[KulinerDaihatsu] Nasi Kapau Khas Bukittinggi, Lezatnya Hingga Ke Hati



Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Teman, apa yang langsung terlintas di pikiranmu jika menyebut kuliner Padang? Rendang! Ya, tak salah lagi. Siapa yang tak kenal  kuliner lezat dan melegenda yang telah lama masuk dalam jajaran kuliner dunia itu? Jangan mengaku sebagai orang Indonesia jika tak kenal rendang. He he. Nah, Sumatera Barat bukan hanya tentang Padang, tapi juga  tentang Bukittinggi. Maka, kuliner di Ranah Minang juga bukan hanya tentang Rendang, tapi juga tentang Nasi Kapau. Sudah pernah mendengar tentang Nasi Kapau sebelumnya? Belum? Duh! Mau saya beri tahu? Oke, kebetulan ada kontes blog jelajah kuliner unik Nusantara dari Daihatsu nih. Yuk mari simak…

Nasi Kapau itu apa sih?
Nasi Ramas! Lho, kok mirip nasi rames ya namanya? Ya, kedengarannya memang hampir sama, beda pada vocal ‘a’ dan ‘e’ saja. Lantas, apakah nasi rames ala Jawa (karena saya biasa dengarnya di Jawa) sama dengan nasi ramas ala Kapau? Wah, tentunya beda. Yuk ketahui ciri khasnya.

Nasi Kapau adalah nasi ramas khas Nagari Kapau, Sumatera Barat, terdiri dari : nasi, sambal, dan lauk pauk khas Kapau. Nasi Kapau sangat khas dengan masakan gulainya, mulai dari gulai  usus (tambunsu) yang terbuat dari campuran telur ayam dan tahu yang dimasukkan ke usus sapi (karena usus kerbau lebih keras), gulai ikan, gulai tunjang (urat kaki kerbau atau sapi), gulai cangcang (tulang dan daging kerbau), gulai babek (paruik kabau), hingga gulai nangka (cubadak). Lauk pauk Nasi Kapau biasanya berupa rendang ayam, rendang daging, ayam panggang, ayam goreng, teri balado, tongkol balado, dendeng balado, goreng belut, dendeng basah cabai hijau, sup tulang iga, telur ikan, dan sambal lado hijau.

Dan satu hal lagi, beras Nasi Kapau itu khas karena menggunakan  beras bermutu tinggi yang umumnya dikirim dari Bukittinggi dan Agam. Wow, ternyata bukan sembarang beras.

 Warung Nasi Kapau

Dari Mana Asal Muasal Nasi Kapau?
Begini, kenapa disebut Nasi Kapau? Karena berasal dari Kapau. Seperti halnya Padang, Kapau adalah nama tempat. Nama sebuah nagari, Nagari Kapau, Kecamatan Tilatang Kamang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Letaknya sekitar lima kilometer dari Bukittinggi, atau sekitar 15 menit perjalanan berkendara.  

Sejak kapan Nasi Kapau mulai dikomersilkan? Nah saya tidak tahu, soalnya sewaktu di Bukittinggi saya memang tidak bertemu dengan sumber yang dapat memastikan kapan Nasi Kapau mulai dijual. Namun dari cerita orang-orang yang pernah bertanya langsung ke para tetua kampung, konon Nasi Kapau itu katanya sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Dulu, dari Nagari Kapau yang berudara sejuk dan segar, para ibu naik kereta api (pastinya itu kereta kini tak aktif lagi dong ya) sambil menggendong Nasi Kapau dalam bakul. Nasi Kapau itu mereka jual dari ke kampung-kampung dan juga dibawa ke pusat keramaian di Bukittinggi. Di masa sekarang  pusat keramaian itu adalah pasar tradisional yang buka hanya setiap pekan, antara lain: Pasar Lasi, Pasar Baso, Pasar Biaro, atau Pasar Padang Luar.

Jadi, dari mana asal Nasi Kapau? Ya, dari Nagari Kapau. Kapau itu adanya di mana? Di Sumatera Barat. Wes, itu aja. He he.

Nasi Kapau + Kerupuk + Segelas air minum dalam mangkuk berisi air

Apa Bedanya Nasi Kapau Dengan Nasi Padang?
Mau tahu perbedaannya? Yuk kita gunakan indra penglihatan dan indra pengecap kita. Pertama, secara visual kita akan langsung menemukan perbedaan pada warna bumbu kuah gulai, dimana masakan Padang kuahnya berwarna kecoklatan, sedangkan Nasi Kapau kuahnya berwarna kekuningan. Warna kuning itu merupakan ciri khas Nasi Kapau, berasal dari warna alami rempah kunyit yang dipadu kemiri sebagai pengental kuah.

Dari mata turun ke lidah. Lewat lidah, kita akan menemukan perbedaan berikutnya. Apa itu? Cita rasa! Ya, citarasa yang terdapat pada masakan Nasi Kapau lebih ‘nendang’ dan lebih ‘nonjok’. Kenapa bisa begitu? Ada sebabnya lho. Begini, Nasi Kapau itu kan nasi pedalaman. Bukan sembarang pedalaman, melainkan pedalaman yang terletak di dataran tinggi dan dingin. Nah biasanya nih, udara dingin kerap memicu orang untuk bisa merasakan yang hangat-hangat. Kamu saja jika sedang dingin-dingin disodori makanan, pastinya milih yang pedas-pedas, hangat dan bikin lidah jingkrak-jingkrak, kan? Begitu pula yang terjadi dengan Nasi Kapau, biar ‘nendang’ maka ditambah beberapa bumbu yang ‘berani’ dan dominan sehingga bikin mulut jadi seperti ketonjok. He he. Tenang, bumbunya bukan bogem kok, tapi rempah-rempah.

Nasi Kapau tak hanya khas dengan bumbunya yang bervariasi, tapi juga karena pengolahannya yang lebih rumit dari pada Nasi Padang. Selain itu bumbu-bumbu yang dipergunakan adalah bumbu-bumbu segar yang serba alami. Bumbu dan cara pengolahan inilah yang mempengaruhi kualitas rasa, sehingga Nasi Kapau bisa tampil beda. Yuk catat tentang satu hal ini: Meskipun Nasi Kapau dan Nasi Padang memiliki perbedaan, namun image pedas dan mengandung santan tak bisa lepas dari masakan Minang. Jadi, diantara perbedaan itu, tetap ada persamaan.

 Sepiring Nasi Kapau

Apa Keunikan Nasi Kapau?
Banyak! Mulai dari segi nama, tampilan rasa, jumlah menu lauk-pauk yang disajikan, bahan, bumbu, cara memasak, hingga cara penyajian.

Bagi yang baru pertama makan Nasi Kapau, mungkin akan terbelalak dengan jumlah menu lauk pauknya yang sungguh banyak dan beragam! Paling sedikit jumlah menunya ada 15 lho. Saya masih ingat betul ketika masuk ke warung Nasi Kapau Tek Sam di los Lambung pasar bawah Bukittinggi, panci-panci besar dan piring-piring lebar berbaris rapi di meja yang bertingkat-tingkat. Saya mesti berdiri untuk melihat menu yang ada di tingkat paling atas. Juga perlu berjalan dari satu sisi meja ke sisi lainnya agar bisa melihat seluruh menu.  Dimana ibu penjualnya melayani pembeli?  Di tengah-tengah meja saji. Di situ ada semacam ruang kecil tempat ibu penjualnya berdiri. Saat kita memilih menu, ibu penjualnya akan menyendokkan lauk yang kita pilih dengan menggunakan sendok gulai bertangkai panjang dari tempurung kelapa.

Sajian unik Nasi Kapau

Yang khas dari Nasi Kapau ada pada gulainya, dimana bahan sayur yang digunakan berupa campuran kacang panjang, kol, pucuk ubi, rebung, pakis, dan jengkol. Wow, jengkol bo! Nah, uniknya nih, racikan bumbu gulai itu ditumbuk dalam tempat penghancur bumbu tradisional yang disebut lasuang. Kemudian bumbu-bumbu itu disangrai dalam kuali besi, di atas tungku berbahan bakar kayu api. Untuk mendapatkan bumbu yang enak, bumbu mesti  disangrai dalam waktu lama. “Wah, ga gosong tuh kalo lama?” Ya enggaklah, kan apinya diatur kecil-kecil saja. Kok sepertinya sulit ya? Memang mesti begitu syarat utamanya jika ingin agar rasa dan aroma alami dari bahan dapat keluar dengan sempurna. He he.

Hal unik lainnya ada pada cita rasa. Ternyata nih, cita rasa Nasi Kapau yang dimiliki antara keluarga yang satu dengan keluarga lainnya kerap berbeda meskipun mereka satu kampung. Ya, tangan tiap orang beda-beda sih ya, masing-masing dengan ‘kekuatannya’. Yang menarik, dalam menakar resep biasanya cukup dengan lidah yang sekaligus berfungsi sebagai pengontrol rasa, aroma dan tampilan fisik. Tidak menggunakan alat takar baku untuk menentukan banyaknya bahan yang dibutuhkan. Hanya mengandalkan alat takar alami yang Tuhan ciptakan, termasuk dengan hati dan perasaan sebagai alat utama dalam melakukan pekerjaan memasak. Ya, hati dan perasaan adalah yang paling penting bagi siapapun yang memasak. Yang terakhir, keunikan Nasi Kapau terletak pada gulai nangkanya yang tidak menggunakan banyak santan, sehingga tidak terlalu kental seperti gulai nangka umumnya.
 Los Pasar Bawah Bukittinggi

Pusat warung-warung Nasi Kapau

Yuk Makan Nasi Kapau Di Bukittinggi
Ke Padang tak makan Rendang, maka tak nendang. Ke Bukittinggi tak makan Nasi Kapau, maka tak hilang galau. Yeah, itulah jargon saya ketika datang ke Bukittinggi tahun lalu. Saya betul-betul memastikan diri untuk mendatangi warung Nasi Kapau yang terpusat di Pasar Lambung (Los Lambung), di Pasar Bawah Bukittinggi yang terletak tak jauh dari Jam Gadang.

Teman, tahu bagaimana rasanya ketika pertama kali makan Nasi Kapau? Tahu bagaimana lezatnya Nasi Kapau yang saya cicip pertama kali itu? Uuuh...terlalu nikmat untuk diceritakan, dan terlalu lezat untuk dilupakan. Kamu tak kan tahu rasa dan sensasinya, jika tak datang sendiri dan mencicipi kuliner ajib ini langsung di Bukittingi. Yang jelas, Nasi Kapau membuat saya ingin kembali menikmatinya jika suatu hari datang lagi ke Bukittinggi. Ayo teman, temukan keunikan Nasi Kapau di Bukittinggi.

 Tempatku menikmati Nasi Kapau di Bukittinggi


--Selesai—

Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba blog Jelajah Kuliner Unik Nusantara, yang diselenggarakan oleh VIVA.Co.id. dan Daihatsu. Untuk mendukung lomba tersebut, saya sudah memfollow Twitter @Daihatsu dan @VIVA_log, dan like Fanpage Daihatsu Indonesia di Facebook. Berikut saya sertakan bukti follow, like dan tweet, sbb:






Terima kasih ^__^

Kala Senja Di Pantai Senggigi


Assalamu'alaikum Wr Wb,

Ketenaran Pantai Senggigi tak diragukan lagi. Namanya hampir tak pernah absen disebut dalam segala sesuatu yang berkaitan dengan wisata Lombok. Dalam brosur-brosur wisata, buku wisata, peta wisata, artikel wisata di media online maupun cetak, Pantai Senggigi senantiasa disebutkan sebagai tempat yang wajib dikunjungi. Saya pun telah sejak lama tertarik pada Lombok karena magnet Pantai Senggigi. Gambar-gambar Pantai Senggigi yang disajikan di katalog wisata, juga di artikel-artikel di majalah, selalu menggoda. Belum lagi deskripsi spesifik yang disertai pengalaman-pengalaman para pelancong yang pernah ke Pantai Senggigi, makin membuat saya ingin datang ke Lombok dan melihat Pantai Senggigi dari dekat.

