Backpack Murah Untuk Backpacking Murah


Assalamu'alaikum Wr Wb,


Saya selalu tertarik untuk menjelajah Indonesia. Pergi ke tempat-tempat yang belum pernah dijamah dan melakukan petualangan yang menantang. Namun karena ada begitu banyak tempat di negeri ini yang harus dijamah, maka diperlukan dana yang tidak sedikit untuk bertualang.

Antara keinginan dan dana kadang memang tidak seiring sejalan. Itu sebabnya untuk mengatasi kendala dana, saya memutuskan menjadi backpacker. Jika sebelumnya kerap jadi wisatawan yang menggunakan transportasi dan akomodasi tidak murah, kini hampir 2 tahun sejak memilih backpacking hal itu tidak terjadi lagi. Banyak sekali dana yang bisa dihemat dengan backpacking.

Backpacking murah tak sekedar menghemat banyak biaya transportasi dan akomodasi, tetapi juga membuat saya merasakan banyak sensasi kehidupan bebas dengan sederhana dan tanpa ribet. Ketika backpacking, saya merasa otak saya diminta untuk berfikir lebih cerdas dalam mencari 1001 cara untuk menyiasati biaya selama perjalanan agar tidak terlalu mahal.


---ooo000ooo---

Tadinya, unsur murah backpacking bagi saya hanya meliputi transportasi dan akomodasi. Tetapi siapa sangka ternyata juga merambat pada unsur-unsur lainnya. Seiring waktu saya mulai mencari cara agar perlengkapan backpacking bisa dimiliki tanpa mengeluarkan banyak biaya. Dalam hal ini berupa barang-barang fashion yang saya kenakan.

Pikir saya, jika banyak biaya traveling bisa dipangkas, maka penghematan-penghematan itu bisa digunakan untuk menambah biaya traveling berikutnya.  Begitu seterusnya. 

Saya termasuk orang yang memperhatikan unsur penampilan ketika bepergian. Memang, ini bukanlah hal utama. Meskipun hanya sebagai unsur sekunder, beberapa item fashion seperti tas, sepatu dan pakaian mendapat perhatian khusus dari saya. Ini tidak terkait mahal atau bagus, tapi terkait keinginan untuk menonjolkan karakter diri lewat style namun dengan tanpa meninggalkan unsur simple dan nyaman. Ingin tetap gaya tapi tanpa bikin sengsara.

Tas, entah itu ransel atau koper, adalah bagian dari fashion. Barang wajib punya dan pakai seorang traveler. Tak heran kalau saya memiliki keduanya dalam beberapa ukuran, model dan warna. Jika dulu saat bepergian saya selalu membawa koper paling sedikit dua, kini setelah jadi backpacker jangankan dua koper, satu pun tidak. Backpacking itu dituntut untuk praktis. Koper tidak membuat berwisata jadi simple, makanya saya tinggalkan dan memilih menggunakan backpack.


Polo Classic Bahan PU (Kulit) Kombinasi Polyster (kain) *ketutup rain cover kuning* :))
Dimensi 35x45, Ada tempat: laptop, baju (muat banyak), tablet/ipad,  kosmetik+toiletries
[Lokasi: Tarakan, Kaltara]

Masa transisi dari koper ke ransel membuat saya mengalami masa-masa tidak menyenangkan. dalam artian barang-barang bawaan yang biasanya banyak dan lengkap akhirnya mesti diminimalisir. Backpack telah membuat jumlah pakaian saya berkurang banyak. Begitu juga dengan alas kaki dan jilbab.

Menggunakan backpack membuat saya dituntut untuk bisa memilah mana pakaian yang perlu dibawa dan yang tidak, mana yang bisa di-mix and match atau tidak, serta dituntut pandai dalam berkemas. Artinya, sebisa mungkin setiap ruang kosong dalam backpack itu dimaksimalkan.

Mulanya saya memilih backpack ukuran besar (dengan feature main compartment, side mesh pocket, smartcool back system, axes holder, sternum strap, front pocket, back pocket, rain cover, dan hydration system). Beli yang besar tujuannya agar muatannya banyak. Tapi setelah backpack itu parkir di punggung, rasanya seperti lemari yang dipindahkan ke badan. Berat! Pun ukurannya yang tidak cocok dengan badan saya yang mungil.

Backpack besar juga tidak bisa dibawa ke kabin. Bukan tidak muat masuk kabin, tapi saya tidak sanggup mesti menggendongnya dari tempat check-in sampai masuk pesawat yang jaraknya jauh.

Buat apa beli backpack kalau ternyata masuk bagasi juga? Sudah harganya mahal, tak nyaman pula saat dipakai.


Eiger Woman Series; strap dada & strap pinggang
[Lokasi: Pantai Balekambang, Malang]

Setelah kejadian itu saya mulai mencari info panduan tentang cara memilih backpack. Untuk kategori light travelers setidaknya harus punya backpack dengan bahan dan jahitan berkualitas tinggi. Harus tahan beban berat dan tahan banting. Ada frame (internal) yang membantu distribusi berat dari bahu dan punggung ke pinggul. Ada strap pinggang dan strap dada (antar strap adjustable). Boleh berat saat diangkat dengan tangan tapi harus terasa ringan di pundak. Model front load, supaya akses ke isi ransel mudah. Nah, setelah kriteria itu ketemu, eh ternyata harga backpacknya mahal.

Panduan memilih backpack, ternyata mesti dilanjutkan dengan panduan membeli backpack murah. Kan backpacker sejati, semuanya mesti murah. Termasuk backpack? Apa bisa?

Kualitas memang berbanding lurus dengan harga. Tetapi itu tidak mutlak. Harga murah untuk barang berkualitas bisa didapat asal tahu caranya. Saya sendiri mulai berani mencari cara ini karena terdorong untuk menyempurnakan label backpacker yang disandang. Hehe.

