Melihat Aktivitas Pelabuhan Kota Agung


Rasa penasaran ingin melihat suasana tempat pelelangan ikan di Pelabuhan Kota Agung membuat saya tidak cukup sekali mengingatkan Mas Elvan agar tidak lupa dengan rencana untuk ke sana. Meski telah di-iyakan pada malam harinya, esok paginya sebelum waktu Subuh saya kembali bertanya, “Jadi ke dermaga, kan mas?” Jawaban ‘iya’ yang diberikan kemudian membuat saya seperti diburu-buru untuk segera bersiap. Ada yang ingin saya kejar; matahari terbit. Andai bisa.

Berenam bersama Mbak Evi, Mas Elvan, Mas Ito, Banu, dan Agoenk kami pergi ke dermaga. Penginapan Pelangi dan mereka yang tak ikut serta, mungkin nanti akan kebagian cerita saja. Cerita versi saya tentunya. Ya, ya…setidaknya itu yang terlintas di pikiran ketika mobil mulai berangkat menembus pagi yang sedikit kesiangan.

Jalan menuju pelabuhan tak terlalu jauh, kami melewati jalan yang sama seperti saat hendak makan pecel lele di sebuah warung tenda pinggir jalan. Mobil berbelok ke kiri, melewati terminal Kota Agung. Suasana terminal masih sepi, hanya ada sebuah bus, tanpa seliweran orang-orang. Di depan terminal inilah mobil kami berhenti. Mas Elvan turun. Apa urusannya? Memesan sarapan. Ah, ya, syukurlah. Berarti ada sarapan seusai jalan-jalan melihat pasar ikan nanti. #memang semua dikasih sarapan kok Rien! Hadeeh. 

Di penginapan Pelangi, sebelum berangkat ke pelabuhan


Terminal Kec. Kota Agung, Tanggamus


Sebuah bus di terminal

Dari terminal, mobil kembali meluncur menuju dermaga. Hanya 2 menit saja,  kami pun sampai. Suasana khas pasar ikan mulai terlihat. Mengingatkan saya pada pasar ikan di Pelabuhan Muara Angke, tetapi yang ini lebih kecil. Sesuatu yang sangat kentara bagi indra adalah aroma amis ikan yang menyeruak masuk hidung. Jika saat itu saya sedang hamil muda, niscaya akan hoeks hoeks begitu turun dari mobil. 

Penyambut kami pagi itu tak cuma bau amis ikan, tapi juga tanah becek yang bikin saya harus menghindar sana sini. Asoy pagi-pagi main kotor dan bau tak sedap. Kapan lagi begini? Ditemani kawan-kawan kece, bawa kamera pula, sudah berasa kayak turis nyasar. Diliatin, diheranin… yaaaah GR deh gue. 

Selamat pagi Tanggamus!
 
Mas Elvan, juragan ikan dari Tanggamus :D
Suasana pelabuhan di pagi hari

Baiklah, mari jumpai orang-orang tangguh di pelabuhan ini. Mereka yang bangun sangat pagi menanti kapal nelayan kembali ke daratan. Menyiapkan otot bak Samson untuk mengangkat dan memikul, juga mendorong gerobak penuh bakul-bakul ikan. Dan mereka yang pergi melaut entah berangkat sejak kapan, berteman udara dingin dan hempasan angin, bahkan gelombang yang entah tingginya seperti apa, lalu kembali ke darat membawa berkilo-kilo ikan yang jumlah kilonya saya tak tahu berapa ratus.

Masyarakat pesisir dengan kesehariannya, untuk kehidupan yang terus berjalan dan mesti dilalui. Dermaga ini memperlihatkan denyutnya. Saya merasakannya, sangat dekat. 

ikan segar nih


menawar sisa


ikan kembung tergolek, kehilangan nyawa


Cumi lebay, eh cumi lunglai :))


Bang Zainudin.......Hayati lelah digantung, :)))

Matahari terus naik, sementara langit masih menebarkan warna jingga yang memancing saya untuk menangkapnya. Setelah itu, perhatian saya beralih pada orang-orang yang lalu lalang di dermaga. Wanita bertopi dengan syal di leher, jongkok di dekat meja kayu berisi beberapa ekor ikan yang lesu. Lelaki tua mendorong gerobak. Perahu-perahu tertambat lelah. Kotak-kotak pendingin dekil untuk menjaga kesegaran ikan. Ikan tongkol. Ikan kembung. Cumi-cumi. Bau amis. Kucing kurus mencuri ikan, lari terbirit-birit dihalau perempuan berkupluk.

