Mengenali Kehidupan Tradisional Suku Sasak


Assalamu'alaikum Wr Wb.

Desa Sade di daerah Rambitan, Lombok Tengah, terletak di pinggir jalan raya menuju Kota Mataram. Berjarak tempuh kurang lebih 30menit dari Bandara International Lombok. Lokasinya mudah dicapai dan ditemukan. Selain karena jalan aspalnya yang mulus, juga karena ada plang besar yang menjadi penanda desa. Saya dan teman-teman MB tiba di sana sekitar pukul setengah satu siang. Seorang pemuda yang berprofesi sebagai guide menyambut di pintu gerbang. Sayangnya waktu itu saya dan mbak Fathia tak berada dalam rombongan, jadi tak tahu sambutan seperti apa yang dilakukan si pemuda.


Nabrak akibat ugal-ugalan

Saya tertinggal dari rombongan bukan karena memisahkan diri, melainkan memang tertinggal karena mencari sesuatu di dalam ransel. Beberapa detik sebelum saya menyeberang jalan menuju gerbang Desa Sade, terdengar suara mendecit keras dari ban mobil yang dipaksa berhenti. Saya sempat menoleh sepintas dan melihat ada mobil melaju kencang. Beberapa detik kemudian terdengar suara tabrakan keras yang disusul suara jeritan orang-orang. Mobil ternyata menabrak pohon di pinggir jalan. Penyebabnya karena pemgemudi mobil yang masih anak SMU, ugal-ugalan di jalan raya. Polisi bermotor yang sedang mengawal rombongan (mungkin pejabat), menyuruh mobil tersebut untuk minggir. Sayangnya si pengemudi muda salah pengertian, dia malah ngebut dan tak terkendali. Terjadilah tabrakan tunggal. Beruntung nyawanya tak melayang.


Mesjid Desa Sade

Saya dan mbak Fathia bergegas memasuki gerbang Desa Sade, menyusul rombongan yang akan menunaikan salat zuhur di masjid desa. Setelah melewati gerbang, yang nampak pertama kali adalah bangunan serupa pendopo yang disebut beruqa. Bangunan yang biasanya digunakan untuk tempat musyawarah dan hajatan penduduk desa itu berdiri di atas enam pilar, dengan atap yang terbuat dari  rumput gajah. Bangunan mesjid yang terletak di salah satu sudut desa, memiliki ciri khas bangunan adat Suku Sasak. Atapnya yang bertingkat tiga terbuat dari alang-alang. Berpondasi kayu dan berdinding anyaman bambu. Ruang mesjid dan tempat wudhunya bersih.  Suasananya juga tenang. Menurut keterangan mas Lalu, pemuda desa yang menjadi guide kami, Suku Sasak asli yang menjadi penduduk Desa Sade masih menganut kepercayaan Wektu Telu yaitu kepercayaan Islam yang memiliki unsur-unsur Hindu, Budha, maupun kepercayaan tradisional kuno lainnya. Meski demikian, mereka tetap melaksanakan salat wajib lima waktu. Saya yang saat itu sedang tidak salat -–sedang menstruasikemudian serius menyimak penuturan mas Lalu tentang sejarah masuknya Islam ke Lombok pada masa lalu.


Tempat wudhunya bersih. Air mengalir dari Bong


Menyimak penuturan mas Lalu tentang kisah masuknya Islam di Lombok

Di Desa Sade, rumah adat jenis bale tani paling banyak dijumpai. Ciri khas rumah bale tani terdiri dari  3 ruangan dengan 3 tingkatan. Ruangan pertama merupakan serambi depan yang dipergunakan untuk tempat menerima tamu, tempat menenun, tempat memintal benang, dan tempat menampi beras. Didalamnya hanya terdapat sebuah tempat tidur dan sebuah lemari untuk menyimpan pakaian dan barang-barang. Ruang kedua pada lantai yang kedua, terdapat dapur yang juga berfungsi sebagai tempat bersalin. Tak ada jendela di ruang dapur. Penerangan seadanya hanya mengandalkan cahaya dari sebuah lampu. Terdapat hiasan kepala sapi pada dindingnya, juga foto-foto keluarga mereka. Untuk mencapai ruang kedua ini, ada 3 anak tangga yang mesti dititi. 3 anak tangga yang juga memiliki makna, lambang 3 tahap kehidupan yang dilalui manusia yaitu lahir, berkembang dan mati. Ruang ketiga berfungsi sebagai ruang tidur anak-anak perempuan.

Di antara atap rumah adat Suku Sasak


 Tangga menuju kamar tidur anak perempuan

Ruang dalam bale tani

Seluruh rumah adat tradisional Suku Sasak beralaskan tanah, berdinding anyaman bambu, dan beratap alang-alang atau rumput gajah. Keunikan lain dari rumah adat bale tani yaitu pada pintunya yang hanya berjumlah satu dengan ukuran pintu yang rendah. Pintu berjumlah satu dimaksudkan agar terciptanya keakraban antara anggota keluarga, dimana dengan satu pintu intensitas pertemuan tentu akan lebih banyak. Ukuran pintu rumah yang dibuat agak rendah sehingga orang dewasa yang masuk mesti menundukkan kepala, mengandung makna untuk mengajak kita menghormati tuan rumah. Yang tak kalah unik yakni cara orang Suku Sasak membersihkan lantai rumah mereka dengan menggunakan kotoran segar hewan kerbau. Menurut mereka, dengan cara tersebut lantai akan lebih bersih, licin, hangat dan bebas nyamuk. Bagaimana dengan bau? Entah bagaimana bisa aroma tak sedap itu tak tercium sama sekali.  

 Bale lumbung berbentuk gunung


Piringan kayu tebal pada tiang lumbung, penghalang tikus masuk lumbung

Bale lumbung yang merupakan icon NTB, berfungsi  sebagai tempat penyimpanan hasil bumi. Atapnya yang berbentuk gunung, juga terbuat dari alang-alang. Konon gunung adalah lambang kepercayaan Suku Sasak terhadap Tuhan yang Maha Esa. Satu bale bumbung biasanya dipergunakan oleh 5 kepala keluarga. Posisi lumbung diletakkan di atas, sedangkan dibawahnya dibiarkan kosong sebagai ruang serba guna. Arsitektur lumbung yang menempatkan piringan kayu tebal pada tiap tiangnya, merupakan kearifan local yang dimaksudkan untuk menghalangi hama tikus agar tidak bisa masuk ke dalam lumbung.

Sebetulnya masih ada satu bangunan unik lagi yang bisa kami jumpai, namanya Bale Kodong. Sayangnya kami tak sempat ke sana. Saya tak ingat apa alasannya. Dari keterangan warga desa, bale kodong dibangun khusus untuk pasangan pengantin baru. Semacam romantic room. Tidak ada arsitektur special pada bale kodong layaknya villa cantik nan menarik. Bangunannya sama seperti rumah adat pada umumnya. Pun, jika pasangan pengantin baru telah punya rumah, bale kodong mesti ditinggalkan untuk kemudian ditempati oleh kalangan lanjut usia. 

 Wanita Suku Sasak mengerjakan kain tenun

 Zahra, pura-pura saja ya...bisa ancur ntar susunan benangnya hihi


Buah karya cantik untuk buah tangan...beli yaaaa...

Di Desa Sade, menenun menjadi kegiatan utama para wanita. Kerajinan ini diajarkan pada anak perempuan sejak usia dini. Bahkan, seorang gadis belum diperbolehkan menikah jika belum bisa menenun. Hasil tenunan wanita Suku Sasak dapat dengan mudah dijumpai selama berkeliling desa. Hampir tiap rumah memajang hasil tenunan. Tak jarang kegiatan menenun dilakukan para wanita di serambi rumah. Seorang perempuan lanjut usia terlihat lincah memintal benang. Ketika saya mendekat dan mengajukan tanya, dengan ramahnya nenek tua itu membalas sapa dan tanya dari saya. Usianya hampir 90 tahun. Beliau terlihat bahagia menikmati hari tua dengan memintal benang. 

Aneka souvenir untuk buah tangan 

Tak hanya kain tenun Suku Sasak yang bisa dibeli sebagai oleh-oleh khas Lombok, warga desa juga membuat dan menjual buah tangan berupa gelang tali, cincin mutiara, dan perhiasan kerang. Dalam hal ini, Suku Sasak mendapat bimbingan dari PNPM Mandiri Pariwisata yang sekretariatnya ada di Desa Sade. 

Bapak-bapak warga Suku Sasak

Anak Suku Sasak 

Nenek pemintal benang

Saya tak membeli apapun karena sedari awal memang focus untuk mengenal lebih banyak kehidupan tradisional Suku Sasak di Desa Sade. 2 jam berada di Desa Sade rasanya informasi yang saya gali masih belum cukup. Pun belum puas menjelajah hingga ke ujung desa (melihat romantic room hehe). Kalaupun ingin berbelanja, saya tak suka jika dalam keadaan terburu-buru. Saya memerlukan ketenangan sehingga bisa leluasa dalam memilih dan menentukan oleh-oleh apa yang akan saya beli. Sebaliknya mbak Fathia, terlihat bersemangat sekali berbelanja. Saya dengan setia menemaninya. Saking asyiknya berbelanja, tak sadar teman-teman telah meninggalkan Desa Sade. Kami tertinggal lagi. Mas Lalu yang menjadi guide selama kami berkeliling, melakukan pencarian, dan ia menemukan kami masih dalam keadaan sibuk bertransaksi.

Kemampuan Suku Sasak dalam mempertahankan keaslian budaya dan tradisi memang kuat. Namun kehidupan tradisional tak semestinya membuat mereka terbelakang dalam hal pendidikan dan sosial. Budaya kawin lari (menyampingkan prosesi lamaran sebagaimana halnya aturan dalam Islam), menikah antar saudara, tradisi menikah muda (bagi anak perempuan), pendidikan yang rendah, penolakan atas siapapun warga kampung yang ingin kembali setelah keluar kampung, menjadi bagian yang menurut saya pribadi tidak semestinya dipertahankan. *Lihat tulisan saya sebelumnya: Kawin Lari, Tradisi Unik Suku Sasak.

MB di Desa Sade, Rambitan Lombok Tengah
Tanggal 19 Oktober 2013
[foto oleh: mbak Andrie.P]

Tradisi Unik Kawin Lari, Dilestarikan atau Dikritisi?

Sang Pengantin

Assalamu'alaikum Wr Wb,

Saat berjalan di antara rumah-rumah adat Suku Sasak di desa wisata Sade, saya dan teman-teman MB terhenti di depan rumah seorang nenek pemintal benang. Jalan yang mestinya kami lalui untuk terus menelusuri desa, terhalang oleh acara semacam pesta. Menurut mas Lalu, guide kami, saat itu sedang ada hajatan perkawinan salah satu keluarga Suku Sasak. Para lelaki yang berkumpul  terlihat bersarung kotak-kotak dengan berbaju seragam warna putih dan berikat kepala seperti yang biasa dikenakan pria di Bali. Mereka sedang khusyuk membunyikan tetabuhan. Saya sempat menghitung, para lelaki itu berjumlah sekitar 9 orang. Seorang lainnya berbaju hitam (serupa jas), duduk menghadap ke dua buah gong berukuran besar dan berukuran sedikit lebih kecil. Tangannya sesekali memukul gong. Hanya ada 2 perempuan yang terlihat, namun tidak duduk berdekatan dengan para lelaki. 


 
Tak jauh dari tempat para lelaki penabuh musik berkumpul, para wanita dan anak-anak terlihat duduk-duduk di depan rumah sambil menyantap makanan. Ada nampan besar tergeletak di tanah. Di dalam nampan itu terdapat sejumlah piring berisi makanan. Kata salah seorang ibu, mereka sedang menikmati hidangan dari tuan rumah. Kesederhanaan nampak jelas dari cara dan keadaan mereka. Tak ada tenda besar dengan kursi dan meja layaknya sebuah pesta. Anak-anak dan ibu mereka duduk tanpa tikar atau apapun alas duduk. Hanya tenang dan diam menikmati sajian.


Dalam perjalanan memunggungi tempat hajatan, kami melewati sebuah rumah dengan pintu dalam keadaan terbuka. Di dalamnya terdapat beberapa wanita muda sedang berkumpul. Kata mas Lalu, pengantinnya ada disitu. Sedang di rias. Saya penasaran ingin melihat. Benar saja, sang perempuan berkain kemben, yang riasan wajahnya paling tebal, adalah sang pengantin. Karena tak ingin mengganggu, saya hanya mengintip dan memotret dari balik jeruji jendela. Syukurnya sang pengantin tak acuh, seolah mempersilahkan dirinya di potret. Ada 3 wanita yang sedang dirias, sang pengantin dan  dua lainnya mungkin pengiring pengantin. Saya amati wajah mereka, masih muda-muda. Bahkan cenderung belia. Mas Lalu bilang, umur si pengantin masih 14 tahun. Waw!



Mas Lalu menjelaskan tentang gadis Suku Sasak yang rata-rata memang menikah di usia belia. Bahkan pernah ada yang menikah di usia 11 tahun. Pendidikan anak perempuan Suku Sasak kebanyakan hanya sampai SD. Sepertinya pendidikan tidak terlalu penting. Mereka memilih untuk lekas menikah, mengurus anak dan keluarga, serta membantu mencari nafkah dengan menenun dan membuat barang-barang kerajinan yang dijual sebagai souvenir khas Desa Sade.

Hal paling unik yang saya ketahui dari mas Lalu tentang masyarakat asli Suku Sasak yakni tradisi kawin lari yang biasa disebut dengan Merariq. Kawin lari atau Merariq berarti melarikan calon istri ke rumah kerabat atau keluarga si laki-laki selama 3 hari. Sang laki-laki (si penculik), kemudian meminta pada keluarganya untuk mengirim utusan kepada keluarga perempuan untuk menyampaikan bahwa anak perempuannya telah dilarikan. Hmm...tradisi ini sebetulnya juga terdapat di Sumatera Selatan. Saya pernah mendengar langsung cerita dari teman yang pernah KKN di beberapa desa yang tersebar di sekitar kabupaten Muaraenim, Baturaja, Kayu Agung, hingga Prabumulih tentang kesamaan kronologi penculikan yang berujung perkawinan seperti yang terjadi pada Suku Sasak.

Bagi Suku Sasak, Merarig lebih terhormat karena dianggap sebagai sebuah kebanggaan atas keberhasilan melarikan anak gadis orang. Sang penculik merasa lebih jantan. Ia merasa dirinya bak ksatria. Melamar baik-baik ke orang tua sang gadis justru tak dianggap penting. Jika dilakukan (melamar), dapat membuat keluarga pihak perempuan tersinggung. Suku Sasak juga dilarang kawin dengan orang di luar perkampungan Sasak. Jika melanggar, mereka tak diperbolehkan kembali ke kampung Sasak. Andaipun sama-sama menikah dengan Suku Sasak, tetapi jika mereka keluar dari perkampungan maka tetap tak diperkenankan untuk kembali. 

Tradisi dalam Suku Sasak juga hanya membolehkan menikah antar saudara kecuali dengan sepupu dari pihak laki-laki. 

Saya, mbak Andrie, mbak Hanifah, dan Lestari, bersama salah seorang wanita Suku Sasak

Hmm...sebuah budaya popular yang menggugah intellectual curiosity. Terlalu kental, terlalu kuat mengakar, hingga tak usai untuk digali dan diarifi. Varian ritual dengan konsepsi kawin lari yang tak tergerus oleh arus modernisasi, sah sebagai identitas. Lantas, bagi orang Suku Sasak yang telah menjadi muslim, apakah ritual semacam ini telah mendatangkan pergulatan tradisi sehingga dapat memudar oleh aturan agama yang telah mengatur dengan tepat tentang tata cara perkawinan, termasuk perempuan-perempuan yang boleh dinikahi? Atau tetap katarsis tersebab kungkungan imperilisasi, infiltrasi dan aneksasi dari kekuatan eksternal?