Oktober lalu ketika flaspacking ke Lombok bareng teman-teman MB, Pantai Senggigi ternyata tidak masuk dalam jadwal wisata. Anehnya, saya tak protes. Padahal saya masih ingat betul dengan rencana ke Lombok yang pernah saya buat berulangkali -dan selalu belum juga terealisasi- Pantai Senggigi selalu mendapat tempat dalam itinerary. Namun Sabtu petang menjelang matahari terbenam, saya (dan teman-teman MB) menjejak Pantai Senggigi. Tak terencana tapi terealisasi. Realisasi atas apa? Atas keinginan yang lama terpendam. Keinginan yang tidak saya usik-usik dalam setahun terakhir menjelang ke Lombok pada Oktober 2013 lalu. Namun inilah kenyataannya, tahu-tahu saya ada di sini, di Pantai Senggigi. Dan tentunya saya berterima kasih kepada Allah, lewat ibu Imas yang petang itu mengusulkan menjenguk Pantai Senggigi, saya bisa sampai ke pantai ini.

Spot motret sunset 

Senja yang romantis

Anjing pun ingin menikmati senja

Berdua dengan mbak Fathia

Mbak Fathia


Thanks mbak Fathia sudah motoin ;)



Senja seperti mantra magis yang gemar mempengaruhi perasaan saya. Dengan kekuatannya dalam mendramatisir, saya seolah dibuat terkenang-kenang pada banyak hal tentang cinta. Ah...

Berandai-andai menangkap si bulat bundar yang hendak tenggelam, sekedar berpose untuk sebuah foto. Hasilnya adalah siluet diri serupa dewi yang sedang memuja matahari. Sambil meliarkan imajinasi, telinga mendengar alunan musik dari tiupan sebuah seruling. Bak ular kobra keluar dari keranjang yang mengangkat kepala sambil menjulurkan lidah, sayapun menggerakkan badan tuk ikut menari. Meliuk-liuk di hadapan matahari sambil merapal doa-doa yang mungkin akan didengar oleh setan saja. Syukurnya saya tak sedang berimajinasi, melainkan berposesiasi *jangan cari artinya dalam kamus manapun.

"Mbak Rien kayak mimpin mereka, ya." 

Ucapan itu menyadarkan saya. Membuat saya sontak mengikuti arah telunjuk seorang teman, ke arah kiri badan. Sekitar 10 meter dari tempat kami berkumpul, ada enam umat Hindu sedang duduk beralas tikar dengan sejumlah perlengkapan sembahyang. Ada air dalam kendi. Ada bunga-bunga dalam sesaji. Semuanya menangkupkan tangan di atas kepala, menghadap lautan, tempat matahari terbenam. Ritual senja yang mungkin ditujukan untuk Dewa.

Lambang Swastika 

Ritual sembahyang umat Hindu 

Dewi matahari? :D

'Nyanyi lagu kemesraan, yuk," ajak mbak Ima.

Duduk-duduk di tepi pantai, bersama menyaksikan matahari tenggelam. Dengan separuh semangat saya ikut bernyanyi seperti yang lain. Lirik lagu Kemesraan ciptaan Iwan Fals, nampaknya memang selalu cocok untuk dinyanyikan dalam suasana kebersamaan, termasuk kebersamaan kami senja itu. Saya separuh semangat, sebab saya merasa lagu ini lagu sedih. Liriknya menyiratkan akan adanya perpisahan. Ya, benar. Esok hari di hari Minggu, kami akan berpisah. Ini hari terakhir kami jalan-jalan. Besok kami akan pulang ke kota masing-masing.

"Kemesraan iniiiiiii....janganlah cepat berlaaaaalu.....
Hatiku damaaaaai...jiwaku tentram bersamamu....."

MB photo session

Nyanyi bareng lagu Kemesraan

Matahari telah tenggelam, panggilan adzan sebentar lagi berkumandang. Saatnya meninggalkan pantai. Sesaat sebelum kembali masuk kendaraan, saya melintas di depan penjual jagung bakar. Ah iya, ini pelengkap acara di penghujung senja. Beli saja.


Jagung bakar



Bersatu dan bersinar

===

 
Terima kasih teman-teman MB!

