Merengkuh Indah Pagi di Taman Bunga Selecta

 

Hari terakhir di Kota Malang, ada kesempatan untuk kembali ke Batu. Menyambangi sebuah taman rekreasi yang katanya menarik karena didalamnya banyak tumbuh bunga-bunga cantik. Namanya Taman Wisata Selecta. 

Sehari sebelumnya seusai mengunjungi Taman Nasional Bromo-Semeru-Tengger, kami sebetulnya sudah berada di depan pintu masuk taman. Tepatnya di area parkir yang tak jauh dari gerbang masuk Taman Rekreasi Selcta. Tapi petang itu awan hitam tebal tergantung di langit. Begitu gelap. Hujan yang awalnya hanya berupa rintik-rintik kecil akhirnya berubah menjadi besar dan lebat. 



Tak satupun dari kami ingin keluar dari mobil. Ya, keadaan tak memungkinkan kami untuk masuk. Apalagi berjalan-jalan di taman dalam keadaan hujan deras begitu. Jadi, baiknya di mobil saja menunggu hujan reda. Tetapi setelah hampir 1 jam menunggu, tak jua ada tanda-tanda akan reda. Sedangkan hari kian petang. Taman juga tak lama lagi akan ditutup. Akhirnya kami memilih untuk membatalkan berwisata. Kembali ke Malang, ke penginapan.

Pak Arman, supir mobil yang kami sewa, berjanji akan datang lebih pagi, untuk mengantarkan kami kembali ke Taman Wisata Selecta. Kenapa pagi-pagi? Karena pada esok siangnya, kami sudah meninggalkan Malang.

Dan pagi itu, Senin 27 Februari 2012, kami kembali ke Batu. Pak Arman menepati janji, datang pagi. Alhamdulillah. Lalu, kamipun bergegas meluncur ke Batu. Bukan sekedar bergegas karena hendak ke Taman Selecta, tapi karena seusai dari taman itu, masih ada yang harus kami lakukan, yaitu berbelanja oleh-oleh dan kemudian menuju bandara, mengejar pesawat. 

 
Meskipun bergegas, sesungguhnya saya tetap dapat menikmati perjalanan ke Batu pagi itu. Kontur tanah yang naik turun, berkelok, hadirnya pemandangan kebun-kebun apel di kiri dan kanan jalan, juga pemandangan ladang sayur yang terlihat dari tempat yang tinggi...aduhaii...saya terpesona. Oh iya, ke Malang tanpa ke kebun apel dan memetik buah apel langsung dari pohonnya, katanya ga afdol ya? hehe. Dan benar, hari itu saya tak melakukan kegiatan itu. Terpikir sih sebelumnya tapi karena itu bukan prioritas, jadi saya tak mencari tahu mesti ke kebun yang mana yang bisa saya datangi untuk saya petik buahnya sepuasnya. Berhubung tak tahu, jadi saya tak terlalu mengejar, pun menargetkan untuk wisata kebun Apel.

Pemandangan di Batu di pagi hari elok nian. Meski cuaca sedikit berkabut tapi Alhamdulillah cukup bersahabat. Matahari mulai bersinar lembut dan hangat. Udara begitu sejuk dan bersih. Begitu sehat. Begitu segar. Jadi berandai-andai ingin punya kediaman di Batu. Semacam villa. Tempat saya dan keluarga tercinta bisa tinggal ketika berlibur di Batu. Atau bahkan, akan menjadikan Batu sebagai  tempat "mudik" di musim-musim liburan. Oh...


Lalu di sana, di Desa Tulungrejo kecamatan Bumiaji, Taman Rekreasi Selecta berada. Tepatnya berjarak 4 km sebelah utara dari pusat pemerintahan Kota Wisata Batu, atau berjarak sekitar 25 kilometer dari pusat Kota Malang. Taman Wisata Selecta terhampar seluas 18 hektare, sedangkan untuk taman rekreasi tidak kurang dari 8 hektare. 

Mengenai taman ini, sayang sekali waktu itu saya tak mengorek langsung keterangan dari pihak pengelola taman. Padahal mestinya saya melakukan itu. Biar lebih akurat dan valid. Jadi, untuk melengkapi tulisan ini, saya mencari beberapa sumber informasi melalui Google. Ada banyak informasi, salah satunya dari BLOG INI. Saya copas sebagian untuk di share di sini, sebagai informasi tambahan untuk diri saya sendiri dan siapa saja yang ingin mengetahuinya.
Taman rekreasi Selecta dibangun oleh warga Belanda bernama Ruyter de Wildt sepanjang 1920-1928. Dari dahulu selalu dijadikan tempat peristirahatan dan wisata pilihan bagi warga Belanda yang berkunjung ke Indonesia. Hingga sekarang Selecta yang berasal dari kata ‘selectie’ yang berarti pilihan, tetap dijadikan tempat wisata pilihan bagi semua lapisan masyarakat. Pada jaman Jepang tahun 1942, Bung Karno pernah menginap di Villa de Brandarice, –sekarang bernama Bima Shakti selama 15 hari. Begitupun Bung Hatta pernah bermalam di Villa Bima Shakti pada 1947 menjelang konferensi KNIP. Pada kurun 1952-1955, Presiden Sukarno dan Wakilnya Muhammad Hatta sering beristirahat di Selecta. Beberapa keputusan penting kenegaraan pun diputuskan di sana. Pada 1949 Selecta dibumihanguskan oleh pejuang Indonesia. Namun pada 19 Januari 1950 Selecta dibangun kembali oleh 47 orang yang terakomodir dalam kepemilikan saham.

Saya lupa berapa harga tiket masuk waktu itu (27 Feb 2012), tapi rasanya kurang dari Rp 15.000,- per orang. Dengan tiket masuk seharga itu pengunjung dapat menikmati fasilitas kolam renang, taman air Kamandanu, dan water boom. Sedangkan fasilitas lainnya seperti flying fox, menunggang kuda dan perahu bebek air dikenakan biaya lagi. Mohon maaf saya tidak punya informasi mengenai harga untuk fasilitas tambahan tersebut.

Saat memasuki area taman, terdapat kolam ikan dan akuarium raksasa yang dipenuhi berbagai macam ikan air tawar. Ada patung Budha besar berwarna emas dengan tulisan Selecta di bagian bawahnya. Juga ada sebuah gua unik bernama Gua Saga. Pepohonan dan bunga menghias di sekelilingnya, tangga-tangga batu yang menghubungkan beberapa jalan berpusat di sana. Air mancur semakin menyempurnakan keindahan bagian depan taman wisata ini. Lembah luas di kawasan taman dipenuhi dengan bunga bermekaran. 

Dari atas, hamparan bunga-bunga terlihat seperti karpet warna-warni. Jika menoleh keluar dari area taman, ke arah lembah dan gunung-gunung di sebelahnya, maka akan terlihat ladang-ladang sayur di lereng-lereng dan lembah. Hijau. Berkotak-kotak. Rapi. 
Jujur, saya tak mengetahui nama-nama bunga yang ada di Taman bunga Selecta. Penggemar bunga tapi tak tahu nama-nama bunga. Ah payah :D Sebenarnya saya sudah pernah beberapa kali melihat bunga-bunga seperti yang ada di taman ini, hanya saja saya memang tidak hafal namanya. 

Saya coba gugling, dan ternyata bunga-bunga yang ada di taman Selecta ini antara lain adalah Kana, Krisan, dan Pancawarna  (ajisai, dalam bahasa Jepang). Bunga pancawarna sepertinya yang kuntumnya besar-besar itu. Bulat-bulat besar. Warnanya ada yang putih dan ungu.

Bunga-bunga tertata dengan sangat rapi. Nampak betul kalau taman ini terawat dengan baik. Walaupun bukan termasuk taman yang "luas banget" tapi sudah cukup untuk memberikan kesan "puas" bagi pengunjung seperti saya. Kata orang-orang yang pernah ke sana, dan saya mengakui itu, sepintas taman bunga Selecta ada kemiripan dengan taman bunga Keukenhof di selatan Belanda (taman bunga tulip yang jadi maskot negeri Kincir Angin). Bagaimana menurutmu? Benarkah demikian. Silahkan lihat dan cari sendiri kemiripannya :D 



Saya antusias sekali untuk berfoto di antara kuntum-kuntum bunga Pancawarna. Entah kenapa, makin bersar kuntum setangkai bunga, semakin besar rasa takjub saya. Bahkan saking besarnya, kuntum bunga PancaWarna itu menurut saya lebih besar dan lebar dari wajah saya haha

Pohon-pohon cemara terlihat menjulang. Berbaris rapi di tepian taman. Bak pagar tinggi. Terdapat gazebo untuk tempat singgah dan duduk-duduk. Ada yang di lembah, yang letaknya berada di tengah taman, juga ada yang di atas bukit. Nah, saya menyukai gazebo yang di atas sebab memungkinkan saya bisa melihat pemandangan hingga jauh. Ke lembah, lereng, dan gunung-gunung di kejauhan.

Hari itu Taman Wisata Selecta terbilang sepi. Mungkin karena weekday. Dan saya, justru menyukai suasana seperti itu. Suasana yang membuat saya bisa begitu leluasa merasakan ketenangan, kesenangan, dan kebahagiaan. Alhamdulillah.


















Taman Rekreasi Selecta - Malang
Jawa Timur - INDONESIA

Mercusuar Anyer, Saksi Bisu Kekejaman Belanda Pada Rakyat Indonesia


Puncak siang di jalan Anyer, sekitar 38km dari kota Serang, terik bukan main. Demi sebuah tujuan, perjalanan berkendara tetap dilanjutkan. Lalu, terhenti di Mercusuar. Di tepi Pantai Anyer Kidul. Tidak tepat di Mercusuar, melainkan sekitar 10-15 meter dari letak bangunan mercusuar.

Macet. Bukan karena ada si komo lewat, tetapi karena ada perbaikan jalan. Pengecoran. Hanya tersedia satu jalur untuk kendaraan yang lalu lalang baik dari arah Cilegon maupun dari arah Anyer. Jadi, kendaraan mesti bergantian lewat. Kata orang hotel (tempatku menginap), perbaikan jalan itu sudah lama (ga disebut berapa lamanya), dan sampe sekarang belum kelar. 

Jadi, dalam minggu-minggu ini kalo berniat jalan ke Anyer, siap-siap saja menanggung macet panjang di Mercusuar ini. Saat ini saja belum musim liburan, tapi kepadatan kendaraan pribadi maupun bus-bus wisata sudah bukan main ramainya. Terlebih pada Sabtu dan Minggu, lumayan parah tuk bikin lumanyun. 

Moga saja saat musim liburan Juni nanti, perbaikan itu sudah kelar. Aamiin. 

Wisma Krakatau

Aku bermaksud belok kiri, masuk kawasan wisata Mercusuar melalui pintu masuk utama. Tapi tak bisa, terhalang oleh tumpukan kendaraan yang antri menanti giliran lewat. Maju kena mundur kena. Sedang saat itu, kendaraanku berada tepat di depan pintu masuk Wisma Krakatau dengan posisi lurus dengan bangunan mercusuar. Dekat sekali. Jika masuk lewat pintu pengunjung masih jauh. Kenapa ga lewat wisma Krakatau ini saja? Aku menghampiri penjaga yang duduk di Pos pintu masuk Wisma, dan katanya: Tidak Boleh!

Wuoh...kecewa deh ya. 

"Kalo saya masuk sendiri untuk foto-foto, boleh lewat sini?"
"Boleh, tapi mobilnya ga boleh masuk ya."

Alhamdulillah.

Anakku sedang tidur, jadi aku turun sendirian. Mobil menunggu di tepi jalan, di antara kemacetan yang luar biasa. Beruntung ada space di luar jalan, jadi tak mengganggu kendaraan lain yang mau lewat. 

Bapak Penjaga Menara (bertopi)

Aku masuk kawasan Wisma Krakatau. Tempatnya bagus juga. Persis di tepi pantai. Penginapannya serupa Villa, atau lebih tepatnya seperti rumah-rumah panggung di Palembang. Berjejer megah dari tepi jalan raya hingga tepi pantai. Full. Kendaraan tamu terparkir di depan masing-masing Villa. Kelebihan wisma ini, selain dekat dengan pantai, juga sangat dekat dengan mercusuar. Lha iya, bangunan mercusuarnya berdiri tepat di depan wisma kok. Kalo aku menginap di sana, bisa tiap saat kali ya naik turun mercusuar. Memandang kemanapun aku suka. Asal kuat kaki saja. Maklum, mercusuar ini tingginya 75,5meter dengan jumlah lantainya 18 tingkat. Wuiih!

