Tradisi Unik Kawin Lari, Dilestarikan atau Dikritisi?

Sang Pengantin

Assalamu'alaikum Wr Wb,

Saat berjalan di antara rumah-rumah adat Suku Sasak di desa wisata Sade, saya dan teman-teman MB terhenti di depan rumah seorang nenek pemintal benang. Jalan yang mestinya kami lalui untuk terus menelusuri desa, terhalang oleh acara semacam pesta. Menurut mas Lalu, guide kami, saat itu sedang ada hajatan perkawinan salah satu keluarga Suku Sasak. Para lelaki yang berkumpul  terlihat bersarung kotak-kotak dengan berbaju seragam warna putih dan berikat kepala seperti yang biasa dikenakan pria di Bali. Mereka sedang khusyuk membunyikan tetabuhan. Saya sempat menghitung, para lelaki itu berjumlah sekitar 9 orang. Seorang lainnya berbaju hitam (serupa jas), duduk menghadap ke dua buah gong berukuran besar dan berukuran sedikit lebih kecil. Tangannya sesekali memukul gong. Hanya ada 2 perempuan yang terlihat, namun tidak duduk berdekatan dengan para lelaki. 


 
Tak jauh dari tempat para lelaki penabuh musik berkumpul, para wanita dan anak-anak terlihat duduk-duduk di depan rumah sambil menyantap makanan. Ada nampan besar tergeletak di tanah. Di dalam nampan itu terdapat sejumlah piring berisi makanan. Kata salah seorang ibu, mereka sedang menikmati hidangan dari tuan rumah. Kesederhanaan nampak jelas dari cara dan keadaan mereka. Tak ada tenda besar dengan kursi dan meja layaknya sebuah pesta. Anak-anak dan ibu mereka duduk tanpa tikar atau apapun alas duduk. Hanya tenang dan diam menikmati sajian.


Dalam perjalanan memunggungi tempat hajatan, kami melewati sebuah rumah dengan pintu dalam keadaan terbuka. Di dalamnya terdapat beberapa wanita muda sedang berkumpul. Kata mas Lalu, pengantinnya ada disitu. Sedang di rias. Saya penasaran ingin melihat. Benar saja, sang perempuan berkain kemben, yang riasan wajahnya paling tebal, adalah sang pengantin. Karena tak ingin mengganggu, saya hanya mengintip dan memotret dari balik jeruji jendela. Syukurnya sang pengantin tak acuh, seolah mempersilahkan dirinya di potret. Ada 3 wanita yang sedang dirias, sang pengantin dan  dua lainnya mungkin pengiring pengantin. Saya amati wajah mereka, masih muda-muda. Bahkan cenderung belia. Mas Lalu bilang, umur si pengantin masih 14 tahun. Waw!



Mas Lalu menjelaskan tentang gadis Suku Sasak yang rata-rata memang menikah di usia belia. Bahkan pernah ada yang menikah di usia 11 tahun. Pendidikan anak perempuan Suku Sasak kebanyakan hanya sampai SD. Sepertinya pendidikan tidak terlalu penting. Mereka memilih untuk lekas menikah, mengurus anak dan keluarga, serta membantu mencari nafkah dengan menenun dan membuat barang-barang kerajinan yang dijual sebagai souvenir khas Desa Sade.

Hal paling unik yang saya ketahui dari mas Lalu tentang masyarakat asli Suku Sasak yakni tradisi kawin lari yang biasa disebut dengan Merariq. Kawin lari atau Merariq berarti melarikan calon istri ke rumah kerabat atau keluarga si laki-laki selama 3 hari. Sang laki-laki (si penculik), kemudian meminta pada keluarganya untuk mengirim utusan kepada keluarga perempuan untuk menyampaikan bahwa anak perempuannya telah dilarikan. Hmm...tradisi ini sebetulnya juga terdapat di Sumatera Selatan. Saya pernah mendengar langsung cerita dari teman yang pernah KKN di beberapa desa yang tersebar di sekitar kabupaten Muaraenim, Baturaja, Kayu Agung, hingga Prabumulih tentang kesamaan kronologi penculikan yang berujung perkawinan seperti yang terjadi pada Suku Sasak.

