Di Danau Singkarak, berandai-andai menjadi bidadari



Rabu 05 September 2012


Setelah berbelanja oleh-oleh aneka makanan khas Minang di Niken, Bukittinggi, kemudian berkunjung ke desa wisata Pande Sikek, selanjutnya tujuanku adalah Danau Singkarak. Hampir 40km jarak yang ditempuh dari Bukittinggi menuju danau ini. Sebuah jarak yang terasa amat dekat karena setiap jengkal tanah yang dilalui untuk mencapai tempat ini tidak pernah putus menyajikan keelokan alam Ranah Minang. Panorama alam berupa bukit-bukit hijau yang seolah sambung menyambung, Gunung Singgalang, Gunung Merapi, sawah-sawah yang tersusun bertingkat-tingkat, serta lembah-lembah yang dalam dan masih alami nampak begitu menawan dalam pandangan mata.

Danau Singkarak merupakan danau terluas kedua di pulau Sumatera. Luasnya 107,8 km². Membentang di dua kabupaten di provinsi Sumatera Barat yaitu kabupaten Solok dan Kabupaten Tanah Datar. Danau ini merupakan hulu Batang Ombilin namun sebahagian air danau dialirkan melalui terowongan menembus Bukit Barisan ke Batang Anai untuk menggerakkan generator PLTA Singkarak di dekat Lubuk Alung, kabupaten Padang Pariaman. Danau Singkarak berada pada letak geografis koordinat 0, 36 derajat Lintang Selatan (LS) dan 100,3 Bujur Timur (BT) dengan ketinggian 363,5 meter diatas permukaan laut (mdpl). Luas permukaan air Danau Singkarak mencapai 11.200 hektar dengan panjang maksimum 20 kilometer dan lebar 6,5 kilometer dan kedalaman 268 meter. Danau ini memiliki daerah aliran air sepanjang 1.076 kilometer dengan curah hujan 82 hingga 252 melimeter per bulan. Dibanding dengan danau Maninjau, danau Singkarak jelas lebih luas dan panjang.*Informasi detail ini bersumber dari : Wikipedia

Jalan yang kami lalui berada tepat di tepi danau, memungkinkan siapa saja yang melalui jalan ini dapat menikmati pemandangan danau yang indah. Di sekelilingnya, bukit-bukit tinggi bak tembok raksasa memagari danau beserta isinya. Jika dilihat dari atas bukit, bagai bentuk sebuah kawah. Di lereng-lerengnya, terdapat rumah-rumah penduduk. Bukit-bukit tak semuanya menghijau karena pepohonan besar namun ada juga yang tiada berpohon tetapi menghijau oleh rerumputan. Bukit savana namanya.Bak permadani.

Jalan raya berada tepat disisi tepi danau, dan di tepi danau itu banyak berdiri bangunan untuk usaha seperti rumah makan, warung-warung kecil yang menjual makanan dan minuman, dan juga toko souvenir. Bangunan tempat usaha itu menempati sebagian danau dan daratan. Bagian belakang bangunan menjorok ke danau, bagian bawahnya ditopang oleh tiang yang tertanam didalam air danau. Sedang bagian depan bangunan berada di daratan dan menghadap ke jalan raya.

Diseberang bangunan usaha yang berada di tep danau itu, terdapat sebuah rel kereta yang membentang panjang hingga jauh. Rel tua yang bukan dilewati oleh kereta penumpang, tetapi barang. Panjang, melewati danau, lembah, dan bebukitan.

Ikan bilis/bilih banyak terdapat di danau ini. Karena itulah banyak sekali dijual ikan bilis goreng yang sudah dikemas dengan berbagai nama. Harganya Rp 20.000 untuk 1/2kg ikan bilis goreng dalam kemasan. Ada banyak rumah makan ditempat ini tapi tidak banyak penginapan yang bisa dijumpai. Hanya ada satu atau dua motel kecil, juga home stay bagi yang ingin bermalam di tepi danau. Tidak ada tempat khusus bagi yang ingin romantis-romantisan di tepi danau. Tapi ada satu tempat yang asyik untuk bermain air sekedar berbasah ria, duduk-duduk di atas batu-batu sebesar sapi dewasa, atau bahkan foto-foto bagi yang suka bergaya-gaya tralala seperti saya hehe

Percayalah, danau ini sangat indah. Saya memberikan dua jempol untuk danau ini. Airnya yang jernih dan berwarna biru membuat saya begitu terpesona. Tempat ini tidak sepi, tidak sunyi, namun begitu tenang, damai, dan terasa begitu tentram. Indah. Sungguh indah. Saya kehilangan kata-kata untuk melukiskannya dengan baik.

Foto-foto berikut ini di ambil dengan Canon Ixus 200 IS:






















[Bali] Pesona Pantai Uluwatu Yang Menawan Hati

[Bali] Pesona Pantai Uluwatu Yang Menawan Hati


Uluwatu merupakan tempat wisata yang menawan yang terletak di ujung selatan pulau Bali yang mengarah ke samudra Hindia. Tepatnya di Desa Pecatu Kecamatan Kuta sekitar 20 km dari Sanur ke arah Selatan. Hari itu saya memilih berangkat siang dari hotel yang terletak di Nusa Dua, dan setelah dari Uluwatu saya berharap di petang harinya dapat menikmati matahari tenggelam di Tanah Lot. 
 
Dalam perjalanan menuju Uluwatu kami singgah ke Pujamandala, yaitu sebuah lokasi di tepi jalan raya yang mana terdapat lima bangunan rumah ibadah berdiri saling berdampingan. Kata pak Arya, driver sekaligus guide tour, Pujamandala adalah simbol kerukunan umat beragama masyarakat Bali. Terdapat Mesjid Ibnu Batutah, Gereja Khatolik, Pagoda umat Budha, Gereja Protestan, dan Pura umat Hindu. Semua rumah ibadah dibangun sesuai dengan karakter agama masing-masing. Kokoh, cantik, rapi, bersih dan semuanya bisa digunakan untuk beribadah. Siang itu nampak area parkir dipadati oleh bis-bis wisata dan mobil-mobil combi travel, juga kendaraan pribadi.
Setelah menempuh perjalanan kurang dari 40menit dari Nusa Dua akhirnya kami tiba di Uluwatu. Area parkirnya luas. Di tempat ini tersedia warung aneka makanan dan minuman, toko pakaian dan souvenir khas Bali. Di antara pohon-pohon yang daunnya sedang berguguran, 3-4 ekor kera berloncatan seakan ikut menyambut kedatangan kami. *Jyaaah...disambut kera

Siang itu kendaraan belum padat. Biasanya akan sangat ramai pada sore hari menjelang matahari terbenam. Hal ini dikarenakan banyak pengunjung yang datang untuk menyaksikan Tari Kecak (Apen Dans) atau tarian kera dan Fire dance yang di pertunjukan pada pukul 6 sampai 7 petang.

Pak Arya, adalah pria seusia almarhum ayah saya yang punya segudang pengalaman dalam membawa pengunjung selama berwisata di Bali. Berkat beliau pula kami tahu dimana letak mesjid dan restoran/kafe yang menyajikan masakan halal. Termasuk siang itu, ada satu tempat yang beliau tahu sebagai warung makan yang aman untuk kami. Namanya warung Jawa. Penjualnya muslim. Di warung ini saya memesan pecel ayam. Menikmatinya dengan lahap, sembari cengar cengir melihat warung sebelah yang bertuliskan “Babi Guling” lengkap dengan gambar babi merah yang sedang ditusuk-tusuk :D
Seusai melepaskan lapar dan dahaga, kami beranjak menuju kawasan Pantai dimana didalamnya terdapat Pura Uluwatu. Berhubung ada rumah ibadah, sebagai tempat suci umat Hindu, maka itu diwajibkan mengenakan sarung dan selendang, dimana sarung berfungsi untuk menutupi bagian bawah yaitu bagian tidak suci dan selendang sebagai pembatas antara bagian suci dan tidak suci. Kebanyakan turis asing yang hanya bercelana pendek yang mengenakan sarung. Saya tidak pakai sarung karena sudah mengenakan baju panjang. Hanya selendang saja yang dililitkan di pinggang. Seperti di Pura lainnya, sarung cerah ceria yang disediakan berwarna merah, hijau dan ungu. Sedang selendangnya berwarna kuning. Satu lagi, untuk wanita yang sedang haid / menstruasi tidak bisa masuk kedalam pura karena dianggap kotor. Hmm..jadi teringat dengan aturan masuk mesjid.

Di pintu masuk ada penjual kacang untuk makanan kera. Jika berminat memberi makan kera-kera, belilah kacang-kacang yang dijajakan itu. Saya sih ga beli, jadi memilih langsung jalan. Jalanannya menurun. Seperti di lereng saja rasanya. Pohon-pohon berjejer disepanjang kiri dan kanan jalan yang membuat jalan setapak tersebut mirip lorong. Pohon-pohonnya terlihat unik karena setengah gundul, alias sedang gugur. Berasa di Eropa kalau di lihat. Dan yang pasti, banyak kera di pohon-pohon itu.

Tujuan pertama saya adalah ke tempat pementasan Tari Kecak. Tempatnya berada tepat di bibir tebing yang menghadap pantai. Bangku-bangku penonton berjejer melingkari pelataran pementasan. Saya menjejakan kaki ditengah-tengah, sejenak berdiri sembari membayangkan para penonton yang terkesima sambil memperdengarkan gemuruh tepuk tangan dari bangku yang tertata. 
Terbayang pula hentak kaki para penari menarikan tarian yang diciptakan oleh Wayan Limbak dan pelukis Walter Spies (Jerman) itu. Sebuah tarian yang yang diciptakan berdasarkan kisah Ramayana dan tradisi Sanghyang yaitu tradisi tarian yang penarinya berada dalam kondisi tidak sadar. Tari Kecak tak diiringi musik dan pada irama tertentu menyerukan kata “cak” sembari mengangkat tangan para penari yang duduk melingkar. Selain para penari itu, terdapat pula penari yang memerankan tokoh Ramayana yaitu Rama, Sita, Hanoman, Laksamana dan Rahwana. Seperti yang kita ketahui bahwa cerita Ramayana merupakan kisah percintaan mirip dengan Romeo dan Juliet.


Pura di ujung tebing yang kupandang dari tempat menari, terlihat kecil dan seakan hendak jatuh. Begitu pinggir letaknya. Perlu tenaga ekstra untuk mencapainya, yaitu menaiki tangga nan tinggi. Para kera dimana-mana, berloncatan kesana kemari. Jinak-jinak merpati. Merenggut apa yang dia mau. Meng-isengi pengunjung dengan gerak cepatnya yang tak terduga. Jika lengah, maka hilanglah barang yang kita pakai. Tak kembali kecuali minta bantuan pada penjual kacang yang ada di pintu masuk. Sebab dengan kacang-kacang itu pula kera-kera itu mau kembali. Kera-kera itu semakin dikejar semakin cepat larinya. Dan saya terpingkal-pingkal ketika seorang pemuda asing terkaget-kaget ketika kacamatanya raib disambar sang kera yang bergegas kabur ke atas pohon.


Jadi, hati–hati dengan barang berharga semacam perhiasan anting. Barang yang tidak perlu tidak usah dibawa, atau tinggalkan saja dalam mobil. Jaga jarak sebisa mungkin. Teman-teman saya sudah menyelamatkan barangnya sejak awal. Melepas kaca mata, melepas anting, dan mengikat tali kamera dengan kencang ke tangan. Dan saya membuktikan sendiri ketika melihat barang curian si kera berupa anting terjatuh dekat kaki saya. Entah punya siapa. Saya membiarkannya tergeletak di tanah.

Guna keamanan dan keselamatan pengunjung bibir tebing dipagari sepanjang bibir tebing. Panjang. Sekilas mengingatkan saya pada tembok cina. Kita bisa berjalan-jalan disisinya sembari melihat ombak, pantai, dan tebing yang curam. Tak ingin pergi rasanya. Ingin selalu berada disana, memandang tiap milimeter ciptaan Tuhan yang begitu mempesona. Indahnya, serupa puisi pujangga dari negeri antah berantah. Melenakan.

Pura yang berdiri kokoh di atas batu karang yang menjorok ke arah laut dengan ketinggian sekitar 80 meter adalah daya tarik yang luar biasa. Meskipun saat itu terlarang untuk dimasuki, setidaknya masih bisa berfoto di bagian depannya. Di sisi kanan Pura ada ruang terbuka, didalamnya ada beberapa orang yang berpakaian seperti Pecalang. Juga ada wanita Bali berbaju tradisional. Di antara mereka, kera-kera bermain dengan manisnya. Begitu akrab. Sementara, bau kemenyan tercium dimana-mana. 

