, sebab kejadian saat berangkat ke Pulau Sebesi kembali terulang. Saya mabok lagi. Mie goreng dan teh manis keluar semua, perut pun kembali kosong. Dan lagi-lagi, saya melewatkan panorama keindahan laut dan pulau-pulau cantik yang dilewati.

Kabin kapal yang saya naiki saat Tur Krakatau 2016 ini lebih lapang dari kabin kapal yang saya naiki saat Tur Krakatau 2017 (In frame: Omnduut, Riant, Rosanna, Arie, Maman, Yopie Pangkey, Farchan) - Foto by @omnduut
 
Perjalanan 2 jam yang melelahkan. Tapi, 30 menit sebelum sampai di Dermaga Canti saya pulih. Alhamdulillah di waktu yang tersisa saya masih bisa menikmati deburan ombak, angin sepoi-sepoi, dan pemandangan menawan dari jendela kapal yang terbuka. Perjalanan penuh warna ini berakhir. Selanjutnya kami menuju Bandar Lampung, bersiap menyaksikan Parade Budaya Lampung.

Setangkup cerita dari Pulau Sebesi terbawa pulang, tersimpan rapi di hati. Begitu juga sebuah rekaman video dan foto, terangkut dalam hp, jadi "oleh-oleh" penuh kejutan untuk... (bersambung: Parade Budaya Lampung FK 2017).
 
Pesona Pulau Sebesi itu ada.
Resah itu tiada...

Happy traveling 😗 (Gunung Anak Krakatau Maret 2017)



Video di tempat pembuatan gula kelapa: