Bandar Lampung Dalam Dekapan Hujan

pesawat sriwijaya air
Terbang bersama Sriwijaya Air

Oktober 2016. Hujan, kabut tebal, jarak pandang jadi pendek, jadwal penerbangan Jakarta - Lampung pun ditunda. 130 menit pertama sejak jam 5.30 pagi ditambah 30 menit di ruang tunggu, dan 50 menit di dalam pesawat. Jam 8.20 baru terbang. Mundur 1 jam 20 menit dari jadwal. Sabar.

Sudah 3x jadwal penerbangan saya ubah. Rencana sempat maju mundur. Semangat turun naik. Galau. Risau. Entah kenapa. Saya sendiri gamang menerkanya. Ada rasa enggan bepergian, tapi ada kewajiban. “Seperti apa pun suasana hati, ada kerjasama yang sudah disepakati, kamu mesti profesional,” ucap seseorang. 


Baiklah. Biarkan hujan jadi teman.

Menikmati delay 30 menit


50 menit di dalam pesawat, sebelum take off

Terbang bersama Sriwijaya Air dengan tiket pesawat yang dibeli dari www.tiket2.com. Boeing 737-900ER. Ah iya, ini pesawat beda dari yang biasa saya naiki saat ke Lampung pada waktu-waktu sebelumnya. Beda jenis pesawat, beda pula yang dilihat dan dirasa. Menikmati kelebihannya, seperti sedang dijamu penghiburan.

“Mbak, kok kita masih di atas pulau Jawa ya?” tanya gadis muda di sebelah saya. Saya lupa namanya. Hanya ingat ia berasal dari Way Kanan, sedang kuliah di Jakarta. Pertanyaannya membuat saya merasa aneh sendiri. Padahal sejak take off  mata terarah ke luar jendela. Tapi pikiran ke mana-mana. Melamun. Tak menyadari apapun. Hanya sadar saat merasakan pesawat bergetar 2-3 kali. Seperti getaran rindu, bercampur guncangan amarah. Sensitif dirasa.

“Mungkin karena cuaca sedang buruk, terbangnya lambat,” jawab saya sekenanya. Beberapa detik kemudian terdengar pemberitahuan bahwa sebentar lagi pesawat akan mendarat. Ha? Sudah mau sampai?

Ada foto dan tulisan sendiri di inflight magazine Sriwijaya Air edisi Oktober 2016
Jalan tol Sumatera?

Sudah biasa terbang ke Lampung dalam waktu singkat, tapi sekarang terasa lebih singkat dari biasanya. Pemandangan yang terlihat dari atas pun berbeda. Pulau-pulau kecil berbentuk seperti gunung. Saya tak pernah lihat itu.  


Cuaca di Bandara Radin Intan Lampung mendung. Terminal pun tampak amburadul, masih dalam proses renovasi dan perluasan. Bandara ini, bagai wajah duka pria patah hati. Tak sedap dipandang, tapi bikin kasihan.

“Nanti mbak Katrin turun lebih dulu, saya belakangan saja,” ucap Mas Sony, sesaat setelah taksi yang kami naiki melaju meninggalkan bandara.

landing.....disambut mendung

Mendung perlahan menyingkir, berganti terang. Cuaca telah berubah cerah. Seperti halnya perasaan. Obrolan seru tentang Lampung besama Mas Sony membuat mata saya berbinar. Ia bercerita banyak hal. Saya menyimak dengan rasa penuh ingin tahu.

Cukup seorang teman, sebuah cerita, lalu ceria. Sesederhana itu. Mudah untuk membuat senang, bukan?

Kami bicara tentang gadget, tempat wisata, kuliner, trip, dan kegiatan sehari-hari. Nyambung. Ah iya, Mas Sony bekerja di Lampung. Sudah 7 tahun. Tak heran kalau ia lebih tahu banyak hal ketimbang saya yang datang ke Lampung cuma datang sesekali sebagai pelancong.

“Nanti sama siapa kulinerannya?” tanyanya.

“Sama teman, tapi dia sedang meliput acara, katanya nanti nyusul,” jawab saya.

Dari bandara ke Kota Bandar Lampung kami tempuh satu jam saja dengan taksi. Jam 10 saya sudah di kota. Teringat rencana naik bus Trans Lampung yang batal karena suatu hal. Tapi ada hikmahnya, kalau naik bus mungkin jam 12 baru sampai kota. Taksi bertarif Rp 115.000 bisa berangkat kapan saja, sedangkan bus bertarif Rp 20.000 berangkat sesuai jadwal yang sudah ditentukan. Pilih mana? Tergantung sikon.

Perjalanan lancar. Berkat arahan Mas Sony, supir menemukan lokasi Encim Gendut dengan mudah. Di depan Encim Gendut kami pun berpisah. Saya kulineran, Mas Sony ke kantor. 

Kantin Makan Encim Gendut

Ada dua pekerjaan yang saya lakukan di Lampung kali ini. Tapi sebetulnya, sebutan “pekerjaan” itu terlalu serius. Apa yang saya kerjakan bagai bukan pekerjaan. Maksud saya begini; saya ke Lampung jalan-jalan. Naik pesawat, makan-makan, dan menginap di hotel. Nah itu pekerjaan saya. Paham?

Kulineran di Encim Gendut
Punya waktu dua hari di Lampung, apa yang bisa dilakukan?

Berwisata tentu saja. Tapi musim hujan begini, mau kemana? Saya ulang, saya sedang malas dan enggan banyak ke mana-mana, kecuali kulineran. Itu saja mau saya. Ke mana? Ke tempat-tempat baru di dalam kota Bandar Lampung.

Encim Gendut sudah saya masukkan dalam daftar tempat makan yang harus saya kunjungi kali ini. Yang lainnya, biar mengalir mengikuti arah jalan, ke mana kaki melangkah, atau ke mana tuan mengajak.


Bareng Willy, owner Encim Gendut

Hal menarik yang membuat saya begitu ingin ke Encim Gendut adalah menu makanan yang disajikannya. Menu otentik. Sangat lokal. Citra Nusantara. Jangan datang ke sini kalau punya selera kebarat-baratan. Apalagi kalau merasa nggak keren jika makan sayur genjer dan sambal jengkol. Jangan!

Bagian berkesannya, perbincangan hangat bersama Willy pemilik Encim Gendut. Saya kagum dengan kisah inspiratif di balik berdirinya kantin yang mulai dibuka pada tgl 18 April 2016 itu. Juga, terhadap prinsip dan semangat melestarikan menu tradisional dalam diri Willy.

Baca ceritanya : Sepiring Cerita dari Encim Gendut 

Menu makanan Encim Gendut banyak, yang makan juga ramai


Sayur genjer Encim Gendut. Mau?
 
Hotel Airy Rooms
Siang hari di hotel. Saya mulai kerja. Ambil gambar sebanyak mungkin. Dari berbagai sudut. Lalu selesai. Istirahat. Tidur. Tapi tak bisa tidur. Malah sibuk mengamati ulang foto-foto kamar hotel yang saya ambil dengan kamera HP Asus Zenfone 3.

Saya tak bawa kamera DLSR. Memang tak ada syarat itu. Yang penting ada foto, dan hasilnya nggak malu-maluin jika dipajang dalam blog. Saya merasa cukup dan percaya diri memakai kamera Zenfone 3. Bukan kali ini saja. Sebelumnya, saat diminta untuk memotret ice cream di Ice on Pan Summerecon Mall Serpong, saya juga pakai kamera HP. Dan itu cukup. Lain halnya kalau saya butuh foto untuk dipakai oleh majalah, mengambil foto pakai kamera DLSR sudah suatu keharusan.

Kamu sudah punya ASUS Zenfone 3 belum? Kalau punya, mungkin akan percaya diri seperti saya, memotret untuk ‘pekerjaan’ blog cukup pakai Zenfone 3 saja. *kalimat ini mengandung iklan. Percayalah :p

Jelang sore hujan kembali turun. Rencana pergi ke pantai buyar. Mau keluar malas. Menunggu petang berlalu, barangkali malam hujan reda. Berharap bisa kelayapan, cari makan. Kulineran malam. Dan itu terkabul. Sebelum magrib hujan berhenti.

Baca ulasan hotel yang saya inapi : Pengalaman menginap di Hotel Airy Tanjung Karang.

Hotel Airy Rooms Tugu Adipura


Kamar Airy Rooms

Sate Pikul Lagi
Teringat pesan Willy, cintai makanan lokal. Ah iya, bagaimana jika makan sate pikul? Tanpa ragu kami ke sana, berkendara, angin-anginan. Setengah ngebut. Disaksikan langit tertutup awan tebal. Jam 8 sudah di tempat.

Akhir Agustus 2 bulan lalu pernah ke sini, makan malam. Saat itu saya bilang enak, sebab bumbu satenya memang enak. Mungkin karena itu saya kemari lagi. Ingin menikmatinya ulang. Ternyata masih sama enak seperti sebelumnya. Nggak ada yang berubah, sama seperti rasa cinta pada kekasih pujaan hati: enak lagi, suka lagi, cinta lagi, dia lagi. 

Sate Pikul di pinggir jalan


Malam masih banyak yang beli

Jika sebelumnya saya tidak mengambil gambar sama sekali, kali ini Zenfone 3 beraksi. Memotret sate di antara kepulan asap, memotret dua porsi sate dalam piring beralas daun pisang, dan memotret mereka yang makan sate malam itu.

Tempat jualan sate pikul tidak berada dalam suatu bangunan. Melainkan menumpang pada teras sebuah bangunan entah apa. Ada dua buah meja dengan bangku-bangku plastik tanpa sandaran. Jumlahnya terbatas, sedangkan pelanggan ramai, belum memadai. Pengunjung bermobil, parkir di pinggir jalan, memesan sate, dan memakannya di dalam mobil. Mungkin sadar tempat duduk kurang. 

Ini yang bikin saya ketagihan


Sukanya pakai lontong, tapi habis

Warung sate pikul memang ala kadarnya. Tapi saya tak merisaukan itu. Tetap nikmati sate sambil dengar nyanyian pengamen pertama, kedua, atau bahkan pengamen ketiga. Mereka hadir silih berganti. Berkali-kali.

Makan dan membaur bersama suasana pinggir jalan. Bunyi motor, klakson mobil, celotehan orang-orang, asap dari arang pembakar sate, cahaya kekuningan lampu jalan, dan juga gerimis yang perlahan turun. Lengkap.

Saya tidak hanya sedang menikmati sate. Tapi juga merangkai cerita menikmati kisah. 

Makan ramai-ramai


Ada Mas Tri Yuliawan juga (kanan)



Belok ke Sambel Rumah
Siang keesokan hari, cuaca berubah-ubah. Awalnya panas, kemudian mendung, lalu hujan. Hari kepulangan selalu tergesa-gesa. Tak bisa banyak kunjungi tempat yang diinginkan. Apalagi cuaca tak mendukung. Rasa takut ketinggalan pesawat pun turut menghantui.

Ingin ke sana, ingin ke sini. Tapi akhirnya hanya Omah Bone Café yang akan dituju. Berkendara lagi, tanpa kebut. Langit mendung. Di tengah jalan, disergap hujan. Oh, lagi.

Hujan keburu lebat, bermotor, basah. Bakal basah kuyup jika terus memaksakan ke Omah Bone Café. Keputusannya: belok kiri, masuk ke rumah makan Sambel Rumah. Singgah, berteduh, sekaligus makan. Saat itu memang sudah waktunya makan siang.



“Itu Taman Jajan Pertiwi, tempat kita makan siang bareng mbak Rosanna dan Rian waktu itu.”

“Omah Bone Café itu tempat aku makan bareng kawan-kawan SMA, fotonya yang kamu lihat di FB waktu itu.”


Tentu saya ingat itu semua.

Sekarang kami di Pahoman, di Sambel Rumah. Alamatnya di Jl.Dr.Susilo No.101. Makan siang dengan ayam goreng, lele bakar, cah toge, sambal, lalapan. Minumannya es shanghai. 

Total Rp 77.000,-


Hujan-hujan minum yang dingin

Di luar masih hujan, bahkan kian deras. Di ruangan belakang tempat kami duduk, hujan menetes dari lubang atap yang bocor. Cipratan air yang jatuh mengenai celana bagian bawah. Kami bergeming, tak mengeluhkan itu. Malah tertawa. Biarkan saja.  Toh tidak mengenai makanan di meja. Indahnya hidup bila dibawa asik-asik saja ya.

Udara terasa dingin, minum minuman hangat sepertinya cocok.

“Mau ngopi?”

“Ayo.” 

Rumah Makan Sambel Rumah


Rumah Makan Sambel Rumah

Ngopi di DeLotuz Kitchen
 
Kopi dan waktu tanpa ketergesa-gesaan adalah teman akrab.

“Tunggu di dalam, nanti saya kembali.”

DeLotuz Kitchen bukan coffee shop, lebih tepat resto. Tapi di sini tersedia kopi, peminum kopi bisa memesan kopi. 



“Saya pesan jus kiwi. Pure kiwi. Tanpa gula.”

“Cicongfan Stuffed Cakwe favorit tamu kami, apa ibu mau coba ini?”

“Saya baru saja makan, masih kenyang. Ah….es krim ini saja.”

“Itu juga enak bu.”

“Tapi, sepertinya saya ingin Cicongfan Seafood ini saja.”


Kelihatannya saya sedang plin plan dan lupa pada ucapan “baru saja makan” itu. Tapi sungguh, cicongfan itu memang menggoda. Cocok dengan udara dingin saat itu. Di luar pun hujan. Hangatnya cicongfan jadi penawar. Membuat kebersamaan jadi semanis jus kiwi murni yang saya pesan. Enak di mulut hingga perut.

Cicongfan Seafood


Jus Kiwi kesukaan *_*

Chee cheong fun, menu klasik ini berbentuk bulat panjang, lentur dan kenyal ketika digigit. Tidak menggunakan daging babi, hanya udang, dan bahan-bahannya dijamin halal.

Satu gigitan. Dua gigitan. Tiga gigitan. Akhirnya cicongfan habis satu potong. Ketagihan? Tentu.

Satu seruput. Dua seruput. Tiga seruput. Akhirnya isi cangkir kopi mendekati dasar cangkir.

“Jus kiwiku enak. Mau coba?”

Sluuuuurrrp…..!


HP berdering. Taksi sebentar lagi tiba. Mulai tergesa. Hujan masih ada.

“Keburu ya sampai bandara jam 5?”

“Keburu pak.”

 

Taksi ngebut. 


Sejak kemarin, hujan di kota ini sukses menghalangi saya pergi ke pantai-pantai terdekat. Tapi gagal menghalangi saya kulineran menjajal tempat-tempat baru yang belum pernah saya datangi. Begitulah, di satu sisi gagal, di sisi lain berhasil. 

Saya bahagia.

Karena pada akhirnya, masih ada cerita yang dibawa pulang. 

Perjalanan memang tak berujung. Nikmati proses. Mari terus melangkah. 


@ deLotuz Kitchen


Wisata Pulau Mengkudu dan Batu Lapis di Lampung Selatan


Tulisan Pulau Mengkudu dan Batu Lapis ini pernah dimuat di Lovely Magazine power of tourism edisi bulan Oktober 2016. Salah satu foto Pulau Mengkudu digunakan sebagai cover majalah edisi ini. Dimuat 4 halaman dengan 8 foto.

Lampung Selatan memiliki kekayaan wisata bahari berupa Pulau Mengkudu dan Batu Lapis. Kedua objek wisata ini berdekatan. Dengan sekali berlayar, kita dapat menikmati keindahannya sekaligus.

Kunjungan saya ke Lampung Selatan berawal dari obrolan dengan seorang penggiat wisata di Lampung. Saya ceritakan padanya bahwa seusai mengikuti Festival Krakatau pada tanggal 27-28 Agustus, saya masih ingin pergi berwisata ke tempat yang belum pernah saya kunjungi. Lalu, saya disarankan olehnya untuk mengunjungi pantai-pantai di Kalianda.

Ketika nama Kalianda disebut, ingatan saya melayang pada acara Festival Krakatau 2015 saat menjadi peserta Tur Krakatau. Kala itu Kalianda menjadi tempat keberangkatan kami menuju Gunung Anak Krakatau. Itulah pertama kali saya menjejak Kalianda. Namun, saat itu nama Pulau Mengkudu dan Batu Lapis tak disebut. Hanya Pantai Canti dan Pantai Wartawan yang diceritakan. Saya pun beranggapan bahwa Lampung Selatan hanya punya dua pantai itu sebagai destinasi wisata.

Anggapan saya ternyata keliru. Ternyata Lampung Selatan punya Batu Lapis dan Pulau Mengkudu yang menarik untuk dikunjungi.
Batu Lapis Lampung Selatan

Berwisata di Lampung Selatan
Titik awal keberangkatan saya menuju Lampung Selatan adalah Kota Bandar Lampung. Perjalanan ditempuh selama 2,5 jam. Melintasi Kalianda dan berakhir di Rajabasa.