Bagi Suku Sasak, Merarig lebih terhormat karena dianggap sebagai sebuah kebanggaan atas keberhasilan melarikan anak gadis orang. Sang penculik merasa lebih jantan. Ia merasa dirinya bak ksatria. Melamar baik-baik ke orang tua sang gadis justru tak dianggap penting. Jika dilakukan (melamar), dapat membuat keluarga pihak perempuan tersinggung. Suku Sasak juga dilarang kawin dengan orang di luar perkampungan Sasak. Jika melanggar, mereka tak diperbolehkan kembali ke kampung Sasak. Andaipun sama-sama menikah dengan Suku Sasak, tetapi jika mereka keluar dari perkampungan maka tetap tak diperkenankan untuk kembali. 

Tradisi dalam Suku Sasak juga hanya membolehkan menikah antar saudara kecuali dengan sepupu dari pihak laki-laki. 

Saya, mbak Andrie, mbak Hanifah, dan Lestari, bersama salah seorang wanita Suku Sasak

Hmm...sebuah budaya popular yang menggugah intellectual curiosity. Terlalu kental, terlalu kuat mengakar, hingga tak usai untuk digali dan diarifi. Varian ritual dengan konsepsi kawin lari yang tak tergerus oleh arus modernisasi, sah sebagai identitas. Lantas, bagi orang Suku Sasak yang telah menjadi muslim, apakah ritual semacam ini telah mendatangkan pergulatan tradisi sehingga dapat memudar oleh aturan agama yang telah mengatur dengan tepat tentang tata cara perkawinan, termasuk perempuan-perempuan yang boleh dinikahi? Atau tetap katarsis tersebab kungkungan imperilisasi, infiltrasi dan aneksasi dari kekuatan eksternal?

Rasanya, seperti sedang 'menonton' tanpa 'menuntun' untuk berfikir bahwa pada suatu tradisi harus rela digerus oleh khidmatnya prosesi perkawinan secara Islam.


====

Sabtu, 19 Oktober 2013
Desa Sade, Rambitan, Lombok Tengah

Seorang istri. Ibu dari dua anak remaja. Tinggal di BSD City. Gemar jalan-jalan, memotret, dan menulis.

Share this

Previous
Next Post »

4 komentar

  1. Saya heran kenapa kawin lari justru menjadi pilihan para pemuda dan menjadikannya suatu kebanggaan ya?
    Semoga pola pikir masyarakat Suku Sasak di sana semakin maju.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sayapun heran, mas Iwan ^_^
      Kalau melihat dari betapa lestarinya tradisi itu hingga saat ini, tentulah mereka mengerahkan kekuatan penuh untuk membuatnya bertahan. Perlu kekuatan yang sama, atau bahkan lebih untuk dapat membuatnya berubah. Apakah itu?

      Tak ada yang lain selain kembali pada pemahaman akan ajaran agama (dalam hal ini Islam, karena Suku Sasak itu mengenal Islam dan beragama Islam) yang sebenarnya. Dan saya pikir, kekuatan itu juga ada dipundak para penyampai ajaran. Jika mereka 'kuat', bukan tak mungkin pola pikir tertinggal itu bisa didobrak.

      Hapus
  2. setuju...
    kadangkala budaya yang dikenalkan dari suatu negara tak dikritisi terlebih dahulu sehingga 'budaya' tersebut dibilang harus dilestarikan dan diteruskan turun temurun. Padahal tak jarang budaya itu sendiri bisa dikategorikan sebagai ketidaktahuan suatu kaum pada peradaban yg lebih baik ... *halah njlimet

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul, Ve.
      Hmm..lantas, apa iya mereka tidak tahu ya? Sengaja tidak mencari tahu atau sengaja "dibuat' tidak tahu? Kadang saya mengira, kehidupan dalam suatu "kotak", sengaja di jaga oleh 'orang luar' agar tetap tertinggal, jauh dari pengetahuan. Agar tetap unik dan bisa 'dipajang' dan dilihat-lihat. Agar memiliki 'nilai jual'....

      Tapi, jika melihat kehidupan tradisional di Desa Wisata Pande Sikek, Sumatera Barat, justru jauh berbeda. Orang-orang di sana justru sangat agamis. Menjalani kehidupan tradisional dalam bingkai keislaman yang indah. Berkarya dengan membuat souvenir kayu, pernak pernih, dan juga kain tenun seperti di Desa Sade.

      Tergantung pada apa ya kira-kira?

      Hapus

Leave your message here, I will reply it soon!