Lombok, 19 Oktober 2013
Katerina

Pantai Mawun, Kecantikan Yang Tersembunyi


Assalamu'alaikum Wr Wb,

Sepertinya decak kagum terlalu sederhana untuk mengekspresikan kekaguman saya pada Pantai Mawun. Pekikan girang disertai lompatan juga belum cukup. Sujud syukur barangkali. Ah, tapi itu tanda terima kasih pada Allah. Saya rasa, bertasbih dengan melisankan Subhanallah lebih tepat. Nah iya, itu yang spontan terucap waktu itu. Walau tanpa pekikan, tanpa lompatan, tanpa decakan, ucapan Subhanallah menjadi ekspresi terbaik kala menyaksikan keindahan yang Allah tampakan pada saya.

"Subhanallah, Pantai Mawun indah nian."

Seusai dari Pantai Selong Belanak, kami melanjutkan berwisata ke Pantai Mawun. Ternyata, waktu tempuhnya kurang dari 30 menit. Pertanda jarak Pantai Selong Belanak ke Pantai Mawun tak begitu jauh. ELF yang membawa rombongan kami, kembali meluncur di jalan beraspal yang cukup lebar. Melintasi desa-desa, juga kebun tembakau luas yang terhampar di sisi kiri dan kanan jalan. Entah kenapa, setiap kali memandangi tembakau-tembakau itu, saya sampai melongo. Ya, melongo. Seakan tak percaya, bagaimana bisa daun-daun tembakau yang hijau segar itu bisa membunuh manusia ketika berubah dalam bentuk rokok? 

Kebun Tembakau

Pak Haji Ismail bercerita pada saya yang sepanjang perjalanan memang bawel mengajukan banyak tanya. Berlagak ala wartawan, pingin tahu segalanya. Katanya, tembakau membuat orang Lombok (mungkin maksudnya: 'sebagian orang lombok') lekas kaya. Ya, kaya bagi yang punya kebun tembakau. Dari tembakau itu mereka pergi ke Mekkah, menunaikan ibadah haji. Lantas, bagi yang tak punya kebun tembakau, bagaimana? Tetap pergi ke negeri M juga. M inisial Mekkah maksudnya? Bukan, tapi M untuk Malaysia. Jadi TKW, kerja di kebun sawit. Waw. Saya jadi ingin tertawa sebetulnya, tapi sepertinya itu tidak lucu.

Cerita Pak Haji Ismail itu melekat dalam benak saya. Intinya, banyak uang atau sedikit uang, orang Lombok akan pergi ke luar negeri, ke negara M. Mekkah atau Malaysia. Tinggal tebak saja keadaannya jika pergi ke salah satu dari negara berinisial M itu. 

Bukit-bukit tandus

Rumah-rumah beratap ilalang

ELF meluncur deras, meliuk-liuk kencang di perbukitan tandus yang kerontang. Desa-desa kekeringan, pohon-pohon kesepian, bukit-bukit cadas kecoklatan, gubug-gubug berselimut debu, semuanya menjadi pemandangan yang menimbulkan kelu. Alangkah hebatnya mereka yang mampu bertahan dalam keadaan alam yang tak nyaman itu?

Memang, masih ada hutan dengan pohon-pohon berdaun lebat, tapi apalah artinya kalau cuma tumbuh sepanjang 1 kilometer saja dari berpuluh-puluh kilometer tempat yang kami lalui.

Jarang sekali ada pepohonan rimbun begini

Kabarnya, Pantai Mawun itu tersembunyi. Bukan hanya letaknya, tapi juga kecantikannya. Banyak turis yang belum tahu akan keberadaannya, makanya masih sepi pengunjung. Jika benar, Pantai Mawun tentulah sebuah pantai yang tenang dan nyaman untuk berleha-leha sepanjang pagi hingga petang. Bahkan mungkin, bisa tidur nyaman di atas pasir tanpa takut ada yang akan mengusik. Membayangkan banyak hal tentang kesunyian, saya merasa seakan umur saya bertambah separuh abad. Hidup tanpa gangguan itu seakan memanjangkan umur.

Pantai Mawun ternyata memang terkesan sepi walaupun tak benar-benar sepi. Saat kami tiba, ada 2 mobil dan 3 motor terparkir di bawah sebatang pohon. Di pantai ada sepasang bule menenteng papan selancar. Di bale-bale ada 6-7 orang sedang duduk-duduk menikmati pemandangan pantai. Dengan jumlah orang yang masih terbilang dengan jari, Pantai Mawun jelas jauh dari keramaian. Nuansa tenangnya benar-benar terasa.