Dari pak Arya saya mengetahui sedikit tentang sejarah Pura Uluwatu yang ternyata begitu sarat akan makna dan nilai sejarah. Pura Luwur Uluwatu merupakan salah satu dari 6 Pura Sad Kahyangan di Bali. Sad artina enam, Sad Kahyangan  adalah 6 pura yg merupakan sendi -  sendi pulau Bali. Uluwatu berasal dari kata Ulu yang artinya ujung atau kepala dan watu artinya batu atau karang. Dalam kepercayaan Hindu, disebutkan: Utpatti Bhagawan Brahma, stithi Wisnuh tathewaca. Pralina Bhagawan Rudrah,trayastre lokya sranah (Buana Kosa. 25) Yang artinya: Tuhan sebagai Dewa Brahma sebagai pencipta Utpati, sebagai Dewa Wisnu menjadi pemelihara atau Stithi dan sebagai Dewa Rudra sebagai pemralina. Tuhan dalam wujud tiga Dewa itulah pelindung bumi.
Dalam banyak artikel tentang Pura Luhur Uluwatu yang  saya baca, Pura yang berada di Desa Pecatu Kecamatan Kuta Kabupaten Badung disebutkan bahwa Pura Luhur Uluwatu dalam pengider-ider Bali berada di arah barat daya sebagai pura untuk memuja Tuhan sebagai Batara Rudra. Kedudukan Pura Luhur Uluwatu tersebut berhadap-hadapan dengan Pura Andakasa, Pura Batur dan Pura Besakih. Karena itu umumnya banyak umat Hindu sangat yakin di Pura Luhur Uluwatu itulah sebagai media untuk memohon karunia menata kehidupan di bumi ini. Karena itu, di Pura Luhur Uluwatu itu terfokus daya wisesa atau kekuatan spiritual dari tiga dewa yaitu Dewa Brahma memancar dari Pura Andakasa, Dewa Wisnu dari Pura Batur dan Dewa Siwa dari Pura Besakih. Tiga daya wisesa itulah yang dibutuhkan dalam hidup ini. Dinamika hidup akan mencapai sukses apabila adanya keseimbangan Utpati, Stithi dan Pralina secara benar, tepat dan seimbang.

Pembangunan Pura Uluwatu diawali oleh Mpu Kunturan pada abad ke 11. Pada abad ke 16 Danghyang Nirartha melakukan kunjungan–kunjungan ketempat suci, setiba di Uluwatu beliau mendapatkan bisikan jiwa bahwa tempat itu baik untuk memuja Tuhan. Berdasarkan pertimbangan tersebut Danghyang Nirartha memperluas pambangunan Pura Uluwatu dan memlilih tempat tersebut untuk Ngaluwur “kembali ke asal (moksa)”. Kunjungan kedua beliau melepas moksa di Uluwatu dan disaksikan oleh nelayan bernama Ki Pasek Nambangan, beliau bagaikan kilat berupa cahaya masuk ke angkasa.

Disebelah timur pura terdapat alas kekeran (hutan larangan) yang dihuni banyak kera. Dan itulah kera-kera yang saya lihat hari itu. Setiap pura pasti memiliki candi bentar (gapura) yang bila disatukan akan berbentuk seperti gunung, namun candi bentar Uluwatu memiliki sayap. Candi bentar bersayap sangat jarang ditemukan, ini merupakan kombinasi Bali dan Jawa (desa Sendangduwur, Lamongan).

Menurut cerita pak Arya, sejak dibangun Pura Uluwatu telah mengalami beberapa kali pemugaran. Bahkan katanya pura ini sempat terbakar akibat sambaran petir di tahun 1999. Sungguh tak cukup baik otak saya menghafal sejarah Pura Uluwatu yang panjang itu, tapi yang jelas semuanya dibangun atas nama kisah dan kepercayaan umat Hindu di Bali. 
Ombak di sepanjang kawasan pantai Uluwatu cukup besar. Tentunya sangat menantang bagi pencinta olahraga surfing. Karena itulah di tempat ini setiap tahunnya kerap diselenggarakan event berlevel internasional.
Hembusan angin laut menerpa wajah saya kala menikmati keindahan samudra yang ombaknya senantiasa membentur tebing, mengeluarkan asap putih, bagaikan asap tungku pemujaan. Entah kenapa mata saya mendadak berembun di siang yang terik itu. Seakan ada sesuatu yang tak mampu terlukiskan dengan kata-kata, membuat saya tertegun, termangu dalam ketakjuban. Atau sesuatu? Entahlah..

Rasanya, seakan tak ingin berhenti berkeliling menelusuri tepi tebing sembari memandang samudra nan luas. Memang ada kengerian yang tinggi setiap kali memandang ke bawah, jantung saya berdegup. Ada desir yang seolah datang dari angin laut yang meniupkan aroma kematian. Astagfirullah. Kalau sampai jatuh ke bawah, alamat dijemput maut dalam sekejab. Hiiii.........

Sebelum meninggalkan tempat itu, saya kembali memandang debur ombak yang membawa buih putih ke tepian. Seakan mengucapkan sayonara, dan berjanji untuk kembali. Lalu, suara benturannya di batu karang terdengar menggetarkan sanubari, seakan menjawab salam perpisahan saya. Langit biru diujung pandangan, membingkai Uluwatu dengan pesona yang tak mudah terlupakan. Indah nian.....

Songket Pande Sikek, Tentang Menghargai Sebuah Harga

Bagai menguak sebuah misteri (ah lebay :p), demikianlah yang saya dapat dari perjalanan ke desa Pande Sikek. Desa sejuk di kaki Gunung Singgalang ini namanya tertera pada selembar uang kertas 5000 Rupiah. Jika pada uang tersebut Pande Sikek digambarkan dengan sosok perempuan Minang berbusana adat yang sedang menenun, maka pagi itu salah satu wanita Pande Sikek yang sedang menenun, saya jumpai tengah mengenakan baju batik dengan rok hitam panjang dan kerudung yang juga berwarna hitam. 

Rabu 05 Sept 2012, untuk pertama kalinya saya menjejakkan kaki di desa Pande Sikek. Berangkat dari Bukittinggi pada pukul 10.18 dan tiba pada pukul 10.40 (sesuai data exip photo yang saya ambil). Nagari (desa) Pande Sikek terletak di kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Jalan menuju desa ini di apit dua gunung yaitu gunung Merapi dan gunung Singgalang. Pemandangan yang tersaji sepanjang perjalanan menuju desa ini selain dua gunung besar tadi, juga berupa sawah, kebun, lembah, juga hutan alam yang masih perawan. Asap akibat kebakaran hutan dari Jambi dan Riau yang biasanya terlihat di puncak-puncak bukit, kali ini menghilang dari pandangan dikarenakan hujan turun rintik-rintik selama perjalanan menuju Pande Sikek. 

