Selamat Jalan Nita

Yusnita Febri
Wafat Selasa 15 Nopember 2011


KEMATIAN itu, adalah asing kawan sekamar, Tuan

Kita mengenal dia, seperti dia juga mengenal kita
Meski dengannya kita tak ingin saling berbincang

Dia tak bicara, sedangkan kita kerapkali lupa. 

Kematian itu, Tuan, adalah perangkat lunak
Terakit dia ada, sejak awal kehidupan kita

Tuan, kematian itu, adalah panggilan telepon,
yang kita ingin sekali bisa menjawab dengan:
Maaf, Anda sebenarnya mau bicara pada siapa?

Kematian itu, Tuan, diam saja di sudut ruang
Ketika kita berdiri di tengah terang panggung
menjelaskan tentang hidup yang kita hidupkan

Dia tak bertanya. Dia tak acungkan tangannya

Dia tahu kapan kepadanya kita menjawab: Ya!


[Puisi Hasan Aspahani]





Fishing Valley bukan sekedar tempat memancing

Fishing Valley adalah salah satu tempat memancing terbaik di Bogor (demikian FV mengklaim dirinya). Tak begitu sulit mencapai lokasinya karena berada tak jauh dari kawasan Pemda Bogor. Bagi yang tak paham kawasan ini, bisa langsung telp ke kantor Fishing Valley, ada mbak-mbak yang siap memberikan petunjuk dan arah.

Datang ke tempat ini, kita bukan semata memancing lalu pulang dengan ikan hasil pancingan. Tetapi, juga bisa bermain, makan, dan melakukan kegiatan outbond. Bagi anda yang membawa keluarga dan anak-anak, terdapat playground untuk bermain, sehingga anak-anak tidak bosan menunggui orangtuanya memancing. Ada permainan air berupa perahu air dan balon air seharga 15ribu untuk 20menit. Ada kuda juga bagi yang ingin menunggang kuda.

Kata orang, ada peraturan tak tertulis bahwa tamu yang berkunjung kesini, mesti makan dulu (di restoran), baru boleh mancing. (padahal tertulis lho hehe). Kalo aku, karena nyampe sana selalu siang, jadi kalo dateng memang langsung makan dulu, abis itu baru mancing. Kita tinggal pilih tempat makan, mau di restorannya, atau di saung-saung di atas kolam ikan. Jika ingin makan di atas kolam, jangan harap bisa dapat dengan mudah, karena saung-saung tersebut telah dipesan sebelumnya oleh pengunjung lainnya.

Tapi tak masalah, karena tempat memancing yang nyaman banyak tersedia. Jadi kita bisa makan dulu di restoran, setelah itu baru cari tempat. Dan...silahkan nikmati sedapnya masakan sunda restoran Fishing Valley di atas kolam ikan yang luas.

Di tempat ini tersedia musala untuk menunaikan salat. Tersedia pula pancing bagi pemancing yang tidak membawa pancing. Untuk pancing biasa harganya Rp 15.000/pancing. Ada juga pelet ikan seharga Rp 2000/kantong. Dan bagi yang belum berpengalaman memancing, masang pelet, dan melepaskan ikan dari pancing, ada adik-adik kecil yang disediakan untuk membantu kita selama memancing. Mereka betul-betul membantu, mulai dari memasang pelet ke pancing, melerai tali pancing yang kusut, melepaskan ikan dari pancingan, hingga membelikan pelet yang habis. Tapi tentu saja, kita harus murah hati memberi mereka tips.

Mancing disini GRATIS! Yang bayar itu ikan hasil pancingannya. Nanti ditimbang. Untuk ikan mujair, bawal, patin, harganya Rp 30.000/Kg. Ikan mas Rp 40.000/kg.

Suasana memancing ga kayak kuburan yang sunyi sepi, di salah satu saung di atas kolam, ada hiburan live dengan lagu apa saja bisa dinyanyikan oleh penyanyinya. Atau kalau berminat untuk bernyanyi sambil mancing, silahkan saja. Tapi bayar :p hehe

Tempatnya asyik lah ya. Ga membosankan. Aku seringnya baru berhenti menjelang adzan Magrib hehehe.... Pulang paling bawa ikan sebanyak 3Kg. Ikannya cmapur-campur. Ada yang besar (bawal), dan ada yang kecil-kecil (ikan mas dan mujair). Lumayanlah daripada lumanyun...
Yang penting puas dan hatipun happy....

* * * * * * *

Fishing Valley
The Biggest Recreational Fishing Venue in Bogor
& one of The Best Traditional Indonesian Restaurant in Bogor
ONLY 1 HOUR FROM JAKARTA !
Jl. Pemda Raya No. 107, Bogor , Indonesia
0251 - 8662 808 / 0251 - 7141 606 / 0251 - 8658 722
0251 - 9577 556 / 0817 903 4198
www.fishingvalley.net















Hanya Topi Di Pantai Kuta Bali


Assalamu'alaikum Wr Wb,

Hampir 2 jam lewat dari puncaknya siang. Panas bukan main. Sinar matahari seperti menusuk-nusuk kulit. Perih rasanya. Meskipun begitu, kami tetap ingin berkunjung ke Pantai Kuta. Saya mengira, jika cuacanya seterik ini, pasti tak banyak wisatawan bermain-main di pantai. Siapa yang sudi tersengat matahari?

Ah, rupanya saya salah duga. Pantai Kuta tetap ramai oleh wisatawan. Siapa bilang mereka tak sudi? Itu di sana, turis-turis asing justru asyik memanggang diri. Pria dan wanita, tak ada bedanya. Sementara, di laut sana, di antara ombak-ombak yang menderu, para penggemar olah raga surfing terlihat menggila.

Mana penampakan turis-turis asingnya? Nun jauh di dekat pohon-pohon itu :D

Pak supir memilihkan arah untuk kami, ke tempat yang lebih sepi. Mungkin ia mengerti saya tak senang dengan pemandangan pantai yang tak pantas untuk kami lihat. Kami menyingkir dari keramaian, tapi terlalu jauh, sebab sisi lain yang kami tuju ternyata bak pantai kesepian. 