Sepi, hanya kami

Mungkin karena Pantai Mawun jauh dari pemukiman penduduk, jadi tak banyak penduduk lokal yang berseliweran. Tak ada penjaja souvenir yang lalu lalang, tak ada perahu nelayan, tak ada penginapan, tak ada pondok-pondok liar tempat berjualan. 

Bagaimana cara saya melukiskan keindahan Pantai Mawun yang pesonanya menyiratkan kedamaian itu? Ah, rasanya lidah ini seperti kehilangan kata-kata terindahnya. Begini saja, saya katakan semampu saya, nanti silahkan bayangkan dengan seindah-indah kamu membayangkan sebuah keindahan.

Fathi dan Aulia bermain bersama di pantai

Pantainya bersih. Pasirnya putih, teksturnya lembut ketika diraba. Ia berkilau diterpa cahaya matahari. Bentuk pantainya setengah melingkar, serupa teluk, tapi teluk kecil. Masing-masing ujung pantai diapit bukit. Seolah memagari pantai, membuat pantai Mawun jadi semi tertutup. Karena bentuknya serupa teluk, maka lautnya tenang, tak ada gelombang. Hanya ombak kecil yang berlari menuju pantai, membawa buih putih ke tepian tuk mencucupi pasir yang senantiasa menanti dengan penuh kerinduan. Membasahi pasir-pasir dalam sekejap, lalu pergi lagi tanpa kata-kata, menuju laut, kemudian kembali. Begitu seterusnya. Tak jenuh-jenuh, tak bosan-bosan. 

Langit siang itu berwarna biru. Bersih dari gerombolan awan. Laut berwarna biru muda dan biru tua. Keduanya terlihat seperti menyatu, padahal jaraknya tak terbilang-bilang angka. Warna biru seolah merekatkan keduanya. Melihatnya, seakan alam baru saja diguyur dengan cat biru dari drum maha besar. Siapa yang tak hanyut dalam biru yang syahdu? Belum lagi angin yang berhembus, seperti dikirim untuk melenakan diri. Wahai.... di bumi saja sudah sebegini indah, bagaimana nanti di Surga?

Foto sesion dengan teman-teman MB
*Photo: Andrie*

Di Pantai Mawun, lagi-lagi kami hanya sekedar datang lalu pergi. Tak main air, apalagi mandi-mandi. Walau badan ini rasanya seperti tenggorokan yang telah berbulan-bulan menahan dahaga, saya beruntung masih punya kekuatan untuk menahan diri agar tak kalap menceburkan diri. Saya hanya tak tahan, jika tak berpose-pose ria. Bisa nangis bombay kalau tak punya foto di tempat ini. Baiklah, berfoto sendiri atau ramai-ramai, akan sama saja. Sama-sama memiliki bukti yang tak bikin Pantai Mawun rugi. Gambar!

Saya sungguhan berkata, bahwa Pantai Mawun adalah pantai terindah yang saya jumpai di Lombok. Tapi terindah hanya dari 4 pantai saja, yakni: Pantai Senggigi, Pantai Selong Belanak, Pantai Mawun dan Pantai Kuta. Di Lombok masih ada banyak pantai dengan keindahan yang berbeda-beda. Saya belum melihat semuanya. Apalagi di Lombok ada pantai bernama Pantai Pink. Disebut Pantai Pink karena pasirnya berwarna pink jika terlihat dari kejauhan. Nah, siapa tahu itu lebih indah dari Pantai Mawun, ya kan? Tapi yakin deh, Pantai Mawun juga salah satu yang terindah di Lombok. Buktikan sendiri ;) 

Kemesraan di Pantai Mawun, bersama teman-teman MB

Ohya, biarpun Pantai Mawun masih disebut pantai yang sepi dan tertutup, tak berarti di pantai ini tak ada apa-apanya. Ada sih fasilitas kecil-kecilan seperti tiga bale-bale untuk duduk-duduk yang lumayan bisa dipakai untuk berteduh dari teriknya matahari yang panasnya seperti menusuk-nusuk kulit. Ada dua warung sederhana, ada penjual air kelapa, ada kamar mandi umum, ada tempat parkir. Yang belum ada tentu saja fasilitas penginapan, tempat makan seperti kafe, penjaga pantai, rambu-rambu informasi terkait keamanan pantai dan laut. Ya, moga-moga saja kedepannya akan ada pembangunan fasilitas-fasilitas semacam itu. Selama tidak menghilangkan kealamian pantai Mawun, saya pikir fasilitas-fasilitas itu sebaiknya lekas saja diadakan. 

