Suatu Sore di Vihara Dewi Kwan Im Belitung Timur


Vihara Buddhayana Dewi Kwan Im terletak di Desa Burung Mandi, Manggar, Kabupaten Belitung Timur. Vihara tertua dan terbesar di Pulau Belitung ini jadi tujuan akhir kami dalam tour hari pertama keliling Belitung. Setelah menikmati makan siang kesorean di Rumah Makan Fega, kami baru meluncur ke sana sekitar jam 15.25. Perjalanan menuju vihara kami tempuh selama 20 menit.

Dalam perjalanan, bang Romi supir sekaligus guide kami, bercerita tentang kehidupan sehari-hari masyarakat Belitung terutama perihal mata pencaharian. Lelaki yang gemar guyon itu juga bercerita tentang kepercayaan masyarakat Belitung yang tidak menggunakan genteng sebagai atap rumah-rumah mereka. Awalnya aku dan mbak Samsiah diminta untuk mengamati rumah-rumah yang kami lewati. Lalu ditanya apa ada yang terlihat berbeda dari apa yang kami lihat. Aku berfikir keras, tapi tak menemukan sesuatu yang beda. Semua tampak biasa. Di sinilah Bang Romi mulai bercerita. Dalam kepercayaan masyarakat setempat, tinggal di rumah beratap genteng itu dianggap tinggal di dalam “liang kubur”. Genteng terbuat dari tanah. Jika tinggal di bawahnya seolah tinggal di bawah tanah. Mereka tidak mau ‘masuk tanah’ sebelum waktunya. Aku dan mbak Samsiah agak keheranan mendengar cerita itu.

Suasana jalan yang kami lalui sepertinya agak beda dengan sebelumnya. Mulai agak menanjak. Banyak hutan di kanan dan kiri jalan. Lebih sejuk dan lebih asri. Beberapa kali melewati kebun lada, tanaman rempah yang menjadi komoditas andalan daerah setempat. Selain lada, juga ada perkebunan sawit dan karet. Aku kira tanah gersang bekas banyak tambang timah di pulau ini tak bisa ditanami apapun lagi. Ternyata aku salah  terka.



 

Vihara terletak di perkampungan muslim, bukan di perkampungan etnis China yang menganut agama Budha. Menurut Bang Romi, ada alasan kenapa hal tersebut bisa demikian, tak lain karena masyarakat beda agama di pulau ini sama-sama ingin menunjukan sikap toleransi dan saling menghormati yang mereka miliki.

Dalam pahatan sejarah yang aku baca di Museum Tanjung Pandan, Belitung mulai dikenal oleh orang asing yaitu sejak abad ke-13 Masehi. Dalam catatan Tiongkok diuraikan bahwa armada Mongol yang dipimpin oleh Kau Hsing dan Shih-pi pergi hendak menyerang Kerajaan Singkasari (1293) dengan membawa banyak tentara yang diangkut dengan kapal-kapal besar. Dalam pelayarannya mereka terbawa arus dan terdampar di Kau-lan (suatu tempat di Pulau Belitung).

Ketika kapal pengangkut tentara Mongol terdampar di Kau-lan, banyak tentara yang jatuh sakit. Tentara yang sakit sebagian kembali ke Tiongkok, dan sebagian lagi tetap tinggal di Kau-lan bersama penduduk setempat. Banyak di antara mereka kawin dengan penduduk lokal. Sejak saat itulah Belitung mulai ditinggali orang-orang Tionghoa. Hingga sekarang populasi mereka di Bangka dan Belitung cukup banyak. Apalagi ketika timah ditemukan di Bangka, banyak pekerja tambang yang didatangkan dari Tiongkok.

Sejarah inilah yang membuat rasa heranku perlahan pupus. Iya, pupus. Tak lagi heran dengan banyaknya penduduk etnis yang banyak aku jumpai di berbagai tempat di Belitung.
 






