Inspirasi dari Majalah National Geographic Traveler Indonesia


Selasa (5/5/2015) di kawasan Tangkuban Perahu


 

"Ada namaku di edisi April ini. Aku ingin, suatu hari nanti di suatu edisi yang tak bisa aku tebak kapan, ada segambreng cerita perjalanan yang aku tuliskan di majalah ini. Aminkan, ya."

Aamiin.


Majalah NatGeo Traveler edisi 2015

Belakangan, rutin membeli majalah Natgeo Traveler karena selalu kagum dengan isinya. Berkualitas dan mendunia. Kagum dengan cara penulisnya mengemas sebuah cerita perjalanan. Kagum dengan setiap foto yang ditampilkan.

Membeli majalah itu aset, begitu kata mbak Irawati. Kalau mau menembus suatu media, beli medianya. Baca. Pelajari. Kenali. Resapi. Dan itu nggak bisa cuma sekali. Jadi, saya membeli berkali-kali, setiap edisi. 

Buat apa? Buat belajar.

Bulan lalu saya mencoba mengirim satu cerita perjalanan ke majalah idaman ini. Hanya artikel pendek, sekitar 1 halaman A4 (font TNR 12, spasi 1,5). Sampai sekarang belum ada kabar. Kalau berjodoh, tulisan itu akan mejeng. Kalau tidak, coba lagi, lagi, dan lagi. Gigih, jangan mudah menyerah. Menulis saja. Kirim, lalu lupakan. 

Lupakan? Iya.

Majalah maskapai pemberian teman yang bekerja di maskapai tersebut

Membeli bermacam majalah buat belajar

Ingin menembus sebuah majalah? Saya mesti tempel majalahnya!  
Oh, analogi 'dipaku' itu sepertinya cocok, ya :D

Kapan berkontribusi di majalah Natgeo Traveler Indonesia?

(*)




Seorang istri. Ibu dari dua anak remaja. Tinggal di BSD City. Gemar jalan-jalan, memotret, dan menulis.

Share this

Previous
Next Post »

14 komentar

  1. Setuju mbak... mengakui proses panjang yang kita lakukan untuk mencapai sesuatu itu adalah cara kita menempa dan menghargai diri sendiri. Apalagi kalau kita melewati semua proses pencapaian itu karena usaha kita sendiri. Rasa nikmatnya itu luar biasa banget!

    Aku pernah ngerasain nikmatnya berproses itu waktu menggodog buku LJ1 ama Fatah. Mulai dari memilih dan memilah tulisan, mengedit, mendesain kover, layout, pusing mikirin pendanaan, tapi begitu bukunya jadi, rasanya itu gak bisa diungkapin dengan kata-kata deh. Senengnya itu luar biasa.
    Trus waktu LJ2, prosesnya beda lagi, semua udah ditangani oleh penerbit major, jadi tugas kami cuma memilah dan memilih naskah aja. Pas bukunya jadi, rasa senengnya itu beda ama waktu LJ1. Karena apa? Karena di LJ2 ini kami gak terlibat langsung dalam prosesnya.

    Jadi buat saya, rasa senang yang kita rasakan kalo kita ikut menikmati proses pencapaiannya itu bakal beda kalo kita cuma tiba-tiba terima hasil akhirnya. Jadi kenapa harus malu mengakui tahapan proses yang kita lakukan demi sebuah pencapaian?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Cerita dibalik lahirnya buku LJ1 tersebut, dulu pernah mbak Dee dan Fatah share di blog. Aku membacanya dan aku memetik pelajaran dari pengalaman tersebut. Selamat ya mbak, salut atas pencapaiannya terhadap buku LJ1 dan LJ2. Aku bangga bisa jadi salah satu kontributor dalam buku tersebut. Alhamdulillah. Apalagi, sekarang aku bisa menimba ilmu langsung dari mbak Dee. Seneng :)

      Saat belajar menulis untuk media sama mbak Ira, aku juga memetik pelajaran berharga dari beliau. Bahwa, kebanggaan akan usaha dan proses yang ditempuh, jauh di atas segalanya. Dimuat, ataupun materi yang diterima atas usaha tersebut, tidak lagi penting, sebab menghargai usaha sendiri, mengakui kerja keras yang dilakukan, jauh lebih berarti. Gak perlu malu :)

      Hapus
    2. Iya bener, mbak... itu semua adalah cara kita menghargai usaha dan kerja keras kita. So, kenapa harus malu? Aku juga belajar banyak dari mbak Rien, mbak Ira, juga mbak Zulfa.. Makasih buat semuanya ya mbak... :)

      Hapus
    3. Mba Dee, LJ3 nya kapan... :D *kedipkedipmbaRien* :p

      Hapus
    4. Tulisan ini pendek tapi memiliki kekuatan yang besar untuk menginspirasiku mba. Harus riset! :D

      Hapus
    5. Zahra nungguin LJ3 ya? Kenapa? *pura-pura gak tau...
      LJ3 prosesnya agak tersendat ini... :(

      Hapus
    6. Didoakan semoga buku LJ3 lancar prosesnya. Karena, selain aku, si neng Zahra yang kedip-kedip itu sudah penasaran ingin cepat2 membaca. Soalnya.....tiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiit disensor hahaha :p

      Hapus
  2. Saya setuju, mengakui bahkan menuliskan sebuah proses pencapaian keberhasilan kita itu nggak perlu malu atau gengsi. Malahan dengan kita menulisnya bisa menjadi pembelajaran bersama bahwa kesuksesan itu tidak datang begitu saja namun ada perjuangannya dan sekalian buat berbagi ilmu buat orang lain.

    BalasHapus
  3. awwwwww... ada namaku disebut-sebut. Jadi pengen tutup muka pakai bantal. Alhamdulillah ketemu teman2 buat belajar bareng. Yang gak pelit bagi2 ilmu dan informasi. Semoga barokah semuanya.... :) Melejit bersama jadi cita-cita kita berjamaah, kan! ira

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin. Semoga berkah untuk kita semua. Terima kasih buat mbak Ira dan kawan-kawan yang sudah banyak berbagi ilmu. Semoga rejekinya makin lancar mengalir :)

      Hapus
  4. Trus aku mau bilang apa? Mau komentar apa ? selain anguk anguk kepala, hehehe. Segala hal memang Proses ya mbak, termasuk menulis, Bhakan hidup itu sendiri adalah sebuah PROSES. Proses untuk terus mencoba meski banyak halangan menyapa. Mulai nggak jelas sampai di PHP :). Semoga bisa menorehkan nama di majalah Kece yang sudah mendunia ini. Aamin.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin. Aku belajar banyak dari mbak Zulfa dalam hal proses ini. Terima kasih sudah berbagi, semoga semua harapan terkabulkan. Aamiin. *gandengan*

      Hapus
  5. Sepertinya mulai bulan ini aku harus berlangganan majalah ini. Selama ini cuma langganan majalah film aja.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha.....pecinta film sih ya Cek Yan. Kalo mau langganan mending beli paket langganannya, lebih murah. Kalo aku ga langganan, tapi tiap bulan pasti beli :)

      Hapus

Leave your message here, I will reply it soon!