[Wonderful Indonesia] Snorkeling In Paradise : Gili Nanggu, Gili Sudak, Gili Kedis

Gili Nanggu

Siapa yang tak tertarik untuk datang ke Lombok? Ah, kurasa tak ada yang mengacungkan jari telunjuknya. Termasuk aku. 

Begitu indahnya Lombok dalam cerita dan gambar-gambar yang orang bagikan padaku, hingga aku memasukkannya dalam list perjalanan yang mesti kuwujudkan segera. Hmm...terkadang bagiku, cerita tentang Lombok seperti sebuah dongeng. Dongeng tentang pulau romantis yang wujudnya bak sebuah magnet yang setiap saat seperti menarik-narikku untuk datang dan mendekat. 

Lombok memang tak hanya populer di dunia wisata Indonesia tapi juga dunia wisata internasional. Bahkan, pada Juli 2013 lalu, berdasarkan hasil analisis yang dilakukan Prapanca Research (PR) terhadap 4.113.072 kicauan di media sosial Twitter mengenai tempat liburan, Lombok menempati peringkat pertama sebagai pulau yang paling banyak diperbincangkan dibanding Hawai dan Tahiti. Wow!
 
Sungguh, sajian cerita dan gambar yang kutemukan di berbagai blog di dunia maya, terutama artikel yang kubaca di Indonesia.Travel : Gili Nanggu, Romantic Paradise in South Lombok, membuatku ingin segera menjejakkan kaki ke Lombok. Alhamdulillah, kesempatan itu datang sebelum tahun 2013 berakhir. Aku berangkat ke Lombok pada 16-20 Oktober. Dan di sana, segala petualangan dan pengalaman seru, kunikmati dengan bahagia bersama 14 orang temanku.



Pelabuhan di pantai Sekotong, Desa Tawun, Lombok Barat.

Jumat pagi, langit cerah. Aku bersama rombongan Muslimah Backpacker menyeberang dari Pantai Sekotong, Lombok Barat, menuju Gili Nanggu. Kami naik perahu tradisional dari pelabuhan Tawun. Perahu berlayar dengan kecepatan sedang. Sementara ombak di lautan nampak tenang. Aku pun santai melahap sarapan yang kubawa dari penginapan. Teman-teman sumringah, gembira dalam tawa. Siap menghambur ke pelukan Gili Nanggu.

Sarapan di perahu

Ternyata, untuk mencapai Gili Nanggu hanya perlu waktu kurang dari 30 menit. Dari kejauhan, terlihat sebuah pulau kecil yang berkanopi rindang pepohonan. Ketika makin dekat, pasir di pantainya nampak begitu cemerlang. Airnya yang biru bening, menampakkan dasar laut dengan sempurna. Kami turun dari perahu. Riang menapak di atas lembutnya pasir. Menjejak Gili Nanggu untuk pertama kalinya. Suara dedaunan yang bergoyang dihembus angin, seperti nyanyian selamat datang pada kami. 

Baru tiba di Gili Nanggu

Gili Nanggu tak lagi perawan. Di pulau ini dibangun penginapan berbentuk rumah panggung yang mengadopsi model rumah adat suku Sasak. Beratap jerami dengan bentuk serupa gunung. Ada bale-bale di sekitar pantai, di bawah pohon-pohon. Ada jogging trek, wahana water sport, dan juga tempat penyewaan alat snorkeling dan diving. Tak jauh dari bale-bale, terdapat public shower

Kami menempati dua bale-bale. Menaruh barang dan ransel di atasnya. Lalu berkumpul untuk briefing sebelum snorkeling. Briefing singkat oleh Duta --guide lokal-- yang mengenalkan perlengkapan snorkeling dan cara menggunakannya. Setelahnya, teman-teman mulai mengenakan masker, snorkel dan life jacket. Aku membantu sekedarnya.  

 Briefing before snorkeling 


bale-bale 

Di bangku-bangku untuk bersantai, terlihat bule-bule sedang berbaring telentang menantang matahari. Owh, banyak bule di sini. Dari bule bayi hingga bule nenek kakek juga ada. Mereka terlihat di mana-mana. Ada yang sunbathing, snorkeling, dan swimming. 

Kami mulai turun ke air, kecuali Nita, Fathi dan Ibu Imas. Duta dan mas Heri --si guide berbadan kekar--, membawa teman-teman ke tempat snorkeling. Masing-masing membawa dua. Bergantian. Aku agak di tepian, memperhatikan, sembari merasakan suhu air. Ternyata hangat. Aku sedikit menjauh dari teman-teman. Masih dirundung galau memikirkan menstruasi. Baru kali ini pergi ke laut dalam keadaan menstruasi. Tak kutemukan kamar kecil untuk melepaskan pembalut, jadi ragu kupilih saja tetap mengenakan pembalut. Masuk air, namun gelisah karena aku takut darah menstruasiku akan mengundang predator laut datang mendekat. Hiu! Aku sangat takut hiu. Eh tapi di sini perairan dangkal, apa iya hiu bisa mendekat? Kata orang tidak. Oke, masuk air saja.

Snorkeling di Gili Nanggu

Berjarak sekitar 20meter dari bibir pantai, ada beberapa bola pelampung terapung di permukaan laut. Penanda batas aman untuk snorkeling. Nah, teman-temanku di bawa ke sekitar bola pelampung itu. Pikirku, mungkin kalau melewati bola pelampung maka akan makin bagus pemandangan bawah lautnya. Eh ternyata benar. Tapi aku tak berani mengajak teman. Khawatir jika terjadi sesuatu aku tak bisa menjaga keselamatannya. Jadi, aku sendirian berenang ke bola pelampung. Mencari tempat yang lebih dalam. Agak sedikit takut sebab masih teringat pada darah menstruasi. Ah.

Aulia, anaknya mbak Hanifah yang masih duduk dibangku SD, ternyata jago juga. Kecil-kecil berani snorkeling ke tempat dalam. Mungkin dia bisa berenang. Sementara teman-teman yang lain mulai asyik dengan aktifitasnya, aku mulai sibuk mengincar lokasi yang hendak dijadikan tempat freediving. Wuow, gaya bener mau freediving ya? Hehe. Ini memang kesukaanku. Godaan untuk menyelam ke dasar laut sudah begitu kuat. Tak sabar menemukan tempat yang cocok untuk ber-diving ria. 

Freediving di antara rusaknya terumbu karang Gili Nanggu

Di Gili Nanggu ini, pemandangan bawah lautnya cukup bagus tapi bukan termasuk yang menakjubkan buatku. Entah kenapa. Atau mungkin karena lokasi yang kami pilih ini memang lokasi biasa yang digunakan untuk pemula? Ikan-ikannya cukup banyak berseliweran di dasar yang berpasir (tak ada terumbu karangnya). Tapi tak beragam. Yang lumayan beragam ya yang di dekat bola pelampung itu. Selain lebih dalam, terumbu karangnya juga cukup menarik dan cantik.


Budidaya terumbu karang di Gili Nanggu 

Di tempat kami snorkeling ini, ada budidaya terumbu karang. Terdapat pot-pot yang disusun di atas besi-besi yang dipasang sedemikian rupa di dasar laut. Barangkali benar dugaanku, budidaya terumbu karang itu untuk mengembalikan terumbu karang yang telah rusak bahkan telah tiada. Pantas saja dari tadi kok rasanya aku tak melihat sesuatu yang lebih di tempat ini. Maksudku, terumbu karang yang mampu membuatku tercengang.

Di dekat kami, bule-bule juga asyik snorkeling. Nah, ada kejadian nih. Tanpa sengaja kakiku mengenai badan seseorang. Siapa ya? Aku kaget. Seorang bule! Kakek-kakek. Ah, untungnya beliau tak sadar kena tepisan kaki karena asyik menunduk melihat pemandangan di bawah. Maaf ya kakek. Bergegas aku menjauh.

Mbak Andrie, photographer andalan selama kami backpackeran di Lombok, ternyata punya kamera underwater. Wow, keren banget deh beliau. Aku girang mau numpang nampang. Kan keren bisa punya foto underwater di Lombok. Bisa buat pamer di sosial media toh? Hah! Ngeri amat niatnya. 

foto bersama 

Dengan bantuan Duta dan Mas Heri, kami mulai beraksi bergaya di depan kamera. Mengapung bersama sambil berpegangan tangan. Membentuk lingkaran. Melihat ke dasar laut. Susah-susah gampang. Yang motret pun berjuang mengambil gambar dari bawah. Berkali-kali. Sampai jadi. Aku yang satu-satunya ga memakai snorkel, sibuk mengangkat muka kepermukaan. Ga bisa lama-lama menahan nafas. Makanyaaa....rasain tuh.

Ya, aku memang tidak memakai snorkel, hanya masker dan life jacket. Aku suka melakukan itu, karena mulutku bisa bebas dari mengulum snorkel. Aku lebih suka menahan nafas dengan hidung. Lebih leluasa.

Kalau sudah urusan foto-foto, betah berlama-lama. Rasanya semua gaya mau dicoba, padahal tak mudah memotret dalam air. Tapi syukurnya banyak juga yang jadi. Kerennya lagi, foto budidaya terumbu karang itu berhasil didapatkan. Jadi bisa punya fotonya. Seneng aja liatnya, mengingatkanku pada tindakan menjaga kelestarian lingkungan bawah laut. Mesti itu. Mesti! 

Zahra & blue starfish

Ada bintang laut, warna biru dan merah jambu. Cantik sekali. Dan mereka masih hidup. Jangan ambil! Jangan lama-lama mengeluarkannya dari air karena starfish termasuk hewan yang cepat mati jika keluar dari air. Bule wanita yang melihat si bintang laut dibawa ke daratan, berteriak : "put it in water..."

Ah ya, ada beberapa botol air minum terapung di sekitar pantai. Uh, sampah. Siapa coba yang berbuat begitu? Pasti ulah oknum tak bertanggung jawab.

Ohya, diantara kami ada teman-teman yang belum bisa berenang. Pantas kulihat beberapa teman tetap tak mau menjauh dari bibir pantai. Tak berani ke tempat dalam, sekalipun ada life jacket terpasang di badannya. Sepertinya kami kekurangan guide. Kasihan juga sebetulnya.

Sebelum siang mencapai puncaknya, kami mengusaikan snorkeling di Gili Nanggu. Snorkeling akan dilanjut di  Gili Sudak dan Gili Kedis. Seperti apa ya tempatnya? Apakah akan lebih indah dari Gili Nanggu? Kita lihat saja nanti. 

Berpose sebelum meninggalkan Gili Nanggu

Sebenarnya Gili Nanggu tak mengecewakan. Akan tetapi karena aku sudah beberapa kali melihat keindahan bawah laut di tempat-tempat lainnya yang pemandangannya lebih memukau, tempat ini jadi terlihat biasa saja. Tapi menurut Duta, di sisi barat  Gili Nanggu, pemandangan bawah lautnya sangat indah. Di sana karang-karangnya lebih besar dan berwarna merah. Membayangkan ada karang berwarna merah, alangkah bagusnya.

Gili Nanggu tetaplah gili yang mengesankan. Pulau kecil ini begitu hening. Mungkin karena keheningannya itu yang membuat banyak bule betah menginap di pulau seluas 12,5 ha ini.  Cottage-cottagenya juga menghadap ke laut lepas, view yang menarik sekali bukan? Dan katanya, bila petang, spektakuler sunset bisa menjadi moment paling indah untuk disaksikan. 




Anak-anak bule di pantai, terlihat malu-malu ketika kudekati. Kusapa mereka, hanya senyum saja yang muncul di raut wajah. Tak ada sepatah kata. Perlu tiga kali menyapa dengan tanya, baru di jawab. Malu atau takut?

Dari Gili Nanggu kami kembali berperahu, menyeberang ke Gili Sudak. Jaraknya cukup dekat, jadi tak terlalu banyak makan waktu. Perahu berlabuh di pantai Gili Sudak berbarengan saat aku menyelesaikan makan siangku. Ya, selama di perahu, aku mengisi perutku. Berada di air, selalu membuat perut lekas lapar. Dan biasanya, nafsu makanku jadi besar. Sayangnya, meski lapar dan bernafsu, nasi bungkusku bersisa. Pedasnya tak terkira. Entah kenapa, masakan di Lombok selalu pedas.


Tiba di Gili Sudak 

Gili Sudak sama indahnya dengan Gili Nanggu. Pasir lembut dan berwarna putih. Airnya jernih. Pulaunya sepi. Dari tepian pantai, kami bisa melihat Pulau Kedis. Dan di sisi lain,  terlihat bukit-bukit gundul yang berbaris memanjang dan sambung menyambung. Itu adalah desa di kecamatan Sekotong. Bagian dari wilayah Lombok Barat. 

Di sudut pantai, ada sebuah pondok makan. Beberapa bule terlihat sedang makan di sana. Di dekat pondok makan itu ada tempat snorkeling yang bagus. Di sanalah Lestari, Gita, Zahra, dan Ikha snorkeling. Mereka berempat ditemani oleh mas Heri. Guide kami. Sementara yang lain, bersiap untuk baksos. Ya, di Gili Sudak ini, rombongan kami hendak melaksanakan kegiatan bakti sosial dengan menyumbangkan buku-buku bacaan dan Al Quran untuk anak-anak pulau. Acara dimulai sekitar jam satu siang, sekelar Duta menunaikan salat Jumat. 


Barisan bukit di Pulau Lombok Barat, terlihat dari Gili Sudak

Usai acara baksos, kami kembali berperahu, menuju Gili Kedis. Anak-anak yang menerima sumbangan buku, terlihat melambaikan tangan perpisahan pada kami, sambil berseru : "dadaaaah...dadaaaaah...." Kami memunggungi Gili Sudak dengan berbagai rasa. Ada rasa haru di hatiku. 


Baksos di Gili Sudak 

Gili Kedis bisa kami capai dalam waktu singkat. Ketka tiba, ingin rasanya berteriak gembira. Betapa pulau kecil tak berpenghuni itu begitu menyenangkan untuk ditapaki. Sepi. Benar-benar seperti pulau pribadi. Tak ada siapa-siapa selain kami.

