Sepiring Cerita dari Encim Gendut Bandar Lampung


Bukan satu atau dua kali saya membaca dan mendengar tentang kedai makan Encim Gendut. Lumayan sering, baik dengar langsung dari Mas Yopie Pangkey, maupun dari akun-akun instagram kawan-kawan Lampung. Dan seperti biasa, saya selalu dibuat penasaran oleh cerita tentang tempat kulineran, di daerah mana pun, termasuk di Lampung.

Tempat Makan yang Nyaman
Saya membuka pintu dengan sangat yakin. Tak ragu bahwa kantin yang saya masuki saat itu adalah kantin makan Encim Gendut seperti yang pernah saya dengar dari Mas Yopie. Alamat yang tertera di instagram Encim Gendut pun cocok dengan alamat yang saya datangi.

Setelah masuk saya tak langsung duduk. Berdiri beberapa saat, menyapu pandangan ke seluruh ruangan. Tampak tiga perempuan berkerudung, berbaju seragam, sedang menikmati makanannya. Ada seorang pria berkaca mata, bercelana selutut, berada di antara tiga perempuan itu. Di meja lain, ada seorang ibu dan anaknya, sepertinya baru saja mulai makan. 


Ruang tempat makan cukup lapang sebab tanpa sekat. Dinding paling belakang yang ada di dalam ruangan bisa terlihat dari pintu masuk. Sebuah meja di tengah ruangan penuh oleh wadah-wadah berisi  makanan. Meja prasmanan, tempat pengunjung mengambil sendiri makanan yang diinginkan.

Meja dan kursi tempat bersantap terbuat dari paduan kayu dan baja. Permukaan meja kayu ada yang dibiarkan polos saja, ada yang dilapisi keramik, ada pula yang beralas kain batik. Di dinding sebelah kanan, berjajar puluhan piring baki tempo dulu sebagai hiasan. Baki warna-warni dengan bentuk berbagai ukuran itu tertata apik. Unik.




Apa yang pertama saya rasakan? Nyaman. Rapi, bersih, mengkilap dan suasana di dalam ruangan pun tenang. Empat hal itu cukup untuk menghadirkan kesan pertama bernama Nyaman.

Langit-langitnya tinggi, membuat ruang makan terkesan luas. Lampu-lampu gantung dengan kap berbentuk sangkar burung yang terbuat dari kayu, menambah cantik ruangan yang didominasi oleh warna putih.

Di bagian sebelah kanan ruangan, ada bangku sofa terpasang memanjang, bersandar pada dinding. Sejumlah bantal bersarung kain batik berjajar di ujung sofa bagian depan. Di sanalah saya duduk.

wastafel


Piring dan teko-teko model jadul

Foto-foto dulu baru makan
Saya ingin segera makan. Tapi keinginan untuk memotret makanan dan ruangan tampaknya lebih kuat.

“Mbak, saya boleh ambil foto makanan dan ruangannya?” tanya saya pada seorang mbak pelayan. Ia mengenakan baju warna ungu muda, seragam yang sama seperti mbak-mbak lainnya.

“Boleh mbak,” jawabnya sambil tersenyum. Sesaat kemudian ia kembali sibuk dengan pekerjaannya.

Merasa belum puas dengan jawaban itu, saya hampiri pria berkaca mata yang sedang berdiri di belakang meja dekat aneka kue jajanan. Sepertinya dia ‘orang penting’. Tebak-tebak buah manggis. Barangkali dia si pemilik rumah makan.

“Mas, saya mau minta ijin ambil foto makanan dan ruangannya. Apakah boleh?”

“Oh iya, silakan foto saja gapapa. Mbak dari mana?” tanyanya ramah. Saya tak langsung menjawab, melainkan mengamati wajah, senyum, dan kaca matanya. Mendadak teringat Daniel Radcliffe, pemeran Harry Potter. Selintas ada kemiripan. Tapi yang ini versi Asia dan lebih dewasa. Haha. 
Edisi #repost dari travel blogger @travelerien yang sempat mampir kekantin @encim.gendut. Coba deh follow akun si #kece ini dan dapatkan inspirasi tujuan berlibur! Ok ok bingits lho referensinya bu! Berikut postingan doi ttg kantin Encim: . “Mengapresiasi #usiacantik dengan melakukan hobi baik yang disenangi. Kulineran! Kulineran bikin happy. Aura bahagia terpancaaar. Muka jadi segeeer. Cieeee #EmakBlogger pengguna #LorealParis #LorealDermalift 😎 😂 Btw, di kedai makan @encim.gendut ini saya mendapatkan sesuatu lebih dari sekedar mengisi perut. Mungkin itu sebabnya owner-nya yang lulusan dari Curtin University itu berkata pada saya: "saya tidak menjual makanan, tapi menjual pengalaman". Hmm.. Pingin deh nanti obrolan berbobot itu ditulis secara khusus di blog :) . . 🏠 Kantin Makan Encim Gendut. Tanjung Karang, Lampung. . . #kulinerlampung #kelilinglampung #wisatakuliner #encimgendut #lampung #traveling #leisure #jalanjalan #culinary #zenfone3 #fotohp #asuszenfone3 @mirasahid
A photo posted by Kantin Encim Gendut (@encim.gendut) on



