Ada Cinta di Setiap Helai Kain Tradisional Indonesia


Negeri ini, Indonesia, memiliki keragaman kain-kain yang indah dan diakui oleh negara-negara lainnya. Bukan hanya setiap motif kain mempunyai filosofi, tapi tekniknya pun unggul. Songket, tenun, batik, ikat, jumputan, dan pewarnaannya pun tak cukup diceritakan dalam semalam. Inilah yang mendorong saya untuk menyambangi Pandai Sikek, sebuah nagari (desa) penghasil kain tradisional yang terletak di kaki Gunung Singgalang, Sumatra Barat.  

*****

“Aku titip uang Rp 250.000 sama kamu, nanti tolong belikan kain songket Pandai Sikek sutera benang emas. Bisa?” tanya seorang teman melalui pesan SMS. Pagi itu saya baru saja mengabarkan padanya bahwa saya akan mengunjungi Desa Pandai Sikek.

“Apa cukup?” tanya saya tak yakin.

“Pasti cukup. Masa harga songket sampai jutaan?” dia balik bertanya. Saya tak menjawab. Hanya berucap dalam hati, “Baiklah, kita lihat nanti.” 

Hi...saya di desa Pandai Sikek


Pandai Sikek terletak tak jauh setelah Kota Padang Panjang menuju Bukittinggi, tepatnya berada di Kabupaten Tanah Datar. Nama desa ini tertera pada lembar uang kertas Rp 5.000,-. Pandai Sikek berasal dari kata pandai, sedangkan Sikek artinya sisir. Sisir yang dimaksud bukan sisir biasa yang digunakan untuk rambut, melainkan sisir halus yang berukuran besar dan digunakan pada alat tenun. Pande Sikek berarti pandai menggunakan sisir (alat tenun).

Dari Kota Bukittinggi, waktu yang saya tempuh untuk mencapai Pandai Sikek sekitar 25 menit. Sepanjang perjalanan dari Bukittinggi menuju Pandai Sikek, benak saya dipenuhi tanya, apa benar kain tradisional karya pengrajin tenun Pandai Sikek bisa dihargai Rp 250.000,- saja? Entahlah, teman saya seperti yakin sekali dengan apa yang dipikirkannya. Apa dia tak pernah membeli kain songket sebelumnya?

Bayangan kain songket Palembang dalam lemari pakaian di rumah, melintas dalam benak. Teringat sebuah harga yang pernah dibayarkan untuk songket tersebut, membuat saya makin tak yakin sehelai kain kaya motif yang dibuat pengrajin Pandai Sikek tak jauh berbeda dengan harga makan seafood di rumah makan pinggir pantai. 

Salah satu rumah tenun di desa Pandai Sikek.

Pemandangan Gunung Merapi dan Gunung Singgalang tersaji sepanjang perjalanan. Di kaki-kaki gunung terhampar sawah, kebun, lembah, serta hutan alam yang masih perawan. Kabut tampak menggantung di pucuk-pucuk bukit, menemani perjalanan yang senantiasa diselimuti udara sejuk khas pegunungan. Pemandangan elok dengan suasana menetramkan itu dapat saya nikmati hingga mencapai Desa Pandai Sikek.

Saat mulai memasuki desa, terlihat Gunung Singgalang menjulang di latar belakang. Atap-atap rumah menyembul di lereng-lerengnya. Bangunan rumah terbuat dari beton permanen, namun tetap dengan atap gaya khas rumah adat Minangkabau. Tak sedikit pula kendaraan roda empat keluaran terbaru terparkir di halaman rumah. Bayangan desa tradisional penghasil tenun tradisional seperti Sade di Lombok, atau Baduy di Lebak Banten, seketika lenyap dalam benak saya. Desa ini tampak modern! Kain tradisional seperti apa yang dibuat oleh pengrajin di desa maju ini? Saya penasaran. 

Rumah Tenun Satu Karya
Tempat produksi songket rumah tenun Satu Karya berlatar Gunung Singgalang
Musola di belakang rumah tenun dan gunung bertudung awan

Supir sekaligus guide yang menemani, mempersilakan kami memilih sendiri rumah tenun yang hendak didatangi. Ada puluhan rumah tenun dengan ratusan pengrajin, yang mana hendak saya masuki? Rumah tenun Satu Karya! Ya, rumah itu saya pilih karena saat itu saya memang sedang berdiri di depannya.

Seorang perempuan muda menyapa ramah. Hangat sambutannya membuat saya senang mengajukan banyak tanya. Ini ukiran apa? Itu baju apa? Ini songket benang apa? Itu sarung songket buatan kapan? Sederet tanya diantara tatap takjub pada aneka produk yang terpajang memenuhi isi rumah. Nafsu belanja seketika bangkit. Namun, sebelum semua itu terjadi, langkah kaki saya terhenti di hadapan sebuah alat tenun tradisional.

Seperti mengerti dengan wajah saya yang diselimuti rasa penasaran, seorang ibu mendekati, dan mengatakan pada saya bahwa saya boleh mencoba alat tenun itu jika saya mau. Pucuk di songket, alat tenun pun tiba! Siapa yang tak mau menjajal alat pembuat kain tradisional itu, bukan? 

Aneka busana bordir dan sulam tangan

menjual beragam produk
alat tenun

Di Pandai Sikek, selain bisa melihat-lihat dan membeli hasil produksi tenun, wisatawan juga dapat menyaksikan para wanita membuat dan mengikat kain tenun dengan peralatan tradisional. Para perempuan pembuat kain tenun biasanya berdemo membuat kain tenun sambil mengajari wisatawan yang ingin mencoba membuatnya.

Demo menenun oleh ibu pemilik Rumah Tenun Satu Karya

Siang itu, saya pun kebagian diajarkan cara menenun. Bahkan, yang mengajari adalah ibu pemilik rumah tenun itu sendiri. Saya tak menyebut namanya di sini, karena saya lupa menanyakan namanya. Saya panggil saja dia ibu Satu Karya. Jadi, dihadapan saya, Ibu Satu Karya memperagakan cara menenun. Sambil berbicara, kedua tangannya lincah menggerakan alat tenun. Bunyi cletak cletok dari kayu yang digunakannya untuk merapatkan benang, berkali-kali memecah hening. 

Bukan pekerjaan mudah
  
“Bahan baku kain songket adalah sutra, benang mas dan katun. Untuk katun dan sutra bisa didapat di Sumatra, sedangkan benang mas diimport dari India. Pemasangan benang untuk satu kain songket memerlukan waktu 1 minggu. Jumlah benang harus 880 helai, dibagi dua untuk atas dan bawah. Untuk menghasilkan 1 buah kain (sarung) songket, diperlukan waktu 3 bulan. Untuk 1 selendang songket diperlukan waktu 1 bulan,” terang ibu Satu Karya.

1 bulan? 3 bulan?
Selama itu hanya untuk 1 kain?

Jangan tanya bagaimana hal tersebut bisa terjadi sampai kamu mengerjakannya sendiri! 

Tidak akan pernah tahu seperti apa prosesnya kalau tidak pernah mencoba

Saya punya kesempatan itu. Lihat apa yang saya lakukan. Saya berusaha mencoba memasukkan benang, bambu, serta menghitung benang demi benang. Namun apa yang terjadi? Saya melakukannya sampai beberapa kali dan mengulang beberapa kali. Apabila salah, harus diulang. Maka tak boleh salah. Harus jeli, harus tepat hitungan, harus rata. Saya tak menyerah. Coba lagi. Lakukan lagi. Berhasil?

Dalam waktu 20 menit saya tidak menghasilkan apapun.

Saya mulai berkeringat. Rasa kesal mulai terbit. Benang-benang itu membuat saya gemas. Alat itu seperti mentertawakan saya. Saya menyerah. Saya tak sabar. Saya gagal! 



Memasukkan benang saja saya tak mampu. Lantas, perlu berapa lama buat saya menjadikannya sebuah kain indah yang bila dikenakan membuat pemakainya bak seorang ratu? Saya takut menyebut jumlah waktu.

Sungguh sebuah pengalaman berharga yang mengajarkan saya betapa sulitnya membuat kain songket. Keterampilan kaki dan tangan, diiringi dengan kejelian, serta sebuah "alat" yang paling penting selain benang, kayu, bambu, adalah sesuatu yang bernama kesabaran.  



Menghargai sebuah harga

Membuat kain adalah salah satu teknik pertama yang dikembangkan manusia. Dari awal proses ini terkait dengan kepercayaan, upacara agama dan peradaban masyarakat setempat. Dari kain-kain inilah tercermin kondisi geografi dan iklim yang menentukan bahan yang digunakan dalam proses pembuatan. Tenunan menunjukkan tingkatan kecanggihan tekniknya. Dengan memahami motif yang ditampilkan pada suatu kain dapat diketahui kepercayaan yang dianut penenunnya, juga dapat dilihat sejarah kebudayaan masyarakat yang bersangkutan dan pengaruh-pengaruh apa yang bermakna dalam perkembangan kebudayaan masyarakat setempat.

