[Lombok] Menjadi Tamu Di Negeri Sendiri



Horeee...aku masuk album "Beautiful" Mbak Andrie Potlot he he.

Yang beautiful itu sebenarnya anak-anak bule itu. Bukan aku. Foto-foto ini berlokasi di Gili Nanggu. Aku copy paste dari album foto mbak Andrie di FB.

Emak dan dua anaknya hehehe

Gili Nanggu terletak di seberang Desa Sekotong, Lombok Barat. Untuk mencapai Gili Nanggu, aku dan kawan-kawan muslimah backpacker menyeberang dengan sebuah perahu tradisional yang digerakkan dengan motor. Pulau ini bisa ditempuh dalam waktu kurang dari 15 menit. Pulau yang tak lagi perawan namun tetap memiliki pantai yang bersih. Pasirnya putih lembut. Airnya jernih. Warna air lautnya biru muda, biru tua, dan terkadang biru kehijauan. Pohon-pohon tumbuh tinggi dan rindang. Menjadi peneduh dari teriknya sang surya.

Di Gili Nanggu ada cottage yang oke banget untuk didiami kala berlibur. Ada banyak bule di sana. Tua muda, kecil besar, hingga anak-anak. Rame. Kenapa ramai? Mungkin karena karena keindahan pulaunya yang membuat turis asing senang berkunjung dan tinggal di sini. Karena pingin tahu lebih detail perihal Gili Nanggu ini,  tadi aku gugling, ketemu websitenya : http://www.gilinanggu.com/ Pikirku siapa tahu kapan-kapan kalo ke Lombok lagi, ada rejeki untuk menginap di Gili Nanggu. 


cakep-cakep memang

Jumat pagi itu, kedatangan rombongan kami membuat suasana pantai yang sebelumnya agak sepi, jadi berubah ramai. Tak terlihat ada wisatawan lokal selain kami. Hanya bule-bule. Jumlah mereka seakan mendominasi isi pulau. Dari yang bayi, anak-anak kecil, remaja, dewasa, bahkan yang sudah nenek-nenek dan kakek-kakek. 

Kenapa banyak bule di sana? Jangan-jangan itu cottage-cottage milik mereka ya? Jangan-jangan kayak di Bunaken, salah satu resort (di sebuah pulau), pemiliknya ternyata orang Perancis. Aku penasaran. Trus sambil bikin tulisan ini, aku gugling lagi. Nyari info. Harusnya kemarin sih ya, pas di Lombok, nanya langsung ke orang-orang sana. Tapi ya gitulah, waktu itu sibuk ama urusan sendiri. Sekarang deh baru nyari-nyari info.

Aku terdampar di sebuah blog, Are we still in Indonesia? yang bercerita tentang dominasi orang asing di Gili Trawangan. Wiiiih....ternyata bener-bener parah. Penginapan, kafe, dan tempat-tempat seperti diver center, ternyata banyak yang dimiliki oleh orang asing. Pekerjanya juga hampir 75% adalah pekerja asing. Dan ironisnya, yang jadi tamu, penyewa dan pembelinya adalah penduduk lokal dan wisatawan lokal. Apa itu juga yang terjadi di Gili Nanggu ini?



Gimana? udah sama-sama bule kan kita bertiga? Gedubrak

Aku teringat dengan tulisan Lalu Abdul Fatah di buku Love Journey : Ada Cinta di Tiap Perjalanan, yang mengungkapkan kegundahannya akan pulau-pulau di Lombok yang sudah berpindah ke tangan orang asing. Kejadian serupa juga terjadi di Raja Ampat Papua. Keindahan Raja Ampat yang dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir berhasil menyedot perhatian wisatawan dunia, membuat orang asing tak hanya datang untuk melihat dan menikmati keindahannya, tapi juga menancapkan kukunya di sana. Negeri kita. Mereka membeli tanah, membangun villa, dan menyewakannya kepada para wisatawan. Lalu, penduduk setempat dapat apa dan jadi apa? Dapat uang banyak dalam sesaat. Barangkali. Atau malah dapat bengongnya. Kasihan.

Antara mau ketawa, miris, marah, ga ridho dan sedih yang berujung tangis bombay lebay, kala mendengar ada yang mengatakan: pribumi jadi tamu, tamu jadi pribumi. Orang Indonesia malah menjadi orang asing di negerinya sendiri. Memang begitu keadaannya. Ah...

Aku punya teman wanita asal Lombok (namanya mbak A) yang bersuamikan seorang pilot sebuah maskapai di Indonesia (yang juga asal Lombok). Aku kenal dia sejak 2006 lalu. Orangtuanya punya resort di Gili Trawangan. Jika tiba masa libur, dia mudik ke Lombok. Sekali waktu aku pernah ditawari untuk main ke sana dan menginap gratis di resortnya. Ga cuma sekali, tapi ditawari hingga dua kali olehnya. Tapi karena memang belum rejeki, tawaran-tawarannya itu lewat. Menyesal sih. Pasca dari Lombok kemarin, aku menghubungi Mbak A, menanyakan tawarannya dulu. Oh, sayang sungguh sayang. Ternyata tawaran itu ga mungkin ada lagi. Sebab cerita kini telah berubah. Resortnya sudah ga ada. 

Temanku itu mengaku bahwa penjualan itu terjadi karena dia butuh uang dalam jumlah besar untuk membeli sebuah rumah tinggal senilai 1,5M (dia sebut jumlahnya untuk memperkuat alasan dijualnya resort ayahnya itu) di daerah Tangsel. Tapi aku tidak tahu kepada orang lokal atau orang asing dia menjual resortnya. Bisa jadi ke orang asing, toh sudah banyak bukti kalau resort-resort di Gili Trawangan itu banyak dimiliki oleh orang asing. Hmm...menjual resort/tanah karena butuh uang? Itulah alasan orang yang menjual tanah maupun resort yang mereka punya di kawasan wisata Lombok. Dan ini menjadi bukti. Saksi nyata yang masih hidup.


Yang satu nutup aurat, yang satu kebuka-buka auratnya
*tepok jidat

Balik ke anak-anak bule dalam foto ini....

Kelar snorkeling, aku duduk di atas pasir. Tepat di bibir pantai. Makan TOP chocolate rice krispies. Sendirian. Ga bagi-bagi. Cuma satu sih. Ada dua anak bule didekatku. Keduanya sedang asyik menggambar sesuatu di atas pasir. Kutanyakan namanya. Tak ada yang menjawab. Hanya memandang sekilas padaku. Lalu putar badan. Jyaaaah...

Aku tanya sedang menggambar apa. Ga di jawab juga. Yang laki-laki malah berputar cepat ke arah lain. Seakan hendak pergi. Tapi ga jadi. Dia berdiri lagi dekat kakak perempuannya. Kakak? Tau dari mana. Nebak aja kok.

Jangan tinggi-tinggi angkat tangannya maaak...bau niiih

Terakhir aku tanyakan asalnya. Jgeeeeer!! Akhirnya dijawab. Dari Italy katanya. Oooooh. Abis itu pingin nanya lagi, tapi aku mulai merasa jangan-jangan mereka ga nyaman ditanya-tanya. Ya sudahlah. Udahin aja. Sebenernya sih mereka itu pemalu. Menjawab aja sambil senyum-senyum dikulum gitu. Malu kali ya ama emak-emak lokal yang putih kulitnya melebihi mereka. Waaaaww??? Pede amat buuuu? 

Abis nanya-nanya ga jelas, aku liat mbak Andrie mengarahkan kameranya ke aku. Aku?? Ke anak-anak bule itu kaliiii. Oh, jadi dari tadi mbak Andrie moto candid? Wah, waktu itu aku langsung GR. Berasa kayak model candid. Model kesasar. Abis GR, langsung pingin loncat-loncat girang. Selain girang, sengaja biar difotoin. Ya ampun, emang ya aku ini emak-emak mata kamera-an. Sebutan apa pula ini? Bah!

Aslinya sih, aku seneng banget liat foto-foto ini. Ga pake ditawarin juga langsung aku copas. Buat ditunjukin ke yayang tersayang. Norak deh gue. Masalah buat lo? Siapa "lo"? Itu si tukang jagal di pasar daging. Virus Soimah merajalela. Parah.

Terima kasih banget buat mbak Andrie yang udah motretin aku. Eh anak-anak bule ini maksudku. Haha...GR mulu deh. Berada dekat mereka, orang-orang bisa menduga kok kalo anak-anak ini anakku. Soalnya tampangku juga udah bule toh? Iya toh? Ngaca mak, ngaaaaacaaaa....

Mohon maaf kalau foto anak-anak ini mengganggu pandang mata. Memang kontras sekali sih ya, aku yang berpakaian menutup aurat, kedua anak ini malah kebuka-buka auratnya. Mereka masih kecil. Yang laki-laki kuperkirakan masih 7-8 tahun gitu. Yang perempuan sekitar 9-10 tahun. Biasanya anak bule bongsor tapi usianya masih muda. Tampang mereka yang beautiful memang menarik untuk ditangkap oleh lensa kamera. Sayangnya ada aku di sini, jadi beautifulnya ga full. Merusak pemandangan saja. Halah, merendah apa merendah?

Ini si bule yang bilang "put it in water" itu :D

Ohya, di foto ini juga ada foto ibu-ibu bule dengan anak balitanya sedang main di air. Itu si ibu, waktu naik ke darat dan melihat salah satu kawan MB berpose dengan starfish (aku ga tahu starfishnya udah mati atau belum) dia berseru sambil menggendong anak kecilnya itu ke arah kawanku: "Put it back in the water..." Sekali dia teriak, belum ngeh sepertinya yang diteriaki. Dia berseru lagi: "Put it back in the water..." Si bule perlu sampe 3x mengulang ucapannya. Dan yang terakhir dia persingkat kalimatnya: "Put it in water." Tangannya menunjuk ke starfish, lalu menunjuk ke laut. Masukin ke air. Gitu maksudnya.

Sependek yang aku tahu, turis asing mancanegara itu punya rasa peduli yang tinggi terhadap biota laut. Sebab di tempat asal mereka, mereka "miskin" dengan kekayaan alam dan keindahan laut seperti di negara kita (I love you, Indonesia). Jadi, mereka sangat menyayangi apa-apa yang terkandung di dalam lautan. Wajar kalau bule perempuan itu nampak marah. Justru itu bagus menurutku, jadi contoh buat kita-kita yang mungkin masih ada yang kurang peduli pada hal-hal seperti ini. 

Ada contoh yang paling dekat, Mr. D, kakek tampan yang merupakan bos, bapak, sekaligus sahabat bagiku (bisa dibayangkan betapa akrabnya aku ama beliau ya kan huehehe), adalah salah satu orang asing yang sangat peduli pada lingkungan (di Indonesia). Lelaki pensiunan dari S****** AG Germany (beliau tinggal di Bavaria) ini adalah sosok traveler yang sangat cinta Indonesia. Ketika aku belum kemana-mana, dia sudah lebih dulu menjejak Lombok, Bali, Pulau Komodo, Pulau Derawan, hingga Raja Ampat (dan dia tetap rendah hati). Satu hal yang paling melekat diingatanku tentangnya, dia adalah orang yang sangat ramah dan sayang pada lingkungan. Ga cuma di Indonesia, tapi dimanapun dia berada ketika traveling.

Bagi kakek tampan, melihat tak berarti harus memiliki. Menyukai tak berarti harus memiliki. Menikmati tak berarti harus memiliki. Dia tak seperti warga asing kebanyakan. Meski berpeluang untuk memiliki salah satu resort di kawasan Bali (kemarin dia baru abis kursus bahasa Indonesia di Bali selama sebulan), tapi itu sama sekali tak diambilnya. Jangankan sebuah tempat di tanah air, hewan-hewan unik di kedalaman yang beliau lihat saat scuba diving saja tak ia sentuh. Sedikit orang asing yang begini. Eh bisa jadi banyak, tapi aku ga tahu ya. Kalau begitu, cukup aku tahu 1 ini saja. Sebab dengan 1 ini saja sudah banyak menginspirasiku. Aamiin.

 Kakek tampan yang cinta banget sama Indonesia
(dokumentasi pribadi)

Jika orang luar saja menghargai dan menyayangi isi daratan dan lautan kita, kenapa kita tidak? Ya, mari dimulai dari sekarang bagi yang belum mulai. Lebih baik terlambat daripada terlambat banget hehe. Eh bentar, kemarin aku ada ngambil kerang-kerang hidup dan terumbu karang hidup ga ya? Jangan-jangan aku ngambil? Ntar, aku ingat-ingat dulu. Hmm...Doooor!!! Aku ga ngambil. Enggak. Enggak. Jangan sampai ngambil ya. Please. Please. Kalo mau buat kenang-kenangan, ambil saja yang sudah mati. Kan biasanya yang udah mati, "sampah"nya terdampar di tepi pantai tuh. Nah itu aja yang diambil.

Ngoceh panjang lebar tentang foto ini, menyeretku pada ending yang ternyata menimbulkan sejumput pertanyaan. Bisakah pulau-pulau elok yang dimiliki negeri ini, esok-esoknya, tak dikuasai lagi oleh orang asing? Bagaimana cara mencegahnya? Bisakah siapa saja yang datang ke kawasan wisata laut seperti ini tidak menyumbang kerusakan walau hanya sebesar biji duku (iih...kok bisa-bisanya menyeret-nyeret biji duku?) 

Mari bertanya pada ombak yang menderu......

Bersama kawan-kawan MB di Gili Nanggu


===


Gili Nanggu, Lombok Barat - INDONESIA
Jumat, 18 Oktober 2013



Seorang istri. Ibu dari dua anak remaja. Tinggal di BSD City. Gemar jalan-jalan, memotret, dan menulis.

Share this

Previous
Next Post »

9 komentar

  1. mb rien mirip bule kok, kalo pake kacamata item .. *jiaaah pake syarat :))
    cantik ya lautnya, jadi pingin kesana ...

    BalasHapus
    Balasan
    1. ada lagi syaratnya Ve, liatnya dari puncak Eiffel, baru kayak bule :p

      Cantiiiiik banget. Masih asri, bersih dan tenaaaaang banget. Ayo ke Lombok :)

      Hapus
  2. eh ini saya baru nyadar beli .com toh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nyadar apanya, Jo? Jadi bingung saya ama komentmu :D

      Hapus
  3. Mbak Rien, terima kasih telah berbagi pandangan lewat tulisan ini. Kegelisahan yang sama juga pada diri saya. Tapi, kalau sekadar gelisah, kapan selesainya? Pertanyaa lanjut, apa yang bisa kita lakukan?

    Sekarang ini sedang digalakkan pariwisata berkelanjutan. ada juga istilah yang lebih spesifik, yakni ekooturisme. Jadi, konsep pengembangan wisata yang mengedapnkan tiga aspek: pelestarian lingkungan, pemberdayaan ekonomi masyarakat lokal, dan penghormatan atas nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat setempat. Kalau di Lombok, setahu saya sedang coba dikembangkan di Desa Bayan.

    Saya jadi kepikiran orang Indonesia yang beli klub sepakbola di Eropa. Si Erick yang beli saham West Ham United. Itu investasi yang gede banget tentunya. Andai ia bersedia mengalihkannya pada turisme di Indonesia, tentu dengan visi untuk membantu warga lokal meningkatkan kesejahteraan hidupnya, saya yakin itu bisa banget!

    Pemerintah memberi dukungan, para tenaga profesional memberikan arahan, warga lokal dilatih, promosi pada pihak luar pun digencarkan, ekoturisme bukan suatu hal yang mustahil. Bahkan, dari hasil pembacaan saya sejauh ini (maklum, ini topik skripsi saya), para bule itu akan lebih rela bayar lebih jika itu terkait dengan konservasi alam. Ya, ini sejalan dengan yang Mbak Rien bilang di atas kalau kepedulian ekologis orang luar itu, rata-rata di atas orang Indonesia.

    Intinya, orang Indonesia yang investasi juga di Indonesia. Bukan sekadar investasi, tapi lebih ke arah social enterprise yang belakangan ini juga sedang mulai digalakkan di kalangan muda.

    Mudahan saya bisa melakukannya di Lombok nanti, Mbak. Doakan :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul Fatah, tindakan apa yang mesti kita perbuat, itu yang penting. Duh, saya malah belum tahu mesti berbuat apa hiks T_T

      Terkait ecotourism, saya jadi teringat pernah posting tentang ini di grup LB. Dimana pada KTT APEC di Nusa Dua Bali Okt lalu, dalam sesi acara di Konferensi Tri Hita Karana, disebutkan bahwa Lombok dan Sumbawa akan dikembangkan dalam proyek ekowisata (ecotourism) untuk regional Asia Tenggara. Hal itu disampaikan oleh Direktur Eksekutif Eco Region Indonesia, organisasi pengembang master plan pariwisata, John Higson. Kedua eco region itu adalah Tanjung Ringgit dan Pulau Delapan. Dan disebutkan bahwa setidaknya ada 10 pantai yg potensial memobilisasi ekonomi kawasan. Lumayan banyak ya.
      Moga saja wacana ini terealisasi segera ya Fatah. Menyusul Desa Bayan yang sudah lebih dulu menerapkan konsep ekowisata.

      Lombok kan sekarang sudah jadi destinasi wisata tingkat dunia, wajar perlu perhatian khusus. Dengan ekowisata yg merupakan bentuk perjalanan wisata yang bertanggung jawab, diharapkan agar wisata Lombok jadi lebih maju, kelestarian alam dan budaya penduduk lokal dapat tetap terjaga.

      Nah, kembali ke "kita berbuat apa?"
      Mungkin di sini kita bisa mengambil peran (dimulai dari peran yg kecil dululah ya). Misal, ikut mengawasi program ekowisata yg dicanangkan itu. Kalau pemerintah tok, ga bisa jadi penentu suksesnya ekowisata itu sendiri ya kan? Seperti yang pernah Fatah bilang, selain pemerintah, peran LSM lokal dan masyarakat setempat juga sangat diharapkan agar didapat hasil yang ideal.


      Hapus
    2. Hmm...kalau Pak Erick Tohir, saya melihatnya dari sudut pandang yang lain, Fatah. Begini, beliau kan memang konsen di dunia olahraga. Selain invest di club bola, beliau juga invest di club basket. Jumlah invest yg tentu ga sedikit memang, tapi ada semangat nasionalisme dan misi positif yg beliau usung, yakni dengan menjadi "jalan" bagi pemuda2 Indonesia yang berbakat. Lewat beliau, pemain2 berbakat Indonesia bisa masuk ke club Eropa yang dia punya. Baik di sepak bola maupun basket. Saya ga terlalu detail paham ttg itu semua, tapi setidaknya ada gambaran bahwa investasinya beliau itu ya ga "kosong" tentunya :)

      Ada kok pengusaha kaya Indonesia lainnya yang mikirin pariwisata berbasis ekowisata di Lombok. Contohnya seperti Pak Hary Tanoesoedibjo. Melalui PT MNC Land Tbk (perusahaan properti milik beliau), Pak Hary Tanoe menggandeng PT Gobel International, perusahaan yang dikendalikan oleh Rachmat Gobel, untuk membangun kawasan pariwisata terpadu Mandalika Resort di Lombok, Nusa Tenggara Barat.

      Yang menunjuk Pak Hary Tanoe sebagai investor di kawasan itu adalah PT Pengembangan Pariwisata Bali atau Bali Tourism Development Corporation (BTDC).

      Tadi saya gugling, nemu kabarnya di sini : http://www.investor.co.id/corporateaction/hary-tanoe-gandeng-gobel-ekspansi-ke-lombok/53073

      Di situ disebutkan bahwa PT. MNC Land Tbk akan membangun hotel dan resor, lapangan golf, permukiman golf, serta permukiman di kawasan pantai. Proyek itu dibangun di atas lahan seluas 164 hektare (ha) dari total luas lahan di kawasan yg mencapai 1.250 ha.

      “Perseroan ingin menjadikan Mandalika Resort sebagai resor ramah lingkungan kelas atas (high end ecotourism resort) bertaraf internasional,” ujar Direktur MNC Land Dipa Simatupang di Jakarta, Selasa (22/1).

      Sebenarnya mungkin banyak ya pengusaha2 kaya asal Indonesia yang punya pikiran untuk memajukan wisata Indonesia dengan niat baik untuk melindungi tempat2 wisata itu dari kerusakan dan pindah tangan ke orang asing. Cuma mungkin belum ketemu caranya. Atau bisa jadi sudah ketemu caranya, tapi kita tidak tahu :D

      Harapan saya pada dasarnya sama dengan harapan semua orang yang ingin melihat wisata Lombok, ataupun dimanapun itu di Indonesia, maju tapi tidak komersil. Terkenal, ramai didatangi tapi tidak menjadikannya rusak. Ya....seperti niat baik segelintir orang asing yang pingin tetap menikmati tanpa berjibaku untuk memiliki/menguasai :)

      Hapus
    3. Social enterprise!!
      Yup. Setuju sekali denganmu. Fatah.

      Tentu! Saya dukung dengan doa, semoga Fatah dapat melakukannya di Lombok nanti. Aamiin.

      Terima kasih banyak sudah memberikan komentar di sini Fatah.

      =====

      Alhamdulillah, akhirnya mbak bisa berkunjung ke daerah asal Fatah. Melihat banyak tempat indah yang sungguh berkesan. Bahkan hingga detik ini. Ada rasa syukur yang begitu raya, bangga menjadi bagian dari negeri ini. Negeri yang kaya, indah, dan punya beragam warna dalam suku dan bahasa.
      Takjub dan khawatir, jadi satu dalam rasa. Khawatir karena takut semua yang dimiliki negeri ini akan rusak, hilang kelestariannya, dan sangat takut kelak anak cucu tak dapat melihatnya seindah ketika saya melihatnya.

      Semoga setiap langkah kecil yang siapapun lakukan dalam upaya menjaga kelestarian alam Lombok, dan tempat2 lainnya di Indonesia, dapat didukung dengan cara apapun yang bisa dilakukan.

      Hapus
  4. Jadi tambah pengen ke Lombok, apalagi Gili Nanggu yang minus pengganggu ;)

    BalasHapus

Leave your message here, I will reply it soon!