Rasanya, seperti sedang 'menonton' tanpa 'menuntun' untuk berfikir bahwa pada suatu tradisi harus rela digerus oleh khidmatnya prosesi perkawinan secara Islam.


====

Sabtu, 19 Oktober 2013
Desa Sade, Rambitan, Lombok Tengah

Meranggas Dan Kesepian Di Tanah Nan Gersang



Assalamu'alaikum Wr Wb

Ketika menjelajah Lombok pada bulan Oktober lalu, saya mengamati tumbuhan di sepanjang jalan yang kami lalui ketika berwisata. Tumbuh-tumbuhan yang meranggas, kering kekuningan seperti penyakitan. Musim hujan yang belum jua datang, membuat tanah jadi kerontang. Bukit-bukit gersang, menampakan kekeringan. Hanya tumbuhan yang kuat di musim kering yang mampu bertahan.

Makam Desa

Sembalun


Untuk pertama kalinya dalam hidup saya, melihat tanaman tembakau yang selama ini menjadi bahan utama rokok. Awalnya saya kira pohon jagung, ternyata bukan. Kebun tembakau yang luasnya tak terkira oleh otak saya yang malas menghitung, saya coba jepret dari balik kaca jendela ELF yang terus berkelebat. Satu dan dua nampak bagus, puluhan lainnya tak dapat menjelaskan apapun. Mungkin keberuntungan saya memotret sedang lebih banyak terlepas.

Tembakau

Pohon-pohon kesepian di bukit gersang, eksotik di bola mata yang memandang. Antara senang dan trenyuh. Seperti telah 24 purnama tak dicumbui hujan. Di pantai-pantai nan elok, pohon-pohon sedang merindukan tunas-tunasnya. Berharap dari tunas-tunas itu bermunculan daun-daun lebat yang hijau lagi menyegarkan.

Pohon yang tumbuh di pantai Gili Sudak

 Pohon jenis ini mendominasi tepian Pantai Sekotong

 Gilis Kedis yang tak berpenghuni, pohon-pohonnya berubah fungsi :p

Setinggi-tingginya pohon di Gili Kedis

Dalam perjalanan berkeliling di Lombok Tengah, ketika menuju pantai Selong Belanak, Pantai Mawun, dan Pantai Kuta, saya mendapati beratus-ratus pohon Jambu Mete yang nampaknya tak terpengaruh oleh musim kemarau yang panjang. Buahnya lebat, merah-merah menggoda. Saking lebatnya, buah-buah jambu yang matang di pohon itu  berguguran ke tanah. Bergeletakan begitu saja. Tiada yang memungutnya. Ingin rasanya meminta pak supir berhenti, lalu memungut barang satu atau dua biji. Agar liur tak menetes. Ah, tapi itu sekedar ingin, tak elok rasanya kepingin sendiri, sedang yang lain sedang berburu waktu, menuju kota Mataram. Mengejar sunset di Pantai Senggigi.

 Pohon Jambu Mete

Tanah Lombok memang sedang kering. Hujan yang telah lama dinanti memang belum jua menampakkan titik airnya. Namun di hutan tropis yang kami lalui saat menuju kaki Gunung Rinjani, pepohonan tetap menampakkan aslinya. Tinggi rindang dan rimbun. Kera-kera liar terlihat di banyak tempat. Girang melompat-lompat. Mungkin senang sebab masih punya rumah yang nyaman untuk tinggal. Pun saya, masih bisa menikmati asrinya hutan alam di bumi Lombok yang sedang kerontang.

Masih hijau

Masih cukup untuk berteduh

Pantai-pantai di Lombok, tak seperti halnya pantai di Tanah Jawa yang banyak ditumbuhi pohon kelapa. Atau, katakanlah seperti pantai-pantai pada umumnya. Di sini, hampir tak saya lihat ada pohon kelapa yang jadi ciri khas penghias pantai. Mirip di Bali, seperti pohon-pohon yang tumbuh di Pantai Uluwatu. Hewan kera yang berkeliaran dan nangkring di dahan-dahan pun juga sama. Hmm...Lombok dan Bali seperti memiliki kesamaan.

Pantai Kuta

 Kawasan Mandalika, Kuta
Kerbau, Pohon Kelapa, Rumput kering

Berkendara menyusui pinggiran pulau, naik bukit turun bukit, maka yang nampak adalah pemandangan laut yang timbul tenggelam. Sesekali terlihat, sesekali tertutupi. Bila biru laut terhampar di pandang mata, seakan jaraknya dekat sekali. Padahal tak cukup 2-3 kilometer untuk mencapainya. Yang paling dekat untuk dilihat dan mungkin dijamah, hanyalah tumbuhan di tepi jalan. Entah apa namanya, tumbuhan berbunga putih dengan kuntumnya yang bulat-bulat itu banyak sekali dijumpai. Rupanya tak peduli pada jalan yang kering dan rada berbatu, tumbuhan itu tetap hidup dengan segala kecantikannya.