Kami sudah kesorean tiba di Vihara. Dari gerbang masuk jarak vihara hanya beberapa puluh meter saja. Area Vihara Dewi Kwan Im Belitung Timur ini dibangun di atas tanah berbukit-bukit seluas 3 Ha. Ada tempat parkir yang luas. Warna merah tampak mendominasi semua bangunan vihara, termasuk ornamen dan lampion-lampion yang bergelantungan di langit-langit vihara. Di bawah cahaya matahari yang mulai menyorot miring, vihara terlihat begitu cantik. Aku dan mbak Iah bergegas menaiki tangga. Berharap bisa turun sebelum matahari menghilang di kaki langit.

Vihara Dewi Kwan Im Belitung Timur sudah sangat tersohor sejak lama, merupakan salah satu tempat ibadah warga Tionghoa yang paling tua di Belitung Timur. Lokasi vihara berada di sisi Timur Pulau Belitung, langsung menghadap ke Pulau Kalimantan yang berjarak sekitar 200 km, dan Laut Jawa.

Vihara Dewi Kwan Im ditemukan pertama kali pada tahun 1747. Vihara ini memiliki tiga tempat sembahyang. Yang pertama kami jumpai adalah yang di dekat anak tangga, namanya Shimunyo. Setelah kami naik naik lebih ke atas, ada satu lagi tempat sembahyang bernama Sitiyamuni. Sedangkan yang paling atas adalah tempat sembahyang yang paling besar yaitu Kon Im. Konon, Dewi Kwan Im bersembahyang di atas batu yang ada di Kon Im, salah satu tempat sembayang paling besar di vihara ini.
 
Wisatawan


Sembahyang



Sesampainya di Vihara Dewi Kwan Im, kami bertemu dengan pengurus vihara bernama Akhun. Ia bersama istrinya dan seorang wanita lainnya. Kami meminta ijin untuk masuk dan memotret di dalam. Tanpa ragu ia membolehkan. Ijin itu ia berikan karena vihara sedang sepi. Tak ada yang sedang sembahyang. Hanya saja kami diminta melepas alas kaki ketika masuk. Mengisi buku tamu dan memberi sedekah secara sukarela. Setelah beberapa saat masuk, datang sepasang pengunjung yang hendak sembahyang. Akhun dan istrinya membantu keduanya, mengajari ritual yang mesti dilakukan. Melihat itu aku menyingkir, lalu pindah ke pojok sambil memotret. Untungnya tak dilarang.

Vihara Dewi Kwan Im Belitung Timur terkenal hingga ke banyak negara di dunia. Sudah banyak peziarah yang jauh-jauh datang dan sembahyang di Vihara Dewi Kwan Im. Patung Dewi Kwan Im konon memiliki aura mistis di altar utama Vihara Dewi Kwan Im Belitung Timur. Patung Dewi Kwan Im dipercaya umat Budha bisa menyelamatkan manusia. Di dalam Vihara juga ada lukisan Dewi Kwan Im tengah duduk di atas teratai, dan sejumlah patung Dewi Kwan Im yang kebanyakan memegang botol labu di tangan kirinya.
  








Di dalam altar terdapat tiga buah patung Buddha, tambur dan genta kecil, hiolo, lukisan Dewi Kwan Im, dan patung Kwan Kong serta perlengkapan sembahyang lainnya. Di sebelah kanannya ada lagi bangunan terpisah berisi patung-patung Dewi Kwan Im. Di dalam vihara terdapat altar pemujaan bagi Pak Kung (Hok Tek Ceng Sin) atau Dewa. Ada pula Patung Toapekong (Tua Pek Kong) atau patung Dewa Bumi, yaitu patung yang biasa diarak sambil diringi barongsai pada perayaan hari besar Tionghoa.

Perayaan yang biasa dilakukan di Vihara Dewi Kwan Im Belitung Timur adalah acara ritual tahunan pada Hari Raya Imlek. Terkadang juga ada perayaan ulang tahun vihara yang berlangsung di bulan 2, tanggal 19, mengikuti sistem penanggalan Tiongkok.