Songket mempunyai teknik yang khas, dimana benang emas ditenun di atas dasar sutera.

Bagaimana cara menenun? Saya tidak dapat menjelaskannya dengan kata-kata, tetapi saya bisa sarankan jika ingin tahu lebih baik melihat langsung sambil praktek. Rumitnya proses pembuatan itulah yang menyebabkan harga kain songket mahal di pasaran. Tak dibuat sembarangan, maka harganya pun tak sembarangan.

Ada cinta di setiap helai benang dalam kain tradisional

Mahal adalah sebutan yang saya anggap pantas untuk memberi nilai tambah pada suatu karya, sehingga jangan hanya para tengkulak dan pedagang tangan kedua dan ketigalah yang mendapat untung. Betapa sedihnya melihat para pengrajin tenun atau songket, yang dengan tekun dan teliti menciptakan suatu kriya selama berbulan-bulan, tapi tidak mendapat imbalan yang sesuai. 


Jika melihat harga Songket Pandai Sikek dibanderol satu juta, dua juta, atau 3 juta, maka itu adalah wajar!

Di sini, para penenun biasa hidup dalam lingkungan alam yang indah, cuaca menyenangkan, dan tanah yang subur. Saat membuat sesuatu, penuh dengan kreativitas dan inspirasi yang tiada akhir. Dalam kehidupan sehari-hari harmoni merupakan unsur yang penting dan alam dijadikan contoh yang memberi warna tersendiri. Tak terbayang oleh mereka untuk memasang harga atau menuntut imbalan tinggi saat berkarya. Mereka menenun, namun tanpa mengurangi aktivitasnya sebagai istri.

Tidak hanya tenun Pandai Sikek saja, tetapi kain-kain tradisional dari setiap daerah seperti tenun ikat, ulos, kain gringsing, songket, sasirangan, tapis, kain besurek, tenun dayak, sutra bugis, dan lainnya punya tingkat kesabaran, kesulitan, dan cerita tradisi masing-masing. 

Kaya motif & warna, bernilai tinggi, dan sangat indah

Bangsa ini bangsa berseni dan seniman yang terbiasa mengerjakan sesuatu dengan hati.  Seni yang dibuat sepenuh hati tak ternilai harganya dan tak dapat diukur bobotnya. Saat menenun ibarat melukis di atas suatu kanvas, tidak ada dua yang sama, tidak akan berhenti sebelum keindahan yang dicipta mencapai keselarasan.

Betapa kesabaran perempuan-perempuan Indonesia telah berhasil menciptakan kain tradisional sebagai mahakarya Indonesia yang keindahannya sudah diakui dunia.


Saat berbusana tradisional di Rumah Gadang Padang Panjang, Sumatra Barat.

Ada perasaan bangga bercampur haru saat mengenakan sehelai kain indah yang mengundang decak kagum. Apalagi ketika mengetahui bagaimana kain itu dibuat dengan penuh kesabaran dalam hitungan bulan, juga filosofi di balik motifnya.

Kurang dari 2 jam saja saya berada di Pandai Sikek, bukan sekedar melihat hasil karya, tetapi juga melihat proses karya itu diciptakan. Pelajaran berharga tentang semangat berkreatifitas, serta cara menghargai sebuah harga saya dapatkan di sini, dan menjadi oleh-oleh manis yang saya bawa pulang ke Jakarta. [KS]




*Semua foto dokumentasi pribadi kecuali 1 foto kain songket yang sudah diwatermark sesuai sumber.

Seorang istri. Ibu dari dua anak remaja. Tinggal di BSD City. Gemar jalan-jalan, memotret, dan menulis.

Share this

Previous
Next Post »

22 komentar

  1. Lusa insya Allah aku berangkat ke Padang. Pengen foto pake baju adat di rumah gadang kayak mbak Rien gitu... Kebetulan temenku tinggalnya di Padang Panjang :)
    Aku selalu salut dan takjub kalo ngeliat proses menenun kain tradisional, mbak.. Ribet. Perlu kesabaran tingkat tinggi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Akhirnya ke Padang juga. Selamat bertemu sahabat ya mbak. Oh ya, mampir ke Rumah Gadang di Padang Panjang kalau mau menjajal busana tradisional Minangkabau. Banyak warna, dan semuanya cantik. Ditunggu foto-fotonya ya mbak :D

      Ya, menenun bukan perkejaan mudah. Rumit dan lama. Itu yang membuat kita salut pada prosesnya.