Lihatlah, pasir pantainya yang putih, sehalus debu. Lembut dikaki. Air lautnya sangat jernih. Apapun bisa terlihat jelas dari permukaan. Kami meletakkan ransel di pohon-pohon yang dahannya menyentuh permukaan pantai yang berpasir. Teman-temanku berjalan kesana kemari, girang berfoto-foto. Aku terduduk di bawah sebatang pohon. Kepanasan. Memandang langit. Begitu biru. Memandang awan. Begitu putih. Memandang laut. Begitu jernih. Begitu indah ciptaanNYA. 


 Batu-batu besar di Gili Kedis 


 biota laut Gili Kedis

Gili Kedis, pulau terakhir tempat kami snorkeling. Di sini aku merasakan ketenangan. Rileks sekali rasanya. Tak lagi mencemaskan menstruasiku. Tak lagi mencemaskan akan bayangan diserang hiu. Aku mulai masuk air. Tergoda pada cerita tentang terumbu karang berwarna pink, ungu dan biru. Benarkah? Benar!! Aku melihatnya.

Teman-teman kembali menikmati snorkeling. Aku mencoba membantu mbak Fathia, Ikha, dan mbak Dewi untuk mengapung. Bukan karena aku jago, tapi karena aku ingin merekapun merasakan kegembiraan yang sama sepertiku, bisa melihat terumbu karang dan ikan warna warni di bawah laut sana. Aku tak yakin apakah akan berhasil membantu teman-temanku mengapung, tapi melihat mereka berpegang pada tanganku, seolah mereka percaya aku bisa. Ya Allah, aku bertekat suatu hari nanti, jika diijinkanNya ngetrip lagi bareng mereka, snorkeling lagi, aku akan meluangkan banyak waktu untuk mendampingi teman-temanku snorkeling. Bukan karena aku sudah lihai, tapi karena aku tahu bagaimana rasanya ketika pertama kali snorkeling. Penasaran bukan main. 

Di dalam air jernih yang hangat, di atas pasir yang lembut 
Hanya ada kami di Gili Kedis, bagai pulau pribadi

Ketika asyik snorkeling, aku mendengar ada teman yang menyebut tentang ular. Katanya ada ular di antara terumbu karang. Astaga, mendadak hilang moodku untuk snorkeling. Aku gemetar. Aku phobia ular. Dari dulu. Hiks. Tapi kata mas Heri ularnya sudah menjauh, aku mulai tenang, walaupun belum 100% tenang. 

Snorkeling di Gili Kedis hingga petang. Tak terasa tiba saatnya untuk kembali ke daratan. Pulang. Sebelum semuanya usai, kami kembali berfoto. Aku mencoba melihat terumbu karang berulang-ulang. Indah sekali. Warnanya kuning, biru, dan ungu. Masih alami. Belum ada yang rusak. Mungkin karena agak dalam, jadi tak ada kaki yang menginjak sesukanya.

Gili Kedis betul-betul menawan, hingga sangat berkesan di hati. Menyelam di sini pun menyenangkan, beningnya membuat terang penglihatan. Sekalipun banyak orang. Ketika freediving, aku lihat clown fish merubungiku. Sebuah perjumpaan yang menyenangkan dengan penghuni bawah laut.


Di Gili Kedis, banyak ikan warna-warni

Di Gili Kedis, terumbu karangnya warna warni

Ah, rasanya tak ingin usai berada di pulau seperti ini. Tak ingin pergi. Tak kami harus pergi sebelum langit berubah gelap. Ya, hari kian petang. Waktu makin sedikit. Penangkaran penyu dan hiu tak sempat lagi kami datangi. Barangkali lain kali, aku berkesempatan kemari lagi, dan aku akan melihatnya. Mungkin berdua kekasih hati. Menginap di Gili Nanggu, berjalan di antara pepohonan yang kata orang mirip suasana di film Winter Sonata. Wow.

Perahu kembali membawa kami ke Pulau Lombok, meninggalkan Gili Kedis yang perlahan menghilang dari pandangan. Tapi tidak dalam kenangan.





 Seru-seruan di Gili

===


Keindahan Gili Nanggu, dengan nuansa tropis dan kesenyapan yang menenangkan, memang menjadi pilihan tempat berlibur yang asyik. Aku menyukai tempat seperti ini. Sungguh menginginkannya suatu hari nanti. Berdua suami menginap di sana. Duduk bercengkerama di bale-balenya. Main ayunan di bawah pohon. Snorkeling. Bergandengan tangan berjalan di pantainya. Merasakan lembutnya pasir di kaki. Di cottagenya, berdua di bingkai jendela memandang laut lepas. Menatap langit biru, dan awan yang putih cemerlang. Menyaksikan sunset di penghujung petang. Dan, duduk di pantai ketika malam, sambil memandang bintang gemintang.  Ah, romantisnya. 