Hamparan laut biru yang seakan begitu dekat

Pohon kelapa memilih tumbuh di bukit gersang, ketimbang di pantai :D

===

 Tanah Lombok seperti sedang mengirim pesan, bumi ini panas.



*Kebanyakan foto dipotret dari balik jendela kaca ELF. Tanpa editan, kecuali menambahkan watermark dan mengecilkan size.

[Wonderful Indonesia] Snorkeling In Paradise : Gili Nanggu, Gili Sudak, Gili Kedis

Gili Nanggu

Siapa yang tak tertarik untuk datang ke Lombok? Ah, kurasa tak ada yang mengacungkan jari telunjuknya. Termasuk aku. 

Begitu indahnya Lombok dalam cerita dan gambar-gambar yang orang bagikan padaku, hingga aku memasukkannya dalam list perjalanan yang mesti kuwujudkan segera. Hmm...terkadang bagiku, cerita tentang Lombok seperti sebuah dongeng. Dongeng tentang pulau romantis yang wujudnya bak sebuah magnet yang setiap saat seperti menarik-narikku untuk datang dan mendekat. 

Lombok memang tak hanya populer di dunia wisata Indonesia tapi juga dunia wisata internasional. Bahkan, pada Juli 2013 lalu, berdasarkan hasil analisis yang dilakukan Prapanca Research (PR) terhadap 4.113.072 kicauan di media sosial Twitter mengenai tempat liburan, Lombok menempati peringkat pertama sebagai pulau yang paling banyak diperbincangkan dibanding Hawai dan Tahiti. Wow!
 
Sungguh, sajian cerita dan gambar yang kutemukan di berbagai blog di dunia maya, terutama artikel yang kubaca di Indonesia.Travel : Gili Nanggu, Romantic Paradise in South Lombok, membuatku ingin segera menjejakkan kaki ke Lombok. Alhamdulillah, kesempatan itu datang sebelum tahun 2013 berakhir. Aku berangkat ke Lombok pada 16-20 Oktober. Dan di sana, segala petualangan dan pengalaman seru, kunikmati dengan bahagia bersama 14 orang temanku.



Pelabuhan di pantai Sekotong, Desa Tawun, Lombok Barat.

Jumat pagi, langit cerah. Aku bersama rombongan Muslimah Backpacker menyeberang dari Pantai Sekotong, Lombok Barat, menuju Gili Nanggu. Kami naik perahu tradisional dari pelabuhan Tawun. Perahu berlayar dengan kecepatan sedang. Sementara ombak di lautan nampak tenang. Aku pun santai melahap sarapan yang kubawa dari penginapan. Teman-teman sumringah, gembira dalam tawa. Siap menghambur ke pelukan Gili Nanggu.

Sarapan di perahu

Ternyata, untuk mencapai Gili Nanggu hanya perlu waktu kurang dari 30 menit. Dari kejauhan, terlihat sebuah pulau kecil yang berkanopi rindang pepohonan. Ketika makin dekat, pasir di pantainya nampak begitu cemerlang. Airnya yang biru bening, menampakkan dasar laut dengan sempurna. Kami turun dari perahu. Riang menapak di atas lembutnya pasir. Menjejak Gili Nanggu untuk pertama kalinya. Suara dedaunan yang bergoyang dihembus angin, seperti nyanyian selamat datang pada kami. 

Baru tiba di Gili Nanggu

Gili Nanggu tak lagi perawan. Di pulau ini dibangun penginapan berbentuk rumah panggung yang mengadopsi model rumah adat suku Sasak. Beratap jerami dengan bentuk serupa gunung. Ada bale-bale di sekitar pantai, di bawah pohon-pohon. Ada jogging trek, wahana water sport, dan juga tempat penyewaan alat snorkeling dan diving. Tak jauh dari bale-bale, terdapat public shower

Kami menempati dua bale-bale. Menaruh barang dan ransel di atasnya. Lalu berkumpul untuk briefing sebelum snorkeling. Briefing singkat oleh Duta --guide lokal-- yang mengenalkan perlengkapan snorkeling dan cara menggunakannya. Setelahnya, teman-teman mulai mengenakan masker, snorkel dan life jacket. Aku membantu sekedarnya.  

 Briefing before snorkeling 


bale-bale 

Di bangku-bangku untuk bersantai, terlihat bule-bule sedang berbaring telentang menantang matahari. Owh, banyak bule di sini. Dari bule bayi hingga bule nenek kakek juga ada. Mereka terlihat di mana-mana. Ada yang sunbathing, snorkeling, dan swimming. 

Kami mulai turun ke air, kecuali Nita, Fathi dan Ibu Imas. Duta dan mas Heri --si guide berbadan kekar--, membawa teman-teman ke tempat snorkeling. Masing-masing membawa dua. Bergantian. Aku agak di tepian, memperhatikan, sembari merasakan suhu air. Ternyata hangat. Aku sedikit menjauh dari teman-teman. Masih dirundung galau memikirkan menstruasi. Baru kali ini pergi ke laut dalam keadaan menstruasi. Tak kutemukan kamar kecil untuk melepaskan pembalut, jadi ragu kupilih saja tetap mengenakan pembalut. Masuk air, namun gelisah karena aku takut darah menstruasiku akan mengundang predator laut datang mendekat. Hiu! Aku sangat takut hiu. Eh tapi di sini perairan dangkal, apa iya hiu bisa mendekat? Kata orang tidak. Oke, masuk air saja.