Lampung Selatan merupakan sebuah kabupaten yang menjadi pintu gerbang Provinsi Lampung. Di kabupaten ini terdapat Pelabuhan Bakauheni, tempat bersandar kapal-kapal yang membawa penumpang/barang dari Pulau Jawa. Sedangkan Kalianda merupakan sebuah kecamatan di Kabupaten Lampung Selatan yang terletak di kaki Gunung Rajabasa. Kota kecil nan bersahaja ini juga terletak di tepi pantai di sepanjang Teluk Lampung.

Kami sudah berada di Kalianda saat memasuki jam makan siang. Di kota kecamatan ini, kami singgah makan di sebuah rumah makan pindang pegagan. Setelahnya, kami kembali melanjutkan perjalanan menuju Rajabasa. Suasana pesisir mulai tampak. Desa-desa di pinggir laut dengan warga yang tengah beraktifitas, serta rumah-rumah yang berbaris rapi, memperlihatkan kehidupan yang cukup makmur. Papan-papan bertuliskan home stay dan paket wisata mulai terlihat di beberapa tempat. Pertanda kami sudah memasuki kawasan wisata. 

Kulineran Pindang Pegagan di Kalianda

Pantai Canti dan Pantai Wartawan
Jalan yang kami lalui di Desa Waymuli, Kecamatan Rajabasa, makin lama makin ke pinggir laut. Mobil melintasi dua pantai ternama di Lampung Selatan yaitu Pantai Canti dan Pantai Wartawan. Pemandangan yang terlihat di kedua pantai itu cukup menarik. Kami sempat berhenti beberapa saat untuk mengambil foto.

Pelabuhan Canti merupakan salah satu titik keberangkatan wisatawan yang hendak berangkat ke Gunung Anak Krakatau. Dari Pelabuhan Canti jarak tempuh menuju gunung tidak terlalu panjang. Pantai Canti memiliki hamparan pasir putih. Di antara rimbunnya pepohonan yang melengkapi keindahan pantai ini, tedapat saung-saung yang asik untuk duduk-duduk santai atau rebahan, atau sekedar menatap pulau-pulau kecil di kejauhan.

Pantai Wartawan tak terlalu luas. Yang membuatnya unik karena terdapat sumber air panas. Jika mampir ke pantai ini pengunjung bisa memanfaatkan sumber air panasnya untuk merebus telur. 

Pantai Canti - Kalianda Lampung Selatan

Pantai Kahai
Kahai adalah nama tempat yang terletak di Kecamatan Rajabasa, tepatnya di Desa Batu Balak, Lampung Selatan. Berjarak tempuh kurang lebih 30 km dari pelabuhan Bakauheni. Kahai sendiri merupakan tempat yang subur dengan pemandangan alam yang memukau, udara segar, dan panorama laut yang indah memanjakan mata.

Kahai cukup menjanjikan sebagai tempat wisata. Di sini terdapat hotel dengan kamar-kamar menghadap ke laut, restoran, hingga water boom pinggir laut. Bahkan hotel pun menyediakan perahu dan guide untuk tur Pulau Mengkudu dan Batu Lapis. Dengan fasilitas selengkap ini, sulit bagi saya untuk menolak bermalam di Kahai.


Penginapan di Kahai "Kahai Beach Resort"

Pulau Mengkudu
Desa Batu Balak merupakan salah satu desa di Kecamatan Rajabasa yang biasa dijadikan titik keberangkatan menuju Pulau Mengkudu. Selain dari Batu Balak, penyewaan perahu dan keberangkatan ke Pulau mengkudu juga bisa dilakukan dari Desa Kunjir.

Biaya sewa Rp 40.000 per orang untuk pulang dan pergi dari/ke Pulau Mengkudu. Biasanya di akhir pekan pengunjung lebih ramai, tapi harga sewa perahu bisa lebih murah. Hotel menyediakan fasilitas antar jemput dengan motor dari dan ke tempat titik keberangkatan. Bagi yang membawa motor, ada biaya parkir Rp 10.000 per motor.

Perahu yang digunakan untuk menyeberang ke Pulau Mengkudu adalah perahu kecil tanpa atap. Tapi jangan khawatir, perahu tidak menyeberang melewati tengah laut, melainkan melaju dekat pinggiran pulau. Jaraknya pun cukup dekat, sekitar 15-20 menit saja kami sudah sampai. 

Guide Pulau Mengkudu
Perahu yang mengantar kami ke Pulau Mengkudu

Perahu tidak bersandar di Pulau Mengkudu, melainkan di pulau pasir timbul yang menghubungkan antara daratan Sumatera dengan Pulau Mengkudu. Pasir timbul ini tidak akan terlihat ketika air laut pasang. Jadi sebenarnya Pulau Mengkudu bisa dicapai lewat daratan. Tapi tidak disarankan karena medannya sulit berupa bukit-bukit terjal. Menggunakan perahu lebih mudah dan aman.

Ada biaya masuk pulau sebesar Rp 10.000 per orang. Hari itu hari biasa, pengunjungnya sedikit, hanya ada empat anak muda sedang bermain air di pinggir pantai. Saat kami tiba, mereka berjalan ke arah bukit, menuju Batu Lapis.

Di akhir pekan, pengunjung pulau cukup ramai, bisa mencapai seratus orang per hari. Sedangkan di hari libur nasional, atau libur hari raya, pengunjung bisa mencapai 500-an orang. Demikian keterangan dari seorang penyewa alat snorkling di sebuah warung dekat Pulau Mengkudu. Di sini memang ada warung, tapi cuma satu-satunya. Bagi yang ingin membeli air minum, mie instant, atau sekedar jajan gorengan, bisa ke warung tersebut. 