Kembali ke pertanyaan. Dari mana? Nah, saya jawab apa ya? Hehe. “Dari Jakarta. Saya blogger.” Usai menjawab seperti itu, jadi mikir sendiri. Apa perlu pakai sebut blogger segala? Haha. Tapi ya sudahlah, sudah terlanjur disebut. Yang penting saya lega sudah dapat ijin. 


Saya ambil banyak gambar. Dari ruangan dalam, sampai area makan di luar. Ya, di sini terbagi dua area makan. Di dalam ruangan ber-AC dan di luar (di samping ke arah belakang) untuk area merokok.

Motret itu bikin hepi, meskipun sebentar tapi ujung-ujungnya lelah dan jadi lapar he he. Saya bergegas ambil makanan. 



Tempat makan di luar
Menu Otentik
Di sini, pengunjung tinggal pilih dan ambil sendiri makanannya. Setelah dibawa ke meja, apa saja yang sudah kita ambil akan dicatat oleh mbak pelayan. Nanti setelah kelar makan, baru bayar ke kasir. Kalau minuman, mesti pesan dulu. Jenis minumannya ada dalam daftar menu.

Ada menu apa saja? Banyak. Kalau kamu pernah ke warteg, kira-kira ga jauh bedalah. Tapi ingat ya, di sini warteg rasa resto he he. Suasananya beda.

Untuk pilihan makan ada nasi uduk, nasi putih, dan lontong.

Ada 15 menu sayur ala rumahan, di antaranya tauge tahu, bihun, urap, daun singkong, tumis kates, tumis bunga kates, terong, tumis genjer, lodeh, sayur asem, sayur nangka, tumis oncom, soto betawi, dan lalapan.










Jenis lauk pauknya cukup banyak. Terdiri dari tempe mendoan, tempe orek, bakwan jagung, ikan merem melek, ikan asin peda, telor rendang/sambel, jengkol, dendeng, cumi item maskeran, sate cumi bedakan, sate udang, perkedel, sate bakso, ayam balado, ayam goreng, bibir sexy, ikan asin balado, tempe/tahu bacem, kikil, sate ampela, rajungan kecil, rajungan besar.





Buat penggemar kudapan tradisional seperti saya nih, ada aneka jajanan pasar yang sayang untuk dilewatkan saat sarapan. Ada kue lupis, klepon, pastel, kue lapis, dadar ijo, onde-onde. Harganya hanya Rp 2.500,- saja. 


Ada juga asinan buah, uyen, sunpan, choy pan, siomay, otak-otak, dan pempek. Untuk teman makan ada kerupuk kepang, kerupuk jange, dan kerupuk kemplang. Tersedia juga keripik pedas dan asin. 




Choy Pan dan Sun Pan




Ga lupa dong makan kue lupis kesukaan :D

Otentik!


Itu yang bisa saya komentari dari menu-menu yang tersaji di Encim Gendut.

Kalau dekat rumah, mungkin sudah tiap hari main ke sini. Entah untuk sarapan, makan siang, nongkrong bareng teman (mungkin nunggu anak pulang sekolah) sambil ngemil-ngemil aneka jajanan pasar, atau main sore-sore ajak keluarga makan rujak dan asinannya. Sayang jauh, mesti beli tiket pesawat dulu baru bisa ke Encim Gendut he he.

Oh ya, Encim Gendut buka dari jam 7 pagi sampai jam 5 sore saja.


Daftar minuman dan harganya

Menu makanan dan harganya

Ngobrol Bareng Willy, Pemilik Encim Gendut
Pria berkaca mata tempat saya minta ijin ambil gambar tadi menghampiri. Kami kenalan. Namanya Willy, pemilik Kantin Makan Encim Gendut. Ahaaay!