Membayangkan beberapa tahun kemudian Pantai Mawun berubah menjadi kawasan pantai elit yang bernilai jual tinggi bagi wisatawan, tentu dapat meningkatkan ekonomi dan wisata Lombok. Semoga saja...


Hei, tapi...biasanya kealamian suatu tempat otomatis menghilang jika telah diubah menjadi tempat berfasilitas serba lengkap? Bukankah orang-orang asing datang ke negeri tropis ini karena memburu keaslian? Saya jadi bimbang, apakah rasa dahaga para turis pemburu eksotisme dan kealamian alam itu akan terpuaskan atau malah sebaliknya putar badan lalu pergi?

Pembangunan berbagai fasilitas, biasanya diiringi dengan janji-janji untuk meningkatkan perekonomian daerah setempat (juga menambah pundi-pundi uang para pengusaha), bahkan penduduk lokal akan kecipratan banyak Rupiah. Keuntungan mana yang lebih besar didapat, apakah untuk manusia, ataukah untuk alam, waktu akan membuktikannya.

Sebenarnya, setelah makin banyak melihat banyak tempat menarik di negeri ini, saya makin ngeri.  Maksud saya, kegiatan berwisata ini membuat saya mendadak tak ingin menyerukan "ayo datang dan lihat". Saya takut kealamian pantai-pantai seindah Pantai Mawun, akan tinggal cerita dalam lima atau enam tahun yang akan datang. Atau justru akan lebih cepat dari itu. Mengerikan.

Bagaimana jika saya sembunyikan saja? Ah, saya belagu benar.


Lombok, 19 Oktober 2013
Katerina


Pantai Selong Belanak, Surganya Peselancar


Assalamu'alaikum Wr Wb

Kabarnya, Pantai Selong Belanak terkenal dengan ombaknya yang tinggi. Surganya para peselancar. Buat saya, yang belum pernah menjajal berdiri di papan selancar, mungkin tak ada ketertarikan sedikitpun pada ombak di Selong Belanak. Hanya pemandangan yang saya cari. Tak bosan-bosannya dengan pantai dan laut, walau dimana-mana rupa pantai tak jauh beda antara pantai yang satu dengan pantai yang lain, monoton, tetap saja saya selalu merasa antusias.

Saya dan teman-teman MB berkendara ELF sekitar 1 jam dari Mataram ke Lombok Tengah. Melintasi bukit-bukit gersang yang ditumbuhi pohon-pohon kering yang merana. Jalanan berkelok-kelok, sesekali menurun, lalu menanjak. Membentang tak mulus, berbatu, juga berkerikil. Dari balik bukit ke balik bukit berikutnya. Tak jarang ketegangan menyelimuti tatkala ELF terengah-engah melewati tanjakan. Jika sudah begitu, ingin rasanya menyulap ELF menjadi jeep Rubicon!

Jam 8 pagi kami tiba di Selong Belanak. Alhamdulillah tiada kendala apapun. Kelegaan itu memenuhi rongga dada. Muncul bersamaan dengan keceriaan bak anak kecil dihadiahi balon warna warni ketika mata menangkap panorama yang tersaji di depan mata. Laut!

Pondok kelapa muda
*Foto : Andrie Potlot*

 
Pinggiran pantai Selong Belanak diramaikan oleh pondok-pondok es kelapa. Nampak tak beraturan. Tempat parkir pengunjung juga masih berantakan. Seadanya. Satu dan dua warung yang menjual makanan dan minuman ringan juga ikut mengisi jejeran pondok tempat para pencari rupiah. Barangkali tempat ini memang masih 'apa adanya', belum tertata serapi dan seindah di Bali. Ah, kenapa saya selalu membanding-bandingkannya dengan Bali? Maaf. Tapi saya sebetulnya suka dengan kondisi apa adanya, pertanda masih alami. Hanya saja tolong, itu sampah dan bekas-bekas kelapa, atau apapun benda-benda tak berguna, jangan diletakkan sembarangan. Bambu-bambu dan kayu-kayu bekas membangun pondok, bergeletakan mengganggu pandangan. 
Peselancar
Foto: Andrie Potlot

