Bertandang ke Jember Bersama Sahabat

Sahabat dekat
 
Saya menyukai Jawa Timur, salah satu alasannya karena propinsi satu ini punya banyak kota besar yang bisa diakses dengan transportasi udara sehingga mudah dijangkau dalam waktu singkat. Sebut saja Surabaya, Malang, Banyuwangi, dan Jember. Total ada 4 kota yang punya bandar udara. Nah, selain dengan pesawat terbang, kota-kota tersebut, serta kota-kota lainnya di Jawa Timur juga mudah dicapai dengan menggunakan kereta api dan bus.

Senin tanggal 19/10 adalah untuk pertama kalinya saya bertandang ke Jember, Jawa Timur. Rencana awal, rute penerbangan yang saya ambil untuk ke sana adalah Jakarta-Surabaya-Jember. Hal ini saya lakukan karena keterbatasan waktu yang saya miliki. Sebab ke Jember itu bukan dalam rangka liburan, melainkan untuk menjumpai sahabat saya (mbak Ira) yang sedang dilanda duka. Kelar berjumpa harus langsung balik lagi ke Jakarta. Nah, itu sebabnya saya memilih naik pesawat.

Janjian ke Jember

Yang akan menjenguk mbak Ira bukan hanya saya, tetapi beberapa kawan dekat lainnya seperti Lestari, mbak Dedew, mbak Ima (Primastuti), mas Elthon (suami mbak Ima), Ihwan, Ivon, dan mbak Zulfa. Mulanya, saya janjian dengan mbak Ima (Primastuti) bertemu di Surabaya. Saya naik pesawat dari Jakarta, mbak Ima dan mas Elthon (suami mbak Ima) naik kereta dari Jogja. Lalu, dari Surabaya kami akan naik kereta bareng-bareng menuju Jember. Namun ternyata, mbak Ima dan mas Elthon berangkat Sabtu (17/10). Saya tidak bisa. Lagipula mbak Ira hari Sabtu masih dalam perjalanan dari Jerman menuju Indonesia, dan akan tiba di Jember Minggu Malam. Jika ke Jember tanpa ketemu mbak Ira rasanya ada yang kurang.

Kebetulan Tari dan mbak Dedew sedang berada di Malang (liburan), mereka akan berangkat ke Jember dari sana. Setelah tahu Ihwan dan Ivon juga ikut berangkat, akhirnya saya pilih ke Jember lewat Malang biar bisa berangkat barengan. Kami menyewa mobil Avanza seharga Rp 750.000,- PP sudah termasuk supir dan BBM. Berhubung jalannya malam, maka nambah Rp 200.000,- Kenapa kami berangkat malam? Supaya tiba di Jember pagi sekali. Sebab Senin jam 11 siang kami harus sudah kembali ke Malang. Rombongan mbak Dedew akan kembali ke Semarang dengan kereta jam 5 sore. Jadi kami harus berusaha jam 4 sore sudah di Malang lagi.

 

Perjalanan di Malam Hari
Jam 10 malam kami mulai berangkat. Aiman sudah tidur saat dibawa masuk ke mobil. Kami menjemput mbak Dedew dan Tari di hotel. Malam cukup tenang, jalan lengang, mobil melaju tenang. Namun keadaan berubah ketika Ihwan mulai hoek hoek muntah. Dari rumah memang Ihwan sudah sakit, katanya masuk angin. Naik mobil melalui rute meliuk-liuk, membuat Ihwan makin sakit. Ia muntah sepanjang perjalanan. Berkali-kali mobil berhenti. Dari sekedar membiarkan Ihwan muntah di jalan, hingga mampir ke warung membeli teh manis hangat. Tapi Ihwan tetap muntah. Apapun yang masuk perutnya keluar lagi. Saya melihatnya saja merasa lelah, apalagi Ihwan. Kasihan.