Snorkeling di Gili Nanggu

Berjarak sekitar 20meter dari bibir pantai, ada beberapa bola pelampung terapung di permukaan laut. Penanda batas aman untuk snorkeling. Nah, teman-temanku di bawa ke sekitar bola pelampung itu. Pikirku, mungkin kalau melewati bola pelampung maka akan makin bagus pemandangan bawah lautnya. Eh ternyata benar. Tapi aku tak berani mengajak teman. Khawatir jika terjadi sesuatu aku tak bisa menjaga keselamatannya. Jadi, aku sendirian berenang ke bola pelampung. Mencari tempat yang lebih dalam. Agak sedikit takut sebab masih teringat pada darah menstruasi. Ah.

Aulia, anaknya mbak Hanifah yang masih duduk dibangku SD, ternyata jago juga. Kecil-kecil berani snorkeling ke tempat dalam. Mungkin dia bisa berenang. Sementara teman-teman yang lain mulai asyik dengan aktifitasnya, aku mulai sibuk mengincar lokasi yang hendak dijadikan tempat freediving. Wuow, gaya bener mau freediving ya? Hehe. Ini memang kesukaanku. Godaan untuk menyelam ke dasar laut sudah begitu kuat. Tak sabar menemukan tempat yang cocok untuk ber-diving ria. 

Freediving di antara rusaknya terumbu karang Gili Nanggu

Di Gili Nanggu ini, pemandangan bawah lautnya cukup bagus tapi bukan termasuk yang menakjubkan buatku. Entah kenapa. Atau mungkin karena lokasi yang kami pilih ini memang lokasi biasa yang digunakan untuk pemula? Ikan-ikannya cukup banyak berseliweran di dasar yang berpasir (tak ada terumbu karangnya). Tapi tak beragam. Yang lumayan beragam ya yang di dekat bola pelampung itu. Selain lebih dalam, terumbu karangnya juga cukup menarik dan cantik.


Budidaya terumbu karang di Gili Nanggu 

Di tempat kami snorkeling ini, ada budidaya terumbu karang. Terdapat pot-pot yang disusun di atas besi-besi yang dipasang sedemikian rupa di dasar laut. Barangkali benar dugaanku, budidaya terumbu karang itu untuk mengembalikan terumbu karang yang telah rusak bahkan telah tiada. Pantas saja dari tadi kok rasanya aku tak melihat sesuatu yang lebih di tempat ini. Maksudku, terumbu karang yang mampu membuatku tercengang.

Di dekat kami, bule-bule juga asyik snorkeling. Nah, ada kejadian nih. Tanpa sengaja kakiku mengenai badan seseorang. Siapa ya? Aku kaget. Seorang bule! Kakek-kakek. Ah, untungnya beliau tak sadar kena tepisan kaki karena asyik menunduk melihat pemandangan di bawah. Maaf ya kakek. Bergegas aku menjauh.

Mbak Andrie, photographer andalan selama kami backpackeran di Lombok, ternyata punya kamera underwater. Wow, keren banget deh beliau. Aku girang mau numpang nampang. Kan keren bisa punya foto underwater di Lombok. Bisa buat pamer di sosial media toh? Hah! Ngeri amat niatnya. 

foto bersama 

Dengan bantuan Duta dan Mas Heri, kami mulai beraksi bergaya di depan kamera. Mengapung bersama sambil berpegangan tangan. Membentuk lingkaran. Melihat ke dasar laut. Susah-susah gampang. Yang motret pun berjuang mengambil gambar dari bawah. Berkali-kali. Sampai jadi. Aku yang satu-satunya ga memakai snorkel, sibuk mengangkat muka kepermukaan. Ga bisa lama-lama menahan nafas. Makanyaaa....rasain tuh.

Ya, aku memang tidak memakai snorkel, hanya masker dan life jacket. Aku suka melakukan itu, karena mulutku bisa bebas dari mengulum snorkel. Aku lebih suka menahan nafas dengan hidung. Lebih leluasa.

Kalau sudah urusan foto-foto, betah berlama-lama. Rasanya semua gaya mau dicoba, padahal tak mudah memotret dalam air. Tapi syukurnya banyak juga yang jadi. Kerennya lagi, foto budidaya terumbu karang itu berhasil didapatkan. Jadi bisa punya fotonya. Seneng aja liatnya, mengingatkanku pada tindakan menjaga kelestarian lingkungan bawah laut. Mesti itu. Mesti! 

Zahra & blue starfish

Ada bintang laut, warna biru dan merah jambu. Cantik sekali. Dan mereka masih hidup. Jangan ambil! Jangan lama-lama mengeluarkannya dari air karena starfish termasuk hewan yang cepat mati jika keluar dari air. Bule wanita yang melihat si bintang laut dibawa ke daratan, berteriak : "put it in water..."

Ah ya, ada beberapa botol air minum terapung di sekitar pantai. Uh, sampah. Siapa coba yang berbuat begitu? Pasti ulah oknum tak bertanggung jawab.

Ohya, diantara kami ada teman-teman yang belum bisa berenang. Pantas kulihat beberapa teman tetap tak mau menjauh dari bibir pantai. Tak berani ke tempat dalam, sekalipun ada life jacket terpasang di badannya. Sepertinya kami kekurangan guide. Kasihan juga sebetulnya.