 Cottage di Gili Nanggu (sumber foto: lomboktravelnet.com) 

 Jogging trek di Gili Nanggu, bak di film Winter Sonata (minus salju) hehe
(sumber foto: malezones)

Menikmati waktu di pulau-pulau kecil di barat daya Pulau Lombok ini, tentu saja sangat menyenangkan. Selain Gili Nanggu, ada Gili Sudak, Gili Kedis, dan Gili Tongkang yang bisa dituju. Untuk snorkeling tentu saja. Lokasinya pun mudah dicapai dari Gili Nanggu. Gili-gili itu, meskipun sama-sama berpasir putih, tetapi masing-masing memiliki pemandangan pesisir yang berbeda dan khas.

Lombok, seperti serpihan surga yang dititipkan ke bumi. Indonesia indah karenanya. Kita bisa menikmatinya kapan saja, asal kita bisa tetap menjaga kelestariannya. Datang dan rasakan pengalaman seru di pulau-pulau kecilnya, tapi jangan lupa bahwa keindahan ini tak akan lama kalau kita tak peduli padanya. Snorkelinglah dengan baik. Jangan injak karang, jangan ambil apapun dari dalam laut, dan jangan buang sampah sembarangan.

Wonderful Indonesia. 


 Berenang, snorkeling, freediving, semua bisa kamu nikmati di sini


======


Foto: Saya, Mbak Andrie, Mbak Fathia

Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba Wonderful Indonesia Blogging Contest tentang Lombok-Gili Tramena dan sekitarnya, yang diselenggarakan oleh Indonesia.Travel. Sebagai bentuk dukungan saya pada Indonesia.Travel, saya telah menambahkan Indonesia Travel di G+, mengikuti Twitter @Indtravel dan menyukai Pages Indonesia.Travel di Facebook, berikut capture-nya: 










Menolak Lemah


Assalamu'alaikum Wr Wb

27 April 2013 lalu, ketika dengan PD-nya aku tunjuk jari menyatakan ikut serta trip Lombok MB, aku mulai melatih otot kaki dengan cara bersepeda setiap hari. Tahu ga berapa lama? 5 bulan! Dimulai dari bulan Mei hingga bulan Oktober. 

Dalam sehari, bersepeda selama 2 jam. Waktunya kapan saja. Kadang pagi, siang, sore. Tergantung cuaca dan kapan aku ga sibuk. Kadang pernah tengah malam, malam jumat pula, ngebut bareng kuntilanak. Berakhir pagi hari, di ranjang reyot kamar rumahku. Mimpi! Ya, kebawa mimpi saking semangatnya. Haha..ga ding. Ga pake mimpi segala.

Catatan: Bulan Agustus hanya bersepeda 2 minggu, soalnya 2 minggu lainnya libur untuk puasa dan lebaran. Puasa di minggu-minggu terakhir itu berat euy. Ga kuku mengayuh sepeda. Seminggu pasca lebaran juga libur, badan dan kaki capek abis dibawa jalan silaturahmi ke sana kemari. Oktobernya hanya dapat 2 minggu, karena tgl 16 Okt udah berangkat ke Lombok. Kalo dihitung dapet 5 bulan buat sepedaan. Lumayan betisku jadi mengeras, walau belum berotot kayak abang becak.

Bersepeda tiap hari

Kenapa aku sepedaan? Itu lho, di jadwalnya trip MB, kan ada rencana akan ke air terjun Sendang Gila dan Tiu Kelep. Nah, pengalaman selama ini kalo mau ke air terjun, biasanya mesti berjalan kaki melewati medan yang ga ringan. Naik bukit turun bukit. Kadang malah sampe menyeberang sungai berarus deras yang banyak batunya. Berhubung aku bukan olahragawan, tapi olahmenawan, yang ada aku teler kepayahan karena ga punya badan dan kaki yang kuat.

Maksudku, tenagaku sering kehabisan jauh sebelum air terjun yang dituju tercapai. Entah itu karena kaki yang kram, gatal-gatal kulit kena alergi dingin+angin, nafas ngos-ngosan, dan sebagainya sejenisnya, begitulah. Mungkin aku kuat ketika datang, tapi tak kuat ketika pulang. Akibatnya, tiap kali aku diajak hiking aku harus mikir panjang, khawatir jadi merepotkan orang-orang karena harus dipikul ke posko pengobatan.