Kehidupan.

Saat perahu-perahu nelayan merapat di dermaga, saat itu juga terjadi kerumunan. Maka…

Ikan
Ikan
Ikan berlimpah di dermaga.



tertambat lelah


Nelayan kembali dari laut membawa ratusan kilo ikan


Ikan berlimpah


Hanya dua jenis ikan; tongkol dan kembung

Berbakul-bakul ikan segar tiba. Bakulnya disusun dalam gerobak, lalu di dorong ke daratan, ke tempat pelelangan. Di sana, puluhan pria telah berkerumun. Lalu, terjadilah lelang ikan. Ada seseorang yang menyebutkan angka sekian dan sekian. Namun sayang saya tak dapat mendengar dengan jelas berapa saja angka yang disebutkan. Toak yang digunakannya membuat suaranya pecah, atau mungkin kosentrasi saya yang pecah karena tak tahan bau amis? Yang jelas, ikan-ikan itu dilelang tanpa pakai timbang-timbang segala. Sepertinya harga ditakar berdasarkan isi bakul-bakul. Satu bakul sekian. Sekian bakul, maka sekian harganya.

Ke mana saja ikan-ikan itu pergi? Ke rumah-rumah masyarakat Tanggamus, hingga keluar kota. Soal kesegarannya silakan terka, makin jauh melanglang ke luar Kota Agung, akan tetap segar atau justru makin ‘kuyu’? Tapi sudahlah, yang penting si ikan 'menghidupkan' orang-orang :)

Suasana di tempat pelelangan
Seorang laki-laki memunguti ikan yang tumpah
 
Tak sampai lama kami di dermaga, karena beberapa jam ke depannya harus sudah berada di Lapangan Merdeka Kota Agung untuk menyaksikan acara pengetahan adok dan festival budaya Tanggamus. Jadi, cukup sesaat saja menyaksikan lelang ikannya.

Ketika hendak meninggalkan dermaga, terbit tanya dalam hati? Saya sudah makan ikan hasil tangkapan nelayan Kota Agung belum ya? Sudah makan bakso ikan tongkol Teluk Semaka belum ya? Uupsss....

Sempat dapat ini
 
Ini bukti kita sedang di dermaga! :D  *w/ mbak Evi, Mas Elvan, & Banu


Sampai jumpa lagi Teluk Semaka

Sambang Air Terjun Way Lalaan Sambil Makan Durian


Bagaimana jika judulnya makan durian saja tanpa embel-embel air terjun Way Lalaan? Sepertinya lebih cocok, karena acara makan duriannya lebih banyak ketimbang melihat air terjunnya :D

Baiklah, saya awali saja cerita ini dengan perjalanan berkendara mobil dari Talang Padang ke Pekon Kampung Baru. Talang Padang itu perhentian terakhir kami sebelum lanjut makan durian. Di sana kami bertandang ke Rumah Batik Tanggamus. Di sana pula kami berjumpa mas Elvan, koordinator tim medsos selama acara FTS 2015. Nah, Mas Elvan inilah yang mengajak kami makan durian.

Wow Mas Elvan tajir yaaa..
Haha…bukan Mas Elvan sih yang bayarin, tapi atasannya he he 



Waktu tempuh menuju Pekon Kampung Baru sekitar 30 menit saja, tapi seakan berjam-jam lamanya. Sejak diberitahu bahwa kami akan makan durian sepuasnya, kepala saya isinya langsung dipenuhi tentang durian. Jadi banyak membayangkan rasa durian manis dengan aroma khas menggigit. Bayangan-bayangan tentang durian inilah yang bikin saya ingin lekas sampai di Way Lalaan. Makanya perjalanan jadi terasa lama :D

Di mana Way Lalaan?

