Sepotong Cerita di Selat Sunda


“Kapal kita nomor 11. Kapalnya yang itu tuh,” ucap seseorang yang berjalan paling depan. 

Laki-laki itu, saya lupa namanya, menunjuk salah satu kapal yang sedang bersandar di dermaga. Kapal yang dimaksud tidak dalam keadaan tenang, tapi oleng kiri dan kanan, bikin ngeri. Saat pinggiran kapal mendekat, kami disuruh melompat cepat.  Saya mengambil ancang-ancang. Menunggu saat yang tepat, lalu melompat. Hap! Mendarat dengan selamat.

“Pindah ke sana, cepat!” seru seseorang.

Apa? Jadi kaki saya mendarat di kapal yang salah? Oh ternyata kapal kami ada di sebelahnya. Kapal yang pertama cuma jadi batu loncatan. Kasian deh lu kapal.

Saya loncat ke kapal berikutnya, kapal nomor 11. Cukup mudah. Tetapi tali tambang baja di sisi kapal pertama telah sukses menggoreskan noda di lengan baju kaos baru saya. Entah cairan apa yang dilumurkan pada tambang itu sehingga membuat baju jadi kotor dan tak dapat dibersihkan dengan mudah.


teman-teman satu kapal

Saya memilih duduk di bagian depan kapal, tapi bukan di ujung paling depan. Ngeri jatuh, sebab saya langsing kebangetan. Dihembus angin kencang bisa-bisa melayang. Repotlah semua orang. Jadi, saya duduk agak ke dalam, bersandar pada dinding kapal. Jika menoleh ke belakang, maka tampaklah wajah kaku sang nahkoda. Matanya tajam menatap lurus ke depan. Kedua tangannya erat mencengkram kemudi.

Saya bersama mbak Evi, Halim, Melly, dan Mas Indra. Mbak Donna tak ada. Kemana? Jangan-jangan ketinggalan. Jangan-jangan salah kapal. Jangan-jangan mojok bersama rombongan lain. Ah, saya terlalu banyak menduga, padahal mbak Donna ada di dalam kapal yang sama. Eh, di dalam atau diburitan kapal, ya? Saya lupa bertanya.

Saya tak hanya bersama rombongan blogger, tetapi juga bersama rombongan lain. Ada masyarakat umum, mahasiswa, dan jurnalis. Diaz dan Febra dari Berita Satu yang sedari awal memang bersama kami (satu hotel), juga satu kapal. Di kapal inilah kemudian saya kenal dengan Hanung Bramantyo gadungan alias Elvan, Ikram, Dennish, Herry, Eltraz, Dr.Aline, dan Larasati. 

Febra (kameramen D'Blusukan Berita Satu) sibuk merekam gambar

Dr. Aline dan Larasati
Aline satu-satunya penumpang asing di kapal kami. Dia berasal dari Australia. Aline sangat ramah, gemar menyapa dan murah senyum. Saya duduk di dekatnya, dan punya kesempatan berbincang. Bahasa Indonesia Aline bagus, sebab dulu pernah tinggal di Indonesia, tepatnya di Jogjakarta. Dia pernah menetap selama 4 tahun untuk belajar gamelan. Kecintaannya pada seni gamelan bikin saya kagum.

Telah 15 tahun berlalu sejak terakhir Aline meninggalkan Indonesia. Ia rindu Indonesia. Festival Krakatau menjadi alasannya untuk kembali menjejakkan kaki di Tanah Air. Aline tak sendiri, tapi bertiga dengan teman-temannya. Salah satu temannya adalah Prof. Maragaret Kartomi (peneliti budaya Lampung dan profesor musik dari Monash University). Selama di Lampung Aline menginap di Sheraton Hotel.

Usia Aline sudah di atas 50. Tetapi dia terlihat sangat segar, sehat, dan penuh semangat. Kami berbincang di tengah berisiknya suara mesin kapal. Kadang Aline harus mendekatkan telinganya di dekat mulut saya. Suara saya yang memang lemah lembut seperti busa sabun langsung tenggelam di tengah deru mesin kapal, debur ombak, dan suara angin yang sangat ribut. Kadang Aline tidak mengerti kata-kata yang saya ucapkan. Saya harus setengah berteriak dengan bahasa Inggris biar telinganya tidak nempel di depan mulut saya terus. Berbincang dengan orang tua memang mesti sabar. Sabar sampai tua. 
 
ayo balapan

adu cepat
berlatar gunung anak Krakatau

Anak-anak muda berbincang seru, berfoto ria, dan bertingkah bermacam polah. Eltra, (yang katanya) mantan mekhanai Lampung -mekhanai = gelar kontes abang Lampung-   bercerita. Dia ikut tour ini karena berniat untuk berfoto dengan baju kaos tapis di puncak Anak Krakatau. Foto untuk keperluan promosi. Niatnya boleh juga. Demi sebuah foto rela menyeberang laut 6 jam PP. Rela berpanas-panas mendaki gunung. Di kapal, Eltra sempat memperlihatkan baju kaos hijau dengan tapis di dada. Cakep.

“Apa merknya?” tanya saya.

“K-Hoet!” jawab Eltra. K-Hoet punya arti. Tapi ingatan saya parah, lupa apa arti kata tersebut. Yang jelas saya jadi tahu, kalau butuh kaos tapis keren tinggal hubungi Eltra. Eltra tak sendiri, dia bersama adiknya Herry. Model juga. Model K-Hoet haha.

“Saya foto-fotoin mau nggak? Nanti fotonya saya sebarin di blog saya, gimana?” tanya saya. Eltra menyambut gembira. Dia mau. Saya menyeringai. Dalam hati berkata “Kamu itu mau saya modusin, tau! Biar dikasih kaos tapismu itu!” Haha. Semoga hantu laut tidak mencekik saya gara-gara niat ini ya! 

Baju kaos tapis K-Hoet
Hanung Bramantyo KW3 & Ikram Kribo
Ada Ikram, pemuda berambut kribo berwajah timur tengah. Arab kah? Saya tak bertanya. Yang jelas rambutnya mirip rambut penyanyi Ahmad albar. Mekar tralala mirip sarang serangga. Tapi Ikram baik, saya senang mengenalnya. Sewaktu di gunung dia banyak membantu saya foto-foto narsis. Lumayan, ada tripod hidup.

Jelang makan siang, snack dibagikan. Tak pakai lama, isinya tandas. Saya lapar. Saya haus. Tak lama, nasi kotak menyusul. Isinya nasi, ayam goreng, sambal, lalap, krupuk, dan jeruk. Porsinya besar. Saya tak habis. Sayang sekali. Mubazir. Mungkin tadi mestinya jangan makan kue-kue dulu, biar makan siangnya banyak. Ah sudahlah. Yang makannya nggak habis bukan saya saja. Yang lain juga. Entah kenapa. Mungkin karena nasinya berkuah air laut. Asin kebangetan. Salahkan ombak yang menerjang dan menciprati seisi kapal.

Seruan untuk tidak membuang apapun ke laut membuat kotak sampah lekas penuh. Sampah-sampah nantinya akan dibawa ke Lampung lagi, bukan untuk ditinggal di pulau Krakatau. Sebab Krakatau kawasan cagar alam, bukan kawasan tempat buang sampah. Catet itu ya. 

ayo jangan serakah :D

buanglah mantan sampah pada tempatnya
Tiga jam berlalu. Akhirnya kapal pun berlabuh. Rasanya tak percaya bisa berada di gunung Anak Krakatau. Sebuah kepulauan vulkanik aktif yang terletak di Selat Sunda, yang memisahkan Pulau Jawa dan Sumatra dengan status cagar alam. Jika bukan karena ikut tour Anak Krakatau yang difasilitasi oleh Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Lampung, belum tentu saya dengan mudah menjejakkan kaki di tempat ini. Apalagi untuk masuk ke tempat ini perlu ijin dari petugas BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam) Lampung. Tidak asal masuk begitu saja.

Di kepulauan vulkanik ini tak ada dermaga. Untuk mendarat di pantai, kami harus loncat dari kapal. Eh tidak, sebetulnya ada tangga kayu untuk turun. Kami harus meniti kayu itu. Tapi ombak tak kenal ampun, apapun diterjang, termasuk tangga itu. Setiap kali ombak datang, tangga bergeser. Jika yang turun badannya ringan, alamat bakal ikut bergeser. Bisa-bisa jatuh. Untung saya cerdik bak kancil. Menunggu ombak pergi baru saya turun, lalu hap melompat di pasir. Lari secepat mungkin sebelum ombak datang menyerbu pantai. Jika tidak demikian saya bisa terendam. Celana dan baju bisa basah. Tapi itu tidak terjadi. Saya selamat dari kejaran ombak. Badan kecil ada gunanya juga. Seperti angin, melayang, dan hinggap di atas awan. Ngelantur.


kepulauan vulkanik

Sesampainya di daratan, saya langsung membersihkan kaki. Pasir-pasir menempel banyak sekali. Tisu basah dan tisu kering tak dapat membersihkannya dengan sempurna. Tapi lumayan dari pada tak dibersihkan sama sekali. Yang penting sepatu kets andalan bisa dipakai kembali.

Di bawah pohon-pohon, sekelompok orang sedang menampilkan kesenian pencak silat. Mereka adalah penduduk Pulau Sebesi. Sengaja datang ke Anak Krakatau untuk tampil di hadapan para peserta tour. Dua buah gendang berukuran besar ditabuh oleh dua laki-laki dewasa. Satu gendang kecil tergeletak tak disentuh. 5 laki-laki dewasa lainnya duduk saja di belakang 2 penabuh gendang. 


Irama gendang mengiringi gerakan pencak silat seorang anak lelaki. Sajian sederhana ini mengundang perhatian. Orang-orang berkerumun menyaksikan. Sementara, Diaz dan Febra mulai beraksi. Merekam gambar dan wawancara. 

Sampai dengan selamat

pertunjukan seni

kameraaa.....actiooon!

Salah satu dari empat papan informasi

Di sini hanya ada satu bangunan berbentuk rumah panggung. Katanya itu tempat istirahat (sekaligus tempat solat). Seseorang mengatakan di sana tak ada air untuk wudhu. Kalau mau salat tayamum saja. Atau, wudhu dengan air laut. Saya penasaran. Lalu berjalan ke rumah itu.

Ada beberapa orang sedang duduk di tangga. Saya naik, lalu melihat ke dalam melalui pintu yang terbuka lebar. Beberapa orang tampak sedang salat.

“Tempat wudhunya ada nggak bu?” tanya saya pada seorang ibu yang sedang bediri dekat tangga.

“Ada. Itu di sana. Kalau WC sebelah kiri, arah ke belakang,” jawabnya.

Saya menoleh ke tempat yang ditunjuk. Ternyata benar, hanya berjarak beberapa meter di depan rumah, ada tempat berwudhu. Airnya diambil dari sumur yang tak mirip sumur kebanyakan. Hanya sebuah lubang dengan kedalaman permukaan air sekitar 70 cm dari permukaan tanah. Seseorang menimba. Mengisi sebuah jerigen yang sudah dibentuk mirip pancuran. Nah, dari lubang jerigen itulah air keluar dan bisa digunakan untuk wudhu. 

rumah singgah (tempat solat)

Saat mulai membasuh tangan, saya terkejut. Astaga. Airnya panas bukan main. Sudah rasanya asin, panas pula. Tinggal dikasih daun bawang, daun seledri, wortel, maka saya jadi sup. Meski panas, saya tetap berwudhu. Tangan bergerak membasuh bagian-bagian yang harus dibasuh, tapi mulut bersuara “huuh…huuuuuuh…” Mendesis kepanasan. Tak apalah. Yang penting wudhu dan bisa salat.

Di dalam rumah, beberapa wanita sedang duduk beristirahat. Duh, tempat sempit begitu harusnya jangan duduk-duduk di dalam kali ya. Kan di luar juga bisa. Banyak pohon, teduh, dan lebih sejuk karena banyak angin berhembus. Kalau di dalam kan bikin sempit dan berisik. Syukurnya saya tetap bisa salat dengan khusyuk, meski keringat mengucur dan suara ibu-ibu ngobrol tak mau diam. *salat khusuk aja diceritain, riya tau* haha.

Baru saja mengucap salam di akhir salat, tiba-tiba terdengar panggilan untuk segera berkumpul. Katanya pendakian akan segera dimulai. Alhamdulillah, lega. Panggilan itu datang setelah kewajiban ditunaikan. Kalau seperti ini, kaki rasanya jadi ringan untuk melangkah.
 
Dennish Trans 7

ada bule-bule camping

seru!