Ada anjing hitam lewat, model tetap bergaya alay :D

Menapaki 80-an anak tangga

 
~Belitung, 11 September 2015
  
  


*Semua foto dokumentasi Katerina

Mengenal Batik Belitung Timur di Sanggar Batik de Simpor Kampoeng Ahok



“Kita akan melewati Kampoeng Ahok. Apa kalian ingin mampir?” tanya Bang Romi, supir sekaligus guide kami selama keliling Belitung.

Saat itu kami baru saja usai berkunjung ke Museum Kata Andrea Hirata. Jarak museum dengan Kampoeng Ahok dekat, dapat dicapai dalam waktu sekitar 2-3 menit saja. Itu sebabnya Bang Romi menawarkannya pada kami. Kenapa harus ditawarkan terlebih dahulu? Karena sebetulnya tempat itu tidak ada dalam itinerary.

“Apa yang bisa kami lihat?” tanyaku.

“Rumah dan sanggar batiknya,” jawab bang Romi.

Sebenarnya aku bertanya-tanya dalam hati, memang apa menariknya rumah seorang Ahok? Apa karena dia mantan bupati yang kemudian jadi terkenal seantero negeri karena berhasil memangku jabatan jadi orang nomor satu di DKI Jakarta? Di Jabodetabek aku bisa melihat rumah-rumah pejabat tinggi lainnya tanpa harus menganggap bahwa rumah mereka perlu dikunjungi. Tapi di Belitung, guide-ku menawarkan kunjungan ke rumah Ahok, mantan orang penting di Belitung. Harus gitu?

Baiklah, aku memang bertanya-tanya keheranan. Tapi pada kenyataannya aku antusias. Rasa heran memang harus dituntaskan dengan menjadi ‘tahu’ bukan? Kalau tidak dituntaskan, selamanya akan heran. Heran berkepanjangan bisa menyebabkan muntah. Muntah karena mual merasa tidak puas :p
 
Nggak ada Pak Ahok di Kampoeng Ahok :D

Belakangan banyak anggapan bahwa Belitung jadi terkenal karena fenomena Laskar Pelangi dan Ahok. Anggapan yang tidak bisa dipungkiri. Dua magnet itu memang cukup menyedot perhatian. Itu sebabnya kini para penggiat travel di Belitung punya dua tawaran menarik yang bisa dijual ke wisatawan selain Laskar Pelangi, yaitu Ahok. Maksudku, segala sesuatu yang ada di Belitung yang  berhubungan dengan Ahok. Contohnya Kampoeng Ahok.

Tawaran bang Romi aku terima. Lalu Bang Romi pun mulai bercerita. Menurutnya, Ahok mendapat banyak tempat di hati sebagian besar masyarakat Belitung. Ketika menjabat sebagai bupati, peran dan jasanya sangat berarti. Ada satu kisah yang dirasa sangat berkesan oleh Bang Romi sehingga ia menceritakannya pada kami. Dulu, sebelum Ahok menjadi bupati, ada sebuah kawasan kosong, sepi, dan tak berguna. Di kawasan itu banyak lubang-lubang bekas tambang timah yang ditumbuhi ilalang, dan sedikit pohon yang tidak rindang. Suatu saat ketika Ahok menjadi bupati, tanah di kawasan tersebut dibagi-bagikan kepada masyarakat Belitung. Sampai di sini, Bang Romi tidak menjelaskan masyarakat yang mana dan seperti apa yang mendapat bagian tersebut. Tapi yang jelas, tanah yang dibagikan tersebut gratis. Rakyat tidak perlu membayar. Yang perlu dilakukan adalah membangun tanah yang dibagikan tersebut dalam kurun waktu 6 bulan. Jika tidak, maka akan diambil kembali dan diberikan pada orang lain.

“Bagaimana bisa tanah diobral-obral tanpa bayar seperti itu?” tanyaku keheranan.

“Supaya kawasan mati itu hidup!” pungkas bang Romi.