Kami berbincang santai. Saya sambil makan.

Hei…saya baru pertama kali datang lho. Baru pertama jumpa. Dihampiri ke meja, diajak ngobrol, ngobrol banyak, itu kan gaya orang sudah kenal lama? Lha ini? 


Ooouh saya bersyukur banget dipertemukan dengan sosok humble dan sangat friendly seperti Willy! Saya yang awalnya lapar pingin makan, jadi lapar pingin dengar cerita-ceritanya tentang awal-awal membuat usaha rumah makan.

Sempat ditanya kenal sama siapa saja di Lampung. Main ke mana saja. Saya sebut beberapa nama, salah satunya Mas Yopie Pangkey. Dan heeeii….Willy ternyata kenal Mas Yopie. Ah, tapi gak perlu heranlah kalau soal itu.




Willy beberapa kali bolak balik meninggalkan saya. Ngapain? Ikut menyambut dan melayani tamu yang datang dan mau makan. Sempat ragu dalam hati, ini beneran nih dia owner Encim Gendut? Bercelana pendek. Melayani tamu makan. Memeriksa sajian di meja prasmanan. Menghampiri meja tamu sambil keringatan hehe. Tapi dia memang pemilik Encim Gendut!

“Mas Willy, dekat-dekat sini ada bank atau ATM BCA nggak ya?” tanya saya tiba-tiba.

“Ada. Tapi ga dekat banget. Ada apa mbak?” tanyanya.

“Saya mau transfer pembayaran hotel yang akan saya inapi malam ini. Harus sekarang, karena 2 jam lagi saya mau check-in. Kalau tidak segera, nanti saya nggak dapat kamar,” jawab saya agak panik. Ya, saat itu ada sedikit masalah dengan hotel yang endors saya. Ada kesalahan cara pesan. Akibatnya saya pesan ulang lagi dan harus transfer saat itu, ga bisa bayar cash ke hotelnya.

“Di antar mau gak? Nanti saya minta sekretaris saya yang antar mbak Katrin.”

Ucapan Willy membuat saya melongo. Diantar sekretarisnya? Bukan diantar satpam? He he.
 

Yenni (kerudung merah jambu), yang antar saya ke ATM

Singkat cerita, saat itu juga saya meluncur naik motor ke ATM. Diantar Yenni. Ya, namanya Yenni. Sekretarisnya Willy. Gadis berkerudung yang setiaaaaa banget nganterin dan temani  saya ke ATM. Kami sempat salah datang, ternyata mesin ATM setoran tunai ada di seberang jalan. Nyebrang jalan berdua, deg-degan karena jalannya ramai sekali. Mana ngebut-ngebut dan nggak mau ngalah. Nggak ada jembatan penyeberangan. Nggak ada pula tempat khusus pejalan kaki nyeberang.

Sekitar 20 menit saya pergi dengan Yenni, lalu balik lagi ke Encim Gendut. Urusan bayar hotel selesai. Lega. Saya lanjut makan lagi. Lanjut ngobrol lagi dengan Willy.

Cinta Kuliner Lokal
“Menu yang kami sajikan adalah menu otentik. Kami ingin mereka yang menyukai menu daerahnya sendiri tahu bahwa di sini mereka bisa mendapatkannya. Mereka tidak perlu malu makan jengkol. Mereka bisa makan sayur genjer. Mereka bisa nikmati tumis bunga kates. Makan sambal. Makan nasi uduk. Makan kue lupis. Makan onde-onde. Dan lain sebagainya,” terang Willy.

Saya menyimak.
 


Willy pernah lama tinggal di luar negeri untuk studi. Sebagai anak bungsu, saat itu ia jauh dari keluarga. Sambil kuliah, ia pernah mengecap dapat uang dari menjadi pekerja resto, di bagian bersih-bersih. Tapi ia tak malu, justru bangga dapat uang dari hasil keringat sendiri. Padahal ortunya mampu, punya beberapa bidang usaha, salah satunya pariwisata (perhotelan).

Meski pernah lama tinggal di luar negeri, lulusan Curtin Unversity ini tidak kebarat-baratan. 16 tahun tidak kembali ke Lampung sibuk studi, lalu kerja sebagai jurnalis.
 

Rujak segeeeer

Willy seorang jurnalis?

Ya. Willy pernah bekerja sebagai jurnalis FHM Singapore. Majalah THAT’S Shanghai. Penulis The Star Newspaper Malaysia. Dan yang terakhir The Jakarta Post sebagai editor hari Minggu.