Ke Pantai Kuta, kami memang tak berniat untuk bermain air. Sekedar melihat, itu saja. Sayapun tak menyiapkan kostum khusus pantai, hanya memakai gamis seadanya. Jadi, coba bayangkan keadaan saya yang tertutup rapat, dibungkus gamis dan jilbab, akan nampak salah kostum dan jadi korban cuaca. Ah, keliru itu. Saya nyaman saja kok berpakain begini. Justru saya terlindung dari pancaran sinar matahari yang garang itu. Eh tapi, coba intip sandal di kaki saya....wedges! Oke, saltum.

Sepi

Sebelum menjejak pasir-pasir di pantai, kami menuju kios-kios di sekitar pantai. Melihat jualan topi. Sebuah topi menarik hati, warnanya putih, bahannya wol. Topinya terlihat kaku, padahal lembut jika dipegang. Bahkan bisa ditekuk-tekuk sesuka hati. Penjualnya memberi harga Rp 70ribu. Saya menawar 25ribu. Gila!

Pak supir telah berpesan pada saya, katanya kalau mau belanja, tawarlah separuhnya. Sebab penjual di pantai, biasanya menaikkan harga hingga 2x lipat dari harga semestinya. Ingat pesan itu, maka saya praktekkan. Tapi saya menyebut 25ribu, bukan 35ribu. Jelas-jelas penjualnya menolak. Ya sudah, ga jadi. Saya berlalu. Eeeeeh...baru mau membalikkan badan, saya dipanggil lagi.

Ini bagian dari "pagar' Pantai Kuta

"Ini mbak, mau berapa?" kata si ibu sambil mengulurkan topi yang saya incar.

Saya terdiam. Menatap tak percaya.

"Udah, ini ambil, 30ribu saja."

Saya bergegas menjawab dengan mata berbinar.

"Oh, iya, 1 saja bu. Terima kasih."

Akhirnya, topi itu saya miliki dengan senang hati. Langsung saya kenakan saat itu juga. Saya pakai untuk berjalan-jalan di pantai. 

Jinak-jinak Merpati

Sepotong batang kayu, tergeletak bisu di atas pasir. Di dekatnya, seekor burung jinak-jinak merpati. Saya seperti menangkap angin ketika berusaha mendekatinya. Maksud hati ingin berfoto bareng dengan si burung, sambil duduk di atas kayu, berlatar belakang laut biru, langit biru, awan putih cemerlang....namun apa daya, itu hanya tinggal harapan. Jadi, di mana saya ingin bergaya?

Ada perahu-perahu di pantai. Berjejer rapi. Manis dilihat. Jadi, disitulah saya berpose. Kepanasan. Demi menuntaskan hasrat model tak kesampaian. Arrgh....

Birunya selaras 

Menurut cerita pak supir, pantai ini dulunya terbuka untuk umum. Siapapun dan jam berapapun, orang bisa memasuki area pantai sesuka hati. Perbuatan mesum kerap terjadi di pantai. Bukan itu saja, Pantai Kuta yang ketenarannya begitu mendunia itu, keindahannya seakan telah punah oleh banyaknya sampah. Konon kabarnya, sampai di Pantai Kuta mencapai 7 ton dalam sehari. Ulah siapa? 

Makanya, oleh pemda setempat, Pantai Kuta di "pagar". Pagar sungguhan, berupa tembok panjang (entah berapa panjang). Pintu-pintu di pagar itu dikunci pada jam-jam tertentu (jam malam pastinya). 

Sebuah tugu, dengan tulisan dalam huruf (huruf Jawa kali ya)
Bagian dari "pagar" Pantai Kuta juga

Sebuah hotel di tepi Pantai Kuta

Saat itu, saya melihat kondisi Pantai Kuta bersih dan rapi. Tak ada sampah seperti yang diceritakan. Keindahan pantainya memang terlihat. Namun entah kenapa, buat saya seperti tak ada sesuatu yang spesial. Atau mungkin saat itu saya tak bisa benar-benar menikmati pantainya karena sedang dilanda gerah dan panas yang dahsyat? Bisa jadi. Mungkin cuaca telah membuat saya malas menemukan 'hidden beauty' si Pantai Kuta. 

Lalu, apa yang spesial dari Pantai Kuta?
Topi. Topi putih kebanggaan....yang dikemudian hari selalu saya bawa-bawa kemanapun saya berwisata.

Topi kenangan dari Pantai Kuta

Ground Zero Bali

Monumen Bom Bali

Matahari terasa begitu cepat meninggi dan kawasan Kuta begitu macet di pagi hari. Senin pagi jalanan tak sepi. Ah ya tentu saja tiada sepi menghampiri kawasan yang padat pengunjung ini. Lalu, akan kemanakah kami di hari ke sekian berada di Bali ini? Menyusuri Legian dan Kuta.

Rasanya, naik mobil hanya akan membuang-buang waktu. Macetnya bikin lelah. Kami memilih jalan kaki, menyusuri Legian. Menikmati pajangan aneka barang-barang kerajinan bernilai seni dalam etalase yang jernih. Sepanjang jalan yang kami susuri, hanya ada bule, dan bule. Keberadaan mereka sangat mendominasi. 

Ini Kuta. Ini Legian! Mencari apa dengan menyusuri kawasan penuh discotheque dan bar ini? Apakah resto dengan tanpa ”pork” dalam sajian nikmat menggugah selera? Oh tidak, itu tak mudah. Ataukah kafe yang sepi dengan traditional food khas Indonesia? Bubur ayam misalnya? Atau nasi uduk? Oh…sebaiknya lupakan itu. 



Toko pernak pernik & atribut suku Indian



 


Bule di Bali, ga heran


 Mas'e :D

ga ada hingar bingar, soalnya siang

Di sebuah pertigaan terkenal di Legian, tempat kejadian terkenal di pulau yang terkenal, adalah monumen Bom Bali. Kami ke sana. Bergabung dengan pengunjung lain yang semuanya adalah turis asing. Sendirian sebagai perempuan pribumi, dengan identitas muslim yang sangat nyata. Dua dan tiga dari turis itu menoleh, barangkali bertanya dalam hati : "emang ada sodara lu jadi korban bom bali?"