Saya sebetulnya agak heran. Pendakian baru dimulai jam 1 siang. Padahal peserta sudah berkumpul sejak jam 12. Saya dengar katanya ada seseorang yang ditunggu. Mungkin pemberi ijin. Mungkin ketua koordinator. Entah. Pendakian ini terlalu siang. 


Saya mau lanjut cerita tentang naik gunungnya. Tapi tulisan ini sudah terlalu panjang. Nanti lanjut lagi di postingan berikutnya.

Oh iya, Cagar Alam Krakatau ini tampak terawat dan terjaga. Apakah ada yang sengaja membersihkannya karena tahu kami akan datang, atau sehari-harinya memang seperti itu keadaannya? 

Apapun itu, kebersihan seharusnya tak mengenal waktu.  Seindah apapun suatu tempat, kalau kotor maka rasa kagum dipastikan langsung tiarap, bahkan bisa blep blep lenyap masuk bumi. 



Tempat ini menakjubkan. Sungguh.

 

Teman di akhir perjalanan



 
*Lampung, 29 Agustus 2015.
Semua foto dokumentasi Katerina.

Seorang istri. Ibu dari dua anak remaja. Tinggal di BSD City. Gemar jalan-jalan, memotret, dan menulis.

Share this

Previous
Next Post »

24 komentar

  1. Baju kaos tapisnya cakep, apalagi kalo ada yang warna hitam, hahahaha...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kayaknya ada mbak. Tinggal contact saja Eltra di akun facebooknya hahaha

      Hapus
  2. indahnya gambar terakhir itu :)

    BalasHapus
  3. 3 jam,lumayan ya mbak..tapi perjalanannya seru banget...menunggu cerita selanjutnya^^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lumayan jauh dan lama. Tapi gak terasa karena dibawa happy :D
      Makasih yaaa

      Hapus
  4. Kaosnya cakep abis... Ceritanya juga sangat-sangat seru. Bikin mupeng. hehehe. ira

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ayo kita pesan kaosnya trus kita tulisin nama blog masing-masing. Tidak lupa logo BM wkwkwkw
      Makasih mbak Iraaa *kecupkecup*

      Hapus
  5. Saya suka teman di akhir perjalanan mbak 😊

    BalasHapus
  6. Jadi modusnya berhasil nggak, mbak Rien? Hahaha... Btw kaos dan celanaku juga kena itu cairan yang nempel di tambang kapal ketika naik pas mau berangkat. Gegara itu jadi nggak fokus selama di kapal, meratapi celana yang mesti dipake beberapa hari lagi tapi udah terlanjur kotor itu sesak banget kaya ketemu mantan di mol yang luassss gitu hiks... #malahtjurhat

    BalasHapus
    Balasan
    1. waaah bang halim punya mantan juga ya?? wkwkwkwk

      Hapus
  7. Naik kapal model begitu ngeri2 sedap tapi seru ya mbak #pengalamandikalimantan
    Ceritanya asyik, kapan gitu bias main ke sana juga :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Naik kapalnya nggak ngeri, tapi ombaknya itu. Apalagi kalau gedean ombak dari kapalnya :D
      Terima kasih Ivon. Kapan saja bisa main ke selat Sunda kalau sudah luang waktunya :)

      Hapus
  8. Happy bareng.... trus mbak Rien gunain sepatu kets buat naik anak Krakatau ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbak. Dan sepatunya rusak. Sampe rumah aku simpen dan gak aku cuci. AKu musiumkan buat kenang-kenangan waktu nanjak Gunung Anak Krakatau.

      Hapus
  9. Wah.. foto yang terakhir bagus banget mbak..keren! :)

    BalasHapus
  10. Mba Rien, kapan kau culik aku ke selat sunda ini Mba? kapan? hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalo mau nyulik kamu ga usah pake nunggu ke selat Sunda segala. Kapan aja bisa. Trus aku minta dianterin ke pengiklan yang ngasih job review hahaha *bloggermatrek* :p

      Hapus
  11. Sampe diliput TV ya mbak Rien. Kece bener dah. Mungkin gak ya tahun depan aku diajakin juga? hihihi, amiiin.

    BalasHapus
  12. Dapet kesempatan seperti ini asyik banget mba :)

    BalasHapus
  13. Kapan2 nginap di Anak Krakatau atau di pulau Sebesi :)

    BalasHapus

Leave your message here, I will reply it soon!