      Hapus
  2. Heuheuu... Mbikin kain tenun atau songket kan butuh kesabaaraaaaan tingkat dewa. Wajar lah kalo harganya 'bicara'. Btw itu fotonya canteeq pake baju adst lengkap!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul mbak. Sabarnya itu yang luar biasa. Ibu pemilik rumah tenun yang aku kunjungi itu sempat berseloroh, begini katanya "Kalau ada saudara bujang yang masih single, butuh calon istri yang sabar, di Pandai Sikek banyak wanita yang sabar..." :D

      Aiiih jadi tersipu :))

      Hapus
  3. Teliti Dan sabar, untung tangan nggak ikutan kejepit brnang :) dulu pernah lihat trus berguman, kok bisa ya? He he he brass Tibet, makanya harga nya selangit. ITU kayak foto kawinan :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha...kalo buru-buru kayaknya iya kejepit benang.

      Mereka bisa mungkin karena punya niat mulia menjaga warisan karya agar tetap ada dan tak hilang ditelan waktu. Kalau bukan karena itu, tentu mereka sudah membeli mesin canggih ya mbak. Nggak perlu capek2 pakai tangan mengerjakannya.

      Iya nih, mirip foto kawinan. Ala-ala Siti Nurbaya sedang menanti kedatangan Datuk Maringgi :p

      Hapus
  4. Sekilas mirip songket Palembang ya mbak Rien. Motifnya aja yang mungkin ada perbedaan ciri khasnya ya :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Cek Yan. Mirip sekali menurutku. Benang emasnya yang dominan itu, apalagi jika kain sutranya pun merah, hampir tak ada bedanya dengan songket Palembang. Motif pun hampir serupa. Agak sulit membedakannya kecuali mereka yang benar-benar mengenal ciri khas tertentu pada songket Palembang dan Sumbar.

      Hapus
  5. Songket dan tenun memang warisan yang harus kita jaga ya mbak.. Prosesnya yang lama yang butuh keterampilan dan kesabaran tinggi memang harus dihargai setimpal.
    Itu model dan warnanya cakeppppsss

    BalasHapus
    Balasan
    1. Harus banget mbak Haya. Tindakan paling nyata dari menjaga warisan ini menurutku adalah dengan menguasai cara menenun itu sendiri. Tapi nggak mudah ya :(

      Terima kasih mbak Haya :)

      Hapus
  6. Harga yang tinggi dari sebuah kain adalah harga dari sebuah perjuangan dan kesabaran. Dari kain, kita bisa menilai jati diri sesungguhnya sebuah bangsa

    BalasHapus
  7. Sejauh ini hanya bisa mengagumi kain2 tradisional Indonesia mbak. Batik tulis, songket, tenun, dan lainnya, harganya yg tinggi memang wajar untuk proses yg panjang dan hasil yg indah.
    Tapi sayang belum cocok di kantong. Hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Harga yang tinggi memang sesuai dengan proses pembuatannya. Iya, aku pun merasakan hal yang sama, kagum sekaligus bangga, namun memang tidak semua kain bagus itu bisa dibeli dengan mudah dan murah :)

      Aku sangat jarang membeli kain tradisional ketika berada di tempat pembuatannya. Selain karena saat itu bisa jadi tidak bawa uang cukup, juga sering 'galau' mau pilih yang mana. Biasanya sepulang dari sana, aku mulai mengumpulkan uang, dan setelah cukup baru aku pesan. Meski lama tapi akhirnya senang bisa punya :)

      Hapus
  8. Tenun mmg harus di bayar mahal harga nya, butuh ketelatenan dan kesabaran membuat nya dan itu mahakarya indonesia

    BalasHapus
  9. Harga mahal sepadan dengan kesabaran, keuletan, karya budayanya.

    BalasHapus
  10. Pengen banget punya kain tenun, belum kesampaian sampai sekarang. Pernah sekali nyobain nenun di lombok dulu. susaaahh. Wajar harga mahal :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Itu waktu di Desa Sade Lombok ya Tari. Kalau hanya mencoba sesaat dipastikan susah. Mesti benar-benar meluangkan banyak waktu untuk belajar sampai bisa dan terbiasa.

      Hapus
  11. hahaha terjebul angel yo mbak nenunnya :D
    tapi poto terakhirnya joss itu, jadi inget sama iklan nya RCTI / indosiar yang rumah gadang :D

    BalasHapus
  12. Memang pantas klo kain tenun harganya mahal ya mbak.. perlu kesabaran tinggi n teknik pembuatannya juga rumit. Klo ibu tadi 1kain 3bulan aku 3tahun pun blm tentu jadi :p

    Eh baydeway... foto yg terakhir itu uayuuu tenaann rek ;)

    BalasHapus

Leave your message here, I will reply it soon!