Menurut keterangan yang saya dapat, objek wisata Tanggamus yang satu ini berjarak sekitar 80 Km dari Kota Bandar Lampung. Sekitar 2 jam waktu tempuhnya kalau tidak pakai acara mampir-mampir segala. Jika dari Kota Agung, ibukota Pemerintahan Kabupaten Tanggamus, jarak Way Lalaan sekitar 8 Km. Air terjunnya sendiri tidak jauh dari jalan raya lintas barat Sumatra (Jalinbarsum) yang menghubungkan Bandar Lampung dan Kota Agung. Letak air terjunnya di sisi kiri jalan, jaraknya sekitar 300 meter. Dari pintu gerbang tinggal masuk, parkir (jika bawa kendaraan), lalu  dilanjutkan dengan berjalan kaki menuruni anak tangga sepanjang 75m.

Kami sampai di lokasi sekitar pukul 17.25 saat petang sudah mendekati tua. Matahari tak lama lagi tenggelam. Alam raya sebentar lagi dirundung gelap. Tak mungkin sepetang itu ada acara main-main air terjun, trekking, apalagi pakai mandi-mandi segala. Jadi acara intinya ya makan durian saja.

Duriaaaaan neeeng

Durian maaaang

Mas Elvan dan teman-temannya langsung belah-belah durian. Satu-satu di belah, satu-satu disuguhkan, satu-satu dicoba. Siapa yang nggak senang melihat buah-buah berduri itu terhampar di hadapan, bukan? Ayo makan duriaaaan.

Eits…ternyata ada yang nggak ikut makan. Siapa dia? Siapa lagi kalau bukan si tampan dari Palembang, Yayan Ruhian! Bwaahahaa…bukan Ruhian, tapi Yayan Haryadi alias omnduut. Saya curiga si Yayan sedang kesambet. Masa iya dia tidak doyan durian? Ya sudahlah Yan, lebih baik kamu tidak ikut makan durian, biar tidak mengurangi jatah #halah :p

Mas Elvan bilang harga-harga durian itu 10 ribuan saja. Murah meriah katanya. Ciyuuuus? 10 ribu itu murah? Weeeks itu mahal tahu. Durian di Lematang kalau sedang musim buah harganya cuma 2-3ribuan haha. #ya sudah Rien sono ke Lematang :p

Duriannya banyak yang manis, sisanya hambar dan anyep. Yang anyep itu mungkin saat makan sambil memandang seseorang yang wajahnya anyep hahaha. Iya kamu yang anyep :D
 
Dari sini 'icip ujungnya' bermula :D


manis


anyep

Kelar makan durian, saya turun ke air terjun. Suasana sudah mulai agak gelap. Sedikit ragu juga mau ke bawah. Syukurlah ada Fajrin yang baik hati mau menemani. Blogger lain tak ikut turun karena tahun lalu saat mereka ikut FTS 2014 sudah pernah melihat. Bukan hanya Way Lalaan 1 yang pernah mereka sambangi, tapi juga Way Lalaan 2. Yup, di sini memang ada dua air terjun. Pada FTS 2014, kedua air terjun ini memang menjadi tujuan kunjung tim media, blogger dan jurnalis. 

Air Terjun Way Lalaan terletak di kaki Gunung Tanggamus dan merupakan air terjun bertingkat dengan jarak satu sama lainnya lebih kurang 200 m.  Air Terjun Way Lalaan 1 terletak di sebelah atas dan Air Terjun Way Lalaan 2 terletak di sebelah bawah. Menurut cerita, akses jalan menuju Way Lalaan 2 lebih sulit, harus menuruni bukit cukup terjal dan saat pulang juga harus melewati jalan itu kembali. Terdengar menantang sih sebenarnya, tapi apa iya harus menghadapi tantangan itu saat suasana mulai gelap? Duh….yang ada kemarin saya malah bergidik. Suasananya mulai terasa seram. Jelang waktu magrib sih hehe.. 

Rasanya pingin nyebur

O ya, konon air terjun yang berasal dari aliran Way Lalaan yang bermuara ke Teluk Semaka ini telah di kenal sejak zaman pemerintahan kolonial Belanda. Sekitar tahun 1937. Dan tangga batu menuju lembah air terjun yang saya titi petang itu dibuat pada masa itu. Hmm…pantas kelihatan tua. Tua tapi gagah #halah…orang kali gagah :p

Ternyata, air terjunnya cakep. Meski nggak tinggi-tinggi amat. Kurang lebih 11-13 meter (entah berapa tepatnya). Kolamnya enak buat berendam. Nggak takut sakit ketimpa tumpahan air. Terbayang segarnya badan kalau mandi di situ. Tapi magrib begitu, berasa mau mandi kembang kalau jadi mandi. Trus nanti ada yang datang menemani mandi, ada suara kecipak air, tapi nggak ada wujudnya. Hii…sereeem. Fajrin! Ayo kita pulang! Haha. Si penakut mulai membayangkan yang enggak-enggak. Ternyata, naik tangganya capek juga. Saya mesti berhenti beberapa kali sambil ngos-ngosan.