Untuk mendapatkan backpack murah, ada 2 cara yang pernah saya lakukan. Pertama, saya mesti rajin memantau harga discount dan harga promo backpack di suatu toko tas khusus traveling. Entah itu toko online ataupun offline. Ini pernah saya lakukan di toko online tas Deuter. Alhamdulillah dapat backpack bagus dengan harga hampir separuhnya. Pernah juga di Matahari Dept. Store. Waktu itu ada discount 50%+20% untuk backpack Polo Classic. Lebih dari lumayan kan bisa dapat backpack murah tapi berkualitas.

Kedua, rajin ikut kontes blog dan lomba menulis bertema traveling yang hadiahnya kadang selain uang juga berupa barang-barang untuk traveling. Seperti tahun 2013 lalu saat saya mengikuti lomba kontes blog Terios 7 Wonder, saya masuk nominasi 25 besar. Meskipun tidak meraih 5 besar, tapi saya berhasil membawa pulang Eiger Backpack 25liter. 100% gratis! Alhamdulillah.


Backpack Eiger 25L model top load dengan strap pinggang & strap dada 
[Lokasi: Menara Masjid Agung Jawa Tengah - Semarang] 

Nah, dengan dua cara yang pernah saya lakukan itu keinginan untuk punya backpack murah tapi berkualitas bisa terwujud. Bahkan bisa dapat gratis. Caranya pun elegan. Dari menulis tentang perjalanan pun saya pernah dihadiahi backpack Eiger Woman series dari seorang teman yang menyukai blog saya! Nah. Banyak jalan mendapat backpack, bukan? Rejeki memang tak kemana ya. He he.

Dengan rajin memantau harga di toko online, saya jadi selalu update info terbaru tentang produk-produk backpack. Informasinya bisa untuk saya sendiri, atau untuk dibagikan ke teman-teman sesama backpacker. Dengan ikut lomba-lomba blog dan menulis, kemampuan menulis saya juga jadi terasah. Saya jadi makin berani berkompetisi dan makin bersemangat untuk terus menjelajah Indonesia.

Tertarik? Yuk silakan dicoba ^_^



Hadiah Dari Bukit Sikunir


Assalamu'alaikum Wr Wb,

Ini cerita dari trip Dieng Wonosobo tgl. 18-19 Oktober lalu.

====

"Mbak Ida, ini Rien. Mbak Rien, ini mbak Faidah."

Sesaat setelah Delyanti mengenalkan kami, kami pun saling pandang. Ooooh...ternyataaaa. Blar! Tawa pun pecah. Ya, siapa yang mengira di Puncak Bukit Sikunir kami bertemu. Beda rombongan, beda asal kedatangan, beda rencana, tapi ternyata sama-sama diberi nikmat bernama Perjumpaan. ~Pertemuan kadang memang tak perlu diatur-atur, biarlah takdir yang mengantarkannya. Itu akan terasa jauh lebih indah

Perjumpaan tak terduga dengan mba Faidah

Golden sunrise tak berhasil saya jumpai. Si bulat merah menyala tak muncul dari balik gunung. Awan menutupinya. Padahal tubuh ringkih ini telah bertarung dengan udara sangat dingin, jalan berbatu yang kasar, tanjakan panjang dan melelahkan, serta padatnya pengunjung yang membuat saya sempat terjepit, semua dilalui demi menyaksikannya.

Ketika kerumunan orang mulai lerai, sampah berserakan menyapa dengan manisnya, "Halloooo....senang melihatmu!" Dan seketika rusaklah citra indah bukit Sikunir dari mata saya. Sungguh kotor. Saat turun dari Sikunir, saya melihat ada laki-laki membawa karung besar bergerak naik sambil memunguti setiap sampah yang ia temui. Hebat sekali laki-laki itu mau jadi sukarelawan sampah. Mestinya pengunjung Sikunir semua seperti dia. Namun saya salah mengira, sebab ia bukanlah bagian dari pengunjung. 

Di salah satu undakan tangga, sebuah dus tergeletak. Ada tulisan kecil di atasnya: "Sumbangan untuk pembersih sampah". Saya melongok isi dus yang berisi lembaran-lembaran uang kertas. Hmm...bukan tidak bagus sih, tapi bukankah dengan cara begini, oknum-oknum pembuang sampah itu justru jadi mengandalkan pemungut sampah itu? Buang sampah jadi dianggap tidak masalah karena sudah ada yang bertugas membersihkannya. Moga saja tidak ada yang begitu. Kalau ada, saya harap itu orang janga pernah pergi kemana-mana. Mendekam saja dalam rumah daripada mengotori alam. Bukannya jadi pecinta alam, yang ada malah jadi perusak alam.

Sampah berserakan di Bukit Sikunir

Saat kerumunan orang mulai berkurang, tampak seorang bapak pedagang makanan berada tak jauh dari tempat saya berdiri gesit melayani pembeli. Minyak panas mendesis dalam wajan berisi kentang, siap menggoreng di tengah dinginnya udara Sikunir. Terpikat kentang goreng tapi saya justru memesan mie instant. Air panas mestinya mampu membuat mie jadi melar, tapi udara dingin angkuh mengalahkannya. Mie setengah matang pun masuk perut. Saya sempat was-was maag kambuh. Biasanya mie instant membuat perut ini jadi mulas dan mual. Tapi hingga 24 jam setelah mie itu dimakan, perut saya tetap aman sentosa. Alhamdulillah.

Delyanti, my lovely travelmate

Katanya dari Puncak Sikunir bisa menyaksikan 8 gunung, tapi mata dan kamera saya hanya mengakrabi pemandangan Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing. Ya salah sendiri sih ga mau menoleh ke sisi lain hehe. Nun jauh di kaki-kaki gunung, atap rumah penduduk menyembul kecil-kecil. Menarik.