Senang jalan tapi selalu merasa ga punya kaki yang kuat untuk berjalan. Kekurangan yang kusadari betul sejak dahulu kala jaman prasejarah hingga kini jaman tinggal sejarah *dung dung gedubrak. Daripada membiarkan diri tak berdaya dengan kekurangan, lalu ga bisa berjalan melihat lebih banyak sisi bumi yang lain, lebih baik bertempur melawan ketidakberdayaan dengan melakukan upaya menguatkan kaki. Makanya aku bersepeda selama 5 bulan khusus buat backpackeran ke Lombok. Wow banget dah *koprol deh tuh bolak balik dari Tiu Kelep ke Sendang Gila.

---ooo000ooo---

Kamis 17 Oktober lalu, aku dan teman-teman MB mendatangi air terjun Sendang Gila dan Tiu Kelep. Berangkat pagi, naik ELF bagus, naik turun bukit, melewati hutan tropis yang masih alami, dan juga melintasi desa-desa di kaki Gunung Rinjani. Sekitar pukul 12 siang, sampailah kami di Lombok Utara, tempat air terjun Tiu Kelep dan Sendang Gila berada. Tepatnya di Desa Senaru, kecamatan Bayan. 



Bagaimana cara mencapai air terjun? Ya jalan kakilah. Ga mungkin banget kan si ELF itu yang hiking. Eh bentar, aku sebut ini hiking bukan trekking karena jalur ke air terjunnya sudah ada. Ada jalan setapak dan tangga-tangga bagus yang bisa dilalui dengan mudah. Kalo trekking kan berarti mesti membuat jalur baru. Mesti menebas dan menebang pohon segala hehehe. Selama ini aku kerap salah menggunakan kata hiking dan trekking.  


Aku dan teman-teman MB mulai jalan kaki. Jalan yang dilalui langsung menurun. Aku menggendong ransel kecil berisi biskuat (coklat ding), air minum penguat (air putih seenak-enaknya air), baju ganti (dan segala macem perlengkapan dalaman wanita hihi), sandal ganti, kaca mata ganti (siapa tahu kan kaca matanya dicomot kera iseng), kain serba guna, dan juga bekal obat-obatan. Maklum, aku ini kan perempuan ringkih yang mudah sekali sakit ini dan itu. Di senggol daun saja bisa deman sebulan. Daun pintu. 


Turunan pertama


Kaki, gimana kaki? Hohoho...jalannya mesti turuuuuuun, naiiiiiiik, dan boot yang kupakai nampaknya keberatan (padahal ringan banget bootnya). Haha...tapi ga bikin sakit sih. Memang top banget itu boot hadiah dari mbak di.......tiiiiiiiiiit di sensor. Aku kan ga kuat dingin, pake boot di kawasan kaki gunung yang berhawa sejuk begini malah bikin anget kaki. Lumayan mengurangi kecenderungan alergi yang bisa muncul kapan saja. Kalau hawa dingin sudah mengalahkan hawa panas di tubuh, alamat siap-siap untuk garuk-garuk. Alhamdulillah ga terjadi. Dan setiba di Sendang Gila yang jalannya jauuuuh banget (ada kali ya 1 kilo lebih jalan kaki), aku ga mengalami yang namanya ngos-ngosan. Ga merasakan ada bengkak di betis. Ga merasa ada sesuatu yang sakit di kaki. Keringatan sih iya, penat mah biasa, tapi ini kok rasanya aku tetap baik-baik saja. Singing Baik-Baik Saja Dewi Sandra. Mic-nya botol air mineral.  


Tangga yang nyaman

Di Sendang Gila (dibaca gile) ga pake menggila. Meskipun ketinggian air terjunnya lumayan tinggi (31 meter), dengan dua tingkatan yang menggoda pandang mata, tapi aku ga merasa kolam di bawahnya nyaman untuk bermandi-mandi ria. Jadi aku cuma menonton dan berfoto-foto narsis. Ada dua sejoli mandi di pojokan. Pake samphoo dan sabun. Berasa di kamar mandi terbuka aja liatnya. Aku nyengir kuda. Tapi kemudian nyengir gembira ngintip Fathi (anak kecil 5 tahun lhoooo, bukan pria dewasa) sedang ganti baju di balik batu. Dengan isengnya aku malah memotretnya. Haha...fotonya ntar buat Nita aja. Umminya Fathi.

 Foto bareng 4 bule Jerman
Bulenya bilang gini: "ini ke 4 kalinya kita di ajak foto." hihi

Yeah, aku di Sendang Gila


Dari Sendang Gila, perjalanan dilanjut ke Tiu Kelep. Aku kira tadinya mau udahan, balik ke mobil dan pulang. Eh ga taunya ada air terjun lagi yang mau didatangi. Waktu itu aku ga begitu antusias, biasa saja, karena pikirku paling air terjunnya sama aja kayak Sendang Gila. Kurang menarik. 