Sebelum siang mencapai puncaknya, kami mengusaikan snorkeling di Gili Nanggu. Snorkeling akan dilanjut di  Gili Sudak dan Gili Kedis. Seperti apa ya tempatnya? Apakah akan lebih indah dari Gili Nanggu? Kita lihat saja nanti. 

Berpose sebelum meninggalkan Gili Nanggu

Sebenarnya Gili Nanggu tak mengecewakan. Akan tetapi karena aku sudah beberapa kali melihat keindahan bawah laut di tempat-tempat lainnya yang pemandangannya lebih memukau, tempat ini jadi terlihat biasa saja. Tapi menurut Duta, di sisi barat  Gili Nanggu, pemandangan bawah lautnya sangat indah. Di sana karang-karangnya lebih besar dan berwarna merah. Membayangkan ada karang berwarna merah, alangkah bagusnya.

Gili Nanggu tetaplah gili yang mengesankan. Pulau kecil ini begitu hening. Mungkin karena keheningannya itu yang membuat banyak bule betah menginap di pulau seluas 12,5 ha ini.  Cottage-cottagenya juga menghadap ke laut lepas, view yang menarik sekali bukan? Dan katanya, bila petang, spektakuler sunset bisa menjadi moment paling indah untuk disaksikan. 




Anak-anak bule di pantai, terlihat malu-malu ketika kudekati. Kusapa mereka, hanya senyum saja yang muncul di raut wajah. Tak ada sepatah kata. Perlu tiga kali menyapa dengan tanya, baru di jawab. Malu atau takut?

Dari Gili Nanggu kami kembali berperahu, menyeberang ke Gili Sudak. Jaraknya cukup dekat, jadi tak terlalu banyak makan waktu. Perahu berlabuh di pantai Gili Sudak berbarengan saat aku menyelesaikan makan siangku. Ya, selama di perahu, aku mengisi perutku. Berada di air, selalu membuat perut lekas lapar. Dan biasanya, nafsu makanku jadi besar. Sayangnya, meski lapar dan bernafsu, nasi bungkusku bersisa. Pedasnya tak terkira. Entah kenapa, masakan di Lombok selalu pedas.


Tiba di Gili Sudak 

Gili Sudak sama indahnya dengan Gili Nanggu. Pasir lembut dan berwarna putih. Airnya jernih. Pulaunya sepi. Dari tepian pantai, kami bisa melihat Pulau Kedis. Dan di sisi lain,  terlihat bukit-bukit gundul yang berbaris memanjang dan sambung menyambung. Itu adalah desa di kecamatan Sekotong. Bagian dari wilayah Lombok Barat. 

Di sudut pantai, ada sebuah pondok makan. Beberapa bule terlihat sedang makan di sana. Di dekat pondok makan itu ada tempat snorkeling yang bagus. Di sanalah Lestari, Gita, Zahra, dan Ikha snorkeling. Mereka berempat ditemani oleh mas Heri. Guide kami. Sementara yang lain, bersiap untuk baksos. Ya, di Gili Sudak ini, rombongan kami hendak melaksanakan kegiatan bakti sosial dengan menyumbangkan buku-buku bacaan dan Al Quran untuk anak-anak pulau. Acara dimulai sekitar jam satu siang, sekelar Duta menunaikan salat Jumat. 


Barisan bukit di Pulau Lombok Barat, terlihat dari Gili Sudak

Usai acara baksos, kami kembali berperahu, menuju Gili Kedis. Anak-anak yang menerima sumbangan buku, terlihat melambaikan tangan perpisahan pada kami, sambil berseru : "dadaaaah...dadaaaaah...." Kami memunggungi Gili Sudak dengan berbagai rasa. Ada rasa haru di hatiku. 


Baksos di Gili Sudak 

Gili Kedis bisa kami capai dalam waktu singkat. Ketka tiba, ingin rasanya berteriak gembira. Betapa pulau kecil tak berpenghuni itu begitu menyenangkan untuk ditapaki. Sepi. Benar-benar seperti pulau pribadi. Tak ada siapa-siapa selain kami.

Lihatlah, pasir pantainya yang putih, sehalus debu. Lembut dikaki. Air lautnya sangat jernih. Apapun bisa terlihat jelas dari permukaan. Kami meletakkan ransel di pohon-pohon yang dahannya menyentuh permukaan pantai yang berpasir. Teman-temanku berjalan kesana kemari, girang berfoto-foto. Aku terduduk di bawah sebatang pohon. Kepanasan. Memandang langit. Begitu biru. Memandang awan. Begitu putih. Memandang laut. Begitu jernih. Begitu indah ciptaanNYA. 


 Batu-batu besar di Gili Kedis 


 biota laut Gili Kedis

Gili Kedis, pulau terakhir tempat kami snorkeling. Di sini aku merasakan ketenangan. Rileks sekali rasanya. Tak lagi mencemaskan menstruasiku. Tak lagi mencemaskan akan bayangan diserang hiu. Aku mulai masuk air. Tergoda pada cerita tentang terumbu karang berwarna pink, ungu dan biru. Benarkah? Benar!! Aku melihatnya.