Sejak studi hingga bekerja, Willy tidak kembali ke Lampung hingga 16 tahun lamanya. Waktu yang tidak singkat. Karena sebuah alasan akhirnya ia kembali ke Lampung, bantu usaha orang tua. Kemudian baru pada 18 April 2016 ia membuka Kantin Makan Encim Gendut, hingga sekarang.

Saat kembali ke Lampung, daerah asalnya, ia justru prihatin dengan anak muda yang tidak punya jati diri. Tidak bangga dengan kekhasan daerah yang dipunya. Ia mencontohkan anak muda Lampung yang bergaya ala ke-bandung-bandungan, atau ke- Jogja-jogjaan. Padahal, jadi Bandung enggak, Jogja enggak. Seperti tinggal di kota pura-pura. Kenapa tidak bisa menjadi “ini lho saya, tinggal di Lampung, bergaya Lampung?"



 

Encim Gendut baru berjalan 6 bulan. Pelan tapi pasti, pelanggannya bertambah dari hari ke hari. Kebanyakan kalangan berkeluarga. Ada pula para PNS dan para ibu-ibu sosialita wannabe (sebutan yang diberikan oleh willy untuk sosialita nanggung hehe). Kalau anak-anak muda (kekinian), masih sangat jarang makan di Encim Gendut.

“Mungkin anak muda nggak mau makan jengkol dan tumis genjer, nanti nggak keren,” canda Willy sambil terkekeh.

“Saya suka masak meski tidak ahli,” ucapnya dengan rendah hati.
 


Nama Encim Gendut terinspirasi dari tante Willy yang tinggal di Lampung Tengah. Tapi kini tantenya telah tiada. Dulu tantenya pernah 30 tahun jualan makanan. Willy kecil sering diajak ke pasar. Belanja sayur, bumbu-bumbu, dan juga jajanan pasar. Willy dan keluarganya amat mencintai makanan lokal. Itu sebabnya saat membuka rumah makan, menu yang ia sajikan adalah menu tradisional Nusantara.

Meski sudah total mengurus kedai makan, saat ini Willy masih menerima job lain, yakni sebagai konsultan menulis untuk PBB. Misalnya ada dokumen yang harus diterjemahkan dari Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia. Ia juga memberikan pelatihan bahasa Inggris 3 bulanan.

“Saya tidak menjual makanan. Saya menjual pengalaman,” jawab Willy saat saya tanya teknik marketing Encim Gendut.

Orang datang ingin makan, lalu makan apa yang ia ingin makan. Tanpa harus berpura-pura tidak suka jengkol. Makan sayur asam, tanpa harus pura-pura suka sayur asam. Makan tumis genjer, tanpa pura-pura suka genjer. 





Kami sediakan masakan ala rumah di meja. Mereka tinggal ambil tanpa merasa “dijatahi”. Biarkan mereka bersantai saat memilih dan saat menghabiskannya. Kami beri kenyamanan. Pasang AC. Lampu terang. Lantai bersih. Ruangan harum bebas bau tak sedap. Kami sediakan juga tempat di luar, buat mereka yang ingin duduk makan sambil merokok.

Meski makanan ndeso, tapi rasa dan suasana dibuat ala resto. Kebersihan dan kerapian harus nomor satu.

“Saya ingin orang respek, bukan takut.”
 


Di sini, saya ingin orang tak hanya makan, tapi juga saling bertemu. Saya ingin bikin suatu acara di hari Sumpah Pemuda nanti. Saya mau kumpulkan orang-orang yang berdedikasi untuk Lampung. Ga harus tokoh-tokoh terkenal, bisa dari kalangan penggiat wisata, entah itu penulis, fotografer, blogger, pemilik usaha resto lokal, pemilik kedai kopi lokal, semacam itu…

“Saya mau undang Mas Yopie. Mbak Katrin juga. Apa mbak Katrin bisa datang ke Lampung akhir Oktober nanti?” tanya Willy.

Wah.

Saya belum bisa jawab bisa datang atau tidak. “Saya lihat nanti ya mas,” hanya itu yang bisa saya ucapkan padanya.
 

Waktu sudah menunjukkan jam 12 siang. Saya mesti ke hotel. Obrolan berbobot itu terhenti.

“Kalau butuh penginapan, kapan-kapan ke tempat saya juga boleh. Di Wisma Delima. Tarif kamarnya berkisar antara Rp 200.000 sampai Rp 250.000,- ,” ucap Willy, sebelum saya pamitan.

