Ganjal Perut Dulu, Cuci Mata Kemudian


Waktu menunjukkan pukul 17.45 WIB ketika pesawat yang membawa kami dari Jakarta mendarat di bandara Radin Inten Lampung. Saya agak heran. Rasanya baru saja naik dan duduk di bangku pesawat, sekarang sudah harus berdiri dan turun dari pesawat. Sepertinya penerbangan ini tidak sampai 30 menit. Terasa cepat. Mungkin karena jarak Lampung dan Jakarta terbilang dekat.

15 menit kemudian urusan keluar dari bandara selesai. Ada mbak Alya
(dari dinas pariwisata Lampung) yang menyambut kami. Sebuah bus pariwisata sudah menanti di luar bandara. Bus kinclong yang di badannya tertulis kata-kata yang membuat bangga “Pesona Indonesia”, lengkap dengan logo yang biasa saya lihat di website Indonesia.Travel. Gambar harimau dan gajah menghiasi sisi kiri dan kanan badan bis. Seolah dua hewan yang menjadi ikon Lampung itu hendak menyertai dua kata penuh arti lainnya “Visit Lampung”.
 
Bus cantik

Baru nyampe, masih lebar senyumnya

Masih pada melek yaaa

Penumpang bis ternyata bukan hanya kami. Ada Diaz dan Febra, reporter dan kameramen Berita Satu. Ada mas Yoyok juga. Siapa mas Yoyok? Awalnya saya kira mas Yopi. Kata Melly bukan, saya hampir kejengkang. Lagian asal tebak saja. 


Mas Yoyok ini lucu. Penampilannya parlente, wajah lumayan ganteng (sawer gue Yok!), dan membawa koper besar warna ngejreng. Saat dia membuka koper, saya intip. Eh isi kopernya sedikit. Malah banyak kabel-kabel yang entah kabel apa saja.

“Itu kabel-kabel bom rakitan ya?” tanya saya curiga sambil memasang wajah yang siap tertawa.

“Ini kabel powerbank,” jawabnya. Melly ngakak. Saya ngikik. Gimana nggak ngakak ngikik liat kabel powerbank panjang-panjang dan besar gitu. Kabel apa selang tuh.
 
pemandu tangguh :D

Pemandu wisata kami namanya Dimas, bertubuh gempal tetapi lincah. Terutama lidahnya, lincah bercerita. Setiap melewati suatu tempat, dia menjelaskan tempat tersebut dengan lengkap dan panjang. Saking panjangnya saya sampai lupa dengan penjelasan awalnya haha.

“Di sebelah kiri kita itu adalah perkebunan sawit,” terangnya sambil menunjuk ke sebelah kiri. Saya menoleh. Mana? Mana? Astaga…saya tak lihat apapun. Gelap men! Ya iyalah sudah malam gitu. Akhirnya, saya kehilangan kosentrasi, tak lagi menyimak apa yang diceritakan Dimas. Pikiran saya beralih ke perut yang mulai keroncongan. Tapi kemudian buyar saat Dimas menyetel lagu dangdut melalui CD player. Cacing-cacing diperut sepertinya mulai bergoyang sampai pingsan.

“Nah, itu Mall Boemi Kedaton. Mall terbesar di Lampung. Kita makan di sebelahnya, di Restoran Bumbu Desa.”  

Mendengar kata restoran, mata yang tadi berat dibebani kantuk mendadak jadi terang benderang. Saya melirik arloji, waktu menunjukkan pukul 18.45. Ternyata lama juga perjalanan dari bandara ke kota Bandar Lampung.

Resto Bumbu Desa

Ragam menu menggugah selera

Ada yang mau petai?



Masuk restoran nggak cuma bikin semangat untuk makan melambung, semangat untuk memotret juga ikut meninggi. Nggak bisa lihat suasana bagus dikit, langsung angkat kamera. 


Ada petai-petai tergantung menggoda di deretan menu makanan, langsung dipotret. Ada mangkuk-mangkuk kecil tempat sambal terbuat dari batang kelapa, langsung dipotret. Ada rak penuh teko, langsung dipotret. Ada yang sedang motret juga saya potret. 

Sengaja menyibukkan diri dengan memotret. Tujuannya biar bisa membunuh waktu menunggu hidangan tersaji.

mbak Donna nyari petai ya? hihi

awas ayamnya loncat mbak :))

Jreng jreng makanan tersaji. Aneka masakan terhampar di meja, menggugah selera. Cacing-cacing di perut yang tadi pingsan sepertinya hidup lagi. Langsung memerintahkan tangan untuk melahap makanan. 

Eiiiit tunggu dulu, foto-foto dulu sebelum makan. Sebelum diacak-acak oleh tangan-tangan. Kasihan ntar pas tayang di blog keadaannya kayak abis dijajah Belanda selama 320 tahun. Jadi, mumpung masih rapi dan utuh, jepret dulu.

Foto-foto sebelum makan saja ingat, doa sebelum makan mestinya lebih ingat lagi yaw *self toyor. 

wadah sambalnya dari batang kelapa

tumis labu siam jagung

Ayam kampung goreng

kamu suka yang mana? aku suka jus jeruk

Upaya melepas lapar dan dahaga di Bumbu Desa akhirnya berjalan dengan lancar. Kalau urusan makan pokoknya lancar jaya deh. Jarang ada hambatan apalagi rintangan. Kecuali ada polisi tidur melintang di atas meja. Nah, saya mulai melantur.