Jalan yang ditempuh ternyata cukup jauh. Naik tangga (naik bukit pake tangga haha). Naik jembatan tinggi yang salah satu sisinya ga pake pagar pengaman. Ampun dah, ngeri banget liatnya. Mana di bawahnya ada sungai penuh batu, kalo jatuh hancurlah kepala cantik ini. Udah gitu, makin tegang aja liat Fathi jalan di jembatan itu. Kan anaknya lincah banget tuh, aku ngeri dia kepeleset atau apa gitu, byuurr jatuh...hiiii...naudzubillah. Untung ada teman-teman yang bantu jagain. Soalnya umminya tertinggal di belakang hihi. 




Suara gemericik air ga henti-henti bersenandung di telinga. Udara makin sejuk. Hutan makin lebat. Makin sepi. Makin jauh dari peradaban. Bener-bener menyenangkan. Lho?!

Sampai akhirnya kami mesti menyeberangi sungai. Itu sungai airnya berasal dari air terjun Tiu Kelep. Banyak batunya. Besar-besar dan runcing (yang batunya pecah). Airnya bening dan dingin. Arusnya deras. Batu-batu itu permukaannya ada yang licin kayak wajahku, adapula yang kasar kayak telapak tanganku (tukang batu, maklumlah). 




Kami mulai nyebur, ga pake kelelep sih, cuma sedengkul gitu dasarnya hehe. Tapi ada juga yang dalem, tinggap pilih-pilih aja mau lewat mana. Kalau mau sambil kencing *ups* ya silahkan nyebur ke tempat dalam biar ga ketahuan haha. Nginjek dasarnya lumayan bikin telapak kaki sakit. Untung ada sepatu sandal serba guna yang ringan dijinjing ringan dikaki *iklan banget*, jadi bisa digunakan untuk mengamankan kaki.

Sampe sini, aku masih belum merasakan sinyal teler dari tubuhku. Semua masih oke-oke saja. Teman-teman pun begitu. Semua tetap berjalan dengan semestinya. Bahkan Fathi dan Aulia (duo MB kids) terlihat ga ada masalah. Ibu Imas juga, sebagai yang tertua di antara kami, beliau masih terlihat kuat melanjutkan langkah kaki. Masha Allah. Semua begitu bersemangat. 



Eh tapi, ga semuanya berjalan dengan lancar. Ketika jarak yang kami tempuh kian dekat ke Tiu Kelep, terjadi sesuatu dengan Nita. Aku menyadarinya ketika Fathi mulai menangis. Melihat itu, aku mencari Nita, ternyata Nita di belakang. Kakinya sakit! Kram katanya. Nita terduduk di atas batu. Ia bersama mbak Fathia dan Duta. Alhamdulillah ada yang bantu Nita. Waktu itu antara ingin bantu Nita atau Fathi. Tapi saat itu Nita sudah ada yang nolong. Jadi aku dan teman-teman yang ada di depan, memperhatikan Fathi. Untunglah Fathi bisa ditenangkan.

"Dalam perjalanan, sangat sering kita menemui kondisi tidak menyenangkan. Yang terpenting adalah, kita tetap saling bantu ketika salah satu dari kita berada dalam kondisi tidak menyenangkan itu. Tidak meninggalkannya begitu saja. Apalagi abai hanya karena kita lebih mementingkan urusan pribadi saja." Itu kata-kata mbak P padaku dulu. Kondisi Nita mengingatkanku pada pesan itu.




Hanya berjarak kurang dari 20 meter dari tempat aku melihat Nita kesakitan, air terjun yang di tuju muncul di hadapan. Owh! Udara kian dingin. Suara tumpahan air kian gemuruh. Dan akhirnyaaa....air terjun setinggi 42 meter itu terlihat jelas oleh dua mata ini.

Tiu Kelep yang indah. Rupanya benar-benar seperti kelambu. Subhanallah. Sangat memukau pandang mata. Tak sia-sia menempuh perjalanan jauh dan berat ke tempat ini. Semuanya terbayar lunas.

Tiu, dalam bahasa Sasak --yang merupakan bahasa sehari-hari masyarakat Lombok-- berarti kolam, sedangkan kelep bermakna terbang. Terjemahan bebasnya adalah kolam tempat buih-buih air beterbangan. Katanya, pada saat-saat tertentu, butiran air yang beterbangan itu memunculkan pelangi di ujung air terjun. Kemarin, aku tak melihat pelanginya. Terlalu sibuk menggigil. Di sini, dinginnya hingga ke tulang. Aku ga tahan. 



Airnya terjun dengan deras. Besar. Kolam di bawahnya tak begitu dalam. Cukup lebar untuk menampung banyak orang. Dasarnya juga lembut, tak ada bebatuan besar seperti halnya di Sendang Gila. Bagus, berarti memungkinkan jika hendak berenang. Kecuali menyelam, ga memungkinkan la yaaaa...

Di sini agak berlama-lama. Rasanya sih. Mungkin karena aku dan teman-teman pakai acara mandi, berendam, berfoto-foto di bawah terpaan air, dan cuci-cuci ini itu. Cuci muka! Oh iya, mitosnya nih, kalau cuci muka di sini, bakal awet muda katanya. Nah, tau ga sih, biar kata menggigil juga, aku cuci muka berkali-kali. Sampe tuh air masuk mulut, biar mulut juga ikut awet muda! Aneh.

 what a wonderful waterfall

Mau awet muda beneran? Berendem aja yang lama di Tiu Kelep (setahun gitu), sampe beku. Ntar kan kalo tewas kedinginan, mukanya ya bakal segitu-gitu aja. Ga tua sampe keriput-keriput. Cobain deh. *kaboor.

Banyak yang hendak aku ceritakan tentang pengalaman berkunjung ke Tiu Kelep ini, berkesan banget soalnya. Tapi karena dari awal cuma mau nyeritain soal kaki yang kuat ini, yang didapat dari 5 bulan bersepeda, jadi ntar disambung lagi aja. Penasaran kan? PD banget ya!

Ya, di sini aku ingin bilang kalo aku tuh bersyukur banget diberi kesehatan dan kekuatan oleh Allah SWT selama ngetrip di Lombok, khususnya waktu ke air terjun Sendang Gila dan Tiu kelep ini. Hiking begini benar-benar wujud dari impianku dan kesenanganku, tapiiiii...jarang kesampaian karena fisik sering ga bersahabat sama kondisi alam. Belum apa-apa sudah tepar duluan. Apalagi kemarin itu kondisiku yang sedang haid, yang biasanya dilanda segala macam penyakit lambung hingga kepala, ternyata ga memberatkan kondisi badanku. Subhanallah banget pokoknya. 


Jembatan yang serem itu
*serem karena tinggi dan banyak batu dibawahnya*

ada banyak tangga

Aku kembali memaknai perjalanan ini.
Kita yang tahu kondisi tubuh kita. Kalo merasa pingin banget pergi ke suatu tempat, tapi merasa banget fisik ini ada yang ga mampu, ya pandai-pandai diri saja mengkondisikannya. Kayak kaki, kalo ga kuat ya dilatih supaya kuat. Aku memilih bersepeda itu  karena aman, mudah, dan cepat membuahkan hasil. Memang membuahkan hasil kok. Itu buktinya, jalan kaki jauh ke Sendang Gila dan Tiu Kelep, alhamdulillah aku ga merasakan kesakitan pada kaki. Biasanya betis jadi bengkak, ini malah enggak. Biasanya hanya bisa datang ga bisa pulang, ini bisa jalan pulang pergi dengan sehat. Biasanya ngos-ngosan sampe muka pucat, kemarin nafasku malah normal.

Kalau ada kemauan, trus diupayakan, lalu dijalani dengan tekun, ga sia-sia hasilnya. Aku buktinya. Dan ini nyata. 

Masalah kekuatan kaki teratasi, tapi alergi dingin belum. Sepulang dari Tiu Kelep aku malah kegatalan di tengah jalan akibat baju yang lembab, cuaca dingin, kena angin, kaki basah (boot ga dipakai). Sedikit saja hilang rasa hangat dibadan, maka serbuan gatal merajalela. Waktu itu aku jalan bareng mbak Ima. Aku sempat bilang ke mbak Ima, kalo gatal-gatal mulai hinggap dibadanku. Malu sebenernya, kayak anak kecil saja pake acara gatal-gatal segala :D

Cahaya terang dan hawa hangat yang muncul ketika tiba di atas

Ya, gatal-gatal itu berawal di kaki, merambat ke  badan dstnya. Untungnya ketika tiba di atas, hawa dingin berubah hangat. Langit sore yang terang, dengan cahaya matahari yang masih bersinar, membantu mengurangi rasa gatal itu. Ohya, kenapa aku kemana-mana pakai boot? Itu adalah salah satu caraku menjaga kehangatan kaki. Tujuannya agar aku ga diserang alergi. Bukan buat begayaan sebetulnya :)

Aku masih harus menemukan cara agar alergi ini bisa teratasi, agar lain kali bisa lebih nyaman berada di segala tempat dan cuaca. Ada cara pintas sebetulnya, yakni dengan obat yang diminum dan dioles. Tapi aku lebih suka mengobatinya tanpa harus dengan obat-obatan. Seperti kaki, ga perlu obat kuat atau semacamnya untuk membuatku bisa berjalan tanpa lelah.Cukup dengan latihan bersepeda selama 5 bulan hehe.

Bersambung....



====

Lombok, 17 Oktober 2013



**Terima kasih ku ucapkan pada semua teman-teman MB atas kebersamaannya selama ngetrip di Lombok kemarin ^_^