Penyewaan Papan Selancar
*Foto: Andrie Potlot*

Namanya juga pantai favorit tempat peselancar, maka Selong Belanak ramai oleh peselancar. Tapi peselancar asing. Hanya sedikit pribumi yang berselancar, itupun mungkin instruktur. Atau bisa jadi penyewa papan selancar yang merangkap instruktur. 

Panorama pantai Selong Belanak

Panorama Pantai Selong Belanak memang indah. Pasir pantainya berwarna putih,  bertekstur halus dan lembut hingga ke dasar laut. Aman untuk berenang. Air lautnya jernih. Berwarna biru muda di tepian, lalu biru tua di kedalaman. Pantainya yang panjang, diapit bukit-bukit yang berjejer dari pantai ke pantai. Sekitar 1 kilometer dari bibir pantai, ada karang besar menyerupai bentuk segi tiga, mencuat di lautan.

Anak-anak bermain di pantai

Di sisi utara, ujung pantai dibatasi oleh bukit tinggi. Di sana, perahu-perahu nelayan berjejer di tepian. Anak-anak kecil bertelanjang badan lari-lari di atas pasir. Berguling-guling, lalu menggelinding ke laut. Berteriak, berenang, lalu kembali ke pantai. Berlari lagi. Ibu-ibu desa, duduk di antara perahu-perahu. Berkain sarung, dengan selembar kain yang dililitkan di atas kepala. Ada yang bentuknya menyerupai ikat kepala, ada pula yang menyerupai buntalan. Ibu-ibu itu sibuk membersihkan ikan dalam baskom kaleng. Mungkin hasil tangkapan suami mereka yang bekerja sebagai nelayan. Ada ikan Kerapu, ikan Bawal, ikan Sarden, dan ikan Tongkol. Ikan-ikan berukuran besar ditusuk dengan kayu sebesar sumpit. Lalu diasap, bukan dibakar. Kepulan asap membuat ikannya kecoklatan, serupa pisang salai. Sedang ikan-ikan kecil, tidak ditusuk dengan kayu. Katanya, ikan-ikan itu nanti akan dijual ke pasar.  

 Ibu-ibu sibuk menyalai ikan

 Ikan tongkol salai

Di lautan, para peselancar berasyik masyuk dengan ombak. Anak-anak kecil masih berlarian. Ibu-ibu masih sibuk dengan ikan salainya. Bapak-bapak memeriksa perahunya. Teman-teman masih memotret kesana kemari. Saya kepanasan. Andai ada acara mandi segala, tentulah saya tak pakai menunggu, langsung ingin mandi jebar-jebur. Sayang ini hanya acara jalan-jalan tanpa mandi, jadi cukuplah saya mandi keringat. 

Mau jumping, saya udah duluan :))
*Foto: Andrie.P*

 MB foto sesion
 
Sebelum meninggalkan Selong Belanak, saya memastikan bahwa saya telah berpose indah di sini. Tak ingin frustasi karena tak sempat bernarsis ria. Bisa kecewa 7 hari 7 malam akibatnya. Untung kamera tetap on, dan teman-teman masih bersemangat tuk membantu memotret. Seru, ga mati gaya.

Mau ke sini? Ayo datang. Pantainya bagus. Tapi di sini tak ada penginapan. Tak ada tempat bilas. Tak ada kafe. Cukup datang lalu pulang. Kecuali kamu mau camping di pantai, bawa sendiri perlengkapannya. Urusan makan bagaimana? Bawa bekal dari kota. Makan di pantai. Ohya, jika berharap mendapat pantai yang sepi dan tenang, Selong Belanak tidak memenuhi harapan. So, cari pantai lain. Kemana? Mari ikuti cerita saya ke Pantai Mawun pada tulisan berikutnya he he he.

Lombok, 19 Oktober 2013
Katerina



Bertiga dengan Mbak Andrie dan Mbak Ima

Pantai Selong Belanak