Restoran Bumbu Desa ini sebenarnya tak asing, karena restoran ini juga bisa dijumpai beberapa tempat di Jakarta dan sekitarnya. Bumbu Desa juga hadir di beberapa kota di Indonesia, mulai dari Jawa-Bali, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Papua, hingga di Malaysia. Jadi, sedikit banyak saya sudah kenal dengan menu-menu yang ada. Terakhir makan di Bumbu Desa sewaktu menghadiri acara temu blogger Tokopedia di Jakarta.  

mbak....tekonya boleh dibeli nggak?

makan yang banyak ya

ngopinya asyik bener om :D

Kelar makan kami diajak ke Mall Boemi Kedaton yang letaknya dekat resto. Tinggal jalan kaki beberapa meter sudah sampai. Di sana kami akan melihat Coffee Festival yang merupakan bagian dari kegiatan Krakatau Fes’ Expo. Acara ini berlangsung selama 4 hari dari tanggal 26-29 Agustus. 

Akan tetapi, setelah kami naik dari lantai ke lantai, tempat pameran kopi itu tak juga kami temui. Setelah mas Dimas tanya ke sana kemari, didapatlah jawaban bahwa pameran kopi sudah tutup. Padahal saat itu waktu belum menunjukkan jam 8 malam. Mall juga belum tutup. Ya sudah mungkin belum rejeki. Padahal saya penasaran lho seperti apa acara festival kopinya.  

ngemall dulu yaaaa

Yang satu presenter TV, yang satu blogger kece

Urung menyaksikan coffee festival, kami pun kembali ke bus, hendak melanjutkan perjalanan ke tempat lain. Namun, sebelum keluar dari mall mas Yoyok minta ijin mampir ke sebuah toko. Katanya mau nyari powerbank. Astaga, rupanya tadi dia hanya punya kabel powerbank, tapi powerbanknya sendiri ga ada. Tepok jidat mas Yoyok.

Nah, sambil nunggu Yoyok nih, kita mampir melihat busana Tapis. Jadi, di lantai dasar itu ada yang jualan baju tapis. Baju modern yang berhias tapis. Ya gitulah namanya. Dari kemeja laki-laki, cardigan, hingga long dress tapis, dijual di tempat itu. Harganya bervariasi, mulai dari Rp 250 ribu – Rp 500.000 Saya terpesona dengan longdress-nya. Anggun dan megah bak gaun putri raja. Pingin beli, tapi dompet sedang kempes. Selain kempes juga ingat pesan mas bojo, jangan banyak jajan. Halah. 

Ini baju tapis warna merah kesukaan saya :D

Anggun dan megah bak baju putri raja

kemeja tenun menawan

Kopiah Tapis

Walau nggak beli, tapi tetap bisa ambil foto. Lumayan buat pamer-pamer bergembira di akun sosmed. Pamer nggak beli juga ya. Haha. Jadi, saat foto baju cantik tapis dan kemeja tenun mewah itu saya upload di FB, banyak yang kagum. Ada yang nanya harga, ada pula yang nanya nomor contact yang bisa dihubungi. Saya kasih. Lumayan bantu teman-teman, juga bantu yang jualan. Siapa tahu ntar ada yang beliin saya. Ngarep. Pamrih. Preeeet. Haha.

Tapi beneran lho. Tapis memang sangat indah. Baik berdiri sendiri sebagai kain tapis, ataupun dilekatkan di baju-baju modern yang kita sukai. 

Silakan kalau ada yang berminat hubungi nomor dan akun sosmednya ya

Nggak jadi liat festival kopi, liat baju tapis pun jadi. Abis itu baru lanjut ke Way Halim. Ngapain? Cuci mata liat batu akik. Nantikan lanjutan ceritanya yaaa….

Seorang istri. Ibu dari dua anak remaja. Tinggal di BSD City. Gemar jalan-jalan, memotret, dan menulis.

Share this

Previous
Next Post »

18 komentar

  1. Ih ada akunya :)
    Seru ya Mbak Rien perjalanannya. Pengendeh ngulang kembali :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga bisa diulang kembali ya mbak Evi :)

      Hapus
    2. Tapi ketempat yang lain di Lampung ya mba. he,, he,, he....

      Hapus
  2. Itu yang di bumbu desa mingin2i deh, abaikan pete

    BalasHapus
    Balasan
    1. Oh, kenapa diabaikan? Nggak suka petai ya? :D

      Hapus
    2. Kayanya ga ada yang nyolek deh tuh pete, sudah keburu laper semua. Maklum makan telat. ha,, ha,,, ha,,,

      Hapus
  3. kemeja tenunnya... huhuhuhu tapi takut liat harganya :((

    BalasHapus
  4. Dibuat ngiler dengan sama bumbu Desa. Tipa kali kesini pasti kalap makan.
    Kemeja tenunnya bener bener mewah ya... khas Sumatra banget.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Menu tradisional Bumbu Desa memang sering bikin kalap makan mbak. Apalagi sambel-sambelnya. Memikat!
      Iya mbak, benang emasnya itu yang bikin khas :)

      Hapus
  5. Kalau saya mah langsung cuci mulut mba, tuh kan langsung nyeruput kopinya. ha,, ha,, ha,,

    BalasHapus
  6. iahh serunyaaaa..ada koh halim yang ngehiits....serasa ikut jalan2 ke lampung juga ni baca blogmu mba rien..

    BalasHapus
  7. Aku mau pete.. Aduh itu gaunnya keren banget, sih.... Pengen beliin buat anakku... ira

    BalasHapus
  8. hahaha, ketauan deh... aku memang suka lalapan pete rebus, apalagi yang muda. Tapi kalau lagi traveling apalagi rame-rame, cuti dulu makan petenya.

    BalasHapus
  9. mengikuti cerita dari foto-foto di FB aja udah mupeng, ini baca blognya lebih jadi mupeenngg..

    BalasHapus

Leave your message here, I will reply it soon!