The Garden of Buitenzorg




Buitenzorg. Nama kota di Eropa? Bukan. Itu nama kota Bogor yang diucapkan oleh lidah orang Eropa. Tepatnya oleh orang Belanda di masa lalu. Dulu banget sih, waktu jaman kolonial. Aku taunya dari buku dan beberapa artikel yang menceritakan tentang Bogor.

Buitenzorg itu artinya tidak ada kekhawatiran. Nama Butienzorg diberikan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda Gustaaf Willem Baron van Imhoff pada tahun 1746 ketika berhasil menyatukan perkampungan yang berada di wilayah Pakuan dan istana peristirahatannya (sekarang istana Bogor) dalam satu kesatuan administratif.

Menyebut Bogor, ingatanku pasti tertuju pada sebuah kota yang sejuk dan hijau. Pastinya. Soalnya Bogor berada di daerah pegunungan.Oh iya, Bogor terkenal juga sebagai kota hujan ya katanya. Kebetulan apa tidak, seingatku setiap kali sedang ke Bogor selalu dalam keadaan sedang hujan :D

Nah, aku tuh sebenernya sudah cukup sering datang atau sekedar lewat kota Bogor. Entah itu untuk suatu urusan terkait pekerjaan, ngalor ngidul ke Tajur liat-liat tas, kondangan ke rumah temen, kulineran setelah pulang dari Bandung or Puncak, atau juga mampir-mampir nyari asinan Bogor setiap kali lewat untuk bepergian/pulang dari Sukabumi. Kalo mau ke Kebon Duren Warso juga lewat Bogor.

Bogor mudah di capai dari tempat tinggalku yang di BSD, Tangsel. Mau lewat tol or jalan biasa (orang nyebutnya lewat belakang. Parung maksudnya), semua bisa. Dan ga jauh juga dari Jakarta ya kan. Jadi mau tiap hari juga bisalah ke kota ini. Kecuali kalo aku sedang di pulau Sumatera atau pulau lainnya.

Udah tahu dan sering ke Bogor tapi belum pernah mampir ke Kebon Raya Bogor. Itulah aku. Tapi kemarin, menjelang akhir Januari 2013, alhamdulillah berkesempatan untuk menikmati indahnya Kebon Raya Bogor (KRB).

Sewaktu memasuki KRB, hujan sedang turun. Nah benar kan, setiap kali ke Bogor selalu kebagian sedang hujan :D
Bogor kota seribu angkot. Ternyata bener. Buat nyari gerbang utama KRB aja lama bener. Macet cet cet. Angkot warna ijo memenuhi jalan. Tapi akhirnya tetep nyampe juga sih ke depan gerbang KRB hehe. Gerbang utama KRB berada tak jauh dari Bogor Trade Mall (BTM). Tiket masuk per orang Rp 9.500,- Jika mobil pribadi ikutan dibawa masuk, kena biaya Rp 15.000/mobil. Tiket masuk ini sudah termasuk tiket masuk Museum Zoologi lho. Soalnya waktu masuk museum, kami sudah ga bayar lagi.

Apa yang kulihat selama berkeliling di Kebon Raya Bogor? Okay, inilah sedikit gambar dan cerita yang bisa kubagi di sini:

Tugu Lady Raffles
Berupa bangunan kecil berbentuk bundar dengan delapan tiang bercat putih. Menurut cerita, pada tahun 1814, istri gubernur jenderal Thomas Stamford Raffless, Olivia, meninggal dunia karena sakit. Jenazahnya di makamkan di Batavia. Kemudian Raffles membangun monumen di KRB untuk mengenang sang mendiang istri.

Monumen ini ga jauh dari gerbang. Jadi mudah terlihat. Ada di sebelah kanan jalan dari pintu masuk. Aku ga mendekat apalagi duduk-duduk. Hujan euy.


Istana Bogor
Lurus dari gerbang masuk KRB tadi, ada danau kecil di sebelah kanan. Nampak di tepi jalan beberapa mobil pengunjung terparkir dengan jendela yang dibiarkan terbuka separuh. Kukira pengunjung yang sedang parkir itu asyik mandang danau eh ternyata mereka sedang sibuk mengarahkan kameranya ke arah istana. Yeay…rupanya istana bogor terlihat begitu menawan dipandang dari tempat ini, di sisi danau. Bisa kepotret semua bangunannya.
Menurut sejarah, istana Bogor ini dulunya adalah villa peristirahatan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Gustaaf Willem Baron van Imhoff yang dibangun pada tahun 1745. 
Monumen pendiri Kebon Raya Bogor

Aneka tanaman
Ya, di tempat ini terdapat banyak sekali aneka jenis tanaman. Dari bambu raksasa, paku-pakuan, palem, pandan-pandanan, anggrek, hingga bunga Rafflesia (bunga Bangkai). Banyak sebenernya. Aku ga hafal. Dari yang super pendek sampe yang tinggiiii menjulang. Pohonnya besar-besar. Apalagi yang dekat jembatan merah dan makam.


Wuuuh…berasa di hutan beneran. Banyak suara burung dan suara kumbang hutan. Ga nyangka kalo sedang berada di tengah kota Bogor. Oh iya, untung ya aku keliling pake mobil soalnya nih kawasan kebon luas banget. Pake mobil aja terasa jauhnya, apalagi jalan kaki. Bawa mobil aja “nyasar” ke sana kemari, pojok sana pojok sini, ketemu jembatan, sungai, sampe kafe. Bagusnya ga ada jalan buntu. Semua jalan ada ujungnya. Walau harus ketemu jalan yang itu-itu lagi. Dan oh iya, kalo kamu bawa mobil semacam Fortuner or Pajero, jangan harap bisa leluasa melewati jalan  di bawah jembatan merah ya. Itu jalan kecil banget, bisa-bisa sisi kiri kanan mobilmu kebaret ret ret. 


Pohon Jodoh
Yang mana sih pohon jodoh itu? Hohoho ternyata Meranti Tembaga (Shorea leprosula Miq) dan Ficus (Ficus Albipila). Dua pohon ini letaknya berdekatan dan saling bergandengan. Mungkin karena itulah disebut Pohon Jodoh atau Pohon Kekasih. Diameter batangnya lebih dari 2 meter. Kebayang kan bsar pohonnya. Nah, dibatangnya itu ada pelat yang menyebutkan nama dan angka yang menunjukan usia pohon. Wuaah ternyata usia pohonnya lebih dari 1 abad. Ditanam pada tahun 1866. WOW! Tua amir.
Ada yang lebih tua lagi, yang ditanam pada 1844 silam, yaitu pohon juwet manting ( Crypteronia paniculata Blume) dan rasamala (Altingia excelsa Noronha). Aku baru denger nama pohon kayak gini :D

Komplek Pemakaman
Iiih…aku merinding tau waktu nyampe ke sini. Kan dari jauh tuh, dari balik batang-batang pohon yang besar, ceritanya kami sekilas melihat sesuatu yang merah di atas sungai. Pikirku, itu pasti jembatan merah! Eh bener. Trus aku turun sendirian (soalnya ujan, yang lain tetep tinggal di mobil), mendekati jembatan. Nah, abis dari jembatan motret2, aku balik lagi ke mobil. Yang lain kan masih di mobil. Trus ngasih tau: “Kita sedang parkir di samping makam niiiih”. Woaaah… pantesan kok kayak gitu banget suasananya. Mana sepi banget lagi. Tau dari mana? Tau dari pria yang berselempang sarung. Tadi katanya pria itu buka pagar makam. Oh iya, makamnya ga boleh dimasukin pengunjung. Cuma boleh dilihat dari luar aja. Tau makam apa?

Makam yang di kelilingi pagar beton dan teralis itu menurut orang setempat diyakini sebagai pusara Ratu Galuh Mangku Alam, istri Prabu Siliwangi. Selain pusara Ratu, juga terdapat pusara dua petinggi Kerajaan Padjajaran lainnya, yaitu Mbah Jepra dan Mbah Baul. Menurut sumber yang pernah kubaca di harian Republika, makam ini sudah ada sebelum KRB dibuka, tepatnya di jaman Padjajaran.

Jembatan Merah
Jembatan gantung berwarna merah. Apa yang istimewa? Apaan ya? Bingung hehe
Tapi lumayan bagus nih buat bikin photo post wedding. Hei, aku bener-bener sendirian di jembatan ini. Masih dalam suasana hujan tapi sudah ga begitu deras. Sekedar gerimis. Tapi lumayan bikin baju basah. Ga ada siapa-siapa di jembatan itu. Sesaat aku mandangin sungainya yang deras, abis itu buruan balik ke mobil. Nah waktu udah diseberang (muter dong lewat jalan lain pake mobil) entah kenapa malah ketemu lagi jembatannya hahaha muter-muter deh. Waktu itu ada sepasang pria dan wanita sedang asyik pasang gaya. Foto-foto. Hohoho..tapi aku ga turun lagi. Udah males.

Museum Zoologi
Nah ini sudah kuceritain pada tulisan terdahulu. Silahkan tengok ke LINK INI ya. Thanks

Treub Laboratorium
Nah, bangunan yang arsitekturnya bergaya Belanda ini terletak tak jauh dari Wisma Tamu Nusa Indah dan Museum Zoologi. Kami ga masuk. Jadi ga ada yang bisa kuceritakan tentang isi bangunan ini. Cuma lewat doang :D Untuk sekilas info, bolehlah kuinformasikan sedikit bahwa Laboratorium ini dibangun pada 1884.