Makin siang, keindahan alam makin terbentang. Hamparan bukit, gunung, ladang, dan lembah-lembah nan dalam. Orang-orang berselfie ria di pinggir tebing, ngeri saya melihatnya. Biar deh ga punya foto spektakuler, asal saya selamat. Belum mau mati dulu, masih banyak dosa :D

Yang ditunggu akhirnya datang, walaupun telat, ya Del :D

Berjumpa teman, tak bersua sunrise, melihat sampah, bertemu bapak penjual sarapan, diberi nikmat panorama alam Dieng, semuanya itu adalah hadiah. Bagus atau jelek, semua sama-sama hadiah. Selanjutnya tinggal pilih mau dijadikan apa itu hadiah-hadiah? Disyukuri, dijaga, dimaknai, diperbaiki, atau apa? *bertanya pada pohon kering yang bergoyang*

Memburu Keajaiban Telaga Warna

 Telaga Warna - Dieng Wonosobo
[taken with Canon EOS 7D FL: 15.0mm 1/800s f/10.0 ISO 500]

Assalamu'alaikum Wr Wb,

Sekali lagi, saya melarikan diri dari rombongan *hobi bener lari-larian*. Kali ini saya bersama Lestari. Jika sebelumnya di Telaga Menjer saya ditemani oleh Mbak Musya Rofah, kali ini di Telaga Warna ditemani oleh suaminya, Mas Ari.

Untuk naik kami butuh ojek.
Lalu, laki-laki bercambang dan berjenggot lebat hingga menutup leher, gegas menghampiri dengan motornya. Saya menyipitkan mata menatapnya, meneliti turban dikepalanya, juga bentuk matanya yang besar dan melotot. Wow, bapak ojeknya orang India? :))

Belum tuntas rasa penasaran saya, tiba-tiba bapak ojek menjelaskan bahwa jalur menuju tempat yang hendak kami tuju sedang ditutup. Lestari saat itu sudah duduk manis di belakang motor. Ia nyengir tralala sambil turun dari motor. Ga jadi jek naik ojek :))

Katanya, ada jalan lain yang bisa ditempuh. Dan ternyata, mesti jalan kaki hampir 2 km. Tanjakan pula! Jika bukan hendak mencari spot terbaik untuk memotret, tak kan saya daki tanjakan nestapa itu :)) Saya dan Lestari ngos-ngosan. Sebentar jalan, sebentar singgah. Setiap menoleh ke sisi kanan, jurang terjal menganga. Di bawahnya, genangan air raksasa berwarna hijau toska seperti memanggil-manggil menyuruh turun. Eiiiit...sorry ya, kami ga mau turun. Kami maunya naik. Mau lihat dari atas. Bukan dari bawah:D

Makin ke atas, angin makin kencang dan tak henti-henti berhembus. Badan mungil ini seakan hendak melayang dibawa angin. Untung kamera (termasuk 2 lensa yang dibawa) beratnya mungkin mencapai 3 kilo haha. Lumayan buat menahan angin. Ga jadi deh terbang. Selamat...selamat :))

Sayang matahari tak menghadiahi kami dengan sinarnya yang cemerlang, sehingga air telaga yang mestinya bisa berganti-ganti warna menjadi biru, hijau, atau kuning, tak dapat saya saksikan. Meskipun demikian, satu warna yang tampak saja sudah sedemikian indah. Takjub saya dibuatnya. 

Tempat ini terasa istimewa. Sebab dari sini tampak Gunung Sindoro, Gunung Pakuwojo, dan Gunung Kendil. Sementara di garis terdepan, Telaga Warna memimpin panorama alam Dieng.

Di balik cerita tentang indahnya Telaga Warna, hadir cerita lainnya. Kami bertemu seorang pemuda bernama Pi'i. Mas Ari mengenalnya. Katanya, dia penguasa Gunung Prau haha. Kami ditawari untuk naik Prau. 2 jam saja katanya. Oh tidaaaak! Terima kasih ya mas pecinta alam dari kemenhut yang terkenal se-Dieng :))

Terima kasih buat Mas Ari yang sudah rela bergelantungan di pohon demi membantu memotret kami.

 Numpang foto bareng Mas Pi'i, penguasa Gunung Prau :D

Kabut Menari Di Telaga Menjer

Telaga Menjer - Wonosobo
[taken with Canon EOS 7D FL.10 1/200s f/10.0 ISO 2000]

Assalamu'alaikum Wr Wb,

Mbak Opah istri Mas Ari, menemani saya mencari spot terbaik untuk memotret Telaga Menjer dari ketinggian. Mendaki bukit, melewati kebun sayur sawi, kubis dan labu siam yang lebat berbuah. Di sebuah saung, kami berpapasan dengan ibu petani yang menyapa dalam bahasa Jawa yang tidak sepenuhnya saya mengerti. Seperti koneksi internet yang sedang mengalami masalah kecepatan, saya mengalami loading sekian menit untuk paham bahwa si ibu ternyata menanyakan asal dan tujuan kami.

Sekitar 2 km berjalan kaki, hampir separuh telaga telah dikelilingi. Namun tak juga ada tempat yang bebas dari penghalang pandangan. Meski tak tercapai apa yang saya inginkan, tapi saya puas. Puas menjadi satu-satunya dari 35 peserta trip yang berhasil kabur dari rombongan :))

Dalam rasa puas itu, terurai secuil cerita tentang Gunung Kembang (disebut-sebut sebagai anak Gunung Sindoro) yang muncul di hadapan saya. Cerita mistik dan klenik. Tempat pesugihan! 

Cuaca cerah namun suhu udara tidak panas. Sementara kabut tebal menyelimuti puncak-puncak bukit di sekeliling danau. Menyisakan pemandangan separuh bukit. 


Ketika angin berhembus kencang dan terus berulang, kabut pun bergerak terbawa angin, turun membelah pohon-pohon pinus. Gerakannya seperti tarian. Tarian bidadari yang turun ke bumi. Dan kabut mungkin hendak menyapa (sambil memeletkan lidah) pada saya yang tidak sempat menyaksikan pemandangan sekitar danau dari atas perahu! :))

Tapi saya bersyukur, andai saya berperahu, mungkin tak bisa menikmati indahnya view Telaga Menjer dari atas bukit.


Kebun sayur ini di atas bukit, di sisi Telaga Menjer

Makan siang di saung Telaga Menjer

Masakan mbak Musyarofah enak :D


Kabut menutupi puncak-puncak bukit di seberang telaga

 seusai naik perahu keliling danau

Berkunjung Ke Suara Merdeka Semarang

 
Assalamu'alaikum Wr Wb,

Kebetulan sedang berada di Semarang, jadi saya bersedia memenuhi undangan Ibu U untuk datang ke kantor Suara Merdeka di Kaligawe. Saya ditemani Dely, ibu dosen baik hati yang bersedia meluangkan waktunya untuk direpotkan oleh saya. Terima kasih, Dely!

Setiba di Suara Merdeka, saya malu-malu kucing masuk ke ruangan si ibu. Sangat senang sebetulnya, sebab bisa silaturahmi sekaligus membahas suatu urusan. Ketika Ibu U mengetik sesuatu dari mesin ketik (bukan komputer)...celetak..celetok.. begitu bunyinya, saya tiba-tiba membayangkan dua sosok senior yang telah menginspirasi saya menulis di media, mbak Irawati dan mbak Rosi. 

Hmm...andai saat itu ada pintu Dora Emon, saya ingin menjemput kedua mbak itu datang ke ruangan tempat saya berada saat itu juga. Pastinya akan seru sekali. Jalan bareng ke SM, silaturahmi dengan Ibu U bareng, bila mungkin ketemu Ibu S juga bareng-bareng, mengambil honor bareng, trus honornya dipakai jajan bareng, laluuuu..... hehe menghayal!

"Katerina kenapa tidak tinggal di LN seperti Mbak Ira di Jerman, atau seperti mbak Rosi di Inggris?"

Glek.
Pertanyaan Ibu U bikin saya keselek kamera. haha.

"Kalau saya juga keluar, nanti siapa yang menulis tentang Indonesia Tanah Air Beta, bu?" jawab saya santai.

Ibu U terkekeh. Bapak yang duduk di meja sebelah beliau mengacungkan jempol. Melihat itu, hidung saya pun kembang kempis :))

Tak sampai 30 menit, saya pamit undur diri. Lalu pergi lagi ke Suara Merdeka yang di Imam Bonjol. Eh, oleh supir taksi malah dibawa ke Menara Suara Merdeka. Salah antar! Hadeuuuh. 

Tak kenal memang tak sayang ya. Setelah kenal ibu U jadi sayang deh. Karena sayang, pulang dari SM saya disanguin duit.... Duit honor! :))

Alhamdulillah.

Sebelum meninggalkan kantor Suara Merdeka di Kaligawe, saya sempat foto bareng Ibu U. Tidak ketinggalan gedung kantor dan nama Suara Merdeka yang tertera di bagian depan gedung juga saya potret. *kerajinan :D


menuju lobi

 Kantor

mesin cetak koran yang dimuseumkan

Kalau tidak pernah jadi penulis rubrik Jalan-Jalan SM, belum tentu saya ke sini :D

pasti bersejarah nih unit mesin cetak

Travel Writing Bersama Gol A Gong - Tur Literasi Jawa

Gol A Gong (baju merah)

Assalamu'alaikum Wr Wb,

Salah satu bagian paling menarik dari trip Dieng-Wonosobo tgl.18-19 Oktober 2014 yang saya ikuti kemarin adalah pelatihan travel writing. Heri Hendrayana Harris atau lebih dikenal dengan nama pena Gol A Gong, hadir di tengah-tengah kami. Beliau adalah penulis yang sudah lama saya dengar nama dan karya-karyanya, namun belum pernah berjumpa, apalagi mengikuti pelatihan travel writing-nya. Alhamdulillah kali ini berkesempatan.

Kehadiran Gol A Gong di Wonosobo merupakan bagian dari Tur Literasi Jawa (dari Anyer hingga Panarukan) yang dilaksanakan sejak tanggal 09 Oktober hingga 23 Nopember 2014. Malam itu beliau datang bersama 4 orang rekannya dengan menggunakan kendaraan Grand Max yang sudah dipenuhi oleh gambar dan tulisan terkait tur literasi. 

Informasi mengenai Tur Literasi Gol A Gong bisa disimak pada akun Facebook Gong Smash. Kehadiran beliau di tengah kami sempat diabadikan dalam bentuk foto dan dipost di akun FB beliau. Dalam foto tersebut, terlihat mbak Halida (salah satu peserta trip yang saya ikuti) sedang menerima doorprize dari Gol A Gong.

duduk menyimak

Buat saya pribadi, sesi travel writing ini sangat bermanfaat. Kesempatan traveling dan belajar travel writing dari ahlinya dalam waktu yang bersamaan itu sangat menyenangkan. Bahagia iya, ilmu pun bertambah. Antusiasme tinggi tak hanya milik saya, tapi juga milik para peserta lainnya. Padahal siangnya kami seharian bepergian menikmati keindahan Wonosobo, menyisakan lelah dan badan yang beraroma kurang sedap.

Ketika kembali ke penginapan, Gol A Gong ternyata sudah lebih dulu tiba. Beliau sudah duduk di ruang depan penginapan bersama para pemain karawitan. Keinginan untuk bersih-bersih tentu saja ada, tetapi udara dingin mengalahkan keinginan itu. Hanya cuci muka, kaki, tangan, dan gosok gigi. Selesai. Lalu saya bergabung dengan yang lain.

Di ruang tamu rumah Ibu Toto (pemilik homestay yang kami inapi), semua duduk sama rendah. Mendengar, didengar, bertanya, ditanya, dan mendapat doorprize. Gol A Gong berbagi pengalaman dengan santai (sarungan hihihi), namun isinya sangat mencerahkan dan menginspirasi!
"Buku membuat saya benar-benar lupa bahwa saya bertangan satu." [Gol A Gong]
Saya menundukkan kepala. Melihat diri sendiri. Apa yang sudah saya lakukan dengan dua tangan yang lengkap ini? Di mana karya saya? Apa yang sudah saya tulis dari perjalanan saya selama ini? Oh, belum ada apa-apanya. 1 buku solo pun belum ada (baru punya 2 buku antologi doang hehe). Sedang Gol A Gong kini sudah menulis 125 buku. 125. Catat itu! *mudah-mudahan saya tidak salah dengar* :D

Tokoh masyarakat juga hadir

Aneka hidangan khas pedesaan, menjadi cemilan lezat di malam yang dingin dan berangin. Ada ketela rebus, kacang tanah rebus, dan pisang rebus. Ada juga minuman teh Tambi produksi Wonosobo. Saya tak sempat menghabisi satu piring mencicipi kacang tanah rebus, sebab sibuk pindah-pindah tempat duduk. Entah itu untuk motret, bolak-balik ke kamar, ataupun mengecek batre hape dan kamera yang belum diisi. Khawatir 'senjata' andalan tak bisa dipakai. Sebab esok pagi jam 2 sudah mesti berangkat ke Dieng untuk menikmati sunrise dari puncak Sikunir, juga jalan-jalan melihat Desa Sembungan, desa tertinggi di Pulau Jawa.

Di sela-sela pelatihan travel writing, sajian musik tradisional persembahan Karawitan Pusporini yang dibentuk sejak tahun 1994 menjadi hiburan yang menghangatkan. Suara alat musik yang dimainkan dengan penuh semangat, menciptakan rasa kagum yang terus menyeruak dalam hati saya. Alunannya melenakan. Saya mendengarkannya dari dalam kamar. Ya, saya memang kembali ke kamar untuk mengenakan jacket, kaos kaki, dan kemudian sejenak berbaring. Niatnya sebentar, tetapi saya justru tertidur. Padahal sesi travel writing belum usai. Uuuh! 

Mobil Kepedulian Gol A Gong

Lestari menyimak dan mencatat dengan baik apa-apa yang disampaikan Gol A Gong. Saya senang, jadi tak perlu repot. Tinggal nyontek saja hehe. Berikut ini yang sempat terekam oleh Lestari dalam akun twitter-nya *terima kasih banyak, Tari!
  • Anak-anak sekarang jalan sekadar jalan saja. Beda sama jaman dulu. Ada ilmu jurnalistiknya jg loh dulu itu #TurLiterasiJawa @Gol_A_Gong
  • Menulis adalah pekerjaan intelektual. Bukan mengkhayal. Sama kerennya kaya dokter dkk. Semua butuh riset dan kerangka #TurLiterasiJawa
  • Tidak ada satu karyapun yang mulus tanpa proses revisi #TurLiterasiJawa @Gol_A_Gong
  • Carilah ide dan inspirasi dari tempat2 indah. Maka pergilah ke tempat2 tersebut #TurLiterasiJawa @Gol_A_Gong 
  • Setiap orang yg ingin pekerjaan menulis, lakukan riset, wawancara, jgn rugikan orang, jgn paksakan kehendak. #TurLiterasiJawa @Gol_A_Gong
  • Bagi Kang menulis adalah sebuah pengabdian #TurLiterasiJawa 
  • Tipe orang2 traveling : ingin buang stress/ sekadar liburan atau memang ingin tau tempat itu #TurLiterasiJawa
  • Plesiran, riset, menghabiskan masa pensiun adalah tipe2 para traveler #TurLiterasiJawa
  • Cari sesuatu yg baru, disebarkan, dituliskan dan dapat uang untuk perjalanan berikutnya #TurLiterasiJawa 
  • Tujuan masing2 orang berbeda, tdk bs dipaksakan. Begitu juga menulis #TurLiterasiJawa
  • Draft : ditulis di fb, blog. Selanjutnya disempurnakan #TurLiterasiJawa 
  • Perjalanan tdk sekadar melihat tp jg menemukan #TurLiterasjJawa 
  • Ketertarikan adalah sebuah angle #TurLiterasiJawa 
  • Suatu tempat bisa mjd macem2 angle. Tergantung bagaimana mencari hal menarik #TurLiterasiJawa 
  • Masa lalu, masa kini, solusi (masa depan). Data sekunder : google, orang2 sekitar. Dua hal masa kini dan masa dpn dibahas detil
  •  Esai perjalanan : masa lalu (judul), masa kini, masa depan (solusi) #TurLiterasiJawa 
  •  Inventarisir suatu tempat sehingga dpt angle2 yg menarik #TurLiterasiJawa
  •  Tentukan outline di suatu titik #TurLiterasiJawa
  •  Tematik bisa diolah setelah tulisan masuk #TurLiterasiJawa 
  •  Tentukan angle yg variatif shg jd referensi yg menarik bagi semua orang #TurLiterasiJawa
  •  Jangan sia-siakan perjalananmu. Tak semua orang bs melakukan perjalanan #TurLiterasiJawa
  •  Kita sering tak menyadari bahwa sebuah perjalanan itu luar biasa. Ngga semua orang bs melakukan hal yg sama #TurLiterasiJawa 
  •  Tips ekstrim nulis : datang lg ke tempat itu, data sekunder (google, wawancara) #TurLiterasiJawa
  •  Buat outline sebelum melakukan perjalanan #TurLiterasiJawa
  •  Unsur travel writing : keringat, debu, transportasi. Point of view. #TurLiterasiJawa 
  • Where atau who bisa jadi pembukaan pertama #TurLiterasiJawa 
  •  Bersikaplah seperti orang bodoh jika ingin jadi travel writer #TurLiterasiJawa 
  •  Jangan merasa paling tahu. Cari informasi sebanyak mungkin. Lebih banyak lebih baik #TurLiterasiJawa 
  •  Jika hny buka peta, gps, kita ngga akan mampu menerjemahkan gesture orang #TurLiterasiJawa
  •  Beri dampak positif dari sebuah tulisan perjalanan #TurLiterasiJawa
  •  Lakukan pembuktian dari sebuah tulisan perjalanan #TurLiterasiJawa
  •  Cari banyak referensi dari sebuah tulisan perjalanan #TurLiterasiJawa
  •  Sisipkan informasi di sebuah tulisan perjalanan #TurLiterasiJawa 

Alhamdulillah. Sangat bermanfaat. Jadi banyak nambah ilmu tentang travel writing. Mencerahkan!

Terima kasih Gol A Gong.
Terima kasih Mbak Yayah (dan rekan-rekan) yang sudah menghadirkan beliau di hadapan para peserta trip Dieng.

"Bukan pada seberapa banyak tempat yang kamu kunjungi, tapi pada seberapa banyak buku yang kamu tulis." (Gol A Gong)


Dimuat di Majalah Paras No.132 Oktober 2014


Assalamu'alaikum Wr Wb

Di antara pulau-pulau yang ada di Kepulauan Derawan, Pulau Maratua merupakan pulau berpenghuni yang paling saya favoritkan. Meskipun berpenghuni, namun kealamian pulau ini masih terjaga. Baik daratannya maupun lautannya. Sempat merasakan tinggal dan menginap semalam di salah satu desanya yakni Bohe Silian, memberikan pengalaman menarik yang akan selalu saya kenang.

Pulau Maratua dikenal sebagai surganya para penyelam kelas dunia karena memiliki pemandangan bawah laut yang luar biasa indah. Bahkan, seorang pangeran William pernah datang dan berlibur di pulau ini. Banyak yang bisa dilakukan dan dinikmati di pulau ini seperti berenang, snorkling, diving, berperahu keliling pulau, trekking jelajah pulau, pergi melihat gua, pergi ke danau, menikmati matahari terbit atau pun tenggelam, dan lain-lain. 

Menyusuri keajaiban Pulau Maratua seperti tak ada habisnya. Setiap sudut pantai, pulau, dan lautnya, selalu ada yang menarik. Pantai yang luar biasa dan lautan yang sangat biru. Pasir putih, air dangkal tak berujung yang hangat. Pemandangannya sempurna dalam segala hal. Sungguh tidak mudah dicari, sehingga membuatnya lebih menarik. Dan, Romantis!

Sisi romantis Pulau Maratua. Alhamdulillah dimuat di Majalah Paras No. 132 Oktober 2014.

Horor Di Masjid Seribu Pintu Tangerang

 Masjid Nurul Yaqin (Masjid Seribu Pintu)


"Masjidnya unik tetapi horor. Kau harus menggunakan senter untuk menjelajahi ruang di dalamnya. Ada banyak pintu. Setiap ruang di balik pintu gelap gulita. Sama sekali tiada cahaya. Bila kau berjalan sendiri, kau bisa tersesat dan tidak menemukan pintu keluar!"

Teman saya sepertinya berlebihan. Ia tahu saya penakut, maka ia suguhi saya dengan cerita menyeramkan. Saya merinding.

Apa benar Masjid Nurul Yaqin seperti itu? Tak ada cara lain untuk membuktikannya selain mendatanginya langsung. Maka, tepat di hari Kemerdekaan RI ke 69 tanggal 18 Agustus 2014 lalu, saya melakukan perjalanan ke Masjid Nurul Yaqin. Konon, masjid yang lebih dikenal dengan nama Masjid Seribu Pintu ini merupakan 1 dari 5 masjid terunik di Indonesia. Tak ayal rasa penasaran pun makin membubung.

Apa kabar Kota Tangerang saat ini?
Ternyata kota ini telah banyak berbenah. Citra kotor dan kumuh yang dulu saya lekatkan pada tepian Sungai Cisadane kini pupus, berganti pemandangan asri nan memesona. Bersih dari sampah, pohon-pohon tumbuh rindang dan tertata rapi. Orang-orang berjalan santai penuh kenyamanan. Alhamdulillah sungguh senang melihatnya.

Tepian Sungai Cisadane

Lokasi Masjid 1000 Pintu bukan terletak di pusat kota. Saya agak kesulitan menemukannya. Aplikasi Google Map dan Waze yang digunakan tak cukup membantu. Bantuan termudah justru datang dari seorang Bapak di tepi jalan. Ia memberi keterangan bahwa lokasi masjid tinggal 2 kilometer lagi. Ia menunjukkan jalan alternative. Saya mengikuti arahannya. Dan ternyata, saya harus melewati pematang luas penuh tanaman sayur mayur. 

Jalan kecil tak beraspal. Hanya ditutupi tanah dan rumput-rumput liar. Beberapa ekor kambing dan sapi  bersantai di tengah jalan. Tak peduli pada klakson yang saya tekan berulang-ulang. Bapak-bapak petani membantu mengusir sapi dengan tongkat dan caping. Mempan. Gerobak penuh sayur segar juga ikut menghalangi jalan. Pemiliknya menyingkirkan gerobak hingga turun ke parit. Pengorbanannya layak dihargai, sebab ia lebih memilih mempersilakan mobil saya selamat dari genangan air dan lumpur ketimbang gerobak sayurnya sendiri. 

Ini sungguh mengesankan. Hati saya tersentuh oleh kebaikan orang-orang di jalan. Rasa kesal dengan akses jalan menuju masjid tak lagi menggumpal. Oh, masih banyak orang baik di kota ini.

Pematang sayur di kiri kanan akses menuju Masjid Seribu Pintu

Perjuangan melewati jalan sempit di tengah pematang sayur berakhir dalam waktu 15 menit. Selanjutnya jalan berubah lebar dan beraspal. Di kiri kanan berjajar rumah penduduk. Tak lama sebuah bangunan berwarna coklat tanah menyambut kedatangan saya. Itukah Masjid Seribu Pintu? Seperti benteng. Sungguh tak mirip masjid.

Kendaraan saya memasuki sebuah lorong. Panjangnya sekitar 100 meter. Tepat di ujung lorong adalah pintu masuk masjid. Di depannya ada tempat parkir. Tidak luas, hanya mampu menampung 5 kendaraan roda empat. Itu pun menggunakan halaman rumah penduduk. Sangat tak sebanding dengan luas dan besar bangunan masjid.

Lorong menuju pintu masuk masjid

Masjid Nurul Yaqin terdiri dua bangunan utama. Bangunan pertama mirip gedung sekolah. Jendela dan pintu berjajar kaku. Beberapa bagian atapnya tampak rusak. Bangunan kedua mirip benteng. Di bagian depannya terdapat menara bertingkat 5. Arsitektur kedua bangunan tak banyak memperlihatkan ciri-ciri sebuah masjid.

Saya memasuki bangunan pertama. Di depan pintu masuk ada seorang bapak penjual senter. Dia menyapa dan memberitahu bahwa di dalam masjid gelap. Sebaiknya bawa senter. Saya pun membeli senter darinya. Saat mulai masuk ternyata tidak terlalu gelap. Ada lampu-lampu kecil di langit-langit.

Ada beberapa laki-laki bersarung sedang duduk di atas sofa. Saya mulai bertanya pada salah satunya, tetapi tidak mau menjawab. Saya justru disuruh langsung masuk. Masuk kemana? Ada banyak pintu, saya pilih salah satu, eh salah masuk. Ternyata saya hampir masuk ruangan tempat tinggal keluarga pemilik masjid. Wow, saya baru tahu ternyata masjid ini juga jadi tempat tinggal pemiliknya.

Deretan kamar di dalam masjid. Di lorong ini masih ada lampu.

Sempit dan pengap. Saya tidak nyaman dengan suasana remang-remang di dalam bangunan ini. Area tempat wudhunya lembab dan becek. Ada dua ruang serupa kamar. Berfungsi sebagai tempat salat. Tiap ruang salat itu mampu menampung sekitar 20 orang. Dinding-dinding lorong dihias beragam motif. Ada kaligrafi arab dan motif serupa batik. Lantai lorongnya tidak dikeramik. Agak ke dalam ada ruang tasbih, ruang taklim, dapur, dan tangga untuk menuju kamar-kamar di lantai atas.

Saat waktu salat Dzuhur tiba, saya salat di ruang salat wanita bersama anak dan seorang pengunjung wanita lainnya. Hanya bertiga. Kok sepi? Ternyata pengunjung lainnya salat bersama di ruang taklim. Kenapa ada kamar salat kalau ruang taklim justru lebih cocok digunakan untuk salat? Oh ya, ramaikah jamaahnya? Tidak. Hanya beberapa pengunjung dan petugas masjid. Kok tak nampak kehadiran warga sekitar? Saya celingak celinguk.

Eksterior bangunan masjid 1000 pintu


Arsitektur Masjid 1000 pintu mirip benteng

Saya tidak betah berlama-lama di bangunan pertama. Usai salat saya segera pergi menuju bangunan kedua. Bangunannya mirip benteng. Pintu masuknya digembok. Menurut seorang warga, hal itu dilakukan agar tak ada tamu sembarangan masuk. Untuk masuk sangat disarankan bersama guide masjid. Jika tidak, bisa tersesat. Tersesat?

Sejak awal saya tanpa guide. Bukan tidak ingin, tapi guidenya hanya 1. Itupun sudah bersama pengunjung lainnya. Nah, untuk masuk bangunan kedua ini saya tidak berani sendiri. Saya diskusi dengan pengunjung lain, sepasang suami istri. Saya menawarkan untuk menjelajah bersama. Mereka mau. Akhirnya saya masuk. Anak saya juga ikut serta. Berbekal senter, saya pun menguji nyali. Ingin tahu seberapa berani saya masuk masjid 'horor' ini.

Memasuki masjid, saya disambut suasana gelap dan sempit

Begitu masuk, kami disambut lorong sempit dan gelap. Langit-langitnya pendek. Lantainya tidak di semen. Hanya berupa tanah lembab. Dindingnya hanya di plester. Tidak dicat sama sekali. Ada banyak sekali pintu. Mungkin itu sebabnya dinamakan masjid seribu pintu. 

Deretan pintu membuat bingung. Tidak tahu harus kemana. Bapak paling depan memimpin, ia yakin saja berjalan. Ketemu pintu, masuk. Ketemu belokan, belok. Hingga kami tiba disebuah ruangan agak lebar, kami kembali bingung karena ada banyak pintu yang tidak tahu jika dimasuki akan membawa kami kemana. Senter benar-benar berguna. Meskipun begitu nyali saya mulai ciut. Hening. Kami berpandangan dalam gelap. 

Salah satu pintu dibuka. Cahaya senter diarahkan ke balik pintu. Si bapak berseru, "Wah, itu makam!"

Semua terkejut. Saya menjerit. Anak saya ikut menjerit. Mungkin kaget mendengar jeritan ibunya. Uuuuh...menegangkan sekali. Saya gemetar.