Di sisi kiri, di seberang monumen tersebut ada lahan kosong yang dijadikan tempat parkir kendaraan. Lahan kosong itu ternyata dulunya adalah letak bangunan Padi’s Caffe yang luluh lantak di bom pada tahun 2004. Menurut keterangan supir kami, bom-nya sih tidak meledak di Padi's Caffe, melainkan di tengah jalan di antara monumen dan bekas bangunan yang kini jadi tempat parkir tersebut. Bekas ledakannya sendiri bahkan ditandai dengan lingkaran.


Di antara kendaraan yang ramai lalu lalang, aku melihat tanda lingkaran yang dimaksud. Tanda itu berupa susunan semacam batu (atau keramik?) yang dibentuk melingkar dan sama rata dengan aspal jalan. 


Nama-nama korban bom Bali 1


Di Monumen Bom Bali, tertera nama-nama korban yang di kelompokan berdasarkan negara asalnya seperti Australia, Selandia, Selandia Baru, Denmark, Yunani, Inggris, Swedia, Portugis, Brazil, Italia, Jerman, Prancis, Amerika, Equador, Tunisia, Jepang, Polandia, dan juga dari Indonesia. Ada 2 negara lagi yang aku tidak aku ingat. Nama-nama tersebut sempat kufoto, namun di foto tulisannya tak jelas terbaca. Dari sekian banyak korban meninggal, korban dari Australia yang paling banyak. 

Kebanyakan pengunjung asing itu tak sekedar melihat tetapi juga berdoa, termasuk sepasang suami istri yang kuperkirakan telah berusia lebih dari 50 tahun. Aku sempat bertanya apakah di antara nama-nama itu ada keluarganya? Katanya tidak ada, tapi tadi katanya mereka berdoa untuk korban yang berasal dari negaranya, yaitu Inggris.



Turut berduka untuk para korban

Lantas, aku melakukan apa di sini?
Membaca nama-nama korban dan asal negaranya, sembari bertanya, "Manusia seperti apa yang mengatasnamakan Jihad dengan cara membunuh dan mengebom membabi buta seperti itu?"

Islam tidak mengajarkan itu.


Bali, 2011
Katerina


[Bali] Sunset indah di Tanah Lot

[Bali] Sunset indah di Tanah Lot

Bali, 18 September 2011

Kami memunggungi Kuta menuju Tanah Lot dengan waktu kurang dari 40menit. Obyek wisata yang dituju kali ini terletak di desa Beraban Kecamatan Kediri Kabupaten Tabanan, sebuah tempat yang terkenal dengan panorama alam saat matahari tenggelam. Mobil yang membawa kami mencoba berkelebat cepat agar tiba sebelum matahari tenggelam. Dan, aku sungguh berterima kasih kepada Pak Arya, supir sekaligus guide kami, yang membawaku tiba 30 menit sebelum sang surya beranjak masuk ke peraduannya.
Kami membayar entrance ticket seharga Rp 7.500,-/ orang, dan Rp 5.000,- / kendaraan. Terbilang sangat murah, namun meskipun demikian bukan berarti tempat wisata ini tidak dikelola secara professional. Lihatlah fasilitasnya, tersedia area parkir yang luas, public toilet, art shop, restoran, hotel, open stage, tourist information centre, serta fasilitas security dan safety. Bahkan biaya masuk tersebut sudah mengcover asuransi untuk pengunjung dan kendaraan.
 

Dari tempat parkir, kami berjalan kurang lebih 10 meter ke arah pantai. Berbelok ke kanan, mencari celah di antara pengunjung yang ramai. Wisatawan mancanegara mendominasi obyek wisata yang sore itu berlangit cerah. Kilau cahaya matahari senja, membuatku melindungi mata dengan kacamata hitam, membuat langit senja nampak kehitaman di balik kaca mataku. Di antara padatnya pengunjung, kami tak sempat bertanya di sebelah manakah letak Pura Tanah Lot berada. Hanya mengikuti langkah kaki yang terus membawaku ke sisi kanan, entah ke arah mata angin yang mana.
Senja menyapa dengan mesra. Di antara gelayut awan yang tipis, pandanganku tertuju ke laut biru nan luas. Terlihat begitu jelas sebuah Pura nangkring dengan begitu cantiknya di atas laut. Bebatuan yang menghubungkannya dengan tepian, berlubang di tengahnya. Saat itu aku belum tahu apa nama Pura tersebut.
Siapakah yang tak terpesona kala melihat langit kemerahan melingkupi Pura ketika matahari terbenam? Deburan ombak yang menghantam karang, panorama yang romantis, dan laut biru yang dalam adalah keindahan yang tersaji di Tanah lot. Selain Pura Tanah Lot, di sini terdapat tujuh pura lainnya, yaitu Pura Batu Bolong, Pura Penataran, Pura Jero Kandang, Pura Enjung Galuh, Pura Batu Mejan, Pura Luhur Pekendungan, dan Pura Hyang Api. Yang terkenal adalah Pura Tanah Lot, yang berdiri tegak di atas pulau kecil di tengah laut pantai selatan Bali. Menurut cerita guideku, pura tersebut di jaga oleh ular-ular sakti. Tapi ternyata senja itu, angin membawaku bukan ke pura Tanah Lot, tapi Pura Batu Bolong!
Aku meneruskan langkah, menuju sunset terrace. Mengikuti orang-orang yang berjalan di depanku. Lalu berhenti di depan sebuah gapura yang bertuliskan : Pura Batu Bolong. Oh..inikah pura yang terkenal itu? 
Sebelum melangkah masuk ke Pura Batu Bolong, sejenak aku menoleh ke arah penjual barang-barang kesenian khas Bali yang ada di depan  pintu masuk pura. Ada berbagai macam barang yang dijual seperti baju, sarung/ kain topi, sandal, pernak-pernik/ perhiasan, lukisan, patung dan barang lainnya dengan style bali. Aku belum terpikir untuk membeli apapun. 
Untuk menuju Pura Batu Bolong aku meniti semacam jembatan dari batu yang menghubungkan tepian dengan Pura di atas laut tersebut. Pura yang terletak di atas batu yang menjorok ke laut ini berlubang di tengahnya, dan aku berdiri di atasnya. Terlihat begitu unik. Tadi sewaktu di lihat dari kejauhan, seolah bolongnya itu di sengaja. Padahal terbentuk dengan sendirinya oleh alam. Menurut cerita para pemuda Bali yang kebetulan berada tak jauh dariku, Pura batu bolong merupakan tempat untuk memuja/memohon kepada tuhan untuk kesucian. Pura ini juga merupakan tempat yang sering digunakan untuk menggelar upacara melasti.