Pulau Mengkudu

Saya dan teman memilih untuk menikmati suasana pulau saja, jalan kaki menyusuri hutan bakau, melewati bebatuan, dan sesekali menceburkan kaki di laut. Di permukaan pulau pasir timbul banyak batu-batu agak tajam dalam berbagai bentuk dan ukuran, sehingga agak sakit di telapak kaki. Perlu menggunakan sandal saat berjalan.

Sorenya kami berenang, tergoda oleh jernihnya air laut yang berwarna biru kehijauan. Saya suka airnya, terasa hangat, bikin betah berlama-lama berendam. Mata pun dimanjakan oleh pemandangan bukit-bukit di daratan pulau Sumatra yang terlihat begitu hijau oleh pepohonan.

Pulau Mengkudu memiliki luas sekitar dua hektare. Pulau mungil tak berpenghuni ini dinamakan Pulau Mengkudu karena pada tahun 1980-an di pulau ini banyak dijumpai pohon mengkudu. Namun kini pulau ditumbuhi banyak pohon bakau. Cukup teduh jika berjalan-jalan di pulau. Saat berjalan di pulau, perlu hati-hati terhadap hewan biawak yang kerap melintas di antara daun-daun kering dan akar pohon.

Jernih dan bersih, enak buat berenang atau pun berendam

Batu Lapis
Sebelum hari terlalu petang, perahu datang menjemput. Kami lanjut berlayar menuju Batu Lapis. Sekitar 10 menit kemudian perahu perlahan merapat. 


Hempasan ombak cukup kencang, begitu juga angin petang. Perahu jadi agak sedikit sulit untuk bersandar. Salah seorang turun, lalu menarik dan memegang perahu dengan kuat agar kami bisa turun dengan aman.

Akhirnya saya bisa menjejak Batu Lapis. Seperti namanya, batu karang di tempat ini berlapis-lapis dan berundak-undak. Berwarna kehitaman dan tersusun rapi. Terbentuk oleh kondisi alam, mungkin selama ribuan tahun.


Sesuatu yang tergolong langka dan jarang dijumpai. Mirip bebatuan di Tanah Lot Bali.
Hempasan ombak yang mengenai batu lapis cukup kuat, perlu hati-hati

Saya lebih banyak duduk-duduk saja di tempat ini, menikmati suasana, mendengarkan debur ombak. Sempat tergoda untuk menceburkan diri ke dalam salah satu kolam kecil mirip laguna (belum bisa disebut laguna juga sih). Tapi hari sudah terlalu sore untuk berendam, saya sudah mulai kedinginan karena badan masih basah seusai mandi di Pulau Mengkudu.


Setelah merasa cukup duduk diam menikmati suasana, saya mulai berjalan dari satu undakan ke undakan lainnya. Di undakan paling atas, bapak pengemudi perahu duduk menunggu. Matanya sedang lekat memandang lautan, seolah sedang berbincang dengan petang. Sementara guide dan temannya tinggal di perahu, tampak menjauh menghindari dorongan ombak yang berlari mengejar tepian. 

Hari kian petang. Langit mulai berhias selendang jingga. Tak lama lagi alam menjadi gelap. Tapi rasanya saya enggan pulang. Tempat cantik ini membuat saya betah.

Tak salah jika Batu Lapis menjadi salah satu tempat yang wajib dikunjungi saat bertualang di Lampung Selatan. Tempat ini menghadirkan inspirasi, juga sebait puisi sunyi bagi mereka yang sedang dirundung kesepian.

Jelang senja di Batu Lapis 

Cara mudah menuju Lampung Selatan
Pertama-tama, datanglah ke Lampung. Ada dua cara untuk menuju Lampung yaitu lewat darat dan udara. Jika dari Jakarta lewat udara, ada banyak maskapai rute Jakarta-Lampung yang melayani penerbangan sejak pagi sampai sore. Lalu, dari bandara Radin Intan Lampung, sewalah mobil untuk menjangkau daerah pesisir di Lampung Selatan.

Jika dari Jakarta lewat darat, sesampainya di Pelabuhan Bakauheni, sewalah mobil ataupun ojeg motor dalam waktu kurang lebih 45 menit saja. Sementara jika datang dari arah Kota Kalianda, jaraknya hanya sekitar 30 Km dan dapat ditempuh dengan mobil maupun ojeg motor. 









Sepiring Cerita dari Encim Gendut Bandar Lampung


Bukan satu atau dua kali saya membaca dan mendengar tentang kedai makan Encim Gendut. Lumayan sering, baik dengar langsung dari Mas Yopie Pangkey, maupun dari akun-akun instagram kawan-kawan Lampung. Dan seperti biasa, saya selalu dibuat penasaran oleh cerita tentang tempat kulineran, di daerah mana pun, termasuk di Lampung.

Tempat Makan yang Nyaman
Saya membuka pintu dengan sangat yakin. Tak ragu bahwa kantin yang saya masuki saat itu adalah kantin makan Encim Gendut seperti yang pernah saya dengar dari Mas Yopie. Alamat yang tertera di instagram Encim Gendut pun cocok dengan alamat yang saya datangi.

Setelah masuk saya tak langsung duduk. Berdiri beberapa saat, menyapu pandangan ke seluruh ruangan. Tampak tiga perempuan berkerudung, berbaju seragam, sedang menikmati makanannya. Ada seorang pria berkaca mata, bercelana selutut, berada di antara tiga perempuan itu. Di meja lain, ada seorang ibu dan anaknya, sepertinya baru saja mulai makan. 


Ruang tempat makan cukup lapang sebab tanpa sekat. Dinding paling belakang yang ada di dalam ruangan bisa terlihat dari pintu masuk. Sebuah meja di tengah ruangan penuh oleh wadah-wadah berisi  makanan. Meja prasmanan, tempat pengunjung mengambil sendiri makanan yang diinginkan.

Meja dan kursi tempat bersantap terbuat dari paduan kayu dan baja. Permukaan meja kayu ada yang dibiarkan polos saja, ada yang dilapisi keramik, ada pula yang beralas kain batik. Di dinding sebelah kanan, berjajar puluhan piring baki tempo dulu sebagai hiasan. Baki warna-warni dengan bentuk berbagai ukuran itu tertata apik. Unik.




Apa yang pertama saya rasakan? Nyaman. Rapi, bersih, mengkilap dan suasana di dalam ruangan pun tenang. Empat hal itu cukup untuk menghadirkan kesan pertama bernama Nyaman.

Langit-langitnya tinggi, membuat ruang makan terkesan luas. Lampu-lampu gantung dengan kap berbentuk sangkar burung yang terbuat dari kayu, menambah cantik ruangan yang didominasi oleh warna putih.

Di bagian sebelah kanan ruangan, ada bangku sofa terpasang memanjang, bersandar pada dinding. Sejumlah bantal bersarung kain batik berjajar di ujung sofa bagian depan. Di sanalah saya duduk.

wastafel


Piring dan teko-teko model jadul

Foto-foto dulu baru makan
Saya ingin segera makan. Tapi keinginan untuk memotret makanan dan ruangan tampaknya lebih kuat.

“Mbak, saya boleh ambil foto makanan dan ruangannya?” tanya saya pada seorang mbak pelayan. Ia mengenakan baju warna ungu muda, seragam yang sama seperti mbak-mbak lainnya.

“Boleh mbak,” jawabnya sambil tersenyum. Sesaat kemudian ia kembali sibuk dengan pekerjaannya.

Merasa belum puas dengan jawaban itu, saya hampiri pria berkaca mata yang sedang berdiri di belakang meja dekat aneka kue jajanan. Sepertinya dia ‘orang penting’. Tebak-tebak buah manggis. Barangkali dia si pemilik rumah makan.

“Mas, saya mau minta ijin ambil foto makanan dan ruangannya. Apakah boleh?”

“Oh iya, silakan foto saja gapapa. Mbak dari mana?” tanyanya ramah. Saya tak langsung menjawab, melainkan mengamati wajah, senyum, dan kaca matanya. Mendadak teringat Daniel Radcliffe, pemeran Harry Potter. Selintas ada kemiripan. Tapi yang ini versi Asia dan lebih dewasa. Haha. 
Edisi #repost dari travel blogger @travelerien yang sempat mampir kekantin @encim.gendut. Coba deh follow akun si #kece ini dan dapatkan inspirasi tujuan berlibur! Ok ok bingits lho referensinya bu! Berikut postingan doi ttg kantin Encim: . “Mengapresiasi #usiacantik dengan melakukan hobi baik yang disenangi. Kulineran! Kulineran bikin happy. Aura bahagia terpancaaar. Muka jadi segeeer. Cieeee #EmakBlogger pengguna #LorealParis #LorealDermalift 😎 😂 Btw, di kedai makan @encim.gendut ini saya mendapatkan sesuatu lebih dari sekedar mengisi perut. Mungkin itu sebabnya owner-nya yang lulusan dari Curtin University itu berkata pada saya: "saya tidak menjual makanan, tapi menjual pengalaman". Hmm.. Pingin deh nanti obrolan berbobot itu ditulis secara khusus di blog :) . . 🏠 Kantin Makan Encim Gendut. Tanjung Karang, Lampung. . . #kulinerlampung #kelilinglampung #wisatakuliner #encimgendut #lampung #traveling #leisure #jalanjalan #culinary #zenfone3 #fotohp #asuszenfone3 @mirasahid
A photo posted by Kantin Encim Gendut (@encim.gendut) on



Kembali ke pertanyaan. Dari mana? Nah, saya jawab apa ya? Hehe. “Dari Jakarta. Saya blogger.” Usai menjawab seperti itu, jadi mikir sendiri. Apa perlu pakai sebut blogger segala? Haha. Tapi ya sudahlah, sudah terlanjur disebut. Yang penting saya lega sudah dapat ijin. 


Saya ambil banyak gambar. Dari ruangan dalam, sampai area makan di luar. Ya, di sini terbagi dua area makan. Di dalam ruangan ber-AC dan di luar (di samping ke arah belakang) untuk area merokok.

Motret itu bikin hepi, meskipun sebentar tapi ujung-ujungnya lelah dan jadi lapar he he. Saya bergegas ambil makanan. 



Tempat makan di luar
Menu Otentik
Di sini, pengunjung tinggal pilih dan ambil sendiri makanannya. Setelah dibawa ke meja, apa saja yang sudah kita ambil akan dicatat oleh mbak pelayan. Nanti setelah kelar makan, baru bayar ke kasir. Kalau minuman, mesti pesan dulu. Jenis minumannya ada dalam daftar menu.

Ada menu apa saja? Banyak. Kalau kamu pernah ke warteg, kira-kira ga jauh bedalah. Tapi ingat ya, di sini warteg rasa resto he he. Suasananya beda.

Untuk pilihan makan ada nasi uduk, nasi putih, dan lontong.

Ada 15 menu sayur ala rumahan, di antaranya tauge tahu, bihun, urap, daun singkong, tumis kates, tumis bunga kates, terong, tumis genjer, lodeh, sayur asem, sayur nangka, tumis oncom, soto betawi, dan lalapan.










Jenis lauk pauknya cukup banyak. Terdiri dari tempe mendoan, tempe orek, bakwan jagung, ikan merem melek, ikan asin peda, telor rendang/sambel, jengkol, dendeng, cumi item maskeran, sate cumi bedakan, sate udang, perkedel, sate bakso, ayam balado, ayam goreng, bibir sexy, ikan asin balado, tempe/tahu bacem, kikil, sate ampela, rajungan kecil, rajungan besar.





Buat penggemar kudapan tradisional seperti saya nih, ada aneka jajanan pasar yang sayang untuk dilewatkan saat sarapan. Ada kue lupis, klepon, pastel, kue lapis, dadar ijo, onde-onde. Harganya hanya Rp 2.500,- saja. 


Ada juga asinan buah, uyen, sunpan, choy pan, siomay, otak-otak, dan pempek. Untuk teman makan ada kerupuk kepang, kerupuk jange, dan kerupuk kemplang. Tersedia juga keripik pedas dan asin. 




Choy Pan dan Sun Pan




Ga lupa dong makan kue lupis kesukaan :D

Otentik!


Itu yang bisa saya komentari dari menu-menu yang tersaji di Encim Gendut.

Kalau dekat rumah, mungkin sudah tiap hari main ke sini. Entah untuk sarapan, makan siang, nongkrong bareng teman (mungkin nunggu anak pulang sekolah) sambil ngemil-ngemil aneka jajanan pasar, atau main sore-sore ajak keluarga makan rujak dan asinannya. Sayang jauh, mesti beli tiket pesawat dulu baru bisa ke Encim Gendut he he.

Oh ya, Encim Gendut buka dari jam 7 pagi sampai jam 5 sore saja.


Daftar minuman dan harganya

Menu makanan dan harganya

Ngobrol Bareng Willy, Pemilik Encim Gendut
Pria berkaca mata tempat saya minta ijin ambil gambar tadi menghampiri. Kami kenalan. Namanya Willy, pemilik Kantin Makan Encim Gendut. Ahaaay!

Kami berbincang santai. Saya sambil makan.

Hei…saya baru pertama kali datang lho. Baru pertama jumpa. Dihampiri ke meja, diajak ngobrol, ngobrol banyak, itu kan gaya orang sudah kenal lama? Lha ini? 


Ooouh saya bersyukur banget dipertemukan dengan sosok humble dan sangat friendly seperti Willy! Saya yang awalnya lapar pingin makan, jadi lapar pingin dengar cerita-ceritanya tentang awal-awal membuat usaha rumah makan.

Sempat ditanya kenal sama siapa saja di Lampung. Main ke mana saja. Saya sebut beberapa nama, salah satunya Mas Yopie Pangkey. Dan heeeii….Willy ternyata kenal Mas Yopie. Ah, tapi gak perlu heranlah kalau soal itu.




Willy beberapa kali bolak balik meninggalkan saya. Ngapain? Ikut menyambut dan melayani tamu yang datang dan mau makan. Sempat ragu dalam hati, ini beneran nih dia owner Encim Gendut? Bercelana pendek. Melayani tamu makan. Memeriksa sajian di meja prasmanan. Menghampiri meja tamu sambil keringatan hehe. Tapi dia memang pemilik Encim Gendut!

“Mas Willy, dekat-dekat sini ada bank atau ATM BCA nggak ya?” tanya saya tiba-tiba.

“Ada. Tapi ga dekat banget. Ada apa mbak?” tanyanya.

“Saya mau transfer pembayaran hotel yang akan saya inapi malam ini. Harus sekarang, karena 2 jam lagi saya mau check-in. Kalau tidak segera, nanti saya nggak dapat kamar,” jawab saya agak panik. Ya, saat itu ada sedikit masalah dengan hotel yang endors saya. Ada kesalahan cara pesan. Akibatnya saya pesan ulang lagi dan harus transfer saat itu, ga bisa bayar cash ke hotelnya.

“Di antar mau gak? Nanti saya minta sekretaris saya yang antar mbak Katrin.”

Ucapan Willy membuat saya melongo. Diantar sekretarisnya? Bukan diantar satpam? He he.
 

Yenni (kerudung merah jambu), yang antar saya ke ATM

Singkat cerita, saat itu juga saya meluncur naik motor ke ATM. Diantar Yenni. Ya, namanya Yenni. Sekretarisnya Willy. Gadis berkerudung yang setiaaaaa banget nganterin dan temani  saya ke ATM. Kami sempat salah datang, ternyata mesin ATM setoran tunai ada di seberang jalan. Nyebrang jalan berdua, deg-degan karena jalannya ramai sekali. Mana ngebut-ngebut dan nggak mau ngalah. Nggak ada jembatan penyeberangan. Nggak ada pula tempat khusus pejalan kaki nyeberang.

Sekitar 20 menit saya pergi dengan Yenni, lalu balik lagi ke Encim Gendut. Urusan bayar hotel selesai. Lega. Saya lanjut makan lagi. Lanjut ngobrol lagi dengan Willy.

Cinta Kuliner Lokal
“Menu yang kami sajikan adalah menu otentik. Kami ingin mereka yang menyukai menu daerahnya sendiri tahu bahwa di sini mereka bisa mendapatkannya. Mereka tidak perlu malu makan jengkol. Mereka bisa makan sayur genjer. Mereka bisa nikmati tumis bunga kates. Makan sambal. Makan nasi uduk. Makan kue lupis. Makan onde-onde. Dan lain sebagainya,” terang Willy.

Saya menyimak.
 


Willy pernah lama tinggal di luar negeri untuk studi. Sebagai anak bungsu, saat itu ia jauh dari keluarga. Sambil kuliah, ia pernah mengecap dapat uang dari menjadi pekerja resto, di bagian bersih-bersih. Tapi ia tak malu, justru bangga dapat uang dari hasil keringat sendiri. Padahal ortunya mampu, punya beberapa bidang usaha, salah satunya pariwisata (perhotelan).

Meski pernah lama tinggal di luar negeri, lulusan Curtin Unversity ini tidak kebarat-baratan. 16 tahun tidak kembali ke Lampung sibuk studi, lalu kerja sebagai jurnalis.
 

Rujak segeeeer

Willy seorang jurnalis?

Ya. Willy pernah bekerja sebagai jurnalis FHM Singapore. Majalah THAT’S Shanghai. Penulis The Star Newspaper Malaysia. Dan yang terakhir The Jakarta Post sebagai editor hari Minggu.

Sejak studi hingga bekerja, Willy tidak kembali ke Lampung hingga 16 tahun lamanya. Waktu yang tidak singkat. Karena sebuah alasan akhirnya ia kembali ke Lampung, bantu usaha orang tua. Kemudian baru pada 18 April 2016 ia membuka Kantin Makan Encim Gendut, hingga sekarang.

Saat kembali ke Lampung, daerah asalnya, ia justru prihatin dengan anak muda yang tidak punya jati diri. Tidak bangga dengan kekhasan daerah yang dipunya. Ia mencontohkan anak muda Lampung yang bergaya ala ke-bandung-bandungan, atau ke- Jogja-jogjaan. Padahal, jadi Bandung enggak, Jogja enggak. Seperti tinggal di kota pura-pura. Kenapa tidak bisa menjadi “ini lho saya, tinggal di Lampung, bergaya Lampung?"



 

Encim Gendut baru berjalan 6 bulan. Pelan tapi pasti, pelanggannya bertambah dari hari ke hari. Kebanyakan kalangan berkeluarga. Ada pula para PNS dan para ibu-ibu sosialita wannabe (sebutan yang diberikan oleh willy untuk sosialita nanggung hehe). Kalau anak-anak muda (kekinian), masih sangat jarang makan di Encim Gendut.

“Mungkin anak muda nggak mau makan jengkol dan tumis genjer, nanti nggak keren,” canda Willy sambil terkekeh.

“Saya suka masak meski tidak ahli,” ucapnya dengan rendah hati.
 


Nama Encim Gendut terinspirasi dari tante Willy yang tinggal di Lampung Tengah. Tapi kini tantenya telah tiada. Dulu tantenya pernah 30 tahun jualan makanan. Willy kecil sering diajak ke pasar. Belanja sayur, bumbu-bumbu, dan juga jajanan pasar. Willy dan keluarganya amat mencintai makanan lokal. Itu sebabnya saat membuka rumah makan, menu yang ia sajikan adalah menu tradisional Nusantara.

Meski sudah total mengurus kedai makan, saat ini Willy masih menerima job lain, yakni sebagai konsultan menulis untuk PBB. Misalnya ada dokumen yang harus diterjemahkan dari Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia. Ia juga memberikan pelatihan bahasa Inggris 3 bulanan.

“Saya tidak menjual makanan. Saya menjual pengalaman,” jawab Willy saat saya tanya teknik marketing Encim Gendut.

Orang datang ingin makan, lalu makan apa yang ia ingin makan. Tanpa harus berpura-pura tidak suka jengkol. Makan sayur asam, tanpa harus pura-pura suka sayur asam. Makan tumis genjer, tanpa pura-pura suka genjer. 





Kami sediakan masakan ala rumah di meja. Mereka tinggal ambil tanpa merasa “dijatahi”. Biarkan mereka bersantai saat memilih dan saat menghabiskannya. Kami beri kenyamanan. Pasang AC. Lampu terang. Lantai bersih. Ruangan harum bebas bau tak sedap. Kami sediakan juga tempat di luar, buat mereka yang ingin duduk makan sambil merokok.

Meski makanan ndeso, tapi rasa dan suasana dibuat ala resto. Kebersihan dan kerapian harus nomor satu.

“Saya ingin orang respek, bukan takut.”
 


Di sini, saya ingin orang tak hanya makan, tapi juga saling bertemu. Saya ingin bikin suatu acara di hari Sumpah Pemuda nanti. Saya mau kumpulkan orang-orang yang berdedikasi untuk Lampung. Ga harus tokoh-tokoh terkenal, bisa dari kalangan penggiat wisata, entah itu penulis, fotografer, blogger, pemilik usaha resto lokal, pemilik kedai kopi lokal, semacam itu…

“Saya mau undang Mas Yopie. Mbak Katrin juga. Apa mbak Katrin bisa datang ke Lampung akhir Oktober nanti?” tanya Willy.

Wah.

Saya belum bisa jawab bisa datang atau tidak. “Saya lihat nanti ya mas,” hanya itu yang bisa saya ucapkan padanya.
 

Waktu sudah menunjukkan jam 12 siang. Saya mesti ke hotel. Obrolan berbobot itu terhenti.

“Kalau butuh penginapan, kapan-kapan ke tempat saya juga boleh. Di Wisma Delima. Tarif kamarnya berkisar antara Rp 200.000 sampai Rp 250.000,- ,” ucap Willy, sebelum saya pamitan.

“Oh, tentu mas,” sambut saya senang. Saya tinggalkan kartu nama untuknya, lewat Yenni sekretarisnya yang tadi antar saya ke ATM.

“Salam ya buat Mas Yopie. Nanti saya kirimi dia undangan,” pesannya sebelum akhirnya saya berjalan ke pintu, meninggalkan Encim Gendut.




Siang itu saya makan nasi uduk pakai orek tempe yang diberi nama “Istri sayang suami”, sate udang, dan sayur genjer. Minumnya es teh tarik. Sempat mencicipi kue lupis favorit, dan juga sepotong Choy Pan. Pulangnya dibekali pisang goreng dan oncom goreng yang masih hangat. Alhamdulillah rejeki.

Kalau ke Lampung lagi, saya mau mampir ke Encim Gendut lagi. 


Makan dan mendapatkan pengalaman.


Kantin Encim Gendut
Jalan Lindu No. 6 Tanjung Karang, Bandar Lampung
(dibelakang kursus inggris LIA Jln Kartini)
BBM: 5D7B4242 SMS & WA: +62 823-0608-7294
Waktu buka Pukul 07.00-17.00 WIB 




*semua foto menggunakan kamera ponsel ASUS Zenfone 3