Ditemani Fajrin yang baik hati dan tidak sombong


Tangga batu sepanjang 75 meter


Asri dan nyaman


Ada pondok-pondok buat duduk-duduk patjaran #eh


Meski capek naik, dan hanya sebentar saja, saya bisa tangkap keindahan Air Terjun Way Lalaan dalam ingatan dan lensa kamera saya.


INFO:
Air Terjun Way Lalaan terletak di Desa Pekon Kampungbaru, Kecamatan Kotaagung Timur, Kabupaten Tanggamus, Propinsi Lampung.
Fasilitas yang tersedia di sini berupa shelter, mushola, kamar ganti pakaian dan pelataran parkir yang cukup luas. 
  
Nasibmu kulit durian, sungguh merana :D


Sampai jumpa lagi Way Lalaan





Festival Teluk Semaka 2015 

w/ @Yopiefranz @KelilingLampung @elephunx25_85 @Duniaindra @Halim_san @Omnduut @Fajrinherris @Donnaimelda @Eviindrawanto @kikianvirrr @Agoenk_001 @ito07aja @FestTelukSemaka

Mendaki Gunung Anak Krakatau


132 tahun silam, tepatnya tanggal 26-27 Agustus 1883, Gunung Krakatau menggelegar membangunkan penduduk planet. Ledakannya setara 30.000 kali bom atom yang diledakkan di Hiroshima dan Nagasaki pada akhir Perang Dunia II. Getarannya terasa sampai Eropa dan letusannya terdengar hingga sejauh 4.653 kilometer sampai Australia dan Afrika. Sebuah bencana besar yang merubah sebagian wajah bumi. Mengakibatkan Gunung Danan dan Gunung Perbuwatan lenyap, setengah kerucut Gunung Rakata hilang. Terjadi gelombang tsunami setinggi 40 meter yang mengakibatkan puluhan ribuan penduduk tewas. Langit separuh bumi gelap gulita selama dua hari. Debu vulkanisnya menutupi atmosfer bumi, menyebabkan perubahan iklim global sampai setahun berikutnya.

Puluhan tahun kemudian (1927) muncul daratan baru di tengah Pulau Rakata, Pulau Panjang dan Pulau Sertung yang kelak dikenal dengan nama Gunung Anak Krakatau. Gunung tersebut  kemudian dilindungi oleh negara dan diperuntukkan sebagai cagar alam. Kini, setelah berhasil lepas dari wilayah administrasi Provinsi Banten, Gunung Anak Krakatau menjadi kebanggaan warga Lampung. Pemerintah setempat kemudian mengangkat nama besar Krakatau di kancah dunia pariwisata secara internasional, salah satunya melalui Festival Krakatau. Salah satu kegiatan dalam festival yang digelar secara rutin tiap tahunnya ini adalah Tour Anak Krakatau. Tour ini difasilitasi oleh Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Lampung. Dan karena mengikuti tour inilah saya dapat menginjakkan kaki di Gunung Anak Krakatau. 

Kapal-kapal cepat merapat di pulau
Kapal seperti ini yang kami naiki

BERKUNJUNG KE KAWASAN CAGAR ALAM
Sebagai kawasan cagar alam yang dilindungi negara, setiap orang yang hendak berkunjung ke Gunung Anak Krakatau tidak bisa masuk begitu saja. Harus ada ijin dari petugas Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Lampung. Kunjungan pun hanya diperbolehkan untuk tujuan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan terkait flora dan fauna atau dokumentasi liputan khusus. Cagar alam memang bukan sebuah “surga baru”, melainkan sebuah tempat yang dilindungi baik dari segi tanaman maupun binatang yang hidup secara alami di dalamnya agar kelak dapat dipergunakan untuk berbagai keperluan di masa kini dan mendatang.