Langit di Tanah Lot terus berubah kemerahan. Bulatannya tampak makin utuh seiring dengan cahayanya kian meredup. Terlihat sungguh cantik di balik indahnya siluet pura. Debur ombak yang berkejaran menghantam bebatuan, memberi pesona lain untuk indra pendengaranku. Sungguh eksotis!


Aku masih merenda sabar yang berseling debar kala menantikan sunset berada di balik bayangan Pura Batu Bolong. Cuaca yang bersahabat seakan ikut mengijinkanku untuk menyaksikan pemandangan sunset yang spektakuler. Langit yang memerah, cahayanya tumpah ruah ke laut. Keduanya indah laksana lukisan alam yang bernilai seni tinggi. Meskipun aku tak dapat menikmati pagelaran Tari Kecak yang di pentaskan di Surya Mandala tiap matahari tenggelam, namun penantian untuk menyaksikan prosesi kembalinya sang surya ke peraduan, lebih menarik minatku. 

Tari Kecak adalah tari khas tradisional Bali yang menceritakan legenda klasik Ramayana. Legenda dari India ini menceritakan kisah cinta Rama dan Shinta, roman cinta yang mirip kisah Romeo dan Juliet. Dengan latar belakang matahari tenggelam, ritmik gerak penarinya melahirkan siluet yang menarik. Selama gerak itu pula, suara akapela dari puluhan penari bertelanjang dada terus menggema. "Cak...cak...cak…” Ah, dua kali tari Kecak terlewatkan olehku. Pertama sewaktu di Uluwatu, kedua di Tanah Lot ini.
Di depan Pura aku duduk menata hati sembari memandang langit dan laut yang bertaut. Para wanita, pria, dan beberapa anak-anak duduk dalam hening. Berjejer rapi tanpa suara. Semua mata tertuju ke kaki langit. Hanya sesekali terdengar suara pelan mereka yang sedang berfoto, saling memberi aba-aba untuk berpose. Ratusan kamera menuju ke satu arah. Ke matahari bulat yang memerah saga. Masya Allah, begitu magis kesan yang diberikan oleh sunset berlatar Pura di Tanah Lot ini.



Keindahan sunset di Tanah Lot, sungguh menjadi daya tarik yang luar biasa. Debur ombaknya gagah tanpa henti. Suasana puranya tenang dan hening. Aku tak ingin kehilangan moment demi moment yang begitu menghanyutkan itu. Dengan mereka, dengan waktu, dengan rasa, aku menuliskan cita dan cinta. Melangitkan doa ke angkasa. Mengirimnya sejauh kaki langit yang entah dimana, juga ke palung-palung samudera yang tak pernah terselami. Teringat pada orang-orang yang dipilihkanNya untuk berada di hidupku. Seperti senja, begitu pula aku ingin, bersama-sama dalam keindahan, dalam kehangatan, hingga hidup berada pada senja usia, lalu kembali ke peraduan yang tidak abadi.
Aku harus mengatakan apa dan pada siapa tentang senja yang dramatis ini? Padaku sendiri saja. Lalu ku guratkan filosofi warnanya di kisi-kisi hati. Tentang perpaduan merah, orange, putih, dan kuning yang begitu dominan. Warna merahnya adalah seperti hati yang sedang diliputi rasa bahagia. Mewakili perasaan yang menggebu-gebu (seperti perasaan kita (?) ), juga sebagai symbol sebuah kehangatan.  Sedang orange, adalah simbol yang mewakili perasaan friendly. Ketika perasaan itu tumbuh maka suatu hubungan yang terjalin begitu akrab dan erat. Putih pada langit senja yang membawa rasa nyaman, memberikan kesan sesuatu yang tulus. Seperti perasaanmu (kamu?) yang tumbuh dari rasa ketulusan, kemurnian, kesucian, atau bahkan sebuah pengabdian. Lalu kuning, sebagai sebuah "kemenangan", kemenangan atas hati. Perlambang 'kebanggaan', juga sebuah "kemewahan". Dengan kuning, sebagai sebuah perasaan yang sangat luar biasa, bersamanya akan merasa 'berbangga' diri, merasakan sebuah kemenangan merebut hati, merasa mewah memilikinya. Sungguh senja, dengan warna-warnanya yang indah, adalah warna-warna yang mewakili sebuah perasaan hati. Begitu dengan senja, begitu dengan ku. Adalah kita sama. 




Seolah di beri aba-aba, aku, teman-temanku, dan semua orang yang tadi duduk menjuntaikan kaki di bibir jembatan batu, beranjak berdiri lalu pergi. Satu-satu meninggalkan pura Batu Bolong yang mulai gelap. Kami mengayun langkah dalam irama yang sama. Menundukan wajah yang mengguratkan cerita tanpa suara, tentang kesan tak terlupakan, kala senja di Tanah Lot.
Di pintu masuk Pura, sebelum aku benar-benar keluar, sempat ku tolehkan wajahku ke belakang, ke Pura yang terlarang untuk di masuki. Aku mencatat di hati, bahwa suatu hari mungkin akan kembali lagi ke tempat ini....
Sajak pun terlahir disini.
Matahari, kembalilah cinta……
Walau mega-mega menenggelamkanmu pada wajah bumi yang menggulita
Sesayat pedih merenggut ceria, mencipta sedih sukma akan perpisahan pada siang
Tapi aku tahu kau akan kembali untuk memberiku sihir bahagia
Sebab doaku telah menembus aras langit pintakan segalanya
Di senja ini, kita bersama-sama menyeberangi jembatan lintasan rindu
mengantungi misteri yang kita agungkan, juga yang kita jaga baik-baik
Hari ini dan esok, ada langgam elok dalam hari-hari kita

-Katerina-
[Bali] Istana Tampak Siring & Pura Tirta Empul

[Bali] Istana Tampak Siring & Pura Tirta Empul




Sore itu derai hujan mengguyur Gianyar. Cuaca yang dingin membuat saya mengantuk. Namun perjalanan dari Kintamani menuju Tampak Siring tetap dilanjutkan. Alhamdulillah tak makan waktu lama karena jaraknya tak terlalu jauh. Kantuk saya hilang ketika supir mengatakan bahwa kami telah tiba di Pura Tirta Empul, tempat yang menjadi agenda wisata terakhir di hari itu.
Desa Tampak Siring adalah sebuah desa yang terletak di kabupaten Gianyar, 36 km dari Denpasar Bali. Terdapat Pura Tirta Empul yang merupakan peninggalan Kerajaan di Bali, sekaligus merupakan salah satu dari beberapa peninggalan purbakala yang menarik untuk disaksikan dan diketahui di desa ini. Disebelah Barat Pura terdapat Istana Presiden yang dibangun pada masa pemerintahan Presiden Soekarno. Istana tersebut berada pada sebuah ketinggian.
Ketika tiba, Pura Tirta Empul masih dalam keadaan ramai oleh pengunjung. Padahal saat itu hari sudah menunjukan pukul 5 sore waktu setempat. Tiket pengunjung hanya Rp 15.000/orang dan kendaraan Rp 5000/mobil. Area parkirnya luas. Terlihat bis-bis wisata, kendaraan travel dan kendaraan pribadi memadati area parkir. Di pintu masuk terdapat anak-anak yang menyewakan payung. Seorang gadis kecil menawarkan sewa payung seharga Rp 5000 kepada saya, dan saya mengambilnya.
Gerimis yang turun cukup merepotkan karena saya mesti memegang payung, tas kamera dan tas pribadi, sehingga menyulitkan untuk mengambil gambar patung Dewa Brahma yang ada dibagian depan. Beberapa turis mancanegara tak henti-henti berpose di bawah patung tersebut, membuat saya mesti bersabar menunggu sampai benar-benar sepi. Memang tak bisa benar-benar sepi karena pengunjung terus datang dan pergi.
Tak jauh dari Patung Brahma, terdapat sebuah bangunan tempat beristirahat, semacam saung terbuka yang terletak di atas air. Lebih mirip kolam sebenarnya. Adem dan tenang rasanya duduk di situ. Tapi saya tak berlama-lama karena sejurus kemudian saya segera pindah dan melangkah menuju Pura Tirta Empul. Saya masuk lewat sebuah gapura kecil. Di sisi luar bagian kanan terdapat pohon tua yang tinggi dan rindang. Bau kemenyan menyeruak hidung. Terlihat banyak sajen di bawah pohon berusia ratusan tahun tersebut. Namun saya segera berlalu, bergegas memasuki gapura.
Kompleks Candi memiliki tiga Courtyard yaitu Jaba Pura (halaman muka), Jaba tengah (halaman tengah), dan Jeroan (bagian dalam). Pada Jabe Tengah terdapat dua buah kolam persegi empat panjang, dan kolam tersebut mempunyai 30 buah pancuran yang berderet dari timur ke barat menghadap ke selatan. Masing-masing pancuran itu menurut tradisi mempunyai nama tersendiri, diantaranya pancuran pengelukatan, pebersihan sidamala, dan pancuran cetik (racun).