Kafe De Daunan
Asyik nih kafenya. Letaknya di tengah kebon yang banyak pohonnya, adem dan nyaman banget rasanya kalo makan di sini. Tapi kami ga mampir. Apalagi makan-makan. Cuma sekedar mandangin doang (ga pake gigit jari lho ya). Di depan kafe banyak mobil terparkir. Pasti pengunjung. Dan di samping kafe itu pemandangannya cakep euy. Ada kolam hias pula. Letak kafenya cukup tinggi, jadi bisa puas menikmati view KRB yang agak ke bawah.

Suasana KRB sangat menentramkan hati. Udaranya yang sejuk menyegarkan, bikin betah berlama-lama duduk di bangku-bangku yang disediakan. Pohon-pohon tinggi berdaun lebat, menaungi jalan beraspal yang ada dalam kawasan. Daun-daun kuning berguguran, dibiarkan bertebaran. Cantik. 


Sungguh, sebuah ruang terbuka hijau yang mempesona. Warisan sejarah yang masih dapat disaksikan hingga kini. Seperti yang terukir pada Prasasti Batutulis bahwa hutan buatan ini sudah ada sejak zaman pemerintahan Sri Baduga Maharaja dari Kerajaan Padjajaran. Dibangunnya hutan ini adalah untuk melestarikan lingkungan dan memelihara benih-benih tanaman langka.

Mungkin boleh kiranya ikut berbangga hati, ketika ketenaran Kebun Raya Bogor menginspirasi seorang komponis asal Amerika, Leopold Godowsky, membuahkan sebuah karya “The Garden Of Buitenzorg” pada tahun 1920-an.


Berikut Kebun Raya Bogor dari masa ke masa, yang ku kutip dari Rubrik Jelajah Koran Republika edisi Ahad 20 Januari 2013. Sssst tau gak? Artikel di koran ini nih yang bikin aku pergi mengunjungi Kebon Raya Bogor hihihi.. Artikelnya ku gunting, kujadiin panduan selama di KRB haha



  • Era Padjajaran. Kebon Raya Bogor mash menjadi bagian dari Samida, hutan buatan milik Kerajaan Sunda.
  • Awal abad ke-19. Sir Thomas Stamford Raffles membangun taman bergaya Inggris klasik di halaman istana Bogor, yang menjadi cikal bakal Kebon Raya Bogor sekarang.
  • Tahun 1817. Gubernur Jenderal van der Capetten secara resmi mendirikan Kebon Raya Bogor dengan nama sLands Plantentuin te Buitenzorg. Pembangunan kebun ini dipimpin oleh CGC Reinwardt, dibantu James Hooper dan W Kent dari Kew Garden Richmond, Inggris. Sekitar 47 hektare area di sekitar istana Bogor dan bekas Samida dijadikan lahan pertama untuk kebun raya ini.
  • Tahun 1844. Pendirian Herbarium Bogoriense, wadah untuk penelitian tanaman herbal.
  • Tahun 1868. Pengelolaan Kebun Raya Bogor secara resmi dipisahkan dari halaman istana Bogor.
  • Tahun 1884. Pembangunan Laboratorium Treub, cikal bakal laboratorium Fitokimia, Bidang Botani, Puslit Biologi LIPI yang berlokasi di dalam Kebun Raya Bogor.
  • Tahun 1894. Pendirian Laboratorium Zoologi pertama (sekarang museum zoologi).
  • Tahun 1951. Kusnoto Setyodiwirjo, direktur Kebun Raya Bogor dari kalangan pribumi pertama, mulai menjabat.




Tiket masuk KRB


Seorang istri. Ibu dari dua anak remaja. Tinggal di BSD City. Gemar jalan-jalan, memotret, dan menulis.

Share this

Previous
Next Post »

6 komentar

  1. Balasan
    1. iyaa....eh tapi kurang lengkap ding, ga ada foto narsisnya :D

      Terima kasih, Kiki ^_^

      Hapus
  2. woee gambarnya tjakeep...

    ceritanya juga lengkap, bener kata kiki..:)

    BalasHapus
    Balasan
    1. wiiih....padahal infonya banyakan ngutip dari artikel-artikel di internet dan koran, ga pake wawancara langsung dengan narasumber haha


      anyway, thanks teh :)

      Hapus
  3. Bagunan kuno kebanyakan kuat2 ya mbak kalau terawat

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul mbak. Pondasinya terlihat kokoh. Tembok-temboknya tebal. Paling yang terlihat rusak ada pada atap. Bangunan yang berada di depan museum Zoologi contohnya, atapnya ambruk. Walau belum runtuh, tapi kapan saja siap2 saja bakal rubuh. Dinding2nya sih masih bagus. Sempet heran juga kemarin itu. Kok bangunan yg satu itu (aku ga tau namanya apa karna ga ada keterangannya) ga di rawat, atau paling ga diperbaiki gitu. Padahal bangunannya terletak di antara Museum Zoologi, Wisma Tamu, dan Treub Laboratorium. Ketiga bangunan lainnya itu baik2 aja, yg satu ini malah mengenaskan atapnya.

      Hapus

Leave your message here, I will reply it soon!