Kantuk membuat saya tertidur. Yang lain juga demikian, kecuali Ihwan dan supir. Saya terbangun saat merasakan mobil berhenti di suatu tempat. Saya melihat supir turun, lalu merebahkan badan di sebuah bangku panjang di pinggir jalan. Rupanya supirnya ngantuk, dia minta waktu untuk tidur. Di saat yang sama, mbak Zulfa menelpon. Dia menanyakan posisi kami. Saat itu saya tidak tahu sudah berada di mana. Tapi kata mbak Dedew sudah di Jember. Ternyata perjalanan yang kami tempuh dari Malang tepat 6 jam lamanya.

Satu jam kemudian supir bangun. Kami kembali melanjutkan perjalanan menuju stasiun Jember untuk menjemput mbak Zulfa. Jam 5 kami tiba di masjid yang terletak di samping stasiun. Emakmbolang hebat yang tangguh dan perkasa itu sudah menunggu di depan masjid. Wow...saya acung jempol buat keberaniannya bertualang.
 
Berjumpa mbak Zulfa di masjid sebelah stasiun Jember

Selamat pagi Jember! *Aim dan Lestari*

Sarapan Nasi Pecel

Usai salat subuh, kami istirahat sejenak, setelah itu mulai mencari sarapan. Awalnya mau mencari sesuatu di dekat alun-alun Jember. Tapi yang dicari tak ada. Mungkin karena masih pagi. Tapi lumayan jadi cuci mata, sebab suasana sekitar alun-alun tampak berseri. Kami melewati masjid berarsitektur bagus. Sepertinya masjid Agung Jember. Mobil terus bergerak ke arah lain, menyusuri jalan yang arahnya menuju ke rumah mbak Ira. Di jalan tanpa segaja melihat mobil jualan sarapan bertuliskan Nasi Pecel Artomoro. Di sanalah kami mampir sarapan.

Saya sangat jarang sarapan nasi pecel, tapi bukan berati tidak mau menyantapnya. Sebagai orang Sumatra, saya termasuk yang heran jika sarapan dengan pecel. Barangkali sama herannya dengan orang Jawa yang datang ke Palembang saat disuguhi pempek dan cuko untuk sarapan. Beginilah perut, tetap sehat karena biasa, meski yang dimakan itu sebetulnya tidak cocok untuk disantap di pagi hari. Tapi apapun itu, apapun makanannya, biasa tak biasa, adalah berkah. Nikmati saja.

Bapak penjual nasi menempatkan nasi ke dalam piring. Sedangkan ibu penjual bertugas menaruh pecel ke dalam piring yang sudah diisi nasi. Sayur-sayur pecel ditata di atas nasi, lalu disiram dengan sambal pecel. Setelah itu ia mengambil lauk (sesuai pesanan pembeli) yang ada di lemari kaca. Saya lihat ada ayam goreng, telur ceplok, telur dadar, tumisan labu, gulai apa entah, sepertinya ati ampela. Terakhir dikasih peyek. Ketika piring diberikan, waw....ini sarapan atau makan siang? Berat sekali T_T

 
Sarapan di sini

Lauk nasi pecel

Menata pecel

Ini nasi pecelnya

ketauan ga lapernya? :D

Bersua mbak Ira

Perjalanan mencari rumah mbak Ira tidak selesai dalam sekali pencarian. Petunjuk arah yang diberikan mbak Ima (Primastuti) kami gunakan untuk memudahkan pencarian. Namun tak semudah yang dikira. Beberapa kali terlewat, kami harus putar balik, belok lagi, lewat lagi. Indomaret dan rel kereta yang disebut-sebut sebagai patokan, menjadi tempat paling jadi perhatian sepanjang pencarian. Setelah semua itu, akhirnya kami sampai di rumah mbak Ira. Alhamdulillah.

Senang dapat bertemu kembali dengan mbak Ira meski kali ini dalam suasana duka. Mbak Ira tersenyum menyambut kedatangan kami, meskipun lelah tergambar di raut wajahnya. Bisa dimaklumi karena mbak Ira baru saja melakukan perjalanan panjang dari Jerman ke Jember. Mungkin masih jetlag. 


Rasa duka itu memang tak kentara, tapi  tampak di pancaran mata. Saya tak dapat mengatakan apa-apa selain memeluk mbak Ira. Dan memang itu tujuan saya ke Jember. Memberikan perhatian dan rasa peduli.

Bersua mbak Ira di rumahnya

 

Berburu Oleh-Oleh Jember
Jam 10 kami mulai beranjak meninggalkan rumah mbak Ira. Bersiap untuk kembali ke Malang. Sebelum pulang, kami mampir ke toko oleh-oleh Jember. Mbak Ira mengantar kami ke toko Pundhi Male. Di toko itu ternyata banyak sekali oleh-oleh tapai. Inilah pertama kalinya saya melihat tape dalam jumlah sangat banyak. Mulai dari tape murni yang dikemas dalam bakul anyaman, hingga tape yang sudah diolah menjadi aneka kue seperti brownies, pia, prol, bolu dll. Saya teringat pernah dibawakan oleh-oleh tape dari saudara yang berlibur ke Jember, tape yang dibawanya sangat enak. Satu bakul saya habisi sendiri. Bahkan nambah bakul kedua.  

Usai berbelanja oleh-oleh, kami pun berpisah dengan mbak Ira dan mbak Zulfa. Mbak Zulfa jalan kaki ke stasiun, ditemani mbak Ira. Sedangkan kami langsung bergerak menuju Malang. Kali ini supir membawa kami melewati rute berbeda dengan rute saat pergi. Jika perginya lewat Lumajang, pulangnya lewat Probolinggo. Ternyata waktu tempuhnya pun berbeda, rute pulang lebih dekat. Kami cuma menempuh waktu 4 jam saja. Ga nyangka lebih cepat.

banyak tape!

Pingin aku makan semuaaa :)))

Bakulnya cakep

Prol enak!


bermacam olahan tape

Pie tape

aneka makanan lainnya

banyak pilihan

belanja...belanjaaa
Kalo ke Jember mampir sini ya

Di Probolinggo kami mampir makan di Lesehan Ayam Goreng H.Soleh. Supirnya bilang terong sambal di rumah makan ini enak. Sambal khas Probolinggo. Mesti nyobain. Ternyata memang enak. Ayam goreng madunya juga enak. Padahal saya ga begitu suka ayam, tapi di sini saya mau memakannya. Ayam goreng madu disajikan dengan sambal terasi dan aneka lalapan. Untuk minumannya, saya memesan es beras kencur. Makan sambel terong, pake lalapan, dan minumnya jamu. Keren toh. Makanan lokal memang lebih keren #duta Smesco banget yah! :D

Lesehan H.Soleh cukup luas. Banyak tempat lesehannya. Tempatnya juga bersih. Suasanannya nyaman. Harga makanannya pun tak terlalu mahal. Di sini mbak Dedew sempat numpang memandikan Nayla dan Alde. Ihwan juga memandikan Aiman. Saya pikir hal itu memang perlu karena sedari pagi mereka belum mandi. Dengan mandi pastinya anak-anak itu jadi lebih segar. 

Lesehan H.Soleh

luas dan nyaman

Makan siang dulu

Sambelnya banyak :D

Ayam goreng madu

ini dia yang jadi favorit: Sambal Terong!

Tempe penyet

teh manis, jeruk, beras kencur
Ada toko oleh-oleh di samping lesehan H.Soleh

Setelah perjalanan panjang Jember-Malang, kami menyambangi GO, Gudang Oleh-Oleh Malang. Supir yang membawa kami ke sana. Ihwan sendiri baru tahu tempat itu. Tempatnya besar. Mirip supermarket oleh-oleh. Dilengkapi kafe, toilet, dan musola. Nah, di sinilah saya menunaikan salat Zuhur dan Asar. Ya, di sini saya hanya numpang menggunakan toilet dan musola, tak belanja apapun. Penat menghilangkan selera belanja. Alhamdulillah sebelum jam 5 sore mbak Dedew dan rombongan sudah diantar ke stasiun Malang, siap untuk berangkat ke Semarang. Sedangkan saya, kembali ke rumah Ivon. Numpang bermalam semalam sebelum kembali ke Jakarta pada esok harinya.