Di halaman depan terdapat kolam ikan yang jernih dengan suara air yang memancur seakan menjadi sambutan yang menentramkan ketika saya masuk. Di tepi kolam para turis berjejer melihat kerumunan ikan koi berukuran besar-besar yang sedang berebutan memakan makanan yang diberikan pengunjung. Di sisi kiri kolam terdapat kios-kios penjual souvenir khas Bali. Di situ pulalah saya disambut mas Wayan Remi, seorang guide di Pura Tirta Empul. Sikap dan sapanya yang ramah, membuat saya bersedia untuk di guide. Sejak pertama mas Wayan ini berbicara dalam bahasa Inggris kepada saya, dan sempat mengira saya turis dari Malaysia dan Brunei hihihi... perkiraan yang salah.
Ke arah belakang kompleks (bagian dalam) adalah sebuah kawasan dengan banyak kuil paviliun. Mas Wayan Remi meminta saya untuk mengenakan pakaian suci sebelum masuk Pura, yaitu berupa sarung dan selendang yang dililitkan di pinggang. Tak lupa dengan satu bunga kamboja yang dipetiknya langsung dari pohon. Meskipun bunga itu tak mesti, tapi saya tetap mengambilnya lalu menyelipkannya di kerudung yang saya kenakan. Tralala....mirip putri Bali yang jelita
Di bagian tengah halaman ada kolam renang yang airnya dipancurkan dari mata air suci. Oleh masyarakat Bali, air suci Tirta Empul dijadikan untuk melukat. Banyak wisatawan yang berkunjung tertarik untuk ikut melukat. Mereka yang hendak mandi biasanya membuat persembahan sebelum mandi, kemudian baru dilanjutkan dengan berdoa. Menurut keyakinan mereka bahwa air suci tersebut dapat memurnikan pikiran dan tubuh, dan dapat menyembuhkan penyakit.
Saya mendengarkan penjelasan mas Wayan dengan seksama. Bagaimanapun, semua yang dijelaskannya adalah berdasarkan kepercayaan yang dia punya. Saya tetap memberikan senyum dan berterima kasih atas apa yang disampaikannya. Tak jauh dari saya, guide-guide lain juga sedang menyampaikan hal yang sama kepada turis-turis asing yang datang. Lalu beberapa dari turis mancanegara itu pergi mandi ke air suci. Di pemandian terlihat ramai. Padahal cuaca di petang itu sangat dingin. Tawaran untuk mandi saya tolak dengan halus dan meminta untuk berkeliling saja.
Sebelum masuk Pura, sejenak saya menoleh ke sisi kiri dari bangunan Pura. Ada tangga tinggi menuju bangunan di atasnya. Itulah Istana Presiden. Sayang pintu masuknya terkunci. Menurut mas Wayan, penguncian itu dimulai sejak terjadinya Bom Bali. Hmm...apa hubungannya ya? Entahlah. Tapi saya menyempatkan berfoto di tangga tersebut.
Saya masih memandang ke istana dan melihat puncak bangunannya yang kokoh. Di sekelilingnya rumput hijau tertata begitu rapi dan bersih. Dari suatu sudut, saya berpose dengan gaya penari tarian Bali, dan moment itu diabadikan dalam sebuah foto. Oh ya pose menari itu di ajarkan secara kilat oleh mas Wayan yang ternyata mengaku bahwa dirinya adalah seorang penari. Tapi tentunya beliau hanya mengajarkan dengan memberi contoh, tanpa menyentuh. Perlu waktu 10 menit untuk mendapatkan gerak tangan yang melentik dan kaki yang menyeimbangkan badan yang merendah. Setelah pas, baru di foto...jadi juga deh.
Di pintu masuk Pura tertulis “Ngranjing” yang artinya silahkan masuk. Dari situlah mas Wayan memulai cerita tentang sejarah Pura Tirta Empul.
Secara etimologi bahwa Tirta Empul artinya air yang menyembur keluar dari tanah. Maka Tirta Empul artinya adalah air suci yang menyembur keluar dari tanah. Dari nama mata air inilah nama Tirta Empul dijadikan sebagai nama Pura. Air Tirta Empul mengalir ke sungai Pakerisan. Sepanjang aliran sungai ini terdapat beberapa peninggalan purbakala. Pendirian pura ini diperkirakan pada tahun 960 A.D. pada jaman Raja Chandra Bhayasingha dari Dinasti Warmadewa. Seperti biasa pura–pura di Bali, pura ini dibagi atas Tiga bagian yang merupakan Jaba Pura (Halaman Muka), Jaba Tengah (Halaman Tengah) dan Jeroan (Halaman Dalam). Pada Jaba Tengah terdapat 2 (dua) buah kolam persegi empat panjang dan kolam tersebut mempunyai 30 buah pancuran yang berderet dari Timur ke Barat menghadap ke Selatan. Masing–masing pancuran itu menurut tradisi mempunyai nama tersendiri diantaranya pancuran Pengelukatan, Pebersihan, Sudamala dan Pancuran Cetik (Racun).
Pancuran Cetik dan nama Tirta Empul ada hubungannya dengan mitologi yaitu pertempuran Mayadenawa Raja Batu Anyar (Bedahulu) dengan Bhatara Indra. Dalam mitologi itu diceritakan bahwa Raja Mayadenawa bersikap sewenang – wenang dan tidak mengijinkan rakyat untuk melaksanakan upacara – upacara keagamaan untuk mohon keselamatan dari Tuhan Yang Maha Esa. Setelah perbuatan itu diketahui oleh Para Dewa, maka para dewa yang dikepalai oleh Bhatara Indra menyerang Mayadenawa. Akhirnya Mayadenawa dapat dikalahkan dan melarikan diri sampailah disebelah Utara Desa Tampak siring. Akibatnya kesaktiannya Mayadenawa menciptakan sebuah mata air Cetik (Racun) yang mengakibatkan banyaknya para laskar Bhatara Indra yang gugur akibat minum air tersebut. Melihat hal ini Bhatara Indra segera menancapkan tombaknya dan memancarkan air keluar dari tanah (Tirta Empul) dan air Suci ini dipakai memerciki para Dewa sehingga tidak beberapa lama bisa hidup lagi seperti sedia kala. *kutipan ini dari sebuah sumber, dan ada kecocokan dari apa yang diceritakan oleh Mas Wayan kepada saya selama di Tirta Empul. Karena tak dapat mengingat dengan persis, saya coba cari artikelnya di internet. Dan demikianlah ceritanya.
Di sebuah altar, beberapa umat Hindu sedang melakukan prosesi sembahyang. Bau kemenyan dari dupa yang dibakar kembali menelusup masuk ke hidung. Sajen berupa bunga-bunga dan entah apalagi, tersusun di altar. Seorang pemimpin ibadah terlihat duduk membaca doa dalam sebuah tempat terbuat dari kayu. Yang lainnya juga duduk bersimpuh, melakukan gerakan-gerakan sembahyang, memejamkan mata dan membaca doa. Kemudian seorang yang lainnya membawa semacam guci berisi air, menuangkannya ke telapak tangan mereka yang sedang bersimpuh. Lalu air itu diminum. Sebagian lainnya dipercikkan ke rambut. Kemudian ada semacam beras ditempelkan di kening, di antara dua alis. Saya merekam ritual tersebut dalam foto dan video. 
Pada saat berikutnya, ketika saya hendak mengambil gambar kuil-kuil lainnya, seorang pemuda baru datang dan bergegas mengenakan udeng, selendang dipinggang, dan sarung. Mengambil tempat di depan, lalu duduk dan menangkupkan tangan didepan dada. Tak lama seorang perempuan yang sudah berumur, menembangkan sebuah kidung dalam bahasa yang tidak saya mengerti. Menurut mas Wayan, itulah kidung doa. Tidak setiap orang bisa menembangkan kidung.
Puas berkeliling dan melihat-lihat, saya kembali ke tempat semula. Keluar dari Pura dan mengembalikan perlengkapan yang saya kenakan. Tidak ada tarif khusus atas perlengkapan yang dipinjamkan tadi, hanya saja dipersilahkan jika ingin menyumbang ke kotak khusus yang tersedia. Semacam kotak amal untuk infaq gitu deh.....
Petang kian pekat. Tak lama lagi waktu Magrib tiba. Namun Pura Tirta masih ramai. Rombongan turis dari Belanda terlihat masih asyik berkelana dalam kisah dan sejarah Pura Tirta Empul bersama guide-guide profesional. Terdengar oleh saya guide tersebut berbicara dalam bahasa Belanda. Wow...hebat ya. Selain bahasa Inggris dan Jepang, mereka juga bisa berbahasa Belanda. Tapi mas Wayan nyengir ketika saya tanya apa bisa juga berbahasa belanda? Tidak katanya. Cuma ngerti kata “Ikh hou van jou”. Wkwkwkwk
Beberapa foto hasil jepretan mas Wayan yang nyambi sebagai fotografer, saya bayari. Ga enak juga kalau tak diambil. Lagipula foto hasil jepretannya bagus-bagus. Di akhir kunjungan saya memberikan tips sepantasnya kepadanya. Wajahnya terlihat senang. Kami saling berterima kasih. Lalu saling mengucapkan salam. Saya pun melangkah keluar dari kawasan Pura. Mengembalikan payung yang saya sewa pada gadis kecil yang telah lama menunggu. Seuntai kata dan senyum darinya : “terima kasih ya tante, uangnya buat saya bayar sekolah”. Oh.....
Petang kian merayap. Pohon tua berusia ratusan tahun terlihat begitu angker. Bau kemenyan masih tercium dimana-mana. Saya menelpon supir untuk minta di jemput di depan. Akhirnya kami meninggalkan Tampak Siring dengan serangkaian kisah dalam kuntum sejarah kepercayaan umat Hindu di Bali.
Yeaah...This temple is beautiful, a lot of water, green trees and plants, and a lot of locals with rituals….
Dalam kendaraan menuju Kuta, perut yang mendadak lapar tak menemukan makanan yang sesuai selera. Tetapi Pak Ketut akhirnya membawa saya ke daerah Renon. Di sana ada rumah makan yang “aman” buat saya. Alhamdulillah... Setidaknya urusan perut selamat sebelum sampai Kuta. Ya hari itu saya ingin menginap di kawasan Kuta, karena esoknya ingin menjelajah Legian dan Kuta seharian.....
[Bali] Gunung Batur, Kintamani Bali

[Bali] Gunung Batur, Kintamani Bali


Bali, 17 September 2011
Gunung Batur dan Danau Batur berada di daerah pegunungan sekitar Kintamani. Dua obyek wisata yang menarik ini biasanya menjadi salah satu tempat yang tidak terlupakan dalam agenda wisatawan Bali. Termasuk saya yang sudah sejak jauh hari mengagendakannya menjadi tempat yang ingin saya kunjungi selama berada di Bali.
 
Dari Kuta saya berangkat sekitar jam 10 siang. Pak Ketut yang menjadi supir sekaligus guide, awalnya menyarankan ke Goa Gajah terlebih dahulu. Namun sayang, dalam perjalanan ternyata terjadi kemacetan panjang di daerah yang saya lupa namanya, dikarenakan ada upacara Ngaben. Upacara ini bukan 1-2 saja yang saya jumpai sepanjang perjalanan, tapi sampai 3-4 kali. Dan itu ramai. Makanya macet. Akhirnya kami putar balik dan memutuskan langsung menuju Kintamani.
Dalam perjalanan itu saya sempat mampir ke Pasar Sukawati untuk melihat-lihat dan membeli beberapa barang oleh-oleh. Meskipun masih lama meninggalkan Bali, tapi sudah terpikir untuk beli oleh-oleh hehe...Sebetulnya tak terlalu penasaran dengan barang-barang yang dijual sebab sepanjang jalan menuju Ubud, termasuk di Ubud pun, banyak barang / product yang sama yang di jual. Di Kuta juga demikian. Hanya saja, harga di Sukawati lebih miring. Jika pandai menawar, kita bisa mendapatkan harga ¼ dari harga yang ditawarkan. Sedang di tempat lain, belum tentu bisa mendapatkannya. Itu yang saya tahu dari pak Ketut.
Usai dari Pasar Sukawati perjalanan kembali dilanjutkan. Kami melewati Ubud, kawasan yang dipadati oleh turis asing. Saya memperkirakan 80% orang yang berada di kawasan (di jalanan) ini di huni oleh turis-turis asing (saat saya lewat lho ya). Penduduk setempat adalah sisa sekian persennya. Turis-turis asing itu terlihat dimana-mana, di restoran, kafe, toko pakaian, toko barang seni, penginapan, dan pengendara dijalan raya. Baik yang berkendaraan roda dua maupun roda empat. Ada sekitar 3 kali saya melihat wanita dan pria bule yang naik motor di tilang polisi! Haduh...neng and mas bule...lu ade-ade aje...lu kire Bali ndak punya hukum rimba ye?..halah.. 
Eh iya, menurut cerita pak Ketut bule-bule itu lebih suka menyewa motor selama berkeliling Bali daripada mobil. Kecuali kalau mereka rombongan. Sewa motor sehari Rp 50.000,- Wah....murah ya dibanding mobil yang Rp 450.000 s/d 500.000 sehari.
Gerimis turun rintik-rintik saat perjalanan masih di daerah Ubud. Lalu turun menjadi hujan namun tak deras. Sewaktu melewati kawasan Monkey forest, saya sempat berkeinginan untuk melihat. Tapi karena agenda utama adalah ke Gunung Batur, Danau Batur dan Istana Tapak Siring, saya khawatir tak cukup waktu. Akhirnya perjalanan dilanjutkan. Hanya saja sewaktu melewati bagian depan Monkey Forest, kendaraan di perlambat. Di bagian depan pengunjung terlihat ramai. Hampir kebanyakan dari mereka adalah turis-turis mancanegara. Terlihat juga beberapa monyet bergelayutan di pohon-pohon dan beberapa ekor duduk manis dekat pengunjung. Hmm...lain kali ya mungkin saya akan mampir.
Nah, pemandangan cantik berikutnya tersuguh di Tegallalang – Gianyar, yaitu sawah yang bertingkat-tingkat. Saya tak perlu turun dari kendaraan. Cukup membuka jendela dan melihat ke sisi kanan. Amboi indahnyaaa... Sungguh hijau dan segar menyejukkan mata. Cantik banget siring-siringnya itu. Kebetulan saat itu jalanan agak macet, karena ada antrian jalur. Ya sudah saya bisa punya waktu buat foto-foto meskipun hanya dari jendela mobil. Terlihat beberapa turis bermata sipit -turis Jepang apa Korea entah dari mana- menuruni jalan raya lalu menyeberang dan berfoto-foto di sawah-sawah tersebut. Duh...pengen juga rasanya turun. Siapa tahu ada kesempatan untuk nyangkul hihihi....
Usai melewati Tegallalang, perjalanan berlanjut meniti jalanan yang terus menanjak. Mengingatkan saya pada suasana di Cisarua Puncak. Suhu udara makin dingin. Saya melihat ke sisi kiri dan kanan jalan terdapat kebun jeruk Bali. Ada juga pohon jeruk biasa yang buahnya kecil-kecil dan berkulit kuning. Saya mencari-cari barangkali ada pemilik kebun yang menjajakan buah jeruk di pinggir jalan. Tapi tak ada.
Sekitar jam 3.30 sore (saya lupa tepatnya), kami tiba di Kintamani. Ada peraturan tak tertulis disana bahwa setiap kendaraan yang memasuki kawasan tersebut akan dikenakan biaya Rp 25.000 per mobil. Tepat di pertigaan tempat pembayaran itu ada beberapa restoran. Salah satunya restoran Mutiara (kalau ga salah namanya itu). Dan saya menemukan tulisan “Ada Musala” dibagian depannya. Wah!! Kebetulan. Saya memasuki restoran dan ternyata padat!! Waduuuh kenapa seramai ini? Olala ternyata saya ga sadar bahwa Gunung Batur telah terpampang di depan mata! Rupanya para pengunjung itu sedang menikmati pemandangan Batur sambil makan dan minum di restaurant itu.
Seusai salat saya bermaksud makan dan minum di restoran itu tapi Pak Ketut menyarankan untuk ke restoran berikutnya saja karena dari restoran berikutnya gunung dan danau Batur akan terlihat lebih jelas. Pengunjungnya juga tak seramai di resto Mutiara. Akhirnya kami meluncur ke restaurant berikutnya, sekitar 1 KM jaraknya. Dan benar saja, pemandangan Batur bisa dinikmati dengan lebih nyaman dan santai. 
Di beberapa tempat saya menjumpai penjual-penjual yang agresif. Beberapa di antaranya mengikuti sejak pertama turun dari mobil. Namun karena saya bergegas naik dan masuk ke salah satu restaurant, penjual-penjual tersebut berhenti mengikuti. Dan tak dinyana, ketika saya turun dan kembali ke kendaraan satu jam berikutnya, mereka kembali mendekati sampai saya masuk ke pintu mobil. Tak tega juga rasanya, meskipun tak ingin membeli akhirnya saya beli juga. Sebuah kerajinan tangan berupa perhiasan wanita. Tak apalah, kan bisa dijadikan oleh-oleh nantinya.
Udara begitu sejuk. Sesekali puncak gunung Batur diselimuti kabut. Kebetulan Puri Sanjaya Restaurant, tempat saya berdiri saat itu adalah tempat yang tinggi sehingga memungkinkan dapat memandang ke segala arah. Menurut cerita, Gunung Batur sebenarnya hanya merupakan salah satu gunung berapi kecil, namun letaknya berada di tengah-tengah kawah besar berdiameter 14 Km. Persis di sebelah Gunung Batur itulah Danau Batur berada. Bentuknya seperti sabit yang dikelilingi tembok tinggi pinggiran kawah. Ukuran kecuraman kawah inilah yang akan membuat setiap pengunjung membayangkan letusan dahsyat dari Gunung Batur yang pernah terjadi sepuluh ribu tahun yang lalu. Ha?? 10ribu thn yang lalu? Saya ga kebayang...ckckckck
 
Kata Pak Ketut, saat ini gunung Batur masih aktif. Ingatan penduduk Bali juga masih jelas ketika terjadi letusan pada tahun 1917, dimana erupsinya menyebabkan ribuan penduduk meninggal serta  hancurnya ratusan candi. Pasca letusan tersebut, erupsi masih sering terjadi. Masyarakat Bali di sekitar gunung pun di ungsikan termasuk beberapa candi yang meliputi salah satu candi utama Bali, Pura Ulun Danu. Candi Pura Ulun Danu yang semula berada di dalam kawah yang besar pun dipindahkan ke puncak bukit. Sekarang, Candi Pura Ulun Danu itu menawarkan sebuah pemandangan Gunung Batur yang menawan.
Kami tak berniat turun, cukup memandang dari atas saja. Walaupun sebenarnya jika ingin mengililingi wilayah Batur, bisa sambil berjalan kaki atau menyewa sepeda. Kalau pakai mobil, akan di “pajakin” oleh penduduk disana. Itupun tak cukup 1 atau 2 pajak, bisa beberapa kali. Duh... bikin orang males aja jadinya.
Terlihat cukup banyak restoran dan penginapan di Kintamani, mulai dari hotel berbintang sampai dengan jenis home stay. Karena saya tak menginap, jadi saya hanya berada di penelokan saja (tempat melihat-lihat) yang terdapat di beberapa restoran. Selain bisa sambil istirahat, juga bisa sambil  menikmati makanan dan minuman yang diinginkan. Dan terus terang, harga yang dibayar cukup bikin mata melotot dan dompet mendadak kecekik hihi... Tapi setidaknya imbang dengan kepuasan atas pemandangan yang didapatkan.

Sore itu udara memang tak begitu cerah. Kondisi cuaca dingin dan basah. Siapapun, jika sedang disana dalam kesendirian, mungkin hati pun turut basah. Seperti pendaki yang merindukan puncak Batur dalam genggaman, atau pengamat langit yang ingin mengapung di permukaan danau melukis mimpi-mimpi di kanvas biru nan luas terbentang. Maka, Kintamani yang sesekali berkabut, akan mengembunkan matamu ketika teringat dengan orang-orang tercinta tak ada disisimu. Tetapi, bisa juga sebaliknya. Hatimu menghangat kala menyaksikan Gunung Batur dan Danau Batur berdampingan begitu akrab dan mesra. Senyum pun terkembang begitu manisnya. Penanda syukur atas keindahan yang tersaji di depan mata.



Saya mengusaikan kunjungan yang mengesankan itu, melanjutkan perjalanan ke tempat berikutnya dengan membawa kenangan manis tentang Gunung dan Danau Batur yang begitu anggun mempesona dalam pandangan...