“Oh, tentu mas,” sambut saya senang. Saya tinggalkan kartu nama untuknya, lewat Yenni sekretarisnya yang tadi antar saya ke ATM.

“Salam ya buat Mas Yopie. Nanti saya kirimi dia undangan,” pesannya sebelum akhirnya saya berjalan ke pintu, meninggalkan Encim Gendut.




Siang itu saya makan nasi uduk pakai orek tempe yang diberi nama “Istri sayang suami”, sate udang, dan sayur genjer. Minumnya es teh tarik. Sempat mencicipi kue lupis favorit, dan juga sepotong Choy Pan. Pulangnya dibekali pisang goreng dan oncom goreng yang masih hangat. Alhamdulillah rejeki.

Kalau ke Lampung lagi, saya mau mampir ke Encim Gendut lagi. 


Makan dan mendapatkan pengalaman.


Kantin Encim Gendut
Jalan Lindu No. 6 Tanjung Karang, Bandar Lampung
(dibelakang kursus inggris LIA Jln Kartini)
BBM: 5D7B4242 SMS & WA: +62 823-0608-7294
Waktu buka Pukul 07.00-17.00 WIB 




*semua foto menggunakan kamera ponsel ASUS Zenfone 3

Seorang istri. Ibu dari dua anak remaja. Tinggal di BSD City. Gemar jalan-jalan, memotret, dan menulis.

Share this

Previous
Next Post »

22 komentar

  1. Tempatnya unik dan menarik, makanannya juga menggiurkan mbak :)

    BalasHapus
  2. Tempat makan yang kece. Sering bawa kawan/tamu yang sedang berkunjung ke Lampung ke Encim Gendut ini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Masakannya juga mudah cocok buat banyak orang ya mas.

      Hapus
  3. Nggak hanya interior restorannya yang rapi ya. Presentasi makanannya pun kelihatan bersih dan rapi :)

    Sekali makan disana per dua orang berapaan ya? :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tergantung apa yang dimakan. Tapi harganya murah kok. Waktu itu saya sendiri abis sekitar 50ribuan makan nasi uduk dengan 4 macam lauk. Nyoba beberapa macam kue juga. Sudah sama minuman

      Hapus
  4. wihhhh cozy banget nih!

    Adis takdos
    travel comedy blogger
    www.whateverbackpacker.com

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mampir makan di sini kalau sedang ke Lampung Dis

      Hapus
  5. Seru nih, bisa juga tuh 28 Oktober undang Tapis Blogger hehe, alasannya kece Mbk. Jadi mau baca sampai akhir

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tapis Blogger kopdar sambil makan-makan asyik tuh mbak di Encim gendut

      Hapus
  6. Waaaah... bener mbak. Kalo deket bisa tiap hari aku makan di sini. Menunya makanan kesukaanku semuaaaaa....
    Kalo ke Lampung lagi harus mampir sini. Harus..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Harus mampir mbak. Tahun depan ya pas jalan2 ke Pulang Pisang ^_^

      Hapus
  7. Sosialita wannabe,, :))

    Ini judulnya makanan warteg naik kelas ya mbak.. keren ide dan dedikasinya, meski bukan pribumi tapi nasionalismenya tinggi :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ada upaya untuk melestarikan menu lokal, mengajak orang-orang menyantap hidangan tradisional. Itu yang bikin kagum. Sudah sewajarnya kita dukung dengan datang dan makan hehe. Yuuuuk

      Hapus
  8. namanya unik "encim gendut" dekorasinya juga oke banget...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bikin pingin datang lagi dan lagi kalau sudah kemari

      Hapus
  9. tulisannya rapi, detil banget @@
    makanan yang prasmanan adalah idola anak kos kosan seperti saya =D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bisa milih dan nambah-nambah ya hehe. Tapi tetap dihitung apapun dan berapapun yang diambil.

      Hapus
  10. Aduuh, aku kok gemeshhhh ama review ini sih mbaaa
    Nulisnya dari hati banget iiihh

    bukanbocahbiasa(dot)com

    BalasHapus
  11. Lampung, waaahhh belum kesampaian buat ke lampung. Pengen ke sana suatu hari

    BalasHapus
  12. Mataku langsung terpaku pada deretan minuman itu. Bubur sumsum, kan? AKU SUKA BANGET.

    Harga makanannya sangat bersahabat, dan aku suka konsep menyediakan makanannya. AKU MAU KE SINI NANTI :)

    omnduut.com

    BalasHapus

Leave your message here, I will reply it soon!