Selama ini, sudah 4 kali aku berwisata ke Banten, tapi baru 2 kali melihat Mercusuar Anyer dari dekat. Pertama kali pada Juni 2009, empat tahun yang lalu. Dulu masuknya lewat gerbang utama. Parkir di lapangan berumput. Tempatnya tak menarik. Pemandangannya pun tak elok.  Seperti tak dikelola dengan baik. Kotor. Sampah sisa makanan dan minuman berserakan. Kumuh. Pantainya berkarang. Padahal, mercusuar ini bukan hanya sebagai icon wisata melainkan juga merupakan saksi bisu kekejaman Belanda terhadap ribuan rakyat Banten pada jaman penjajahan.

Pantai di depan Mercusuar

Kini, kondisinya telah sedikit lebih baik. Lumayan. Di sekitar Mercusuar sudah ada penambahan fasilitas, berupa saung untuk duduk-duduk. Menghadap pantai. Jalan setapak di depan pintu menara hingga tepi laut sudah bagus. Dan yang paling baru, kini ada semacam jembatan yang berdiri di atas laut. Tempat orang-orang berjalan dan melihat laut. Belum kelar sepertinya, tapi sudah bisa dilewati.

Menurut banyak sumber online yang aku baca, Mercusuar Anyer ini diyakini sebagai titik nol kilometer jalan Anyer (Banten) - Panarukan (Jatim). Sebab, dari sinilah awal mula Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda waktu itu, memulai proyek raksasanya pada tahun 1825. Daendels membuat jalan ekonomi Anyer-Panarukan sepanjang sekitar 1.000 km. Proyek yang menelan korban ribuan jiwa rakyat Indonesia itu menghubungkan Cilegon, Serang, Tangerang, Jakarta (dulunya bernama Sunda Kelapa, kemudian Batavia), Cirebon, Semarang, Surabaya sampai ke Pasuruan.
Jembatan di atas laut

Sedih rasa hati saat mengetahui kisah di balik jalan Anyer yang telah bolak balik aku titi. Membayangkan penduduk Banten dipaksa bekerja tanpa dibayar, bukan main geramnya. Tapi aku tak tahu mesti berbuat apa selain berdoa semoga tiap tetes keringat dan darah rakyat Indonesia yang pernah membangun jalan ini, mendapat balasan terbaik dari Allah. Atas jerih payah dan penderitaan mereka yang membuat sebuah akses jalan yang bisa digunakan oleh orang-orang hingga masa kini, tentulah sebuah penghargaan yang tak terbilang angka yang layak tersemat di pundak mereka. Bagiku, mereka the real hero di masanya, pun masa kini. 

Penghormatan dan penghargaan setinggi-tingginya dariku untuk rakyat Banten pada waktu itu *mengangkat topi, menunduk hormat.

Jalan karya Daendels itu kini terkenal sebagai Jalan Daendels, atau juga dijuluki sebagai jalan Rodi. Sayangnya, tak ada monumen atau prasasti untuk mengenang sejarah yang penuh darah itu. Dan hari ini, jalan itu sedang dalam perbaikan. Sedang padat oleh kendaraan yang mengantri.
Aku dong, nampang hehehe

Bapak penjaga pintu masuk mercusuar menawarkanku untuk masuk dan naik hanya dengan karcis seharga Rp 3.000,- per orang. Sayangnya aku tak berniat masuk. Hitungan jumlah tingkatnya saja sudah membuatku kepayahan, apalagi jika benar-benar menaikinya. Uuuuuh....ku tak sangguuuuup *nyanyi. 

Aku bertanya pada bapak penjaga tentang tinggi dan jumlah lantai mercusuar. Beliau menyebut 65 meter dan 16 lantai. Ternyata saat aku cocokkan dengan informasi di berbagai sumber online, informasi pak tua berbeda. Mestinya 75.5m dan 18 tingkat. Mana yang benar? Berhubung aku tak masuk dan tak naik, jadi aku tak dapat mengkonfirmasi mana yang benar.

Katanya, jika sudah naik maka rasa lelah akan terbayar oleh pemandangan yang terlihat dari puncak. Aiiih...mohon maaf pak, dibayarpun aku tak sanggup. Sungguh. Biarlah aku memandangi mercusuar ini dari bawah saja. Dari tepi pantai. Aku rela kepanasan deh di bawah ketimbang naik. Belum lagi turunnya itu. Beuuuh.  


Pintu Masuk Menara

Aku ga masuk sama sekali. Selain karena memikirkan anak yang sedang tidur di mobil, juga karena ga tahan dengan cuaca panas yang terasa menyengat. Menurut cerita bapak penjaga, di dalam Mercusuar terdapat jendela di tiap lantainya. Di lantai teratas, lantai ke 18, terdapat lampu suar dengan penutup setengah bola yang dapat berputar 360 derajat. Sedangkan bangunan mercuar sendiri tersusun atas lempengan-lempengan baja. Informasi terakhir, disebutkan bahwa tepat di tengah menara terdapat rongga berbentuk silinder yang memanjang sampai ke atas mercusuar yang biasa digunakan sebagai jalan untuk menarik sambungan kabel dari bawah.

Camdigku kesulitan memotret keseluruhan Mercusuar dari bawah sampai atas. Aku sudah mencoba tengkurap di jalan setapak, masih tak bisa dapat gambarnya secara utuh. Kadang dapat bawahnya tapi gagal dapat puncaknya. Kadang dapat puncaknya, tapi gagal dapat bawahnya. Ya sudahlah, dapat seadanya saja. Mungkin aku mesti berdiri di atas lautan biar dapat keseluruhan gambarnya. 

Di pintu masuk mercusuar, terdapat prasasti bertuliskan nama Raja Willem III. Yak, bangunan mercusuar Anyer yang terletak di Pantai Anyer Kidul, sekitar 38 km dari kota Serang ini, memang didirikan pada masa Raja Willem III, pada 1885. 
Prasasti Raja Willem III, pendiri mercusuar

Fakta lainnya ternyata mercusuar yang ada saat ini adalah bangunan pengganti menara yang pernah ada sebelumnya yang hancur pada 1883 akibat letusan Gunung Krakatau. Sisa pondasi mercusuar lama masih terlihat di bibir pantai yang terdiri atas struktur bata. Bangunan menara pengganti ini juga pernah nyaris rata dengan tanah akibat hantaman meriam angkatan laut Jepang sekitar tahun 1942. Memang sih tak sampai runtuh, tapi lumayan sempat rusak berat. Nah, bekas hantaman meriam itu katanya bisa dilihat jika kita naik Mercusuar, berupa lubang besar yang kini sudah ditambal. Benarkah itu? Aku tak dapat memastikannya karena aku tak masuk dan tak naik ke Mercusuar. Tapi karena banyak yang bilang begitu, mungkin memang benar adanya begitu.

Menurut bapak penjaga Mercusuar, sampai kini Mercusuar Anyer ini masih berfungsi dalam memandu kapal-kapal yang lalu-lalang di malam hari. Semoga saja suatu saat ketika kembali ke Mercusuar ini, aku berkesempatan naik dan melihat sinar lampu suarnya di malam hari. Aamiin.

Sebuah icon wisata yang memiliki sejarah panjang tentang kekejaman penjajah. Semoga tak ada "penjajah" yang menenggelamkannya ke dalam maraknya wisata modern yang tumbuh dan berkembang di sekitar kawasan Pantai Anyer :)


7 Jendela Menghadap ke Laut, 11 Jendela lain menghadap ke mana? :D


=====

Anyer, Banten - INDONESIA
Mei 2013

Pagi dengan Bulan Kesiangan, Ombak Tinggi Menderu, Awan Putih Cemerlang, dan SAMPAH Menjijikkan!

 Pukul 05.42 AM
Cahaya lampu belakang hotel Pondok Layung, di kolam renang yang sepi.

Ternyata ada bulan bulat penuh kesiangan di langit biru
Dua tamu hotel, mungkin kakak adik, turut menyaksikannya.
Bukan hanya mereka, tapi juga tamu-tamu lainnya. Di sisi lainnya.

 Baiklah, saya perlu nampang di sini, agar benar bahwa saya ada di sana pagi itu :D
Menyaksikan bulan bulat bercahaya, pengganti sunrise yang tak muncul-muncul.
Pagi, seperti tak sempurna.

 Pantai di belakang hotel Sol Elite Marbella hingga Pondok Layung resort selalu bersih. Nyaman di pandang dan di tapaki.
4 pria kegirangan menghadang ombak. Seru!
Biasanya, bibir pantai tak sedekat ini dengan pagar hotel. Air laut masih pasang.

SAMPAH!!
Lagi-lagi pemandangan menjijikkan ini yang saya jumpai di tempat wisata seelok pantai Anyer
Ulah siapa? Cari tahu sana!
Kamu, kalian yang melakukannya, manusia-manusia perusak bumi!

Sampah-sampah itu bertebaran di atas pasir pantai, sejak setelah pantai di belakang Hotel Sol Elite Marbella dan Pondok Layung (bagusnya, dua hotel ini pantainya bersih), hingga menuju pantai di Nuansa Bali Cottage. 
Di kejauhan terlihat sebuah bangunan di atas laut, dengan jembatan sebagai tempat menujunya. Sedang dalam proses pembangunan sepertinya.


 Awan putih cemerlang, menyembul di balik awan kelabu.
Sementara ombak deras, tinggi, menderu menuju pantai
Aku berlari!



Sekelompok pemuda, berkemah di belakang sebuah Villa tak bernama
Hanya beberapa meter dari bibir pantai.
Lebih dekat dengan alam
Semoga mereka adalah para pecinta alam, yang tak meninggalkan sampah kecuali jejak, gambar, dan ingatan.




====


Pantai Anyer, BANTEN - Indonesia
2013

Layu Untuk Berkembang

Mungkin Tuhan menginginkanmu bertemu dengan orang yang salah sebelum bertemu dengan orang yang tepat. Maka, berterima kasihlah atas semua itu, juga atas seleksi Tuhan yang telah bekerja pada hati seseorang.

Lokasi: Depan homestay tempat saya menginap selama di Pulau Tidung, Kepulauan Seribu.
[Kepulauan Seribu, Jakarta -INDONESIA]
7 April 2013


Lokasi: Kebun Duren Montong milik Pak Warso di Bogor Jawa Barat
15 Februari 2011

 Lokasi: Pantai Tanjung Lesung 
(Kawasan resort dan hotel : Blue Fish, Kalicaa Villa, The Bays Villas)
06 Mei 2012


Kala Senja di Pantai Anyer

Ada dua waktu yang saya sukai di setiap harinya. Waktu pagi dan waktu petang. Pagi, saat siang datang berlari menjauhi kelam. Petang, saat malam bergegas meninggalkan terang. Dua waktu yang paling romantis menurut saya. Romantisme yang mengantar pada kemesraan dengan alam raya, juga dengan Tuhan yang menciptakan alam semesta.

Saya suka berdiri di balik jendela kamar pada dini hari hingga saat menjelang terang. Menyingkap tirai, menatap angkasa. Mencari apapun yang bisa saya lihat. Atau, menuju balkon di belakang, dekat tempat jemuran, berdiri di balik  teralis besi. Menghadap ke langit timur, dan seringkali menemukan 3 titik bercahaya nun jauh di langit tinggi sana. Dua titik yang merupakan planet terdekat. Katanya, itu Mars dan Venus. Letaknya yang berada di sebelah timur, memang hanya bisa terlihat di kala pagi. Antara waktu sebelum subuh hingga 1 jam setelah waktu subuh. Jika memakai waktu saya (waktu Indonesia bagian barat), antara jam 4.00 hingga 5.30. Satu titik terang lainnya adalah pesawat. Sebab titik bercahaya itu bergerak, berkedip. 

Saat matahari mulai naik, langit memerah. Tak lama, bulatan terang bercahaya, muncul dari balik daun-daun randu yang menjulang melebihi tinggi atap rumah tetangga. Matahari pagi telah tiba. Bermacam warna rasa, berpendar dalam jiwa. Saat itulah seolah saya menjadi penyair terhebat semaya pada, mendadak bisa merangkai barisan kata dengan puitis sepuitis-puitisnya. Walau hanya terangkai dalam hati, tak menguak dalam lisan, tak terekam menjadi goresan tangan, tapi sungguh nyata ungkap segala rasa. Betapa indah pagi.

Pagi melambangkan semangat, hidup baru, cerita baru, dan sebuah kenikmatan baru. Anugerah sang Illahi. Lain halnya dengan petang, meski memiliki sensasi yang sama, tetapi saya memaknainya dengan berbeda. Petang seperti sebuah kepergian. Seperti sesuatu yang akan hilang, usai, selesai. Bernuansa kesedihan. Betul. Namun bukan kesedihan yang menyakitkan, melainkan kebahagiaan.


Senja, seperti batas antara siang dan malam. Batas antara terang benderang dengan kelam pekat dan gulita. Seperti batas antara semangat dan putus asa. Ya, barangkali seperti itu. Tetapi tidak sebatas itu. 

Kenapa saya menyebutnya batas hari? Kenapa hari ada batasnya? Bagi saya, barangkali Tuhan ingin agar saya memaknainya dengan lebih spesifik. Hari berbatas? Agar setiap hari itu berharga. Kenapa harus ada langit malam? Agar saya menghargai siang. Kenapa ada gelap? Agar saya menghargai terang. Kenapa ada saat hidup menjadi kelam? Agar saya bersyukur saat hidup saya bersinar.


Senja. Saat langit dipenuhi untaian benang merah saga. Saat para bidadari pergi meninggalkan bumi. Saat... Ah! Yang saya tahu, bahwa senja mengantar pada malam, pada kegelapan. Pada kesendirian. Terkadang pada ketakutan. Ketakutan yang tak membunuh. Kecuali bagi mereka yang termakan oleh rasa takut itu sendiri.

Senja. Seperti mengantar saya untuk bersiap siaga, berperang, dan berjuang, melewati sesuatu yang tak menyenangkan. Sesuatu bernama malam. 

Tetapi katanya, tak perlu menyesali malam. Tak perlu membenci malam. Tak perlu menolak malam. Sebab, dibalik semua cerita 'seram'nya, malam adalah saat yang paling tepat untuk berada paling dekat denganNya. Pada waktu-waktu tertentu. Malam adalah saat yang tepat untuk bermuhasabah. Saat yang tepat untuk mengistirahatkan jiwa raga yang lelah. Dan, bukankah selain dari itu semua, malam adalah waktu yang paling indah untuk menikmati terang bulan dan kerlip bintang gemintang. 

Siang dan malam. Saya menyukai berada pada batas di antara keduanya ^_^


 ======

Senja di Pantai Anyer, Banten. Di pantai berpasir tak putih sepanjang Hotel Sol Elite Marbela, Pondok Layung, hingga Resort Nuansa Bali. Makin sore, air laut makin naik. Ujung hempasan ombak kian dekat dengan pagar belakang hotel. Posisi batas aman. Ombak bergemuruh. Ngebut. Hempasan airnya kian keras. Tetapi, sebagian orang-orang dewasa justru menyukainya. Mereka bermain papan luncur di bawah langit yang kian memerah.

Dua jam menanti matahari tenggelam dalam laut, terasa lama sekali.

Penjual busana pantai telah memindahkan dagangannya. Yang tadinya berjejer di atas pasir, di tepi pantai, kini mengambil tempat di bagian belakang hotel. Dalam pagar. Diijinkan. Bapak pedagang menawarkan dagangannya pada saya. Ibu pedagang lainnya juga demikian. Saya menggeleng. Belum perlu. Mungkin nanti, esok, atau lusa. Keduanya menanti dalam sepi sebab para pengunjung lebih banyak turun ke air, bukan ke barang dagangan yang di pajang.

Pria wanita, tua muda, dan sebagian remaja, mulai sibuk memasang kamera. Bersiap dengan sunset yang merangkak turun seperti keong. Dan akhirnya semua kecewa, awan hitam berbentuk panjang kurus, seperti ditiup oleh raksasa, bergerak menghalangi si bulat merah. Gagal melihat matahari nyebur laut!




Pantai Anyer, Banten - INDONESIA