Selain harus mendapat ijin dari BKSDA, pengunjung yang datang ke kawasan seluas 13.605 hektar ini juga harus mematuhi seluruh aturan yang ditentukan oleh pengelola cagar alam. Setiap orang wajib menjaga kebersihan dengan tidak membuang sampah sembarangan, serta membawa kembali sampah yang dihasilkan selama beraktivitas di lokasi. Keganasan Gunung Anak Krakatau pun mesti diketahui, karena pasir dan tanah yang menyelimuti permukaan gunung terasa sangat panas pada siang hari. Tanpa alas kaki yang tepat, kulit bisa melepuh.

Meski ada bahaya yang mengintai, tetapi sekeliling kawasan gunung berapi ini memiliki pemandangan menawan. Itu sebabnya banyak pejalan yang sedang melakukan tur di Anyer dan Ujung Kulon Banten, menjadikan kepulauan vulkanik ini sebagai tujuan akhir dari perjalanan mereka. Sensasi mendaki gunung legendaris tentu menjadi sesuatu yang menarik untuk dirasakan. Saya pun merasa demikian. Soal ijin, selama tidak untuk melakukan perbuatan yang merusak alam, ijin bisa didapatkan. Jika sudah mengantongi ijin, yuk manfaatkan itu sebaik mungkin. 



BERLAYAR MENGARUNGI SELAT SUNDA
Dari Bandar Lampung, saya bersama beberapa teman traveler berangkat menggunakan bus, menempuh waktu sekitar satu setengah jam menuju Kalianda. Biasanya, traveler yang akan berangkat ke Gunung Anak Krakatau bertolak dari dermaga Canti di Kalianda, namun kali ini dari dermaga Grand Elty Krakatoa di Pantai Merak Belantung.

Perjalanan dilanjutkan dengan berlayar selama tiga jam mengarungi Selat Sunda, menggunakan perahu motor berkapasitas 20 orang. Cuaca cerah, namun angin kencang dan hempasan gelombang sesekali naik turun mengguncang kapal. Selain Tour Anak Krakatau, di waktu yang sama juga digelar Krakatau Jetski Adventure. Suguhan parade jetski menjadi hiburan tersendiri. Kelihaian peserta jet ski ngebut di atas laut Selat Sunda cukup mengundang perhatian.  Kapal melewati beberapa pulau tak berpenghuni, namun ada juga pulau cukup besar dan berpenghuni seperti Pulau Sebesi.

Gunung Anak Krakatau di latar belakang

Sang raja siang telah duduk di puncak singgasananya ketika kapal merapat di Kawasan Cagar Alam Krakatau. Lidah ombak bergulung-gulung membelai bibir pantai yang diselimuti pasir berwarna hitam. Mengundang rasa tak sabar untuk lekas meloncat dari kapal agar segera menjejakkan kaki di permukaan pantainya yang ditutupi pasir hitam. Di kepulauan vulkanik ini tak ada dermaga. Untuk mendarat di pantai, kami harus menggunakan tangga kayu kecil yang mudah bergeser tiap kali diterjang ombak.

Di pelataran gunung terdapat sebuah plang nama bertuliskan “Cagar Alam Krakatau”, terpancang tak jauh dari pantai. Di dekat plang itu, di bawah pohon-pohon, ada beberapa papan informasi yang tertancap di jalan setapak menuju jalur pendakian, berisi sejarah singkat Krakatau yang dapat dibaca sendiri oleh pengunjung. Dan di sana, sekelompok orang dari Pulau Sebesi sedang menampilkan kesenian tradisonal. Irama gendang yang ditabuh mengiringi gerakan pencak silat seorang anak lelaki. Sajian sederhana itu mengundang perhatian. Orang-orang berkerumun menyaksikan. Sementara di pantai sebelah timur, terlihat ada tenda dan warga asing yang sedang asyik bermain air. Mungkin peneliti yang diijinkan masuk oleh petugas BKSDA. Masih di pelataran gunung, terdapat sebuah bangunan berbentuk rumah panggung, sepertinya rumah petugas jaga. Saya sempat masuk untuk menumpang salat.  

Selamat datang di kawasan cagar alam Krakatau


Salah satu dari empat papan informasi


Rumah jaga, tempat istirahat, bisa untuk salat, juga tersedia toilet


MENDAKI GUNUNG LEGENDARIS
Anak Krakatau adalah sebuah kepulauan vulkanik aktif yang terletak di Selat Sunda yang memisahkan Pulau Jawa dan Sumatra dengan status cagar alam. Bagi saya pribadi, bisa menjejakkan kaki di sini tentu menjadi sebuah pengalaman berharga. Namun, hal paling penting dari perjalanan ke tempat seperti ini adalah saat tahu cara menikmati alam, yaitu mempelajari sejarah erupsi dan kemudian mendaki sampai ke puncak Gunung Anak Krakatau.