Teman-teman kembali menikmati snorkeling. Aku mencoba membantu mbak Fathia, Ikha, dan mbak Dewi untuk mengapung. Bukan karena aku jago, tapi karena aku ingin merekapun merasakan kegembiraan yang sama sepertiku, bisa melihat terumbu karang dan ikan warna warni di bawah laut sana. Aku tak yakin apakah akan berhasil membantu teman-temanku mengapung, tapi melihat mereka berpegang pada tanganku, seolah mereka percaya aku bisa. Ya Allah, aku bertekat suatu hari nanti, jika diijinkanNya ngetrip lagi bareng mereka, snorkeling lagi, aku akan meluangkan banyak waktu untuk mendampingi teman-temanku snorkeling. Bukan karena aku sudah lihai, tapi karena aku tahu bagaimana rasanya ketika pertama kali snorkeling. Penasaran bukan main. 

Di dalam air jernih yang hangat, di atas pasir yang lembut 
Hanya ada kami di Gili Kedis, bagai pulau pribadi

Ketika asyik snorkeling, aku mendengar ada teman yang menyebut tentang ular. Katanya ada ular di antara terumbu karang. Astaga, mendadak hilang moodku untuk snorkeling. Aku gemetar. Aku phobia ular. Dari dulu. Hiks. Tapi kata mas Heri ularnya sudah menjauh, aku mulai tenang, walaupun belum 100% tenang. 

Snorkeling di Gili Kedis hingga petang. Tak terasa tiba saatnya untuk kembali ke daratan. Pulang. Sebelum semuanya usai, kami kembali berfoto. Aku mencoba melihat terumbu karang berulang-ulang. Indah sekali. Warnanya kuning, biru, dan ungu. Masih alami. Belum ada yang rusak. Mungkin karena agak dalam, jadi tak ada kaki yang menginjak sesukanya.

Gili Kedis betul-betul menawan, hingga sangat berkesan di hati. Menyelam di sini pun menyenangkan, beningnya membuat terang penglihatan. Sekalipun banyak orang. Ketika freediving, aku lihat clown fish merubungiku. Sebuah perjumpaan yang menyenangkan dengan penghuni bawah laut.


Di Gili Kedis, banyak ikan warna-warni

Di Gili Kedis, terumbu karangnya warna warni

Ah, rasanya tak ingin usai berada di pulau seperti ini. Tak ingin pergi. Tak kami harus pergi sebelum langit berubah gelap. Ya, hari kian petang. Waktu makin sedikit. Penangkaran penyu dan hiu tak sempat lagi kami datangi. Barangkali lain kali, aku berkesempatan kemari lagi, dan aku akan melihatnya. Mungkin berdua kekasih hati. Menginap di Gili Nanggu, berjalan di antara pepohonan yang kata orang mirip suasana di film Winter Sonata. Wow.

Perahu kembali membawa kami ke Pulau Lombok, meninggalkan Gili Kedis yang perlahan menghilang dari pandangan. Tapi tidak dalam kenangan.





 Seru-seruan di Gili

===


Keindahan Gili Nanggu, dengan nuansa tropis dan kesenyapan yang menenangkan, memang menjadi pilihan tempat berlibur yang asyik. Aku menyukai tempat seperti ini. Sungguh menginginkannya suatu hari nanti. Berdua suami menginap di sana. Duduk bercengkerama di bale-balenya. Main ayunan di bawah pohon. Snorkeling. Bergandengan tangan berjalan di pantainya. Merasakan lembutnya pasir di kaki. Di cottagenya, berdua di bingkai jendela memandang laut lepas. Menatap langit biru, dan awan yang putih cemerlang. Menyaksikan sunset di penghujung petang. Dan, duduk di pantai ketika malam, sambil memandang bintang gemintang.  Ah, romantisnya. 


 Cottage di Gili Nanggu (sumber foto: lomboktravelnet.com) 

 Jogging trek di Gili Nanggu, bak di film Winter Sonata (minus salju) hehe
(sumber foto: malezones)

Menikmati waktu di pulau-pulau kecil di barat daya Pulau Lombok ini, tentu saja sangat menyenangkan. Selain Gili Nanggu, ada Gili Sudak, Gili Kedis, dan Gili Tongkang yang bisa dituju. Untuk snorkeling tentu saja. Lokasinya pun mudah dicapai dari Gili Nanggu. Gili-gili itu, meskipun sama-sama berpasir putih, tetapi masing-masing memiliki pemandangan pesisir yang berbeda dan khas.

Lombok, seperti serpihan surga yang dititipkan ke bumi. Indonesia indah karenanya. Kita bisa menikmatinya kapan saja, asal kita bisa tetap menjaga kelestariannya. Datang dan rasakan pengalaman seru di pulau-pulau kecilnya, tapi jangan lupa bahwa keindahan ini tak akan lama kalau kita tak peduli padanya. Snorkelinglah dengan baik. Jangan injak karang, jangan ambil apapun dari dalam laut, dan jangan buang sampah sembarangan.

Wonderful Indonesia. 


 Berenang, snorkeling, freediving, semua bisa kamu nikmati di sini


======


Foto: Saya, Mbak Andrie, Mbak Fathia

Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba Wonderful Indonesia Blogging Contest tentang Lombok-Gili Tramena dan sekitarnya, yang diselenggarakan oleh Indonesia.Travel. Sebagai bentuk dukungan saya pada Indonesia.Travel, saya telah menambahkan Indonesia Travel di G+, mengikuti Twitter @Indtravel dan menyukai Pages Indonesia.Travel di Facebook, berikut capture-nya: