Sebuah Fakta Historis Kala Menjejakkan Kaki di Tugu NOL KM Republik Indonesia


Salah satu objek wisata sejarah yang ada di Pulau Weh adalah Tugu Nol Kilometer Indonesia (The Monument of Zero Kilometer of Indonesia). Sebuah tugu yang menjadi a marker of the westernmost tip of Indonesia. Terletak di areal Hutan Wisata Sabang. Tepatnya di Desa Iboih Ujong Ba’u, Kecamatan Sukakarya. Hanya sekitar 5 km dari Pantai Iboih yang terkenal cantik dan berair jernih. Tugu Nol Kilometer yang merupakan salah satu objek wisata andalan yang ada di pulau ini berada di sebelah barat kota Sabang. Jika dihitung dari pelabuhan Balohan, jaraknya sekitar 32 km dengan waktu tempuh sekitar 40 menit perjalanan berkendara.

Menapakkan kaki di sebuah tempat yang menjadi penanda geografis, simbol perekat Nusantara dari Sabang sampai Merauke, menjadi sebuah fakta historis dari cita-cita pribadi saya. Alhamdulillah. 


Di lantai dua bangunan terdapat sebuah beton bersegi empat. Disitu tertempel dua prasasti. Prasasti pertama ditandatangani Menteri Riset dan Teknologi/Ketua BPP Teknologi BJ. Habibie, pada 24 September 1997. Dalam prasasti itu bertuliskan penetapan posisi geografis KM-0 Indonesia tersebut diukur pakar BPP Teknologi dengan menggunakan teknologi Global Positioning System (GPS). Prasasti kedua  menjelaskan posisi geografis tempat ini yaitu 05 54" 21,99 Lintang Utara - 95 12" 59,02" Bujur Timur. Data teknis berdirinya tugu ini tertoreh di atas lempeng batu granit yang menyebutkan “Posisi Geografis Kilometer 0 Indonesia, Sabang. Lintang: 05o 54’ 21.42” LU. Bujur: 95o 13’ 00.50” BT. Tinggi: 43.6 Meter (MSL). Posisi Geografis dalam Ellipsoid WGS 84”.

Lantas, di mana letak titik nol? Ada di lantai dasar. Penandanya berupa sebuah pilar bulat terbuat dari besi dengan diameter kurang lebih 1 meter.

Yang perlu diketahui bersama bahwa Tugu Nol Kilometer Sabang sebenarnya tidak dipancangkan persis di garis terluar sisi barat wilayah Indonesia (menurut berbagai informasi yang saya baca di internet). Sebab secara teknis, masih ada pulau di sisi paling barat Indonesia yaitu Pulau Lhee Blah, berupa pulau kecil di sebelah barat Pulau Breuh. Hal ini sama terjadi dengan pulau paling selatan yaitu Pulau Rote, walau secara teknis Pulau N’dana ialah pulau paling selatan di Indonesia. 

Bangunan tugu berbentuk lingkaran berjeruji dengan ketinggian 22,5meter. Warna putih terlihat mendominasi tugu. Bagian atas lingkaran menyempit seperti mata bor. Lalu di puncaknya terdapat patung burung Garuda menggenggam angka nol dilengkapi prasasti marmer hitam yang menunjukkan posisi geografisnya.

======

Ini cerita saya ^_^

Di Sabang, saya dan teman-teman menginap di kawasan Sumur Tiga. Kami berangkat menuju Tugu Nol Kilometer dengan menyewa mobil. Tak saya ukur berapa kilometer jarak antara Sumur Tiga dan Tugu Nol Kilometer. Tetapi bisa saya ingat waktunya tak terlalu lama. Kurang dari 40 menit. Jalan yang ditempuh mendaki dan menurun. Hijaunya hutan alami dan biru cerah warna laut, menjadi pemandangan sepanjang perjalanan. Pengusir penat yang mujarab.

Mendekati kawasan Tugu, hutan yang kami lalui kian lebat. Dan saya sempat melihat ada plang yang menyebutkan bahwa hutan yang kami lalui adalah hutan lindung. Tak hanya pepohonan yang dilindungi, tetapi juga hewan-hewan yang tinggal di dalamnya. Terutama kera. 

Kera-kera di hutan lindung bukanlah kera yang jinak. Keliaran mereka bisa terlihat dari keusilan mereka saat menjumpai manusia. Jadi, jangan terlalu dekat. Pun ketika kami tiba di lokasi, kera-kera itu seperti girang mendekat. Bikin saya takut.

Ada sejumlah rupiah yang mesti dibayar sebagai biaya restribusi masuk areaTugu Nol Kilometer. Tak mahal, hanya Rp 5000,- per orang. Ada sebuah warung kopi di sana. Barangkali akan merasa haus dan lapar, boleh juga mencoba masakan di warung itu. Ada aneka olahan mie, mie Aceh tentunya. Juga souvenir baju kaos bertuliskan Tugu Nol Kilometer dan Sabang. Kalau bawa cukup uang, saya pikir beli saja souvenir itu. Setidaknya membantu perekonomian si penjual :)

Siang itu sepi pengunjung. Tentu saja, sebab ini bukan tempat yang mudah di capai bukan? Perlu ekstra waktu dan tenaga untuk kemari. Dari kota Banda Aceh saja mesti menyeberang laut dulu selama 2,5 jam. Lalu di Sabang, mesti naik kendaraan lagi sekitar hampir 1 jam. Jadi, yang datang kemari memang orang-orang yang benar-benar punya tujuan untuk melihat Tugu. Bukan sekedar iseng datang, atau lewat. Lewat mau kemana? Tak ada jalan yang bisa menghubungkan tempat ini dengan tempat lainnya. Ini ujung, bukan? Mentok. Buntu. 

Tugu Nol Kilometer ini terletak di atas tebing yang tinggi. Di bawahnya, samudera hindia luas membentang. Kebayang ga kalau melompat akan bagaimana? Nyemplung ga ngapung lagi.

Siang itu, serombongan pemuda bersepeda motor tiba di Tugu Nol Kilometer. Saya tanya salah satu, katanya mereka datang dari Medan. Naik motor dari Medan ke Sabang? WOW. Pingin koprol rasanya!
Hebatnya para pemuda itu, mereka bukan sekedar pengunjung yang ingin menapakkan kaki di ujung barat negeri, bukan sekedar pengunjung yang mau bersenang-senang menikmati tugu ujung negeri. Tapi mereka juga melakukan sesuatu yang berarti. Tau gak mereka ngapain? Mereka ngambil sapu, pel, golok, dan lap. Untuk apa? Untuk membersihkan Tugu dan area sekitar tugu. Salut!!!

Saya? Saya cuma nonton! Huh!

Lantas, kebalikannya dari perbuatan baik mereka, ada pula akibat perbuatan buruk ulah para pengunjung sebelumnya yang tak berahlak. Coba lihat di batu-batu besar yang berada di sekitar tugu, nampak coretan dari cat atau entah apaan, mewarnai batu-batu tersebut. Untuk apa coba coret-coret? Narcism, vandalism! Saya antipati pada orang-orang seperti itu. Sungguh!

Di sekitar tugu nih ya, ada banyak sekali kera. Kera-kera itu sampe masuk tugu lho. Mondar mandir sambil cekikikan. Ngeri saya.

Sejujurnya, tugu ini dekil. Kusam. Kotor. Tak terawat! Pantaslah kiranya para pemuda bermotor dari Medan itu bergerak bersama untuk bersih-bersih. Apa tak ada petugas khusus yang merawat tugu ini ya? Entah. Andaikata tak ada, maka kepada siapa saja yang kemari, yuk ringankan tanga untuk bantu-bantu membersihkan. Pegang sapu, ambil pel, buang kayu-kayu dan daun yang berserakan. Kalau tidak bisa, setidaknya jangan menambah jelek tugu dengan corat coret. Tak mau bersih-bersih, tapi bantu menjaga kebersihan tugu kita :)

Terakhir....jika ingin punya bukti otentik bahwa kamu pernah datang kemari, monggo silahkan datang ke Dinas Pariwisata Kota Sabang. Nanti di sana dapat dibuatkan sertifikatnya. Biayanya cuma Rp 20.000 (katanya sih begitu). Sayangnya saya ga bikin sebab baru tahu tentang hal itu setelah saya meninggalkan Sabang. Telat hehe. Tapi, saya rasa foto terakhir yang sertakan di sini, bisa jadi bukti otentik juga kok :)

 Aksi bersih-bersih para pemuda dari Medan


 Kera-kera liar

 Teman-temanku ^_____^

Samudera Hindia di latar belakang

 Farid dan batu penuh corat coret


 Syauqi Aditya


Di lantai dua Tugu Nol Kilometer

Dan aku di sini, berdiri di samping prasasti NOL KM RI


 =====


18 Januari 2010
 Pulau Weh - SABANG, Aceh - Indonesia

Seorang istri. Ibu dari dua anak remaja. Tinggal di BSD City. Gemar jalan-jalan, memotret, dan menulis.

Share this

Previous
Next Post »

4 komentar

  1. ah ini foto yg dulu itu di MP yak :D

    BalasHapus
  2. Akiba watermark, jadi gak jelas lihat muka mbak Rien *salahfokus :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Gara-gara fotoku pernah dipake orang buat foto PP FBnya, dan foto-fotoku yang lainnya diposting dan diwatermark oleh situs ga kukenal, aku sekarang jadi suka corat coret mukaku mbak haha

      Hapus

Leave your message here, I will reply it soon!