Ada yang mau beli kain songket karya saya? :D

Pande Sikek berasal dari kata Pande yang artinya pandai, dan Sikek yang artinya sisir. Sisir yang dimaksud bukan sisir biasa yang digunakan untuk rambut, melainkan sisir halus (katanya sih sisir kutu) yang berukuran besar dan digunakan pada alat tenun. Jadi Pande Sikek itu artinya pandai menggunakan sisir (alat tenun). Pande Sikek merupakan desa wisata yang dijadikan sebagai salah satu obyek wisata terbaik di Sumbar. Para pengrajin di desa ini tak hanya menghasilkan salah satu kain tenun terbaik di Indonesia tetapi juga ukiran kayu. Ukiran kayu tersebut banyak dijadikan souvenir dan dijual sebagai kerajinan khas. Kebanyakan wisatawan lebih memilih datang dan membeli langsung di desa Pande Sikek karena harga kain songket dan barang kerajinan kayu bisa dibeli dengan harga lebih murah ketimbang harga di toko-toko, pasar, dan mal-mal di kota besar. Harganya bisa 2 kali lipat. Dan saya sudah membuktikannya.

Desa Pande Sikek hanya berjarak 1km dari jalan utama kabupaten Tanah Datar. Ada signboard bertuliskan Pusat Inovasi Tenun Pande Sikek di pintu gerbangnya. Kala memasuki desa ini, nampak Gunung Singgalang menjulang di latar belakang. Atap-atap rumah menyembul di lereng-lerengnya. Kebanyakan rumah penduduk disini terlihat modern, berupa rumah-rumah beton permanent dengan berbagai model. Kendaraan roda dua dan empat, terlihat di perkarangan beberapa rumah. Desa yang makmur, demikian kesan saya. Walau tidak begitu rapi, tapi bersih. Udara sekeliling amat sejuk. Juga segar.


Ada banyak rumah pengrajin, saya memilih salah satunya, yaitu rumah Pande Sikek Satu Karya. Seorang wanita menyambut kedatangan saya. Dan tahu kah kalian? Dia berucap dalam bahasa Inggris yang baik. Bukan hanya sekedar kata welcome, tapi juga sebaris kata sambutan yang disampaikan dengan santun. Rasanya pingin ngaca, melihat wajah, jangan-jangan saya sudah berubah jadi bule sehingga dianggap tak mengerti bahasa Indonesia hehe Saya membalas sapaan beliau dengan sama santunnya (saya yakin kalah santun dengan beliau), lalu masuk dan melirik ke pintu kaca, "Menerima Visa, Mastercard, Prima, ATM BCA, ATM berlogo Prima dan ATM bersama". Wow...mendunia! Di desa terpencil di kaki gunung gitu lho. Ah baiklah...ini kan desa wisata. Pemerintahnya hebat kalau begitu.

      "Boleh saya mencobanya bu?"
      "Silahkan, dengan senang hati"

Di ruang dalam bagian belakang saya mencoba alat tenun disudut ruangan. Berusaha mati-matian memasukan benang. Memasukan bambu. Menghitung benang. Dan saya, belum menghasilkan apa-apa dalam waktu 15menit.

Baiklah, ini penjelasan si ibu kepada saya (yang saya catat sekedarnya di handphone jadul saya):

Bahwa benang mesti 880 helai. Dibagi dua untuk atas dan bawah. Pemasangan benang untuk satu kain songket memerlukan waktu 1 minggu. Sekali lagi: 1 Minggu hanya untuk memasang benang! *ngurut kening. Untuk menghasilkan 1 buah kain songket, diperlukan waktu 3 bulan. Untuk 1 selendang songket diperlukan waktu 1 bulan. Luar biasa!

Bagaimana cara menenun? Saya tidak bisa menjelaskannya dengan kata-kata, tetapi saya bisa sarankan jika ingin tahu lebih baik melihat langsung. Keterampilan kaki dan tangan, diiringi dengan kejelian, serta sebuah "alat" yang paling penting selain benang, kayu, bambu, adalah sesuatu yang bernama KESABARAN. Menurut ibu (kenapa ya saya ga menanyakan namanya, nyesel jadinya), bahan baku kain songket adalah sutra, benang mas dan katun. Untuk katun dan sutra bisa didapat di Sumatera, sedangkan benang mas diimport dari India.


Lantas berapa harga satu kain songket Padang? Jutaan! Aha....saya tak heran, sebab sebagai putri daerah dari bumi Sriwijaya, saya sudah terbiasa dengan kain Songket Palembang (melihat, memegang dan pernah punya), dan tahu berapa harganya. Tapi, mengenai bagaimana terciptanya sebuah harga, saya tidak tahu prosesnya! Saya belum pernah datang ke tempat pengrajin songket di kec.Ilir Barat Palembang, tapi kali ini saya datang ke desa pengrajin songket Padang dan melihat langsung cara kerja membuat songket. Wiiiihh....luar biasa ya. Teringat oleh saya, seorang teman ternganga dengan harga 7juta untuk sebuah songket. Saat itu si teman sampai sedikit memaki seolah tak percaya "hanya" sebuah kain kok sampai segitunya. Baiklah, tempatkan makian pada tempatnya ya.

Rumah seni Satu Karya tak hanya mempertunjukkan cara menggunakan alat tenun dan cara menciptakan sebuah karya seni bernama songket, tapi juga menjual beragam hasil kerajinan lainnya. Ada mukena bordir Padang, busana wanita (gamis, kebaya, baju kurung), aneka kerudung, kopiah, dan barang kerajinan kayu (sandal, ukiran, souvenir dll). Saya tertarik pada mukena bordir asli buatan Pande Sikek. Halus. Rapi. Saya mencobanya, terasa nyaman dan adem. Saya mencoba mengingat-ingat dan berhasil teringat, ternyata barang yang sama dijual di Jakarta (butik2 di JKT), harganya 2kali lipat (terakhir beli Ramadhan lalu). Sewaktu balik ke JKT, saya cek dan ternyata barangnya memang sama persis. Jadi, penjual di JKT ambil barang dari sini? Kata si Ibu sih iya. Eh tapi hitung ongkos ke Sumbarnya juga kali yaaaaaaaaaa.....


Di belakang rumah, ada bangunan-bangunan lainnya yang menjadi tempat para pengrajin melakukan pekerjaan menjahit, membordir, menenun dan juga mengukir kayu. Tersedia toilet dan musalla yang digunakan untuk para pekerja dan tamu. Ada kantin kecil untuk minum teh/kopi dan makan penganan hasil kebun. Lahan belakang juga dijadikan kebun. Aneka sayur tertanam di sini, seperti tomat, cabe, kol, sawi dan sayur mayur lainnya. Empang-empang dialiri air dari gunung, tempat ikan dipelihara untuk dijual dan dimakan sendiri.

Tanpa terasa sudah 1jam 24menit saya berada di tempat ini. Bukan hanya sekedar melihat hasil karya tapi juga melihat proses karya itu diciptakan. Saya menyimpan sebuah pelajaran  berharga tentang makna sebuah kesabaran. Harga tinggi untuk sebuah proses, bukan hasil. Ketika hendak pamitan pergi, ibu pemilik Satu Karya berucap pada saya dan yang lainnya: Kalau masih ada yang single, coba cari wanita Pande Sikek ya (maksudnya karna terkenal penyabar). hehe... Baik bu...moga penyabar dalam segala hal :D
Bersama karyawan Satu Karya Pande Sikek
 Ruang tempat para pengrajin bekerja. Gunung Singgalang di latar belakang


Musala di belakang Rumah Pengrajin tenun & ukiran

 Salah satu hasil karya ukiran kayu


 Rumah Pengrajin Tenun Pande Sikek lainnya

Rumah Tenun "Satu Karya" Pande Sikek

Benteng Fort De Kock & Jembatan Limpapeh

Tulisan berikut ini merupakan lanjutan dari cerita sebelumnya --> Rumah China, Jembatan Limpapeh dan Makan Lontong Sayur Pakis (Silahkan di klik)


Benteng Fort De Kock



Saya memasuki obyek Wisata Benteng Fort De Kock seorang diri. Membeli selembar tiket seharga Rp 8000. Dengan satu tiket masuk ini saya bisa mengunjungi dan melihat tiga obyek wisata sekaligus yakni Benteng Fort De Kock, Jembatan Limpapeh, dan Taman Marga Satwa Kinantan. Menarik bukan?

Dipintu masuk, tak ada penjaga karcis yang biasanya bertugas memeriksa tiket masuk. Saya sempat celingak celinguk. Woooh...benar-benar sendirian dan sepi. Gimana kalau ramai ya? Masa iya ga ada yang jaga? Gimana kalau ada yang masuk tanpa tiket? Saya rasa kalau pengunjungnya ramai, mungkin petugasnya baru ada. 




Saya berjalan perlahan, sendiri menapaki taman yang masih sunyi. Jalan setapak yang saya lalui agak menanjak. Di sisi kiri dan kanan jalan setapak terdapat beberapa sangkar burung yang di cat hijau. Dua burung, tiga burung, dan ternyata bukan hanya burung tapi ada beberapa hewan lainnya juga. Semua dalam sangkar. Tak jauh dari pintu masuk, di sebelah kanan jalan yang saya lalui, terdapat beberapa toko penjual souvenir, makanan dan juga minuman ringan. 

Area benteng ditanami banyak pepohonan yang tinggi dan rindang, membuat udara yang memang sejuk jadi kian sejuk. Semilir angin berhembus lembut, membelai wajah saya yang tadi sempat berpeluh kepanasan. Tak perlu berjalan hingga jauh, bangunan benteng sudah terlihat dari jarak 10meter setelah pintu masuk. Sebelum lebih dekat ke bangunan benteng, saya menjumpai sebuah tugu batu berwarna kehitaman yang bertuliskan Benteng Fort De Kock. Saya membaca keterangan yang ada. Tertulis di batu itu bahwa wisata Benteng Fort De Kock diresmikan pada 15 Maret 2003 oleh Walikota Bukittinggi, Drs.H.Djufri. Keterangan lengkap yang tertulis di tugu itu seperti ini:
"Benteng Fort De Kock ini didirikan oleh Kapten Bauer di atas bukit Jirek Negeri Bukittinggi sebagai kubu Pertahanan Pemerintah Hindia Belanda menghadapi perlawanan rakyat dalam Perang Paderi yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol. Ketika itu Baron Hendrick Markus de Kock menjadi Komandan de Roepoen dan wakil Gubernur Jenderal Pemerintah Hindia Belanda. Dari sinilah nama lokasi ini menjadi Benteng Fort De Kock."
Pssst.....saya tidak mencatat tulisan yang tertulis di tugu batu itu dengan menggunakan pulpen dan kertas lho, melainkan dengan cara difoto dari jarak dekat. Berhubung yang tertangkap kamera hanya sepotong-sepotong, jadilah saya memotret tulisan itu sampai beberapa kali. Mulai dari paling atas, sebelah kiri, sebelah kanan hingga paling bawah. Dari foto itulah keterangan lengkapnya saya dapatkan :D
 
Letak benteng Fort De Kock berada di atas bukit. Hmm...ya...memang sebuah lokasi yang strategis sebagai tempat membangun benteng. Bangunan benteng berupa bangunan bertingkat dua dengan ketingian 20m. Saya memperhatikan keramik lantainya. Nampak kusam dan berdebu. Ada sebuah spanduk bertuliskan event seni tari tradisional yang diselenggarakan di lantai dasar benteng. Oh iya, lantai dasar bangunan berupa ruang terbuka (tak berdinding), membuat penampakan benteng ini bak bangunan panggung. Empat sudut benteng dilengkapi dengan meriam dengan ukuran yang berbeda-beda. Menurut hitungan saya, terdapat tujuh meriam yang letaknya terpisah-pisah.*rajin bener ngitungin meriam hihi. Terdapat dua saung kecil untuk duduk-duduk pada salah dua meriam. Letaknya yang berada di bibir bukit membuat siapapun yang duduk bisa melihat pemandangan di bawah.






Jembatan Limpapeh

Di benteng Fort De Kock terdapat salah satu ujung jembatan Limpapeh. Jembatan terkenal ini memang menjadi penghubung antara Benteng dengan Taman Marga Satwa yang ada di seberangnya. Jadi, untuk mencapai taman marga satwa itu mesti melewati jembatan ini. Jika satu jam sebelumnya (sudah saya ceritakan di link ini <-- klik) saya berada di bawah jembatan, maka inilah waktunya saya berada di atas jembatan. Yeaay..horeee....!
 Menuruni lereng, menuju pangkal jembatan Limpapeh

Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, benteng Fort De Kock terletak di atas bukit. Jadi, untuk mencapai pangkal jembatan, saya mesti sedikit turun ke lereng bukit. Di pangkal jembatan terdapat bangunan kecil serupa tempat pembelian karcis (mirip gardu parkir saat kita hendak masuk area mall/perkantoran gitu lho). Gardu itu beratap khas bangunan Minang, ada disisi kiri dan kanan. Saya kira tadinya mesti membeli tiket segala ternyata enggak. Petugasnya juga ga ada kok :D Kosong melompong. Oh iya, jembatannya ternyata berpintu lho. Mungkin saat-saat tertentu jembatan itu tertutup ya. Dan sepertinya jembatan ini memang bukan jembatan umum, melainkan jembatan wisata yang menghubungkan dua obyek wisata bukit tinggi. Sebelumnya saya sempat mengira jembatan ini jembatan umum yang bisa dilalui dengan gratis oleh siapa saja dan untuk kemana saja. Ternyata salah kira.

Saya jeprat jepret. Pingin moto diri sendiri, tapi mau minta tolong siapa? Kebetulan ada dua perempuan lewat, tapi melihat langkah mereka terburu-buru gitu, ga jadi. Tak berapa lama ada pula sepasang keluarga dengan satu anaknya, namun saya kembali urung minta tolong karena melihat sepasang suami istri itu sedang serius mengobrol. Takut mengganggu. Saya celingak celinguk mencari korban berikutnya yang bersedia menjadi fotograper. Aneh kali ya, tegak sendirian, liat sana sini, ga beranjak dari pangkal jembatan, jangan-jangan dikira mau nyari mangsa. Copet? hihi. Ga la yaw.

Gerbang untuk masuk dan melintas di atas jembatan Limpapeh

Tak berapa lama kemudian terlihat seorang bapak dengan anak laki-lakinya datang dari arah seberang jembatan. Bermain-main sambil bercanda. Wah, kayaknya bisa nih. Dan....hore...berhasil juga minta tolong bapak itu untuk moto saya. Lumayaaaaan....sukses jadi Si Manis Jembatan  Limpapeh.

Jembatan Limpapeh ini disebut bertingkat tiga. Menurut saya sih bertingkat satu. Yang disebut orang dengan tingkat satu itu mungkin dasarnya, yaitu jalan raya di bawah jembatan. Lantai dua, mungkin tingkat kedua yang ditandai dengan pembatas di atas jalan raya itu. Tapi disini ga ada jembatan apa-apa. Trus tingkat ketiga, paling atas, yaitu bagian yang ada jembatannya, yang saya pijak saat ini. Nah, menurut saya justru tingkat yang ada jembatannya ini nih tingkat satu. Tapi ya gapapa juga sih mau disebut tingkat satu atau tiga. Ga masalah.


Di atas Jembatan Limpapeh

Hmm berapa ya lebarnya? saya ga ngukur. Dikira-kira saja ya, mungkin sekitar 2,5 meter. Sisi kiri dan kanan jembatan dipasang pagar besi untuk pengaman. Bebungaan dalam pot menjadi penghias sepanjang jembatan. Jembatan terlihat cukup terawat. Tidak kotor, tapi tidak terlalu bersih. Di pangkal jembatan saya sempat melihat ada dua sampah plastik bekas snack. Di tengah jembatan, ada semacam tempat berteduh. Ga besar-besar amat sih, tapi lumayan bisa jadi tempat berlindung dari terik matahari atau hujan yang mungkin turun tak terduga saat menyeberang. Bentuk atapnya masih sama, khas atap bangunan di Minang (gonjong). Sayangnya, saya tidak betah berada di tempat itu, bau! Bukan bau sampah atau bau pipis sih ya (siapa tahu ada yang iseng numpang buang air kecil ya kan?) melainkan bau kotoran burung. Yak, disini ternyata juga menjadi persinggahan burung-burung. Kotorannya yang hitam dan bulat-bulat kecil itu ternyata ga cuma mengganggu hidung, tetapi juga mengganggu pemandangan. Oh tapi apakah ada hubungannya dengan taman marga satwa yang terletak di ujung jembatan? Mari kita cari tahu :D

 Hampir ke tengah jembatan, numpang difoto oleh pengunjung yang melintas

Sebelum mencapai ujung jembatan, saya sejenak berdiri memandang Kota Bukittinggi. Dari sebelah kanan tempat saya datang, nampak atap rumah China menyembul diantara bangunan ruko. Tepat diseberangnya, adalah ruko-ruko dengan beberapa Bank. Salah satunya bank Niaga dengan signboard berwarna merah. Yup, hampir dua jam yang lalu saya berdiri di depan bank itu saat pertama kali melihat jembatan Limpapeh dari bawah. Tempat saya bertemu satpam dan menanyakan jalan menuju Benteng Fort De Kock. Dan, oh iya, perlu diketahui bahwa jalan Achmad Yani dibawah sana merupakan kawasan padat hotel. Tiba-tiba saya merasakan sebuah kebanggaan. Apaan tuh?? Bangga karena kaki imut ini berhasil juga berjalan sejauh lebih dari 2 kilometer :D

Saya mengalihkan pandang ke sisi kiri, bagian lain dari kota Bukittinggi yang belum saya susuri dengan kaki. Kalau dengan mobil sih sudah berulang kali. Pemandangan siang bak pemandangan pagi. Redup dan berkabut. Eh bukan kabut ding, tapi asap. Itu lho, asap kiriman dari Riau yang terjadi karena kebakaran hutan. Huuuuu.....


 Atap orange Rumah China dan bank Niaga di sisi kiri


Bukit di sisi kiri adalah letak benteng Fort De Kock

Dari atas jembatan yang melintas di atas Jalan Achmad Yani ini, saya tak hanya disuguhi pemandangan sebagian kota Bukittinggi, melainkan juga panorama gunung Merapi, gunung Singgalang dan jam Gadang. Jadi, jika berkunjung ke Taman Marga Satwa Kinantan atau Benteng Fort De Kock, cobalah untuk melintas di atas jembatan yang dibangun dengan menggunakan konstruksi baja dan berasitektur atap gonjong khas Minangkabau ini.


 Sudah di ujung jembatan, pintu masuk Taman Marga Satwa di latar belakang





*bersambuuuuuuuuuuuuung.....mau kerja duluuuu. Berikutnya cerita tentang Taman Marga Satwa Kinantan dengan keunikan rumah Gadang Baanjuangnya... 




======= 

Bukittinggi, Sumatera Barat, Indonesia
Selasa, 04 September 2012

Rumah China, Jembatan Limpapeh, Makan lontong sayur pakis

Rumah Cina dan Jembatan Limpapeh


Masih di jalan Achmad Yani Bukittinggi, saya kini berada sekitar 30 meter dari Jembatan Limpapeh. Tanpa saya duga, saya berjumpa sebuah bangunan dengan model atap yang khas, disertai warna keemasan dan kemerahan, juga tulisan berhuruf China. Klenteng.

Inikah kampung Cina yang dimaksud itu? Kampung? Bukan Rumah China? Kalau kampung kan berarti pemukiman. Tapi, orang sekitar yang saya temui mengatakan: "Inilah kampung Cina itu". Hooo...baiklah kalau begitu. Saya mengambil gambar, kemudian pergi. Melanjutkan jalan, lebih dekat ke Jembatan Limpapeh. Saat saya merasa sudah menemukan tempat untuk memotret jembatan, saya berhenti. Tepat di depan Ruko Bank Niaga. Jeprat jepret hingga puas. Lirik kanan mencari seseorang yang lewat, siapa tahu ada yang bisa dimintai tolong untuk memotret. Mata saya menemukan sosok seorang satpam, satpam Bank Niaga. Saya samperi, dan memulai cakap dengan bertanya letak Kebun Binatang. Bukan maksud basa basi, memang saya sedang butuh informasi itu. Seorang laki-laki yang menghampiri pak Satpam, ikut membantu menjelaskan dengan bahasa Indonesia yang lebih mudah untuk saya mengerti. Kenapa? Karena pak Satpam tadi berbicara dalam bahasa Minang yang cukup membuat saya roaming.

 Rumah China, di Jalan Achmad Yani Bukittinggi

Rumah China di foto dari Taman Benteng Fort De Kock

Usai bertanya ini itu bak wisatawan kesasar, saya minta tolong pak satpam untuk mengambil foto diri saya. Mesti gitu? Mesti dong hehe. Setelah 3 kali jepret, akhirnya sesi foto dengan latar belakang Jembatan Limpapeh berakhir. Apa sih bagusnya Jembatan Limpapeh sampe mesti dikunjungi segala? Bagi saya, jembatan ini unik, baik dari segi bangunannya maupun dari fungsinya yang menghubungkan obyek wisata Benteng Fort De Kock dengan Taman Marga Satwa Budaya Kinantan. Yang tak kalah menarik adalah berdiri di atas jembatannya (tingkat ke tiga), lalu mengedarkan pandang sejauh mungkin. 

"Jadi, dekat jembatan ini ga ada jalan pintas menuju Benteng Fort De Kock di atas pak?"
"Ga ada mbak, mesti muter ke sana (sambil menunjuk ke arah Jl. Sudarso))."
"Duh, jauh banget ya pak."
"iya mbak, sekitar 1 kilometer dari sini."

Waduh!!
Hampir lemes saya jadinya.

 Jembatan Limpapeh


Sepi angkot, sepi ojek, ramai hotel

Saya memunggungi jembatan Limpapeh, kembali menyusuri jalan Achmad yani, mengikuti petunjuk arah yang diberikan pak Satpam Bank Niaga. Bagaimanapun saya bertekat untuk mendatangi Benteng Fort De Kock dengan berjalan kaki. Walau saya tahu kaki ini mulai terasa pegalnya. Keringat telah menetes berkali-kali di wajah, membasahi leher, juga baju di badan. Rasanya ingin menelpon driver, minta di jemput dan di antar. Tapi niat itu saya urungkan. Saya masih ingin menguji sampai batas mana saya masih bisa bertahan.

Dalam penglihatan saya, ada begitu banyak penginapan di sepanjang Jl. Achmad Yani. Mulai dari penginapan kelas Melati hingga hotel berbintang lima. Hotel berbintang yang saya jumpai sepanjang perjalanan antara lain hotel Campago, Hotel Rocky, Hotel Pusako, dan Hotel Novotel Hills. Sedang penginapan kelas melati tak dapat saya hafal namanya, sebab cukup banyak hotel di kawasan ini.


Tepat dipertigaan antara Jl.Achmad Yani, Jl.Achmad Karim dan Yos Sudarso, rasa lelah kembali menghinggapi, saya diselimuti keraguan. Sembari mengayun langkah, saya terus berjalan sambil menimbang-nimbang pilihan. Akhirnya saya memilih jalan menuju Novotel Hills, yaitu Jl.Acmad Karim. Dari jarak 50 meter, bangunan hotel sudah nampak di mata. Saya bergegas namun sebuah warung tenda di seberang kanan jalan bertuliskan "Bubur Ayam Padang", seakan hendak menghalangi langkah saya. Pingin makan bubur. Lho? Ha, aneh.

Tapi lagi-lagi saya ragu, teringat lontong sayur pakis yang belum juga saya jumpai. Andaikata saya membeli bubur itu, dipastikan akan kekenyangan. Jika nanti berjumpa lontong sayur pakis, saya tak mampu lagi memakannya. Akhirnya ga jadi berhenti. Saya melanjutkan jalan. Anehnya, keinginan untuk kembali ke hotel jadi pupus. Tepat ketika sudah berada didepan hotel, saya tak jadi menyeberang melainkan berbelok ke kanan, ke Jalan Yos Sudarso. 

Ada banyak penginapan kecil di sekitar Jl. Achmad Yani dan Achmad Karim

 
Akhirnya makan lontong sayur pakis

Dari Jl. Achmad Karim, saya belok kanan,  melintasi Novotel Hills, memasuki jalan Yos Sudarso. Setelah berjalan sekitar 10 meter saya kembali ragu-ragu. Terus atau enggak. Terus atau balik lagi ke hotel. terus atau menelpon driver. Hadeuuuuuh....gimana sih ini??? Haha....ga tau deh, rasanya saya mulai pesimis. Pikir saya lontong sayur pakis itu pasti tak kan dapat saya temui. Apalagi jam di tangan sudah menunjukan pukul 10 siang. Mana ada lagi penjual lontong sayur sesiang ini. Setahu saya lontong sayur itu kan makanan pagi hari, bukan siang hari (bener ga sih? hihi). Ya sudahlah memang belum berjodoh kali. Tapi tadi kenapa pak kusir delman itu bilangnya ada. Katanya dekat. Udah dicari sampe jauh ga ada juga hiks. Ingin sekali rasanya putar balik kebelakang, balik ke hotel. Tapi aneh banget, rasa dihati ingin balik ke hotel tapi dua kaki ini terus saja berjalan ke depan. Haha...ga sinkron banget :p

Saya terus berjalan. Sampai di depan kantor dinas kebersihan kota Bukittinggi, tanpa sengaja saya melihat ada warung kecil. Letaknya persis di depan kantor tersebut, tapi di seberang jalan. Saya menyeberang dan menghampiri warung itu,  dan ternyataaaaa.....menjual lontong sayur pakis. Wuaaaaaah, akhirnyaaaaa!! Berbinar mata ini. Bagai Ayu Ting Ting yang menemukan alamat. Tanpa ragu saya melangkah masuk. Mengambil tempat duduk disamping seorang ibu berpakaian dinas yang sedang menikmati sepiring lontong sayur pakis. Air liur saya bagai hendak menetes. Untungnya bisa ditahan. Saya berucap pada Ibu penjual lontong yang tersenyum memandang saya, "Lontongnya ya bu, satu." Ya iyalah satu, emangnya ada berapa orang yang bersama saya.

Saya menyapa ibu berpakaian dinas, dan dibalas dengan ramah. Sebelum saya melanjutkan kata, sepiring lontong sayur pakis tiba dihadapan. Wiiiiiiiiih.....betapa aliran air liur di mulut bersiap tumpah ruah laksana air terjun. hihi...lebay.

Saya menikmati sayur lontong pakis sesuap demi suap. Lontongnya samalah kayak lontong dimana-mana, yang membedakannya ya sayur pakisnya itu. 

Sembari makan, saya mengajak ibu berpakaian dinas ngobrol (sok kenal). Menanyakan arah jalan menuju Kebun Binatang dan Benteng Fort De Kock. Eh ditanggapi dengan antusias. Lalu tanpa diduga dari mulutnya mengalir banyak informasi yang saya butuhkan. Terpancar kegembiraan diwajahnya, betapa ia senang ada pengunjung luar daerah seperti saya yang tertarik dengan wisata Bukittinggi. Oh tentu saja bu, Bukittinggi kan gudangnya obyek wisata. Beliau meneruskan informasi bernada promosi, mulai dari aneka obyek wisata, hotel, rental kendaraan, hingga info wisata kuliner dan tempat oleh-oleh khas Bukittinggi. Walaupun sebelumnya sudah saya ketahui dari internet, tapi informasi beliau menjadi pelengkap informasi yang sudah saya miliki. Yang membuat saya terkejut adalah harga sewa kendaraan, ternyata saya menyewa kendaraan dengan harga yang kelewat mahal. Selisih 100.000 dari harga normal. Owh. Grrr…… Ingin rasanya protes pada pemilik rental kendaraan yang saya sewa.


Sebelum saya mengusaikan makan lontong sayur pakis, seorang pria asal Bandung datang dengan sepedanya. Ibu penjual lontong dan ibu berpakaian dinas nampak mengenalnya. Mereka terlibat pembicaraan seputar dagangan sepatu produksi Cibaduyut. Selembar brosur bergambar aneka sepatu, jadi rebutan. Ibu-ibu penggemar belanja. Yeah..! Saya memilih lekas membayar lontong, dan mengambil dua cup air mineral kemasan. Bermaksud membalas jasa, saya mentraktir si ibu berpakaian dinas. Eh ditolak. Saya memaksa. Akhirnya beliau bersedia dan sebagai ganti sudah ditraktir, si ibu bersedia mengantarkan saya ke Benteng Fort De Kock. Lho, ga habis-habis dong nanti kalau berbalas kebaikan terus. Sebelum meninggalkan warung, saya menyempatkan berfoto bersama mereka. Dan semua bersedia. Lumayan, ada bukti cerita.

Diantar ke Benteng Fort De Kock

Saya dan ibu berpakaian dinas berjalan bersisian di trotoar, sembari ngobrol. Beliau menanyakan saya dalam rangka apa ke Bukittinggi. Saya jawab, dalam rangka jalan-jalan sambil kerja (rada ngasal hihi). Kami melewati hotel berbintang sekelas Novotel Hill, yaitu Hotel Rocky. Sekitar 50m dari hotel Rocky, Benteng Fort De Kock mulai terlihat. Si ibu mengantar saya hanya sampai di pertigaan jalan. Saya mengucap terima kasih padanya. Untuk kenang-kenangan, saya memotretnya. Lho, mestinya diberi souvenir Jakarte dong. Ga ada, ga bawa tau :p

Inginnya sih berfoto berdua, tapi tak ada siapapun saat itu. Eh tiba-tiba dari rumah kosong di pertigaan itu, muncul seorang pria sedang bersih-bersih sampah. Saya mau minta tolong dia, eh tapi tangannya sedang kotor banget :D Ga jadi deh. Bukan jijik, tapi kayaknya sedang ga memungkinkan kalo dia mesti memegang kamera dengan tangan berlumur kotoran gitu. Ya sudah akhirnya aku moto sendiri (moto si ibu tanpa saya). Usai berfoto, kami saling berpamitan. Saya menyalaminya sambil menanyakan namanya, ternyata beliau bernama Si'ir. Dan di sini, saya abadikan gambarnya.
Ibu Si'ir dengan latar belakang Hotel Rocky

Ibu Si'ir balik badan, kembali ke kantornya. Saya memandanginya dan melambaikan tangan pada wanita baik hati itu. Lalu saya pun memutar badan, berjalan ke arah Benteng Fort De Kock yang berjarak sekitar 15 meter dari tempat saya berpisah dengan bu Si'ir. Di sebelah kiri, di seberang jalan, ada hotel di lereng bukit, namanya Hotel Campago. Ini adalah hotel yang tidak jadi saya tempati. Jadi begini, sebelum tiba di Sumbar, saya telah mengecek beberapa hotel di Bukittinggi dan salah satunya hotel Campago. Menurut keterangan, hotel ini berbintang tiga dan terbilang kecil dibanding hotel yang saya tempati. Sebenernya bukan soal kecilnya tapi tempat meetingnya kan di Novotel Hills, jadi cukup jauh kalo nginepnya di Campago. Lokasi Hotel Campago ternyata strategis. Letaknya di lereng, dekat Benteng, dan memiliki view yang cukup indah. Panorama bukit dan gunung dikejauhan, juga kota Bukittingi tampak atas.

Hotel Campago



Saya meneruskan langkah. Bersiap memasuki 3 obyek wisata sekaligus.


Ceritanya saya lanjutkan pada tulisan berikutnya : Benteng Fort De Kock, Di atas Jembatan Limpapeh, dan Taman Marga Satwa Kinantan





======= 

Bukittinggi, Sumatera Barat, Indonesia
Selasa, 04 September 2012