Pagi hari, tentunya adalah waktu yang sangat ideal untuk mendaki. Di siang hari, udara terasa sangat panas dan menyengat. Apalagi, selepas pelataran hutan pinus menuju puncak tak ada pepohonan sama sekali. Pasir hitam yang menutupi permukaan gunung berapi aktif ini juga tak kalah panas saat dipijak. Tanpa sepatu gunung dipastikan kulit akan melepuh. Tapi apa boleh buat, kami sampai di sana tengah hari, saat udara sedang panas-panasnya. Terpaksa mendaki di bawah hujaman sinar matahari yang tak bisa diajak kompromi. 

Teman-teman medsos, blogger, dan jurnalis


pepohonan sampai sebatas ini saja, selanjutnya berpanas-panas ria

Sulit untuk bersuka cita meniti pasir vulkanik dengan kemiringan 30 derajat. Padahal, puncak Gunung Anak Krakatau tidaklah tinggi, hanya memerlukan waktu setengah jam pendakian.  Saat dipijak, tanah dan bebatuan yang tidak padat memang membuat langkah jadi terasa berat. Pasir-pasir halus berhamburan, debu-debu pun berterbangan. Saat kaki maju dua langkah, kaki merosot mundur satu langkah. Begitu seterusnya.

Lelah dan penat tak begitu terasa, hanya panas saja yang sulit untuk ditahan. Saya lihat banyak orang-orang terus naik, bersemangat seolah pantang turun sebelum mencapai puncak. Dari yang muda sampai tua. Bahkan seorang oma-oma terus berjalan dengan payung di tangan, ditemani seorang opa-opa. Mungkin suaminya. Hebat sekali keduanya. Melihat itu saya jadi tersemangati. Jika mereka mampu, kenapa saya tidak? Semangat saya naik, tapi sayang kaki tidak terus naik. Baru setengah pendakian saya menyerah. Bendera putih pun dikibarkan. Sudahlah kalau begitu, berhenti saja. Saya tak tahan, udara panas membuat saya tersiksa. Ya, saya berhenti. Lalu duduk, foto-foto bersama Ikram dan Dennis, dua pemuda Lampung yang ikut serta dalam pendakian hari itu.
 
Mas Elvan pura-pura gagah, abis itu ngos-ngosan :))  ~ w/ Melly, Ikram, Eltra,


hamparan pasir dan bebatuan


naik naik ke puncak gunung




Meski tidak berhasil mendaki hingga puncak, tapi di ketinggian yang dicapai sudah dapat membuat saya melihat pemandangan laut biru dengan kapal-kapal yang berlayar di atasnya. Terlihat pula atlit-atlit paramotor sedang terbang, melayang di atas pulau-pulau dan laut sekitar Gunung Anak Krakatau. Yang lebih menarik, dari tempat saya berdiri saya bisa menyaksikan penampakan Pulau Rakata dengan dua pulau lainnya, Pulau Panjang dan Pulau Sertung. Sejarah mencatat, lebih dari seribu tahun yang lalu ketiga pulau itu merupakan satu kesatuan gunung besar bernama Gunung Krakatau Purba. Hingga tahun 400-an Masehi gunung meletus sehingga menyisakan kaldera besar di Selat Sunda. Menjadi gugusan gunung api yang terdiri dari Gunung Danan, Gunung Perbuwatan dan Gunung Rakata dalam satu pulau yang kemudian diberi sebutan Gunung Krakatau. 

  
Bersama Encip, Melly, Kiki, dan Pak Indra Kusuma *Photo by +yopie franz 

Pada akhirnya, perjalanan Tour Anak Krakatau membuka mata saya akan kekuatan sebuah gunung api dalam mengubah lanskap, sekaligus menumbuhkan peradaban baru. Banyak kepercayaan masyarakat yang dikait-kaitkan dengan Krakatau. Namun hal yang penting adalah bagaimana setiap orang bisa hidup berdampingan dengan alam.

~~

Sebuah pengalaman berharga.
Terima kasih Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Lampung atas undangannya!
 
Mari pulang....