Cerita selama di Malang dapat di baca di sini.

~Duka cita mendalam untuk mbak Ira atas meninggalnya mama dan papa di hari yang sama. Semoga keduanya tenang berada di sisi Allah SWT. Aamiin.



*semua foto dokumentasi Katerina 


Senang Kembali ke Malang


Minggu sore (18/10), saya kembali menginjakkan kaki di Kota Malang. Terakhir ke kota apel ini tiga tahun lalu, tepatnya bulan Februari 2012. Saya mendapati perubahan pada bandara Abdul Rachman Saleh, kini lebih besar dan punya bangunan baru yang megah. 

Seingat saya, dulu begitu kecil dan sederhana, nyaris serupa dengan terminal bus. Kini, terminal lama difungsikan sebagai terminal kedatangan. Sedangkan bangunan baru sebagai  terminal keberangkatan. Banyak kios jajan di depan terminal, berhadapan dengan area parkir bandara. Dulu, semua itu tak ada. Kini jadi ada, pertanda tingkat kunjungan ke Malang dengan menggunakan transportasi udara kian meningkat. 

Terminal keberangkatan

Terminal lama kini jadi terminal kedatangan

Jember adalah kota tujuan utama kedatangan saya ke Jawa Timur. Malang hanya sekedar transit. Sekembali dari Jember, dan sebelum terbang ke Jakarta, saya bermalam semalam di Malang. Alhamdulillah kawan baik saya, Ivone dan Ihwan, bersedia rumahnya saya inapi.

Atas keluangan waktu dan kebaikan hati Ihwan, Minggu sore saya dijemput di bandara Abdul Rahman Saleh, dan dibawa ke rumahnya. Tentu ada perasaan senang bisa berjumpa lagi dengan keluarga Ihwan. Ivone, istri Ihwan adalah teman saya. Saya berteman dengan Ivon sejak masih sama-sama ngeblog di MP (sekitar 6-7 tahun yang lalu). Ivon adalah teman di dunia maya yang menjadi nyata. Pertemanan kami terjalin sejak ia masih gadis, sampai ia menikah dan punya anak. Berjumpa kembali dengannya adalah sebuah kebahagiaan. Bahagia bisa kembali bersilaturahmi dalam hubungan pertemanan yang tetap baik.

Waktu begitu cepat berlalu, banyak yang berubah, tentu saja. 3 tahun lalu saat bertandang ke Malang, Ihwan dan Ivon belum menikah. Satu bulan paska kedatangan saya ke Malang, mereka baru menikah. Dulu Ihwan menjamu saya di rumah orang tuanya. Kali ini saya dijamu di rumah pribadi milik Ihwan yang ditinggali bersama keluarga kecilnya. Ihwan dan Ivone memang sudah mandiri. Berkat ketekunan dan tekat kuat yang mereka miliki, kini mereka sudah punya rumah sendiri. Rumah biru yang cantik.

Senang rasanya bisa berkunjung ke kediaman Ivon. Apalagi merasakan menginap dan bermain bersama Aiman, putranya yang sangat aktif. Saya berdoa untuk mereka, semoga selalu diliputi kemudahan dan kebahagiaan dalam mengarungi kehidupan rumah tangga. Dan kebaikan mereka pada saya, semoga mendapat balasan yang lebih dari Allah SWT. Aamiin. 

Ivon dan keluarganya

Rumah keluarga biru
Disuguhi rujak cingur

Minggu malam, selepas waktu magrib, saya di ajak ke Alun-Alun Malang. Ivon, Ihwan, Aiman, dan adik sepupu Ihwan, semua ikut serta. Dengan menggunakan 2 buah sepeda motor, kami menuju alun-alun. Sebelum berangkat Ivon memperingatkan saya untuk menggunakan baju hangat karena udara Malang di malam hari akan terasa sangat dingin. Karena saya tidak bawa jaket ataupun sweater, Ivon pun meminjamkan jaket wanita miliknya. Alhamdulillah bisa selamat dari udara dingin yang biasanya tidak mampu saya tahan.

Suasana Minggu malam di alun-alun sangat ramai. Banyak anak-anak, remaja, hingga orang dewasa berkunjung ke alun-alun. Ada yang sekedar duduk-duduk, berjalan, atau pun bemain di taman. Kebanyakan duduk di area sekitar air mancur. Padahal, suasana alun-alun minim cahaya. Saya tidak tahu kenapa demikian. Tapi yang jelas, taman remang-remang itu terasa kurang nyaman dan aman. Apalagi buat anak-anak. Terlihat anak-anak bermain benda menyala mirip lampu yang bila dilemparkan ke atas akan tampak seperti kembang api. Harganya Rp 5000. Ihwan membeli satu untuk Aiman. Tapi benda itu tak bisa dimainkannya. Akhirnya Aiman lebih banyak berlarian, Ivon kewalahan, Ihwan mengejar kerepotan.

Di alun-alun kami menjumpai Tari dan mbak Dedew. Tari dan mbak Dedew sedang berada di Malang dalam rangka liburan. Mbak Dedew membawa anaknya, Nayla dan Alde. Malam itu kami memang janjian untuk ketemu. Namun di alun-alun kami tak banyak ngobrol. Saat itu, memang tak begitu cocok buat ngobrol. Apalagi waktu kami sedikit, sebab jam 10 malam kami akan berangkat ke Jember untuk menjenguk mbak Ira. Usai duduk-duduk, jalan, dan foto-foto, akhirnya jam 8 kami meninggalkan alun-alun. Saya kembali ke rumah Ivon, mbak Dedew dan Tari kembali ke hotel. Namun sebelum kami beranjak pulang, pertunjukan air mancur yang dinanti mulai dihidupkan. Orang-orang mulai mendekati pusat alun-alun, tempat di mana air mancur akan menari dengan warna-warna yang silih berganti.  Anak-anak mbak Dedew terlihat gembira. Padahal tadinya Alde sudah merengek minta pulang.  

Minggu malam di alun-alun Malang
 
Air mancur menari berlatar Masjid Jami Malang

Warna air mengikuti warna lampu yang berganti-ganti

Bersantai di alun-alun Malang
 
Berjumpa Lestari dan temannya

Reuni keluarga BM

Jam 10 malam kami berangkat ke Jember dengan menggunakan mobil Avanza sewaan. Perjalanan kami tempuh sekitar 6 jam lamanya. Kami tiba di Jember jam 4 pagi. Setibanya di Jember kami menuju stasiun, menjemput mbak Zulfa. Setelah itu baru sama-sama ke rumah mbak Ira. Jam 11 siang kami sudah berangkat lagi menuju Malang. Tiba sekitar pukul 4 sore. Waktu tempuh lebih cepat karena rute yang dilalui berbeda dengan rute saat pergi. Alhamdulillah perjalanan pergi dan pulang dari Jember lancar. Kami selamat dan sehat, kecuali Ihwan yang mabuk perjalanan sepanjang perjalanan pergi.

Senin malam saya menginap di rumah Ivon. Perjalanan dari Jember cukup melelahkan. Sesampainya di Malang rasanya ingin istirahat dan tidur saja, tak ingin jalan-jalan lagi. Tapi malamnya akhirnya keluar juga, walau sebentar, sekedar membeli mie cobek. Kata Ihwan, kedai mie cobek itu pernah diangkatnya ke dalam tulisan, semacam review. Memang cocok untuk ditulis karena kulinernya unik. Berhubung malam itu sudah lapar, mie langsung saya santap, akibatnya lupa difoto. Jadi ga ada buktinya buat dipajang di sini :D

Hari Selasa saatnya kembali ke Jakarta. Meski pesawat saya siang, tapi jam 8 pagi saya sudah berpamitan dengan Ivon. Pinginnya, jam 9 atau 10 sudah duduk manis di bandara. Tidak masalah menunggu lama, biar saya bisa bersantai. Rencananya di bandara saya akan menggunakan waktu untuk menulis. Kebetulan memang bawa laptop. Lumayan kalau selama nunggu bisa menghasilkan satu tulisan buat diposting di blog. Tapi kemudian Ihwan mengusulkan agar saya ikut ke tempat kerjanya di perpus Brawijaya Malang. Katanya mending nunggu di sana. Ada wifi, bisa sambil ngeblog. Ihwan juga ada bilang, barangkali saya ingin jalan-jalan keliling komplek kampus Brawijaya, siapa tahu mau survey-survey buat jadi kampusnya Humayra kelak he he. 


Suasana gazebo perpus Brawijaya

Ihwan di tempat kerjanya

Numpang ngeblog di perpus Brawijaya

Sekitar bundaran kampus Brawijaya




Sebelum masuk perpus, saya sempat minta duduk di gazebo saja. Enak di luar, adem banyak angin. Bisa sambil liat-liat suasana juga. Tapi setelah masuk perpus, ternyata suasananya lebih nyaman lagi. Ya sudah saya nunggu di perpus saja. Sementara barang-barang saya disimpan dekat meja kerja Ihwan. Di perpus banyak mahasiswa/i. Saya siapa ada di antara mereka? Hihi. Emak-emak numpang singgah sebelum ke bandara :D

Jam 12 saya berangkat ke bandara. Ihwan yang antar. Sempat nggak enak sih, takutnya memakan waktu kerjanya. Tapi kata Ihwan gapapa, karena itu jam istirahat. Nah, sebelum jalan, Ihwan nyaranin saya foto-foto dulu di komplek Brawijaya. Tempat yang disarankan adalah bundaran Brawijaya. Di situ ada spot bagus dengan latar belakang gedung rektor. Benar juga sih. Lalu saya foto-foto di situ. Setelah puas, baru berangkat menuju bandara

Dalam perjalanan menuju bandara, saya mendadak lapar. Pingin makan tapi bukan makan nasi, melainkan bakso bakar. Sambil jalan, mata saya jelalatan mencari warung bakso. Agak susah juga menemukannya. Padahal sewaktu belum dicari, warung bakso terlihat di mana-mana. Sekalinya ada, ternyata bakso daging babi. Untung kami tanya dulu, kalo nggak mungkin sudah bersantap makanan tidak halal hehe.

Setelah mencari beberapa waktu, akhirnya ketemu warung bakso bakar yang dicari. Nama tempatnya kalau tak salah Bakso Bakar Adi Sucipto. Halal? Iya tentu. Sewaktu masuk langsung saya tanya. Si mbak berkerudung yang jaga warung mengatakan baksonya halal. Siplah. Ohya, spesialnya nih, di warung ini juga sedia es teler duren. Kebetulan sekali memang sedang ingin sesuatu yang segar-segar. Pucuk dicinta es teler duren pun tiba. Cocok! 

Durennya banyak. Manis dan segar!

Bakso bakar idaman

Mbaknya sedang bikin kupang kraton

1 jam sebelum jadwal keberangkatan, saya sudah tiba di bandara. Mepet sih sebetulnya tapi untungnya masih aman. Pesawat Sriwijaya yang saya tumpangi, tiba tepat waktu, dan saya pun terbang ke Jakarta tepat waktu. Sebelum berangkat, saya perhatikan moncong pesawat di sebelah kanan bertuliskan kata “Kebenaran”. Lalu saya teringat ketika berangkat ke Malang pada hari Minggu, moncong sebelah kirinya bertuliskan “Kebahagiaan”. Dua kata itu kemudian berseliweran di kepala saya, lalu masuk ke dalam kalbu, menghadirkan suatu rasa. Malang 3 tahun lalu dan saat ini, tak lagi sama. Tetapi kebahagiaan dan kebenaran, tak pernah berubah. Inilah hidup, ia terus berjalan dengan banyak cerita.


Kebahagiaan

Kebenaran

Datang dan pergi tepat waktu
 
Sampai jumpa lagi Malang