Cerita tersebut tak sekedar cerita. Seusai dari rumah Ahok, kami diajak melewati tempat yang diceritakan. Wujud tempatnya kini memang sudah menjelma sebuah desa. Bukan lagi lahan kerontang dengan lubang-lubang bekas tambang yang ditinggalkan. Desanya tidak padat tapi banyak rumah dan tempat usaha, sehingga terlihat hidup. Dulu sepi. Jarang ada orang yang melintas apalagi datang.
 
Jl. KA. Bujang No. 22 Gantung - Belitung Timur

Selepas Ahok menjabat bupati, bagi-bagi tanah itu tak terjadi lagi. Dan ini menjadi salah satu kisah yang melekat indah di hati Bang Romi, salah satu warga Belitung yang mengaku mencintai kepemimpinan Ahok. Terlepas dari segala fenomena Ahok yang katanya kadang dianggap ‘menyebalkan’, kisah lainnya tentang Ahok yang diceritakan oleh Romi, cukup membuat aku kagum. Bagaimanapun, setiap orang punya kelebihan dan kekurangan. Menghargai sisi lebihnya bukan sesuatu yang haram. Soal kekurangan, aku pribadi kadang lebih suka bergegas mencari kaca sebelum bicara. Aku rasa hidup ini indah kalau bisa melihat lebih dalam. Kisah-kisah nyata perlu didengar, apapun coraknya. Hal-hal personal sudah ada jalurnya akan dihubungkan kemana, begitu pula dengan kebaikan terkait orang banyak.

Mobil kami berhenti di depan sebuah rumah tradisional model panggung tapi pendek. Bangunannya terbuat dari kayu dan papan yang didominasi warna coklat kehitaman. Di halaman depannya yang bersih terpancang sebuah plang bertuliskan Kampoeng Ahok. Kami sudah sampai!

Namun, bukan rumah itu yang kami tuju. Melainkan rumah megah yang ada di seberang jalan. Rumah keluarga Indra Purnama, ayahnya Ahok. Untuk masuk, bang Romi mesti lapor. Ada penjaga dan beberapa orang yang terlihat di pos keamanan. Sebetulnya tidak ada prosedur ketat, apalagi pemeriksaan macam-macam, hanya sekedar lapor saja. Lalu kami pun masuk. Jalan kaki ke arah rumah. Tidak untuk masuk, tapi lewat saja. Rumahnya besar, bertingkat dua dengan bangunan melebar ke kiri dan kanan seperti bangunan bersayap. Menurutku rumahnya mirip sebuah kantor pemerintahan :D Di dalam rumah tentu saja tidak ada Ahok karena beliau tinggal di Jakarta. Rumah itu ditempati oleh keluarganya, termasuk ayah dan ibunya. Mungkin juga ditempati oleh keluarga Basuri Tjahaja Purnama, adik Ahok yang kini menjabat sebagai bupati Belitung. Tapi soal ini aku tidak tahu pasti. Kemarin kurang mendengar infonya dari Bang Romi.





Ada sumur di halaman depan rumah Ahok









Halaman depan rumah Ahok terbilang luas, namun agak kosong. Tidak ada tanamanan yang membuat halaman jadi terlihat asri dan sejuk. Hanya ada beberapa pohon yang tidak bisa dijadikan tempat untuk berteduh. Lain halnya di bagian samping. Di sana ada aneka tanaman, terlihat subur dan hijau. Di sebelahnya ada Sanggar Batik de Simpor, sanggar yang ingin diperlihatkan oleh bang Romi kepadaku dan mbak Iah. Sanggarnya terlihat sederhana. Tapi di sinilah batik-batik khas Belitung Timur dibuat. Pembinanya adalah istri bupati, sedangkan penggeraknya ibu-ibu anggota PKK Belitung Timur.

Simpor adalah nama pohon yang tumbuh di Belitung. Konon pohon ini hanya ada di Belitung. Daun pohon inilah yang dijadikan motif batik, serta dilekatkan menjadi nama sanggar. 

Aku tidak pernah tahu sebelumnya seperti apa wujud daun Simpor. Mendengarnya pun baru kali itu, saat pertama kali ke Belitung. Aku baru tahu bentuk aslinya ketika makan di Rumah Makan Fega. Di sana ada pohonnya. Ternyata bukan termasuk pohon besar yang tinggi menjulang. Daunnya lebar-lebar dengan urat daun besar-besar. Warnanya hijau terang.
 
Daun Simpor

Motif daun simpor yang digambar di kain agak besar-besar mengikuti ukuran aslinya. Tampak menarik dan cantik dilihat. Kain yang digunakan pun dari bahan berkualitas. Kebetulan ada kain pantai, kain yang sedang aku cari, aku pun beli tanpa ragu. Ternyata mbak Iah juga mau. Akhirnya kami sama-sama beli. Aku pilih warna coklat kekuningan, mbak Iah warna merah. Kain batik tersebut kami pakai keesokan harinya saat hopping island di perairan Belitung.  


Beli di Belitung, dianyari di Belitung.

Batik-batik yang diproduksi di sanggar ini ada yang dibuat dalam bentuk baju atasan, celana, rok, baju-baju formal dan casual, kain pantai, dan dress etnik. Kebanyakan didominasi warna cerah yang eye catching, seperti merah, oranye maupun kuning. Harganya bervariasi, tidak terlalu mahal, tapi juga tidak murah sekali. Menurutku sesuai dengan kualitas dan model, serta desain yang ekslusif dan elegan. Buat koleksi aku rasa bagus. Apalagi untuk beberapa model ada yang diproduksi terbatas. Kecuali baju kaos Belitung, banyak macam dan jumlahnya. Harganya pun harga pelancong.

Batik de Simpor sudah dikenal sebagai batik asli Belitung Timur. Sebuah ikon yang tak terbantahkan. Masyarakat Belitung Timur yang punya karya, motifnya mereka yang cipta, dan namanya melekat di tanah mereka.

Selain motif daun simpor, ada pula motif buah Keremunting, motif ikan Cempedik, dan motif gelas kopi yang asapnya mengepul. Buah Keremunting dijuluki anggurnya masyarakat Bangka Belitung. Sedangkan Ikan Cempedik yaitu sejenis ikan air tawar yang hidup di Belitung, dan banyak ditemukan di perairan sungai lenggang di Belitung Timur. Semua motif tersebut menjadi ciri khas batik Belitung Timur, pembeda dari batik-batik daerah lain, dan sudah dipatenkan.
 






 
Selain tersedia suvenir kaus dan baju batik, ada juga hiasan buah pinang, mug, tas batik, dan kartupos




Bahan untuk batik tulis


alat untuk batik cap




 
jual aneka makanan dan madu


Miniatur rumah adat melayu Belitung

Berkunjung ke sanggar de Simpor tidak hanya membuatku sekedar mengenal dan membeli sebuah karya batik, tapi juga melihat sebuah cita-cita masyarakat Belitung dalam mengangkat kain batik Belitung Timur sebagai ikon pariwisata. Peralatan membatik yang ada disanggar, bukan sekedar pajangan semata, tetapi memang benar-benar digunakan untuk membuat karya, serta digunakan saat kelas membatik dibuka. Ada edukasi, ada promosi, ada motivasi. 

Sanggar ini hidup dan menghidupkan. Selayaknya perlu didukung agar Batik Belitung Timur sejajar dengan batik-batik legendaris dari daerah-daerah di tanah Jawa. Dukungan itu tentu termasuk dari pelancong sepertiku.

Sekarang aku paham kenapa Bang Romi menawarkan untuk mampir ke Kampoeng Ahok. Ternyata ada hal menarik di tempat ini.
 
Belanja batik motif daun simpor


Batiknya dianyari saat hopping islands :D


~Belitung, 11 September 2015



*semua foto dokumentasi Katerina


Tradisi Makan Bedulang di Timpo Duluk Belitung


Tour Keliling Belitong bersama Viscatour.com di hari pertama (11/9/2015) berakhir di Klenteng Dewi Kwan Im. Dari Klenteng tertua dan terbesar di Belitong ini kami kembali mengukur jarak hingga ke Kota Tanjung Pandan. Namun rute yang dilalui berbeda, maka jarak dan waktu tempuh pun berbeda. Lebih pendek dan tentunya lebih cepat. Jika sebelumnya kami menghabiskan 3-4 jam waktu perjalanan, kali ini hanya 1 jam 38 menit.

Menyusuri jalan jelang matahari terbenam itu terasa romantisnya. Pergantian terang menjadi gelap menghadirkan keindahan tersendiri. Langit merah saga dengan matahari bulat orange yang perlahan turun ke kaki langit, seperti sajian pengiring menuju peraduan malam. Aku jadi ngantuk. Apalagi ada lelah menggantung di kaki, pundak, dan juga jari jemari (kebanyakan ceklak ceklek he he). Yang diinginkan adalah mandi, makan, lalu tidur. Bang Romi, supir sekaligus guide kami menghibur dengan kata-kata ajaib, tentang hotel nyaman dengan kasur yang empuk, restoran terkenal dengan makanan enak, juga warung-warung kopi yang buka sampai pagi. Mendengar itu aku tidak jadi ngantuk.

“Kalian akan saya antar ke hotel  untuk bersih-bersih, nanti jam 8 saya jemput lagi untuk makan malam di Ruma (tanpa huruf H) Makan Timpo Duluk,” ucap Bang Romi.

Kami nurut. Kami patuh. Karena kami lelah :))

Sesampainya di Central City 2 Hotel, penginapan yang disebut-sebut sebagai hotel melati tapi ternyata punya fasilitas kece ala hotel bintang tiga, kami langsung menyerbu kamar mandi. Tapi tentu saja itu tak terjadi, tak mungkin kami bareng-bareng mandi, meski sesama perempuan hehe. Singkat cerita, usai urusan bersih-bersih, kami langsung menelpon bang Romi minta dijemput. Tak pakai lama, Bang Romi muncul di hotel. Dia seperti punya pintu dora emon saja. Baru ditelpon sudah sampai. Ternyata sejak setengah jam sebelumnya dia menunggu di simpangan jalan dekat hotel. Oalah pantesan kalo gitu ya. Aku kira dia masih berada di rumahnya yang jauh itu.





Dari hotel kami meluncur ke Ruma Makan Timpo Duluk yang terletak di Jalan Lettu Mad Daud, Kelurahan Parit, Tanjung Pandan. Rumah makan ini menempati bangunan kuno dengan interior unik dan tak biasa. Bang Romi memberitahu kami bahwa rumah ini masuk kategori ‘langka’. Hampir punah, gitu? :D Ya, tebakanku tak keliru.

Di bagian luar aku membaca keterangan tertulis yang berbunyi seperti ini:
Warisan Budaya yang Dilindungi
Rumah Tradisional Melayu Belitong
SIMPOR BEDULANG
Berdasarkan
Rekomendasi Pemerintah Kabupaten Belitong
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
No. 556/792/DISBUBPAR/2011



Begitu masuk, aneka pernak-pernik unik terlihat begitu ramai menghiasi isi ruangan. Mulai dari alat perikanan, alat pertanian hingga perabotan dapur. Ada tampa, topi caping, alat penangkap ikan, bakul nasi, sendok batok kelapa, dayung, golok, cetakan kue, terompah, bubu, ambung, sampai sepeda ontel jaman belanda. Semua itu menempel di dinding-dinding.

Nah, buat kamu yang hobi corat-coret sembarangan, di sini kamu bisa lampiaskan hobi buruk itu pada tempatnya hehe. Deretan caping, tampa, alat tampi beras, bakul nasih dan lain-lainnya bisa dicoret dengan tulisan-tulisan nama dan kata-kata berisi pesan. Mau tulis nama mu pake lambang lope-lope? Mau kasih pesan ala alayers? Bisa! Hehe. Tapi aku lihat sih yang nulis di situ orang-orang beken seperti artis dan pejabat. Kalo nekat mau corat-coret juga, coret aja di selembar tisu, trus tisunya kamu buang ke tempat sampah :p
 













Oh ya nggak cuma pajangan penuh coretan-coretan, di rumah makan ini bahkan sedia tempat menempelkan foto-foto orang yang pernah mampir dan makan. Foto siapapun bisa dipajang? Oh tentu tidak, ada seleksi, kamu itu beken apa nggak di mata pemilik resto. Kalo nggak, ya lewat deh haha. Kemarin aku nggak corat-coret apalagi difoto buat dijadiin ‘pengunjung beken’, tapi sempat dikerumuni oleh para pelayan resto. Ngapain? Buat ditagih! Haha. Eh enggak ding. Aku serius kemarin para pelayan itu menghampiri untuk foto bareng wkwkwkw. Berasa beken banget kan aku? GR mah iya kali :p

Yang tak kalah menarik adalah cara penyajian makanannya. 7 piring berisi makanan dihidangkan dalam satu nampan besar yang disebut dulang. Nampan itu diletakkan di atas meja, di hadapanku dan mbak Iah, tidak diangkat dan dibawa pergi. Di dalamnya tersuguh Gangan Ikan dalam mangkuk model kuno, ikan nila goreng garing, oseng-oseng, sate ikan (mirip pepes), ayam ketumbar, sambal serai (ini enak banget!), dan lalapan (daun singkong+timun). Banyak? Buat kami berdua jelas kebanyakan! Huhu lagi-lagi porsinya berlebih. Tapi kami tak membuatnya mubazir. Setelah menyisihkan bagian yang akan dimakan dan tidak, makanan itu kami bungkus lalu diberikan kepada Bang Romi. Ternyata bang Romi sangat suka. Katanya mau dibawa pulang saja buat anaknya.  

satu dulang


Perhatikan piringnya
 


Ruang makan bersekat
Tempat tisu dari corong minyak


Dalam tradisi khas masyarakat Belitong, makan di atas nampan itu disebut makan bedulang yakni makan bersama dalam satu dulang dengan cara dan etika tertentu. Biasanya satu dulang diperuntukkan empat orang. Dimakan sambil duduk bersila dan saling berhadapan. Makna filosofis yang terkandung di dalamnya adalah tentang rasa kebersamaan dan saling menghargai antara anggota masyarakat yang menjadi cermin keterkaitan erat antara sistem sosial dan ekologi Pulau Belitong.

Malam itu kami makan lahap. Kenyang dan merasa puas. Suasana rumah makan ini memang mendukung, bikin selera makan jadi meningkat. Tak terlalu lapar saja bisa makan banyak, apalagi dalam keadaan perut kosong hehe. Sebelum pulang, aku dan mbak Iah sempat memperhatikan tudung penutup dulang yang berbentuk seperti caping. Banyak sekali yang unik-unik di sini. Bahkan tempat tisunya berupa kaleng corong tempat menuang minyak tanah.
 


Baju hitam celana pendek kotak-kotak itu bang Romi


Rombongan dari Jakarta juga nih


sesekali sok tenar :)))

Terkadang, memang bukan kelezatan sebuah makanan saja yang membuat seseorang terkesan, tapi ada unsur-unsur lainnya juga yang bikin orang jadi ingin berkunjung lagi dan lagi. Jika tak menjadi ‘unik’ dan ‘berbeda’, maka lambaikan tangan pada kunjungan balik :D

Kalau ke Belitong lagi, tentu aku akan balik lagi ke sini. Tak ada alasan untuk bosan pada sajian dan suasana rumah makan yang telah beroperasi sejak 16 April 2013 ini.
 
Dalam berita, dalam komentar Bondan


Foto para pengunjung

 
Ruma Makan Belitong Timpo Duluk
Resep tahun 1918
Buka setiap hari mulai pukul 11.00-22.00

 

~Belitong 11 September 2015. Jalan bareng Viscatour.com