"Pak, saya mohon kembali saja. Kita keluar sekarang juga, ya."

Istri si bapak yang sedang dalam keadaan mengandung justru ingin melanjutkan penjelajahan. Tapi akhirnya dia bersedia keluar, mungkin kasihan dengan saya yang ketakutan. Masjid ini benar-benar aneh. Gelap. Sempit. Mirip masuk gua. Tapi gua tidak semengerikan ini suasananya.

Ada makam di balik pintu

Alhamdulillah berhasil mencapai pintu keluar. Tak terkira rasa senang dapat melihat cahaya. Ternyata sampai kini saya masih saja takut gelap dan ruang sempit. Claustrophobia yang saya idap sepertinya belum sembuh. Masjid ini sangat horor. Rasanya seperti memasuki labirin. Jantung saya masih berdegup kencang ketika sang guide keluar bersama pengunjung yang ditemaninya. Ia bertanya apakah kami tadi masuk sendiri? Saya mengiyakan. Maka air mukanya pun berubah.  

"Lain kali jangan masuk tanpa pendamping, ya, bu."

Saya mengangguk. Ketika guide menawarkan masuk kembali dan ditemani olehnya, saya menolak cepat. Penjelasan akan adanya tasbih raksasa dan makam di dalam masjid, tak saya gubris. Saya ingin di luar saja. 

Saya kembali ke bangunan pertama, menemui seseorang, meminta keterangan detail tentang bangunan masjid dan sejarahnya. Tapi sama seperti sebelumnya, orang tersebut tak memberikan keterangan apapun. Saya mengitari ruangan, membaca tulisan-tulisan dan gambar yang terbingkai. Sama, tak ada keterangan. Lalu bagaimana saya mendapatkan informasi tentang masjid ini?

Gugling? Ah!


Dalam bangunan ini terdapat makam dan tasbih raksasa

 Keluarga pemilik masjid tinggal di dalam bangunan yang berwarna hijau

Ah, saya kecewa.
Bukankah semestinya orang-orang di dalam masjid itu ringan lidah berbagi informasi? Beberapa orang yang saya temui seperti mengunci mulut. Ada apakah sebenarnya? Kenapa suasana dalam masjid dibuat remang-remang, bahkan ada yang gelap gulita? Kenapa tasbih raksasa dan makam diletakkan di dalam bangunan? Kenapa untuk melihat tasbih dan makam itu pengunjung harus disuguhi lorong gelap dan penuh pintu? 

Citra masjid adalah 'bercahaya', tapi di sini saya merasa cahaya itu tiada. 
Banyak tanya yang tak terjawab. Kunjungan ke masjid ini menjelma misteri. Saya seperti tertantang untuk kembali. Datang kembali dengan nyali besar, mengorek banyak keterangan, dan menguak misteri tasbih raksasa yang ada di dalamnya. Semoga suatu hari kembali menjejak Masjid Seribu Pintu.

Tips:
  • Fasilitas parkir kendaraan  di masjid ini sangat minim. Jika ingin mendapatkan tempat parkir, datanglah pagi-pagi saat masih sepi. Di hari libur, pengunjung yang datang lebih ramai.
  • Senter sangat berguna untuk digunakan selama di dalam masjid. Di depan masjid ada yang jual, harganya Rp 5 ribu . Tapi baterainya tak bertahan lama. Dipakai untuk keliling 1 bangunan saja sudah habis. Jika niat ingin bersedekah kepada bapak tua penjual senter, ya tak apa juga beli di sana.
  • Jangan melewati jalan pematang sayur seperti saya. Jika bertanya jalan pada warga, minta jalur 'normal' saja.
  • Tidak ada rumah makan di sekitar masjid. Jika ingin menikmati kuliner, pergilah ke pusat Kota Tangerang dengan waktu tempuh sekitar 30 menit.
  • Lokasi Masjid 1000 Pintu: RT.01 RW.03 Kampung Bayur, Kelurahan Periuk Jaya. Kecamatan Periuk, Kota Tangerang.
Bapak penjual senter

Kesan: 
  • Masjid unik tapi agak menyeramkan. Perawatannya kurang maksimal. Lebih cenderung seperti tidak terawat. Mungkin faktor biaya.
  • Beberapa orang sulit dimintai keterangan. Sepertinya secara halus menyuruh tamu harus menyewa guide. Saat ke sana hanya 1 guide saja yang bersedia menemani  berkeliling. Warga sekitar pun sulit dimintai keterangan. Selalu menggeleng jika ditanya. Sepertinya kompak tidak memberikan info apapun.
  • Melihat antusiasme pengunjung yang datang, menyiratkan masjid ini mengundang banyak perhatian masyarakat luas. Sayangnya sebagai objek wisata (atau bukan?) tempat ini tidak menyediakan fasilitas memadai. Mestinya mendapat perhatian dari pemerintah daerah setempat. Kalau memang unik dan memiliki nilai jual pariwisata, mestinya dikelola. Diperbaiki tapi tanpa mengubah bentuk aslinya. Tetapi mungkinkah itu terjadi? Bukankah masjid ini milik perorangan?
  • Terakhir, di ruang dalam terpampang pigura besar berisi gambar rencana pemugaran bangunan. Tertera angka Rp 19 miliar untuk dananya, dan 9 tahun untuk rencana jangka waktu pengerjaan. Hmmm....
Terlepas dari nuansa horor yang saya rasakan, saya berharap masjid ini dapat dimakmurkan. Ruang taklimnya luas, pasti mampu menampung banyak jamaah untuk kegiatan salat dan ibadah lainnya. Apapun bentuk dan suasana masjidnya, masjid adalah rumah ibadah. Salat harus ditegakkan, kendati rasa takut menyelimuti diri.